Share

Mendadak Kaya Usai Ditalak Suami Miskin
Mendadak Kaya Usai Ditalak Suami Miskin
Penulis: Yoona Nusa

Bab 1. Kenyataan Pahit

"Aku sudah menikahi Laksmi. Kini semua terserah padamu, kau mau tetap melanjutkan pernikahan ini atau tidak!".

Bak petir di siang bolong, perkataan mas Hendi barusan menyambar-nyambar hatiku. Aku sesaat tak bisa memikirkan apa-apa, bingung, tak percaya, sedih, amarah, semua campur menjadi satu.

"Apa mas?". Kembali aku bertanya.

"Kau pikirkanlah apa yang telah kuucapkan tadi, Lis". Mas Hendi berkata penuh keegoisan.

Lantas mas Hendi pergi begitu saja meninggalkan aku dan anak semata wayang kami di rumah ini. Aku beranjak dan melangkahkan kaki untuk mengejar mas Hendi yang sudah berada di teras rumah kami.

"Mas...". Aku sedikit berteriak memanggil suamiku.

Mas Hendi berbalik dan menghentikan langkahnya kemudian berkata tegas padaku, "Aku akan pergi, satu minggu lagi baru pulang".

Aku yang mendengar ucapan mas Hendi langsung menyadari apa maksudnya, terlebih aku melihat ada seorang perempuan yang berdandan menor di kursi depan mobilnya.

"Apakah itu Laksmi mas? Apakah dia maduku?". Aku bertanya dengan berapi-api.

"Iya". Kata mas Hendi singkat, lalu pergi melangkahkan kakinya kembali.

"Jangan menghubungiku, Lisna. Aku tak mau kau ganggu". Mas Hendi kembali mematahkan hatiku.

"Mas, mas Hendi. Begitu tega kamu, mas. Mas.. mas.. ". Aku berteriak seperti orang gila memanggil mas Hendi yang tak lagi memperdulikanku.

"Tega sekali kau, Mas. Kini apakah kau akan berbulan madu dengan pelakor itu". Gumamku pelan, merasakan sakit saat membayangkan suamiku memadu kasih dengan wanita lain.

Kini mas Hendi benar-benar pergi meninggalkan kami. Aku masih terpaku memandangi mobil hitam yang semakin lama semakin menghilang dari pandangan mataku.

Jangan ditanya bagaimana perasaanku, kini air mataku sudah menganak sungai. Tumpah seperti air mengalir.

"Bunda... Bunda....".

Kicauan Airin, anak tunggalku yang masih berusia tiga tahun ini membuatku mengalihkan pandanganku dari ujung jalan ke arah bawah. Melihat Airin yang sedang menarik-narik dasterku yang sedikit usang dan ada robek sedikit di ujungnya.

"Ayah kemana, bunda?". Celotehnya.

Pertanyaan dari Airin malah membuat air mataku jatuh lebih banyak lagi. Bagaimana aku menjelaskan kepada anak ini bahwa ayahnya menikah lagi dan dia mempunyai dua ibu sekarang.

"Airin...". Aku langsung memeluk anak gadisku itu.

Aku tumpahkan air mataku kembali dalam pelukan anakku ini. Mungkin ia tak akan mengerti bahwa bundanya sedang merasakan sebuah pengkhianatan dari ayah kandungnya.

"Ayo, kita masuk, nak". Ucapku seraya mengelap sudut mata dan kedua pipiku.

Aku mengendong Airin agar segera masuk ke dalam rumah. Aku tak tahu kalau ia terbangun, mungkin mendengar keributan antara Ayah dan bundanya.

"Kenapa bunda menangis?". Airin bertanya padaku karena melihat air mataku yang kini menetes kembali di pipiku.

Ah, iya aku lupa. Airin sudah cukup besar untuk mengetahui keadaan di sekelilingnya. Sekarang Airin dalam gendonganku, dia pasti melihat lebih jelas mata yang mulai sembab ini.

"Tidak apa-apa, Airin. Kamu sudah bangun? Gak mau tidur lagi?". Tanyaku menawarkan kepada Airin.

"Iya, bunda. Airin mau tidur sama bunda". Ucap Airin membuat aku gemas.

Melihat wajah Airin membuat aku menemukan kekuatanku kembali. Demi anak ini, aku harus kuat menghadapi pengkhianatan mas Hendi dan pelakor itu. Kuciumi wajah Airin, tanda cinta antara aku dan mas Hendi.

Tok.... Tok...

Aku menajamkan telingaku, suara ketokan pintu terdengar. Ah, apa ibu mertuaku sudah pulang ya dari kampung sebelah? Gumamku pelan.

Aku melihat Airin sudah kembali tidur, aku berangkat dari kasur dengan pelan-pelan agar Airin tidak terbangun. Aku keluar kamar dan membukakan pintu untuk ibu mas Hendi.

"Kamu lama amat sih bukain pintunya?". Sapaanku kasar dari ibu mertuaku, ibu Sari, sudah kebal di telingaku.

Namun, entah kenapa kali ini, hatiku seperti tertusuk belati tajam. Sakit, sungguh sakit. Mendapati kenyataan pernikahan kedua mas Hendi tanpa persetujuanku dan kini sikap mertuaku yang tak pernah ramah padaku.

"Maaf bu, tadi Lisna lagi ngeloni Airin supaya tidur kembali". Kataku dengan intonasi pelan bak menantu yang patuh.

Aku selalu tak pernah melawan ibu mertuaku ini walau sekalipun. Aku menghormatinya dan menganggap ibu Sari sebagai ibu kandungku sendiri.

Aku memperlakukannya seperti itu karena dari kecil aku tak pernah merasakan bagaimana kasih sayang seorang ibu. Aku hidup sebatang kara di sebuah panti asuhan.

"Alah, gak usah banyak alasan kamu. Ini kamu taruh di kamar ibu". Titah ibu Sari seraya menyerahkan padaku sebuah tas besar.

"Iya, ibu". Kataku singkat.

Aku meletakkan sebuah tas besar berwarna merah itu di sudut kamar Ibu. Beberapa hari yang lalu ibu Sari pamit ingin mudik ke kampung sebelah katanya. Berpapasan juga dengan Mas Hendi yang meminta izin mau dinas luar, tinggallah aku sendiri bersama Airin di rumah ini.

Mataku tidak sengaja melihat sebuah soevenir yang tergantung di tas ibu mertuaku. Entah kenapa, tangan ini meraih gantungan kunci itu. Otakku menyuruhku untuk menyentuhnya.

"The Wedding, Hendi dan Maya, 01 September 2023".

Mulutku membaca apa yang terukir pada gantungan kunci berbentuk hati yang berwarna merah muda itu. Mataku membulat sempurna karena seketika aku menyadari bahwa ini adalah soevenir pernikahan suamiku dan maduku itu.

"Apakah kepergian ibu kemarin adalah untuk menghadiri pernikahan mas Hendi dan bukan menjenguk keluarganya?".

"Lantas, apakah mas Hendi menikah di hari itu, dan tidak dinas luar seperti yang ia katakan padaku kemarin?".

"Apakah semua orang menyetujuinya dan menutupi semua ini dariku?".

Pertanyaan-pertanyaan berputar di kepalaku saat ini. Aku terduduk lemas di sudut kamar ibu di depan tas merahnya.

Jika aku tak melihat gantungan ini, apakah selamanya ibu Sari akan menutupi ketahuannya akan pernikahan kedua anaknya, suamiku itu.

"Sari...". Suara teriakan ibu terdengar.

Aku spontan terbangun dan menegakkan tubuhku. Panggilan ibu Sari sama halnya bagai perintah tak tertulis di rumah ini. Aku segera melangkahkan kaki ke luar kamar.

"Iya, bu". Ucapku saat berada di hadapannya.

"Mana air dinginnya, ibu haus. Kamu ngapain lagi, lama sekali di kamar ibu". Ibu berkata seraya mengipas-ngipas wajahnya dengan kipas yang terbuat dari kayu tersebut.

"Hidupkan dulu kipas anginnya sebelum ke dapur ya!". Teriak ibu tanpa melihat diriku.

Aku menghembuskan nafas pelan, dan mengontrol emosiku. Aku harus tetap tenang saat ini, ada Airin buah hatiku yang masih harus aku jaga dan lindungi.

Kini, aku mencoba tak perduli lagi dengan mas Hendi dan keluarganya. Ternyata hanya aku yang menganggap mereka sebagai keluargaku namun mereka hanya menganggap aku sebagai penumpang di rumah ini.

"Cepat, Lisna". Teriak ibu tak sabar.

"Sebentar bu, Lisna pecahin dulu batu esnya". Aku pun sedikit berteriak agar ibu mendengar ucapanku.

"Jangan banyak-banyak esnya, Lis. Kamu ingin mertuamu ini batuk". Ucapnya sedikit pelan namun masih terdengar di gendang telingaku.

Entah kenapa, ibu Sari tidak menerimaku dengan ramah sejak aku menjadi istri mas Hendi. Katanya aku bukan dari keluarga berada, hanya menang paras saja sehingga mas Hendi meminangku.

Untung saja aku masih bekerja saat ini sehingga tidak mengandalkan gaji mas Hendi untuk keperluanku sehari-hari dan Airin. Mas Hendi juga begitu perhitungan dengan aku dan anaknya, mungkin otaknya sudah dicuci dengan ibu mertuaku.

"Ini, bu. Es Jeruknya seperti biasanya, rasa kesukaan ibu yang tidak terlalu manis". Pelan aku berkata karena melihat ibu yang sedang memejamkan mata.

Aku tak mau kejadian dulu terulang lagi, hanya karena aku memberitahunya makanan sudah siap dan mengajaknya untuk makan. Saat itu ibu Sari sedang merebahkan tubuhnya di kursi tamu.

Bukannya ucapan terima kasih karena telah menyiapkan santapan makan siang malah caci maki yang kudengar. Katanya suara berisikku mengganggu tidur indahnya.

"Hmm.. Iya". Balas ibu Sari tanpa membuka matanya.

"Saya ke kamar dulu ya, bu". Suaraku pelan kuucapkan lagi, sungguh takut ia terganggu.

"Tunggu..". Tiba-tiba ibu Sari membuka matanya.

Aku yang hendak membalikkan badan, urung kulakukan, "Iya, bu". Ucapku lagi.

"Seminggu lagi akan datang tamu ibu dan mas Hendi, kamu siapkan kamar tamu ya". Kini ibu bangun mengangkat tubuhnyadan duduk di kursi.

"Tamu?". Aku sedikit ambigu dengan kata "tamu" yang diucapkan ibu.

Apalagi tamu yang dimaksud ibu adalah tamu ibu dan mas Hendi, apakah maduku itu akan juga tinggal di sini. Apakah mereka akan kembali menyiksaku dengan hal ini juga?.

"Iya, kau siapkan saja. Jangan banyak tanya!"

Aku lantas memberanikan diri untuk bertanya kepada ibu mertuaku, "Apakah tamu itu adalah Laksmi, bu?".

Seolah tak menyangka akan ketahuanku mengenai menantu keduanya itu, ibu Sari menjadi salah tingkah dengan pertanyaanku barusan.

"Kalau kau sudah tahu, kenapa harus bertanya lagi?". Balas ibu sengit kepadaku.

Aku memejamkan mata saat mendengar kejujuran dari ibu Sari. Ujian apalagi ini yang harus aku hadapi kali ini.

"Mas Hendi apakah belum puas kau menyakitiku, apakah benar aku harus mempertahankan pernikahan ini, mas?". Ucapku dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status