"Aku sudah menikahi Laksmi. Kini semua terserah padamu, kau mau tetap melanjutkan pernikahan ini atau tidak!".
Bak petir di siang bolong, perkataan mas Hendi barusan menyambar-nyambar hatiku. Aku sesaat tak bisa memikirkan apa-apa, bingung, tak percaya, sedih, amarah, semua campur menjadi satu."Apa mas?". Kembali aku bertanya."Kau pikirkanlah apa yang telah kuucapkan tadi, Lis". Mas Hendi berkata penuh keegoisan.Lantas mas Hendi pergi begitu saja meninggalkan aku dan anak semata wayang kami di rumah ini. Aku beranjak dan melangkahkan kaki untuk mengejar mas Hendi yang sudah berada di teras rumah kami."Mas...". Aku sedikit berteriak memanggil suamiku.Mas Hendi berbalik dan menghentikan langkahnya kemudian berkata tegas padaku, "Aku akan pergi, satu minggu lagi baru pulang".Aku yang mendengar ucapan mas Hendi langsung menyadari apa maksudnya, terlebih aku melihat ada seorang perempuan yang berdandan menor di kursi depan mobilnya. "Apakah itu Laksmi mas? Apakah dia maduku?". Aku bertanya dengan berapi-api."Iya". Kata mas Hendi singkat, lalu pergi melangkahkan kakinya kembali."Jangan menghubungiku, Lisna. Aku tak mau kau ganggu". Mas Hendi kembali mematahkan hatiku."Mas, mas Hendi. Begitu tega kamu, mas. Mas.. mas.. ". Aku berteriak seperti orang gila memanggil mas Hendi yang tak lagi memperdulikanku."Tega sekali kau, Mas. Kini apakah kau akan berbulan madu dengan pelakor itu". Gumamku pelan, merasakan sakit saat membayangkan suamiku memadu kasih dengan wanita lain.Kini mas Hendi benar-benar pergi meninggalkan kami. Aku masih terpaku memandangi mobil hitam yang semakin lama semakin menghilang dari pandangan mataku.Jangan ditanya bagaimana perasaanku, kini air mataku sudah menganak sungai. Tumpah seperti air mengalir."Bunda... Bunda....".Kicauan Airin, anak tunggalku yang masih berusia tiga tahun ini membuatku mengalihkan pandanganku dari ujung jalan ke arah bawah. Melihat Airin yang sedang menarik-narik dasterku yang sedikit usang dan ada robek sedikit di ujungnya."Ayah kemana, bunda?". Celotehnya.Pertanyaan dari Airin malah membuat air mataku jatuh lebih banyak lagi. Bagaimana aku menjelaskan kepada anak ini bahwa ayahnya menikah lagi dan dia mempunyai dua ibu sekarang."Airin...". Aku langsung memeluk anak gadisku itu.Aku tumpahkan air mataku kembali dalam pelukan anakku ini. Mungkin ia tak akan mengerti bahwa bundanya sedang merasakan sebuah pengkhianatan dari ayah kandungnya."Ayo, kita masuk, nak". Ucapku seraya mengelap sudut mata dan kedua pipiku.Aku mengendong Airin agar segera masuk ke dalam rumah. Aku tak tahu kalau ia terbangun, mungkin mendengar keributan antara Ayah dan bundanya."Kenapa bunda menangis?". Airin bertanya padaku karena melihat air mataku yang kini menetes kembali di pipiku.Ah, iya aku lupa. Airin sudah cukup besar untuk mengetahui keadaan di sekelilingnya. Sekarang Airin dalam gendonganku, dia pasti melihat lebih jelas mata yang mulai sembab ini."Tidak apa-apa, Airin. Kamu sudah bangun? Gak mau tidur lagi?". Tanyaku menawarkan kepada Airin."Iya, bunda. Airin mau tidur sama bunda". Ucap Airin membuat aku gemas.Melihat wajah Airin membuat aku menemukan kekuatanku kembali. Demi anak ini, aku harus kuat menghadapi pengkhianatan mas Hendi dan pelakor itu. Kuciumi wajah Airin, tanda cinta antara aku dan mas Hendi.Tok.... Tok...Aku menajamkan telingaku, suara ketokan pintu terdengar. Ah, apa ibu mertuaku sudah pulang ya dari kampung sebelah? Gumamku pelan.Aku melihat Airin sudah kembali tidur, aku berangkat dari kasur dengan pelan-pelan agar Airin tidak terbangun. Aku keluar kamar dan membukakan pintu untuk ibu mas Hendi."Kamu lama amat sih bukain pintunya?". Sapaanku kasar dari ibu mertuaku, ibu Sari, sudah kebal di telingaku.Namun, entah kenapa kali ini, hatiku seperti tertusuk belati tajam. Sakit, sungguh sakit. Mendapati kenyataan pernikahan kedua mas Hendi tanpa persetujuanku dan kini sikap mertuaku yang tak pernah ramah padaku."Maaf bu, tadi Lisna lagi ngeloni Airin supaya tidur kembali". Kataku dengan intonasi pelan bak menantu yang patuh.Aku selalu tak pernah melawan ibu mertuaku ini walau sekalipun. Aku menghormatinya dan menganggap ibu Sari sebagai ibu kandungku sendiri.Aku memperlakukannya seperti itu karena dari kecil aku tak pernah merasakan bagaimana kasih sayang seorang ibu. Aku hidup sebatang kara di sebuah panti asuhan."Alah, gak usah banyak alasan kamu. Ini kamu taruh di kamar ibu". Titah ibu Sari seraya menyerahkan padaku sebuah tas besar."Iya, ibu". Kataku singkat.Aku meletakkan sebuah tas besar berwarna merah itu di sudut kamar Ibu. Beberapa hari yang lalu ibu Sari pamit ingin mudik ke kampung sebelah katanya. Berpapasan juga dengan Mas Hendi yang meminta izin mau dinas luar, tinggallah aku sendiri bersama Airin di rumah ini.Mataku tidak sengaja melihat sebuah soevenir yang tergantung di tas ibu mertuaku. Entah kenapa, tangan ini meraih gantungan kunci itu. Otakku menyuruhku untuk menyentuhnya."The Wedding, Hendi dan Maya, 01 September 2023".Mulutku membaca apa yang terukir pada gantungan kunci berbentuk hati yang berwarna merah muda itu. Mataku membulat sempurna karena seketika aku menyadari bahwa ini adalah soevenir pernikahan suamiku dan maduku itu."Apakah kepergian ibu kemarin adalah untuk menghadiri pernikahan mas Hendi dan bukan menjenguk keluarganya?"."Lantas, apakah mas Hendi menikah di hari itu, dan tidak dinas luar seperti yang ia katakan padaku kemarin?"."Apakah semua orang menyetujuinya dan menutupi semua ini dariku?".Pertanyaan-pertanyaan berputar di kepalaku saat ini. Aku terduduk lemas di sudut kamar ibu di depan tas merahnya.Jika aku tak melihat gantungan ini, apakah selamanya ibu Sari akan menutupi ketahuannya akan pernikahan kedua anaknya, suamiku itu."Sari...". Suara teriakan ibu terdengar.Aku spontan terbangun dan menegakkan tubuhku. Panggilan ibu Sari sama halnya bagai perintah tak tertulis di rumah ini. Aku segera melangkahkan kaki ke luar kamar."Iya, bu". Ucapku saat berada di hadapannya."Mana air dinginnya, ibu haus. Kamu ngapain lagi, lama sekali di kamar ibu". Ibu berkata seraya mengipas-ngipas wajahnya dengan kipas yang terbuat dari kayu tersebut."Hidupkan dulu kipas anginnya sebelum ke dapur ya!". Teriak ibu tanpa melihat diriku.Aku menghembuskan nafas pelan, dan mengontrol emosiku. Aku harus tetap tenang saat ini, ada Airin buah hatiku yang masih harus aku jaga dan lindungi.Kini, aku mencoba tak perduli lagi dengan mas Hendi dan keluarganya. Ternyata hanya aku yang menganggap mereka sebagai keluargaku namun mereka hanya menganggap aku sebagai penumpang di rumah ini."Cepat, Lisna". Teriak ibu tak sabar."Sebentar bu, Lisna pecahin dulu batu esnya". Aku pun sedikit berteriak agar ibu mendengar ucapanku."Jangan banyak-banyak esnya, Lis. Kamu ingin mertuamu ini batuk". Ucapnya sedikit pelan namun masih terdengar di gendang telingaku.Entah kenapa, ibu Sari tidak menerimaku dengan ramah sejak aku menjadi istri mas Hendi. Katanya aku bukan dari keluarga berada, hanya menang paras saja sehingga mas Hendi meminangku.Untung saja aku masih bekerja saat ini sehingga tidak mengandalkan gaji mas Hendi untuk keperluanku sehari-hari dan Airin. Mas Hendi juga begitu perhitungan dengan aku dan anaknya, mungkin otaknya sudah dicuci dengan ibu mertuaku."Ini, bu. Es Jeruknya seperti biasanya, rasa kesukaan ibu yang tidak terlalu manis". Pelan aku berkata karena melihat ibu yang sedang memejamkan mata.Aku tak mau kejadian dulu terulang lagi, hanya karena aku memberitahunya makanan sudah siap dan mengajaknya untuk makan. Saat itu ibu Sari sedang merebahkan tubuhnya di kursi tamu.Bukannya ucapan terima kasih karena telah menyiapkan santapan makan siang malah caci maki yang kudengar. Katanya suara berisikku mengganggu tidur indahnya."Hmm.. Iya". Balas ibu Sari tanpa membuka matanya."Saya ke kamar dulu ya, bu". Suaraku pelan kuucapkan lagi, sungguh takut ia terganggu."Tunggu..". Tiba-tiba ibu Sari membuka matanya.Aku yang hendak membalikkan badan, urung kulakukan, "Iya, bu". Ucapku lagi."Seminggu lagi akan datang tamu ibu dan mas Hendi, kamu siapkan kamar tamu ya". Kini ibu bangun mengangkat tubuhnyadan duduk di kursi."Tamu?". Aku sedikit ambigu dengan kata "tamu" yang diucapkan ibu.Apalagi tamu yang dimaksud ibu adalah tamu ibu dan mas Hendi, apakah maduku itu akan juga tinggal di sini. Apakah mereka akan kembali menyiksaku dengan hal ini juga?."Iya, kau siapkan saja. Jangan banyak tanya!"Aku lantas memberanikan diri untuk bertanya kepada ibu mertuaku, "Apakah tamu itu adalah Laksmi, bu?".Seolah tak menyangka akan ketahuanku mengenai menantu keduanya itu, ibu Sari menjadi salah tingkah dengan pertanyaanku barusan."Kalau kau sudah tahu, kenapa harus bertanya lagi?". Balas ibu sengit kepadaku.Aku memejamkan mata saat mendengar kejujuran dari ibu Sari. Ujian apalagi ini yang harus aku hadapi kali ini."Mas Hendi apakah belum puas kau menyakitiku, apakah benar aku harus mempertahankan pernikahan ini, mas?". Ucapku dalam hati.Krok... Krok... Krik... Krik...Suara kodok dan jangkrik menemani aku di malam ini yang tak bisa tidur. Aku membolak-balikkan tubuhku di kasur berulang kali, namun tak jua membuat mataku mau terpejam.Pikiranku selalu berujung berkelana kepada mas Hendi, ketika aku mencoba memikirkan yang lain selalu saja berlabuh lagi ke sosok suamiku itu. Hatiku sakit membayangkan dia sedang bersenang-senang sekarang dengan istri mudanya.Begitu tega ia mempermainkan perasaanku. Lima tahun yang lalu begitu manis ucapannya padaku, semanis kembang gula yang merah."Perkenalkan namaku, Hendi". Itulah sapaan pertama mas Hendi kepadaku saat pertama kali berjumpa. Senyum manisnya menggetarkan hatiku, wajahnya yang rupawan juga meruntuhkan dinding-dinding kokoh yang sengaja kubangun untuk lelaki manapun."Maaf mengejutkanmu, aku hanya ingin berkenalan denganmu". Sapanya lagi saat melihatku hanya diam membisu."Eh, hmm. Iya, namaku Lisna". Ujarku kikuk.Kini aku duduk berhadapan dengannya. Entah siapa laki-
"Jadi apa semua salah Lisna bu? Lisna tak pernah meminta anak ibu yaitu mas Hendi untuk menikahiku? Lalu apa sekarang Lisna yang harus pergi dari rumah ini?". Aku membalas perkataan ibu dengan emosi."Terserah kamu saja". Ujar ibu sambil berlalu dari meja makan.Aku memejamkan mata dan mencoba menarik nafas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Aku berusaha untuk mengontrol emosiku sekarang."Ya Allah, pagi-pagi ibu mas Hendi sudah membuat hatiku kembali tersayat. Akankah aku bisa bertahan menghadapi semua ini?". Aku kini mencoba mengadu kepada sang pencipta manusia.Semoga Engkau bisa mengubah hati ibu Sari dan mas Hendi, ya Allah. Bukankah Engkau sang pembolak balik hati manusia dan hanya Engkaulah yang tahu mana yang terbaik untuk umatmu."Bunda... Bunda....".Suara kecil Airin terdengar sayup-sayup. Aku segera bergegas menuju ke kamar tidurku, anak gadisku mungkin saja sudah bangun."Eh, anak bunda sudah bangun, ya?". Ucapku pelan sambil mengecup pipi gembulnya.Airin menggeliat pel
Mataku kembali membulat sempurna, ketika sosok perempuan yang masuk mengiringi mas Hendi dari belakang. Aku jelas mengenalinya walaupun saat itu aku baru pertama kali melihatnya.Dia wanita yang menyayat hatiku beberapa hari ini. Dia wanita yang telah merebut hati dan tubuh mas Hendi dariku. Dia yang membuat mas Hendi tega mengkhianati aku dan pernikahan kami."Laksmi". Gumamku menahan emosi. "Lisna, kenapa kau ada di sini". Ucap mas Hendi berkata pelan.Aku yang tak menyangka akan ketemu mas Hendi apalagi bersama istri barunya itu hanya mampu terdiam kini. Pertanyaan dari mas Hendi bukan sengaja tak ku jawab namun mataku lebih memilih menjawabnya dengan air mata.Sudah beberapa hari aku tak bertemu dengan mas Hendi, namun kali ini dia menampakkan batang hidungnya bersama madu yang tak pernah aku setujui. "Mas Hendi". Hanya itu jawaban yang keluar dari mulutku."Nanti kita bicara lagi". Ucap mas Hendi seraya menarik kursi buat Laksmi dan sekarang baru ia mendudukkan bokongnya di kur
"Kalau kau tak suka, kau boleh pergi dari sini!".Deg.Ucapan yang keluar dari mulut mas Hendi sungguh melukai perasaanku yang masih sah sebagai istrinya. Setelah seminggu tak pulang ke rumah, malah menyuruh aku pergi dari rumah ini."Mas...". Gumamku pelan.Mas Hendi malah mengacuhkan panggilanku dan malah sibuk membawa barang-barang Laksmi. Kini mereka bertiga, mas Hendi, Laksmi dan ibu masuk ke dalam rumah meninggalkan aku dan Airin di luar rumah."Laksmi, ini kamarmu". Tunjuk ibu mas Hendi pada ruangan yang kemarin baru saja selesai aku bersihkan."Makasih ya bu". Ucap Laksmi dengan suaranya yang lembut."Ayo, Laksmi". Ajak mas Hendi menggamit lengan istri barunya itu.Aku yang seperti obat nyamuk di sini hanya diam melihat adegan demi adegan yang mereka lakukan. Mereka sudah tak menganggap keberadaan aku di sini."Apa benar mas, kau menginginkan aku pergi dari sini setelah kau menemukan wanita yang lebih muda dan kaya dariku?". Kataku pelan."Bunda, bunda, tante itu siapa?". Airi
"Kau...". Tangan mas Hendi kembali berayun di udara.Aku menundukkan sedikit wajahku ke arah bawah sebagai refleks untuk menerima tamparan tangan mas Hendi. Namun, tangan kekar mas Hendi tak kunjung menyentuh pipi ini. Aku dongakkan wajahku untuk melihat apa yang terjadi."Sudahlah sayang, masa di hari pertama aku masuk ke rumah ini sudah ada kejadian mengenaskan dengan kakak maduku". Suara manja dari Laksmi pun terdengar di telingaku. Ternyata, Laksmi yang berusaha untuk mencegah mas Hendi melayangkan tangannya."Kau dengar itu Lisna? Istriku ini masih saja membelamu yang sudah tega menyakitinya". Ucap mas Hendi masih terbawa emosi."Istri kamu mas, terus aku siapa mas, apa aku juga bukan istrimu?". Tanyaku dengan nyalang.Jangan harap karena Laksmi mencoba mencegah tamparan mas Hendi untukku, aku akan berusaha berbaik hati padanya. Aku yakin ini hanya sebagai tipu muslihat dia untuk memikat hati ibu mertuaku.Lihat saja, baru satu perlakuan tersebut, mas Hendi malah langsung memban
"Kamu Lisna, dasar menantu tidak tahu diri". Suara ibu sungguh sakit terdengar di telingaku dan menyayat-yayat hatiku saat ini. Namun, aku sudah tak perduli lagi. Apa artinya baktiku selama ini jika balasannya adalah sebuah madu dari suamiku.Dipandang sebelah mata oleh mertuaku sendiri dan dibandingkan dengan wanita lain hanya karena aku tidak mempunyai uang. Jangan lupakan asal usulku yang tidak jelas, entah dilahirkan dari keluarga yang seperti apa."Ada apa ini bu, kok teriak-teriak?". Mas Hendi akhirnya keluar dari kamar dan menuju ke dapur.Aku yang melihat mas Hendi buru-buru keluar kamar hanya meliriknya dengan ekor mataku. Kemudian dengan melenggang kangkung, aku pun pergi meninggalkan mereka. "Istri kamu itu sudah tidak mau memasak dan menyiapkan makanan untuk makan malam kita". Ucap ibu kepada anaknya itu."Apa?". Balas mas Hendi seraya tangannya membuka tudung saji yang berada di atas meja.Mata mas Hendi membulat sempurna karena melihat tidak ada apapun di dalam tudung
Mulai hari ini, semuanya akan berubah. Aku tak mau lagi jika kalian memanfaatkan aku demi kepentingan kalian sendiri. Aku akan berjuang mas untuk mendapatkan tempatku kembali. Aku ingin kalian menyesali keputusan kalian telah membawakan madu itu di rumah kita."Lisna....". Kini, aku mendengar suara mas Hendi yang meneriakkan namaku."Bunda, ayah memanggil". Kini, Airin ikut bersuara karena ayahnya yang memanggil. Ia seolah ingin menghentikan bundanya untuk kembali berjalan mundur pulang ke rumah."Tidak, Airin. Kita akan terlambat jika kembali pulang". Kataku mencoba membujuk Airin."Bukankah hari ini Airin akan mulai bersekolah?". Lanjutku berbicara karena melihat Airin yang cemberut memajukan sedikit bibirnya ke depan."Iya bunda". Kata putri kecilku sepertinya ia menurut kali ini."Oke, mari kita berangkat ke sekolah". Ucapku riang sambil mengayunkan ringan tangan kanan Airin.Suara panggilan dari mas Hendi tak aku perdulikan. Seiring langkah kami yang menjauh begitu pula suara m
"Airin, bunda bekerja dulu ya, kamu tinggal bersama ibu guru Soraya. Nanti bunda jemput lagi setelah kamu pulang sekolah". Ucapku lembut memberikan pemahaman kepada Airin."Iya, bunda". Akhirnya aku bisa bernafas lega, ternyata airin mengerti dengan apa yang aku inginkan. Aku bisa meninggalkannya dengan tanpa rasa khawatir."Memang suamimu tak bisa menjemputnya, Lisna?"."Tidak, Soraya. Nanti aku ceritakan tentang pernikahanku". Ucapku berjanji agar tidak lagi mengulur waktu. Aku sungguh sudah sangat terlambat untuk ke kantor."Baiklah, hati-hati di jalan, Lisna. Tetap semangat!". Ucapan dari Soraya kujawab dengan isyarat anggukan dari kepalaku. Mungkin Soraya tahu apa sebenarnya maksud dari ucapanku barusan. Aku yakin dia pasti mengerti bahwa keadaan rumah tanggaku sedang tidak baik-baik saja.Aku tahu dari ekspresi wajahnya yang awalnya kaget namun mencoba menormalkan kembali mimik wajahnya. Mungkin dengan alasan untuk menyemangati aku bahwa semua tak usah dipikirkan sampai lelah