Krok... Krok... Krik... Krik...
Suara kodok dan jangkrik menemani aku di malam ini yang tak bisa tidur. Aku membolak-balikkan tubuhku di kasur berulang kali, namun tak jua membuat mataku mau terpejam.Pikiranku selalu berujung berkelana kepada mas Hendi, ketika aku mencoba memikirkan yang lain selalu saja berlabuh lagi ke sosok suamiku itu. Hatiku sakit membayangkan dia sedang bersenang-senang sekarang dengan istri mudanya.Begitu tega ia mempermainkan perasaanku. Lima tahun yang lalu begitu manis ucapannya padaku, semanis kembang gula yang merah."Perkenalkan namaku, Hendi".Itulah sapaan pertama mas Hendi kepadaku saat pertama kali berjumpa. Senyum manisnya menggetarkan hatiku, wajahnya yang rupawan juga meruntuhkan dinding-dinding kokoh yang sengaja kubangun untuk lelaki manapun."Maaf mengejutkanmu, aku hanya ingin berkenalan denganmu". Sapanya lagi saat melihatku hanya diam membisu."Eh, hmm. Iya, namaku Lisna". Ujarku kikuk.Kini aku duduk berhadapan dengannya. Entah siapa laki-laki ini, aku juga baru pertama melihatnya. Ia lelaki yang tampan, senyumnya yang manis, tubuhnya atletis dan wajah yang rupawan, sungguh perpaduan sempurna bagiku.Aku sedikit grogi sekarang, baru pertama kali aku sedekat ini dengan seorang lelaki. Kini, ia malah menatapku intens, aku jadi salah tingkah."Kamu mau pesan apa?". Tanyanya lagi.Kini kami sedang berada di kantin kampus. Temanku, Lia yang bersamaku tadi sedang pergi ke toilet hingga aku sendirian dan didatangi seseorang yang memperkenalkan diri sebagai Hendi."Aku sudah memesan bersama temanku, Lia". Kataku menolak secara sopan dan berusaha memalingkan wajahku ke arah lain."Apakah kita bisa bertemu kembali?". Tanyanya lagi.Aku mengangkat wajahku dan kini kedua netra kami bertemu. Aku tak tahu kenapa hati ini merasa ingin bertemu dengannya lagi. Aku mengangguk menandakan jawaban "iya"."Sampai jumpa lagi". Sambungnya seraya melambaikan tangan dan pergi meninggalkan aku.Hufft... Kini aku menghembuskan nafas pelan. Kenangan masa lalu membuatku menelan rasa pahit sekarang. Ia yang kukira manis ternyata membuat luka di hidupku.Kini aku bertemankan guling sebagai teman tidurku dan mas Hendi sudah kupastikan berpeluk tubuh Laksmi, istri barunya. Sungguh, begitu kejam ia melupakan semua janjinya padaku."Hanya kaulah satu-satunya untuk hidupku sekarang, besok dan nanti".Janji mas Hendi terngiang kembali padaku saat ia berusaha menyakini hatiku untuk menerima lamarannya. Setelah lima bulan berkenalan dan menjalin hubungan, ia nekat melamarku dan ingin menikahiku."Apa aku tidak cantik lagi?". Aku berkata pelan takut Airin terbangun oleh kegelisahanku.Kini aku beranjak dari tempat tidur dan menuju tempat riasku. Aku duduk di kursi dimana aku jarang sekali duduk di sana. Kalau tidak sedang bersiap untuk bekerja tidak mungkin aku berlama-lama duduk di depan kaca.Aku mengamati setiap inci wajahku, seraya berkata "Apa ada yang lebih menarik pada diri Laksmi daripada aku?". Aku seolah bertanya dengan cermin yang diam membisu.Walaupun aku tak pernah berdandan menor seperti make up yang terpampang di wajah Laksmi tetapi wajahku ini kuyakini adalah cantik alami. Tak ada jerawat yang singgah maupun flek hitam.Aku tetap menjaga asetku dengan baik dengan membeli skincare dari hasil kerja kerasku bekerja, mengandalkan gaji dari mas Hendi itu tak mungkin. Uang mas Hendi sepenuhnya di bawah kendali ibunya, aku hanya alat untuk membelanjakan keperluan rumah ini saja."Apakah benar hanya karena uang, kau berpaling dariku, mas? Apakah jika aku kaya kau dan ibumu tidak akan memperlakukan aku seperti ini?". Kataku lagi sambil memandangi diri ini di depan cermin.Khayalanku menjadi seorang putri kaya raya hanyalah sebuah dongeng bagiku. Nyatanya aku hanyalah anak yang tumbuh di sebuah panti asuhan tanpa tahu siapa sebenarnya keluargaku, atau bahkan aku tak lagi mempunyai keluarga.Sementara Lisna meratapi nasibnya, di sebuah kamar hotel bintang lima di pinggir pantai nampak sepasang manusia sedang asyik memadu kasih, mereka tak lain adalah Hendi dan Laksmi.Suara laksmi bagaikan candu bagi Hendi sekarang. Godaan dari tubuh dan suara manja Laksmi membutakan hati dan mata Hendi dari kenyataan bahwa ia sebenarnya ia telah menyakiti hati wanita lain.Nafsu sesaatnya dan keinginan ibu kandungnya untuk menjadi kaya membuat Hendi dengan kejam mengesampingkan perasaan Lisna. Baginya, yang utama sekarang adalah menikmati waktu untuk bersenang-senang dengan tubuh Laksmi.------Pagi menjelang, membuat Lisna mau tak mau beranjang dari tempat tidur. Matanya masih mengantuk karena tak bisa tidur, kini ada lingkaran hitam di bawah kedua matanya."Sekarang sudah pukul lima pagi". Gumam Lisna pelan takut membangunkan Airin yang masih tertidur lelap.Pelan Lisna beranjak dari tempat tidur, ia harus bersiap menyiapkan sarapan pagi buat ibu mertuanya. Kalau terlambat sedikit lagi, ia juga akan telat untuk bekerja hari ini."Aku harus kuat, harus kuat". Lisna berkata tegas dengan mata yang mulai berembun lagi."Aku harus bangkit dan berjuang untuk hidupku dan juga Airin. Jika benar mas Hendi membawa wanita itu ke rumah ini, aku yang memilih pergi dari rumah ini".Itulah keyakinan yang dipegang oleh Lisna sekarang. Kini Ia menuju dapur dan memeriksa bahan-bahan yang ada di kulkas untuk memasak menu hari ini. Tak lupa ia memasak air panas untuk membuat teh hangat."Lisna, buatkan ibu teh hangat ya". Teriak Ibu Sari saat baru saja keluar dari kamarnya."Iya, bu". Balas Lisna seperti biasa.Lisna memang setiap hari menyediakan sebuah segelas teh hangat untuk ibu mertuanya itu tanpa diminta. Ibu Sari saja yang tak menyadari bahwa selalu saja ada teh hangat di atas meja setelah ia membasuh wajah saat bangun tidur.Namun, sapaan pagi itu selalu saja Lisna dengar sebagai tanda ibu mertuanya itu sudah bangun dari tidur nyenyaknya. Lisna tak pernah mengeluh walau bagaimana perlakuan ibunya dahulu terhadap dirinya selagi ada mas Hendi yang menghiburnya."Mas Hendi...". Lisna berkata lirih.Kini tak ada lagi kata-kata menghiburmu untukku mas. Wanita itu sudah membuatmu mengacuhkan aku, lantas aku harus bagaimana sekarang. Tak ada tempat untuk ku berpijak selain kamu mas Hendi.Lisna menghapus tetesan hangat yang mengalir dari sudut matanya. Ia harus segera memasak, Airin akan terbangun sewaktu-waktu dan membuatnya kewalahan nantinya.Satu jam berlalu, Lisna sudah selesai memasak dan menatanya dengan rapi di atas meja makan. Segelas teh hangat dan cemilan untuk ibu Sari telah ludes tak tersisa."Kamu masak apa?". Tanya ibu Sari saat Lisna menata piring-piring yang berisi lauk hasil masakannnya."Cuma telur dadar sama sayur kangkung, bu". Jawab Lisna seraya merapikan meja."Loh, kok tidak ada ikan atau ayam sih, Lis?". Protes ibu Sari tak suka sambil mengedarkan pandangannya ke satu-satu piring yang telah tertata rapi."Maaf bu, uang Lisna sudah habis untuk stok makanan hari ini. Bukannya kemarin uangnya ibu pinjam buat mudik ke kampung sebelah". Ujarku mencoba menjelaskan.Ibu Sari salah tingkah saat aku mengungkit masalah uang yang dipinjamnya kemarin. Kini aku tahu sekarang untuk apa uang itu, pasti digunakan untuk kebutuhan resepsi pernikahan mas Hendi dan Laksmi.Sungguh tega ibu mertuaku memakai uang hasil kerja kerasku untuk digunakan sebagai biaya pernikahan kedua anaknya, suamiku tanpa setahu dan seizinku lagi."Masa sudah habis uangmu, kan kamu kerja, jangan terus meminta kepada anakku." Ucapnya mengalihkan pembicaraan."Uang mas Hendi kan ibu yang pegang, tidak ada sangkut pautnya sama Lisna bu. Lagian Lisna tak pernah meminta ke mas Hendi, bu". Jawabku mencoba membela diri."Jadi kamu nuduh ibu yang menghabiskan uang Hendi, anakku itu? Sudah bagus dia mau menikahimu, seorang perempuanyang tak jelas asal usulnya". Kata ibu Sari memakiku.Aku hanya diam, ingin rasanya memberontak kepada ibu mas Hendi jika ia mengungkit kembali asal asulku yang memang tidak aku ketahui. Lalu, apa salahku jika nasib membuatku aku dibesarkan di sebuah panti asuhan."Lisna bersiap untuk kerja dulu ya, bu". Ucapku mencoba menghentikan pertengkaran di pagi ini."Iya, sana kerja. Jangan hanya menggerogoti suamimu, dia sudah berbaik hati untuk tidak menceraikanmu saat ini. Kau tahu dia sudah menjadi suami dari seorang perempuan kaya".Langkah kakiku terhenti saat mendengar perkataan ibu Sari barusan."Apa maksud ibu?". Kataku meminta penjelasan."Kau artikan sendiri, Lisna. Begitu saja tidak mengerti". Ibu Sari bersikap acuh tak acuh."Jadi apa semua salah Lisna bu? Lisna tak pernah meminta anak ibu yaitu mas Hendi untuk menikahiku? Lalu apa sekarang Lisna yang harus pergi dari rumah ini?". Aku membalas perkataan ibu dengan emosi."Stop, pak Bayu". Sampai dengan kalimat terakhir yang diucapkan oleh pak Bayu, membuat Lisna tidak kuat lagi untuk mendengar kalimat berikutnya. "Baiklah, jika kamu sudah siap, aku akan kembali melanjutkan. Itu teserah kamu, aku sebelumnya sudah mengingatkan". Ucap pak Bayu tanpa rasa bersalah. Hanya hening yang terasa di ruangan besar bercat putih bernuansa gaya klasik tersebut. Lisna masih mencerna kata-kata yang baru saja ia dengar. Satu pertanyaan didalam pikirannya, apakah ayah dan ibunya begitu menderita saat kehilangan aku, anaknya yang nyatanya masih hidup hingga detik ini. Selang beberapa menit kemudian, Lisna malah mengajukan pertanyaan kepada pak Bayu. Ia malah memilih untuk bertanya daripada meminta kembali jalan cerita tersebut untuk dilanjutkan. "Apakah kedua orang tuaku masih hidup? ".Pak Bayu menghela nafas saat mendengar pertanyaan dari Lisna. Sedangkan, di pihak Lisna ia mengerutkan dahinya, apakah maksud dari helaan nafas pak bayu? Apakah sekarang kedua orang
"Kamu awasi terus, laporkan padaku jika ada sesuatu yang mencurigakan, apapun itu". Sebuah perintah baru saja ia keluarkan untuk Hendi, laki-laki yang secara hukum dan agama masih sah menjadi suami seorang wanita yang bernama Lisna. Ia sengaja melakukan hal tersebut karena mengetahui bahwa Lisna sudah keluar angkat kaki dari rumah suaminya itu. Dan itu artinya kesepakatan ia dan Lisna sudah mulai berjalan mulai sekarang. Aksi pun harus segera ia laksanakan sesuai keinginannya."Baik, Tuan". Setelah mengatakan kesanggupannya untuk mematuhi titah atasannya, salah satu bawahan Bayu segera meninggalkan dirinya. Bawahan tersebut merupakan salah satu andalan Bayu dan dengan sigap melakukan pekerjaan yang sudah ia kuasai selama ini. Tak akan ada kecacatan, begitulah hal yang harus terjadi.Tok... Tok.... Selang beberapa menit kemudian, suara ketukan terdengar di ruang kerja Bayu. Bayu menerka siapa yang datang kepadanya di waktu seperti ini, apakah Lisna? Ternyata ia sudah tak sabar ingi
""Mas kita perlu bicara? ". Ucapku saat tahu mas Hendi tiba dirumah. Aku memang sudah menunggunya sedari tadi. Aku beruntung, mas Hendi pulang tidak terlalu malam hari ini sehingga aku tak perlu terlalu lama untuk menunggu mas Hendi dengan bosan disini. Satu lagi keberuntungan padaku, saat ini Laksmi sedang berada di kamarnya, sehingga aku tak perlu berdebat jika saja dia merasa aku akan merebut mas Hendi. "Mau bicara apa? Besok saja, mas capek". Ungkap mas Hendi tanpa sedikit pun melihat ke arahku. Aku menghela nafas pelan agar bisa tetap sabar menghadapi tingkah mas Hendi saat ini. "Biar Lisna bawakan mas". Tawarku saat melihat mas Hendi kepayahan untuk memegang tas kerjanya seraya ia ingin melepas dasinya. Entah apa yang terjadi dengan mas Hendi sekarang, ia tampak tak beraturan. Bukannya menjawab mas Hendi terdiam terpaku. Kini wajahnya ia perlihatkan di depan wajahku. Beberapa detik kemudian, keluar juga jawabannya yang malah mengoyak hati ini. "Tidak usah". Akhirnya tangank
Mulai dari sekarang, aku akan hitung mundur. Jika kamu tidak mau bantuanku, kamu hanya harus diam saja". Jelas Pak Bayu. "Jika saya setuju?". Tanyaku meminta penjelasan, aku takut akan salah mengartikan ucapan yang dibicarakan pak Bayu barusan. "Ya, kamu tinggal bilang "Iya". Oke, aku akan menghitung mundur, Satu... Dua....."."Tunggu sebentar pak Bayu... ". Ucapku cepat. "Ti... "."Iya". Kataku lagi dengan cepat. Pak Bayu memang tidak main-main, dia memaksaku untuk membuat keputusan tanpa berpikir terlebih dahulu. Tadi saja dia tak bergeming saat aku memohon untuk memintanya menunggu sebentar. "Iya, aku setuju. Kini aku ingin meminta bantuan yang pak Bayu tawarkan kemarin". Sambungku lagi. "Baiklah. Aku sudah menyangka kamu bukanlah orang bodoh yang menyia-nyiakan kesempatan berharga seperti ini". "Dengan satu syarat". Ucapku mengajukan persyaratan dalam kesepakatan kami berdua. "Syarat, apa itu?". Tanya pak Bayu dengan dahi yang mengkerut. Mungkin dia tak akan menyangka bahw
"Kamu harus segera berani melepaskannya, Lis. Yakinkan dirimu, untuk apa mempertahankan hubungan menyakitkan seperti ini"."Apa aku harus berpisah dengan mas Hendi, itu maksudmu Win? ". Tanyaku memperjelas pernyataan Wiwin. "Iya Lisna, apalagi".Aku menghela nafas memikirkan perkataan Wiwin. "Kenapa, apa yang membuatmu tidak berani. Apakah kamu masih mencintai suamimu itu?. "Aku belum berani memutuskan, Win". Ucapku pelan. "Baiklah terserah padamu. Aku hanya tak ingin jika kamu tersakiti terus prilaku mas Hendi yang seperti ini". "Terima kasih atas saranmu. Sudahlah tidak usah kita bicarakan tentang rumah tanggaku". Kataku malas. Kalau membicarakan mengenai mas Hendi aku semakin lelah. Tak ingin saja mengulang lagi ingatanku tentang pengkhianatan lelaki yang katanya akan mencintaiku seumur hidupnya. "Baiklah, nanti kita mengobrol lagi. Aku ke ruanganku dulu ya". Ucap Wiwin mengakhiri obrolan kami pagi ini. "Iya kerjalah yang rajin. Jangan makan gaji buta saja karena bergosip".
"Kenapa ini semua terjadi kepadaku? ". Ucapku dengan putus asa. Aku berdiri di depan jendela kamarku, memandang jalan yang ada di luar rumah. Kamarku memang berada di bagian depan rumah ini. Jendela pun terletak di depan menghadap matahari terbit. Jalan hidupku sungguh berliku sekali, kebahagiaan yang pernah aku rasakan saat menikah dengan mas Hendi. Namun, kebahagiaan yang diberikan olehnya justru dicabut juga oleh mas Hendi. "Apa benar yang dikatakan oleh pak Bayu jika aku merupakan anak pak Handoko dan ibu Siska?". "Lalu untuk apa pak Bayu memberitahukan itu kepadaku?"."Terus jika aku anak mereka, apa ada yang berubah dalam hidupku?"."Kalau aku memang mempunyai orang tua, kenapa mereka membuangku dan menaruhku di sebuah panti asuhan?"."Apakah mereka tidak menginginkan aku? "."Jadi siapa aku sebenarnya? ".Bertubi-tubi pertanyaan aku layangkan untuk diriku sendiri. Entah tiba-tiba aku memikirkan apa yang dikatakan oleh pak Bayu sewaktu aku berada di rumahnya. Aku menjadi sa