Share

Bab 2. Mencoba Tegar

Krok... Krok... Krik... Krik...

Suara kodok dan jangkrik menemani aku di malam ini yang tak bisa tidur. Aku membolak-balikkan tubuhku di kasur berulang kali, namun tak jua membuat mataku mau terpejam.

Pikiranku selalu berujung berkelana kepada mas Hendi, ketika aku mencoba memikirkan yang lain selalu saja berlabuh lagi ke sosok suamiku itu. Hatiku sakit membayangkan dia sedang bersenang-senang sekarang dengan istri mudanya.

Begitu tega ia mempermainkan perasaanku. Lima tahun yang lalu begitu manis ucapannya padaku, semanis kembang gula yang merah.

"Perkenalkan namaku, Hendi".

Itulah sapaan pertama mas Hendi kepadaku saat pertama kali berjumpa. Senyum manisnya menggetarkan hatiku, wajahnya yang rupawan juga meruntuhkan dinding-dinding kokoh yang sengaja kubangun untuk lelaki manapun.

"Maaf mengejutkanmu, aku hanya ingin berkenalan denganmu". Sapanya lagi saat melihatku hanya diam membisu.

"Eh, hmm. Iya, namaku Lisna". Ujarku kikuk.

Kini aku duduk berhadapan dengannya. Entah siapa laki-laki ini, aku juga baru pertama melihatnya. Ia lelaki yang tampan, senyumnya yang manis, tubuhnya atletis dan wajah yang rupawan, sungguh perpaduan sempurna bagiku.

Aku sedikit grogi sekarang, baru pertama kali aku sedekat ini dengan seorang lelaki. Kini, ia malah menatapku intens, aku jadi salah tingkah.

"Kamu mau pesan apa?". Tanyanya lagi.

Kini kami sedang berada di kantin kampus. Temanku, Lia yang bersamaku tadi sedang pergi ke toilet hingga aku sendirian dan didatangi seseorang yang memperkenalkan diri sebagai Hendi.

"Aku sudah memesan bersama temanku, Lia". Kataku menolak secara sopan dan berusaha memalingkan wajahku ke arah lain.

"Apakah kita bisa bertemu kembali?". Tanyanya lagi.

Aku mengangkat wajahku dan kini kedua netra kami bertemu. Aku tak tahu kenapa hati ini merasa ingin bertemu dengannya lagi. Aku mengangguk menandakan jawaban "iya".

"Sampai jumpa lagi". Sambungnya seraya melambaikan tangan dan pergi meninggalkan aku.

Hufft... Kini aku menghembuskan nafas pelan. Kenangan masa lalu membuatku menelan rasa pahit sekarang. Ia yang kukira manis ternyata membuat luka di hidupku.

Kini aku bertemankan guling sebagai teman tidurku dan mas Hendi sudah kupastikan berpeluk tubuh Laksmi, istri barunya. Sungguh, begitu kejam ia melupakan semua janjinya padaku.

"Hanya kaulah satu-satunya untuk hidupku sekarang, besok dan nanti".

Janji mas Hendi terngiang kembali padaku saat ia berusaha menyakini hatiku untuk menerima lamarannya. Setelah lima bulan berkenalan dan menjalin hubungan, ia nekat melamarku dan ingin menikahiku.

"Apa aku tidak cantik lagi?". Aku berkata pelan takut Airin terbangun oleh kegelisahanku.

Kini aku beranjak dari tempat tidur dan menuju tempat riasku. Aku duduk di kursi dimana aku jarang sekali duduk di sana. Kalau tidak sedang bersiap untuk bekerja tidak mungkin aku berlama-lama duduk di depan kaca.

Aku mengamati setiap inci wajahku, seraya berkata "Apa ada yang lebih menarik pada diri Laksmi daripada aku?". Aku seolah bertanya dengan cermin yang diam membisu.

Walaupun aku tak pernah berdandan menor seperti make up yang terpampang di wajah Laksmi tetapi wajahku ini kuyakini adalah cantik alami. Tak ada jerawat yang singgah maupun flek hitam.

Aku tetap menjaga asetku dengan baik dengan membeli skincare dari hasil kerja kerasku bekerja, mengandalkan gaji dari mas Hendi itu tak mungkin. Uang mas Hendi sepenuhnya di bawah kendali ibunya, aku hanya alat untuk membelanjakan keperluan rumah ini saja.

"Apakah benar hanya karena uang, kau berpaling dariku, mas? Apakah jika aku kaya kau dan ibumu tidak akan memperlakukan aku seperti ini?". Kataku lagi sambil memandangi diri ini di depan cermin.

Khayalanku menjadi seorang putri kaya raya hanyalah sebuah dongeng bagiku. Nyatanya aku hanyalah anak yang tumbuh di sebuah panti asuhan tanpa tahu siapa sebenarnya keluargaku, atau bahkan aku tak lagi mempunyai keluarga.

Sementara Lisna meratapi nasibnya, di sebuah kamar hotel bintang lima di pinggir pantai nampak sepasang manusia sedang asyik memadu kasih, mereka tak lain adalah Hendi dan Laksmi.

Suara laksmi bagaikan candu bagi Hendi sekarang. Godaan dari tubuh dan suara manja Laksmi membutakan hati dan mata Hendi dari kenyataan bahwa ia sebenarnya ia telah menyakiti hati wanita lain.

Nafsu sesaatnya dan keinginan ibu kandungnya untuk menjadi kaya membuat Hendi dengan kejam mengesampingkan perasaan Lisna. Baginya, yang utama sekarang adalah menikmati waktu untuk bersenang-senang dengan tubuh Laksmi.

------

Pagi menjelang, membuat Lisna mau tak mau beranjang dari tempat tidur. Matanya masih mengantuk karena tak bisa tidur, kini ada lingkaran hitam di bawah kedua matanya.

"Sekarang sudah pukul lima pagi". Gumam Lisna pelan takut membangunkan Airin yang masih tertidur lelap.

Pelan Lisna beranjak dari tempat tidur, ia harus bersiap menyiapkan sarapan pagi buat ibu mertuanya. Kalau terlambat sedikit lagi, ia juga akan telat untuk bekerja hari ini.

"Aku harus kuat, harus kuat". Lisna berkata tegas dengan mata yang mulai berembun lagi.

"Aku harus bangkit dan berjuang untuk hidupku dan juga Airin. Jika benar mas Hendi membawa wanita itu ke rumah ini, aku yang memilih pergi dari rumah ini".

Itulah keyakinan yang dipegang oleh Lisna sekarang. Kini Ia menuju dapur dan memeriksa bahan-bahan yang ada di kulkas untuk memasak menu hari ini. Tak lupa ia memasak air panas untuk membuat teh hangat.

"Lisna, buatkan ibu teh hangat ya". Teriak Ibu Sari saat baru saja keluar dari kamarnya.

"Iya, bu". Balas Lisna seperti biasa.

Lisna memang setiap hari menyediakan sebuah segelas teh hangat untuk ibu mertuanya itu tanpa diminta. Ibu Sari saja yang tak menyadari bahwa selalu saja ada teh hangat di atas meja setelah ia membasuh wajah saat bangun tidur.

Namun, sapaan pagi itu selalu saja Lisna dengar sebagai tanda ibu mertuanya itu sudah bangun dari tidur nyenyaknya. Lisna tak pernah mengeluh walau bagaimana perlakuan ibunya dahulu terhadap dirinya selagi ada mas Hendi yang menghiburnya.

"Mas Hendi...". Lisna berkata lirih.

Kini tak ada lagi kata-kata menghiburmu untukku mas. Wanita itu sudah membuatmu mengacuhkan aku, lantas aku harus bagaimana sekarang. Tak ada tempat untuk ku berpijak selain kamu mas Hendi.

Lisna menghapus tetesan hangat yang mengalir dari sudut matanya. Ia harus segera memasak, Airin akan terbangun sewaktu-waktu dan membuatnya kewalahan nantinya.

Satu jam berlalu, Lisna sudah selesai memasak dan menatanya dengan rapi di atas meja makan. Segelas teh hangat dan cemilan untuk ibu Sari telah ludes tak tersisa.

"Kamu masak apa?". Tanya ibu Sari saat Lisna menata piring-piring yang berisi lauk hasil masakannnya.

"Cuma telur dadar sama sayur kangkung, bu". Jawab Lisna seraya merapikan meja.

"Loh, kok tidak ada ikan atau ayam sih, Lis?". Protes ibu Sari tak suka sambil mengedarkan pandangannya ke satu-satu piring yang telah tertata rapi.

"Maaf bu, uang Lisna sudah habis untuk stok makanan hari ini. Bukannya kemarin uangnya ibu pinjam buat mudik ke kampung sebelah". Ujarku mencoba menjelaskan.

Ibu Sari salah tingkah saat aku mengungkit masalah uang yang dipinjamnya kemarin. Kini aku tahu sekarang untuk apa uang itu, pasti digunakan untuk kebutuhan resepsi pernikahan mas Hendi dan Laksmi.

Sungguh tega ibu mertuaku memakai uang hasil kerja kerasku untuk digunakan sebagai biaya pernikahan kedua anaknya, suamiku tanpa setahu dan seizinku lagi.

"Masa sudah habis uangmu, kan kamu kerja, jangan terus meminta kepada anakku." Ucapnya mengalihkan pembicaraan.

"Uang mas Hendi kan ibu yang pegang, tidak ada sangkut pautnya sama Lisna bu. Lagian Lisna tak pernah meminta ke mas Hendi, bu". Jawabku mencoba membela diri.

"Jadi kamu nuduh ibu yang menghabiskan uang Hendi, anakku itu? Sudah bagus dia mau menikahimu, seorang perempuanyang tak jelas asal usulnya". Kata ibu Sari memakiku.

Aku hanya diam, ingin rasanya memberontak kepada ibu mas Hendi jika ia mengungkit kembali asal asulku yang memang tidak aku ketahui. Lalu, apa salahku jika nasib membuatku aku dibesarkan di sebuah panti asuhan.

"Lisna bersiap untuk kerja dulu ya, bu". Ucapku mencoba menghentikan pertengkaran di pagi ini.

"Iya, sana kerja. Jangan hanya menggerogoti suamimu, dia sudah berbaik hati untuk tidak menceraikanmu saat ini. Kau tahu dia sudah menjadi suami dari seorang perempuan kaya".

Langkah kakiku terhenti saat mendengar perkataan ibu Sari barusan.

"Apa maksud ibu?". Kataku meminta penjelasan.

"Kau artikan sendiri, Lisna. Begitu saja tidak mengerti". Ibu Sari bersikap acuh tak acuh.

"Jadi apa semua salah Lisna bu? Lisna tak pernah meminta anak ibu yaitu mas Hendi untuk menikahiku? Lalu apa sekarang Lisna yang harus pergi dari rumah ini?". Aku membalas perkataan ibu dengan emosi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status