Share

BAB 2

Sesampainya di rumah sakit, di depan ruang UGD terdapat beberapa perawat yang sedang menurunkan seorang pasien dari mobil ambulance.

Alea dan sopir taksi turun dari mobil dan menarik atensi dari beberapa perawat yang ada di sana. Bagaimana tidak menarik atensi, Alea datang ke UGD dengan wajah panik, apalagi dengan sikapnya saat panik yang tidak bisa diam itu.

Beberapa perawat datang menghampiri mobil kami, bahkan ada perawat yang membawa brankar.

Saat perawat-perawat itu mengangkat si kakek ke atas brankar dan membawanya ke UGD, aku ikut juga masuk ke UGD.

Ada beberapa brankar yang sudah diisi oleh pasien-pasien. Ada pasien yang seperti habis terkena kecelakaan, ada juga pasien yang sudah tua renta seperti si kakek, ada juga pasien yang masih anak-anak.

Seorang perawat sedang memasang jarum infus dan alat pernapasan pada kakek.

Alea datang dan berdiri di sampingku, “Sudah bayar taksinya?” tanyaku.

“Sudah kak,” angguk Alea.

Setelah perawat itu selesai, seorang dokter jaga menghampiri kami, “Kakeknya kenapa?” tanya dokter muda itu.

“Kami tidak tahu. Tadi saya lihat dia sedang kesakitan saat di supermarket.”

“Jadi kalian tidak kenal dengan pasien ini?”

Aku dan Alea kompak menggeleng.

“Baiklah.”

Dokter itu menempelkan stetoskop pada dada kakek itu, “Kakek ini terkena serangan jantung. Apa kalian sudah mengecek pakaian pasien? Setidaknya ada tanda pengenal atau lebih bagus lagi kalau ada telepon genggam milik si kakek.”

“Tidak dokter. Kami panik, jadi tidak berpikir sampai sana.”

Seorang perawat datang dengan membawa baki berisi suntikan dan cairan di dalam botol kecil. Perawat itu menyuntik si kakek.

“Kalau begitu saya izin untuk memeriksa barang bawaan kakek ini yang disaksikan oleh kalian juga ya,” izin dokter itu. Aku dan Alea mengangguk, mempersilakan si perawat untuk memeriksa barang bawaan si kakek.

Tentu saja kami setuju. Aku pribadi tidak mengenal kakek ini.

Pertama, si perawat memeriksa saku jaket si kakek. Di saku bawah sebelah kanan kakek ada telepon genggam, “Syukurlah! Tidak pakai password juga,” ucap perawat itu yang sedang memeriksa telepon genggam milik si kakek.

Perawat itu lalu memeriksa saku celana si kakek. Ada dompet pada saku celana belakang. Perawat itu membuka dompetnya dan mengambil kartu identitas milik si kakek, “Namanya Amar Sugeng Nataprawira,” ucap perawat itu.

Si dokter menyerahkan telepon genggam milik kakek yang bernama Amar itu padaku, “Kamu yang hubungi keluarganya.”

Aku mengambilnya dan mencari log panggilan terakhir. Tertera nama ‘Azmi cucu-1’. Tanpa pikir lagi, aku menghubungi nomor tersebut. Pada deringan ketiga aku sungguh kaget saat mendapati bentakan dari seberang telepon.

Ada apa lagi, kek? Intinya Azmi tidak mau!”

Apa maksud orang itu? Tiba-tiba saja membentak seperti ini.

“Maaf mas. Saya Fitri. Kakek anda bernama Amar Sugeng Nataprawira, bukan?”

Pria di seberang telepon itu terdiam lalu menghela napas pelan, “Benar. Mana kakek saya?” ucap pria itu sudah tidak membentak lagi.

“Kakek anda masuk rumah sakit.”

Rumah sakit mana?” teriak pria itu. Suaranya terdengar panik.

“Di Rumah Sakit Intan Medika, masih di UGD.”

Saya ke sana sekarang!” Terdengar suara grasak-grusuk dari seberang telepon, lalu telepon putus begitu saja.

Dokter dan perawat itu menatap aku dengan tersenyum, “Kita tunggu dari pihak keluarga kakek ini saja ya.”

“Baik dokter.”

Dokter dan perawat itu pergi menuju station UGD.

Aku menoleh ke kiri. Ada Alea di sana. Dia dari tadi diam saja. Aku merangkul pundak Alea, “Kita pulang kalau keluarga kakek ini tiba, ya?”

“Iya teh.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status