Share

BAB 2

Author: Krite
last update Last Updated: 2022-11-05 00:56:24

Sesampainya di rumah sakit, di depan ruang UGD terdapat beberapa perawat yang sedang menurunkan seorang pasien dari mobil ambulance.

Alea dan sopir taksi turun dari mobil dan menarik atensi dari beberapa perawat yang ada di sana. Bagaimana tidak menarik atensi, Alea datang ke UGD dengan wajah panik, apalagi dengan sikapnya saat panik yang tidak bisa diam itu.

Beberapa perawat datang menghampiri mobil kami, bahkan ada perawat yang membawa brankar.

Saat perawat-perawat itu mengangkat si kakek ke atas brankar dan membawanya ke UGD, aku ikut juga masuk ke UGD.

Ada beberapa brankar yang sudah diisi oleh pasien-pasien. Ada pasien yang seperti habis terkena kecelakaan, ada juga pasien yang sudah tua renta seperti si kakek, ada juga pasien yang masih anak-anak.

Seorang perawat sedang memasang jarum infus dan alat pernapasan pada kakek.

Alea datang dan berdiri di sampingku, “Sudah bayar taksinya?” tanyaku.

“Sudah kak,” angguk Alea.

Setelah perawat itu selesai, seorang dokter jaga menghampiri kami, “Kakeknya kenapa?” tanya dokter muda itu.

“Kami tidak tahu. Tadi saya lihat dia sedang kesakitan saat di supermarket.”

“Jadi kalian tidak kenal dengan pasien ini?”

Aku dan Alea kompak menggeleng.

“Baiklah.”

Dokter itu menempelkan stetoskop pada dada kakek itu, “Kakek ini terkena serangan jantung. Apa kalian sudah mengecek pakaian pasien? Setidaknya ada tanda pengenal atau lebih bagus lagi kalau ada telepon genggam milik si kakek.”

“Tidak dokter. Kami panik, jadi tidak berpikir sampai sana.”

Seorang perawat datang dengan membawa baki berisi suntikan dan cairan di dalam botol kecil. Perawat itu menyuntik si kakek.

“Kalau begitu saya izin untuk memeriksa barang bawaan kakek ini yang disaksikan oleh kalian juga ya,” izin dokter itu. Aku dan Alea mengangguk, mempersilakan si perawat untuk memeriksa barang bawaan si kakek.

Tentu saja kami setuju. Aku pribadi tidak mengenal kakek ini.

Pertama, si perawat memeriksa saku jaket si kakek. Di saku bawah sebelah kanan kakek ada telepon genggam, “Syukurlah! Tidak pakai password juga,” ucap perawat itu yang sedang memeriksa telepon genggam milik si kakek.

Perawat itu lalu memeriksa saku celana si kakek. Ada dompet pada saku celana belakang. Perawat itu membuka dompetnya dan mengambil kartu identitas milik si kakek, “Namanya Amar Sugeng Nataprawira,” ucap perawat itu.

Si dokter menyerahkan telepon genggam milik kakek yang bernama Amar itu padaku, “Kamu yang hubungi keluarganya.”

Aku mengambilnya dan mencari log panggilan terakhir. Tertera nama ‘Azmi cucu-1’. Tanpa pikir lagi, aku menghubungi nomor tersebut. Pada deringan ketiga aku sungguh kaget saat mendapati bentakan dari seberang telepon.

Ada apa lagi, kek? Intinya Azmi tidak mau!”

Apa maksud orang itu? Tiba-tiba saja membentak seperti ini.

“Maaf mas. Saya Fitri. Kakek anda bernama Amar Sugeng Nataprawira, bukan?”

Pria di seberang telepon itu terdiam lalu menghela napas pelan, “Benar. Mana kakek saya?” ucap pria itu sudah tidak membentak lagi.

“Kakek anda masuk rumah sakit.”

Rumah sakit mana?” teriak pria itu. Suaranya terdengar panik.

“Di Rumah Sakit Intan Medika, masih di UGD.”

Saya ke sana sekarang!” Terdengar suara grasak-grusuk dari seberang telepon, lalu telepon putus begitu saja.

Dokter dan perawat itu menatap aku dengan tersenyum, “Kita tunggu dari pihak keluarga kakek ini saja ya.”

“Baik dokter.”

Dokter dan perawat itu pergi menuju station UGD.

Aku menoleh ke kiri. Ada Alea di sana. Dia dari tadi diam saja. Aku merangkul pundak Alea, “Kita pulang kalau keluarga kakek ini tiba, ya?”

“Iya teh.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak Menikah   BAB 27

    “Fit! Fitri!” Kaget saat mendengar suara seorang pria yang teriak-teriak dari arah ruang tamu. Aku tetap saja memakan buah-buahan yang sudah aku kupas dan tidak menghiraukan suara pria yang teriak-teriak itu. Jujur saja itu sangat mengganggu, tapi biarkan saja. Tiba-tiba saja ada seorang pria tampan yang datang dengan terengah-engah muncul di dekat pintu dapur. “Heh! Fitri!” Bug … Dia menggebrak meja. Haris … Ya, pria yang teriak-teriak itu Haris. Aku tidak heran sama sekali kalau dia akan datang menemui ku. Dia pasti akan bertanya ini-itu tentang pernikahan kemarin. Haris duduk dengan terengah di kursi makan di hadapanku. “Ada apa?” ucap ku lalu memasukkan sepotong apel ke dalam mulutku. “Aku yang harusnya bertanya seperti itu. Ada apa? Bagaimana mungkin kamu menikah dengan kakakku?” tanya Haris to the point dengan raut muka keras. Aku bangkit dari duduk ku lalu mengambilkan segelas air putih untuk Haris. “Seperti yang kakek Amar katakan. Aku menolong kakek saat sakit jantun

  • Mendadak Menikah   BAB 26

    “Non mau tanya apa?”Aku menghela napas. Aku tahu aku salah dengan mencari tahu tentang mas Azmi pada mereka bertiga itu salah, tapi mereka lebih tahu dariku tentang mas Azmi. Aku yakin mereka pasti curiga dengan hubungan aku dengan mas Azmi dan mereka juga akan tahu jika hubunganku dengan mas Azmi tidak baik-baik saja.“Mas Azmi, mbok. Semuanya,” tegasku.“Maksudnya?” Mereka bertiga terlihat bingung.“Kalian sudah lama kerja dengan mas Azmi ‘kan?”“Kami sudah bekerja selama 2 tahun. Tepat saat rumah ini pertama kali ditempati sama den Azmi.”“Jadi rumah ini baru 2 tahun?”Mbok Tarsih, Risa dan Tari mengangguk.“Kalau mbok tahu makanan kesukaan mas Azmi?”“Begini deh, non. Saya bakal cerita tentang den Azmi. Jadi saat pertama kali kami kemari, kami hanya bekerja saat pagi hari untuk membereskan rumah dan memasak sarapan. Lalu kita akan kembali bekerja lagi saat sore hari untuk menyiapkan makan malam. Bahkan dari awal kami tidak diperbolehkan ke rumah utama jika ada den Azmi.”Fitri

  • Mendadak Menikah   BAB 25

    Di taman kecil ini aku hanya duduk di kursi besi yang tersedia di tengah taman.“Aku harus merencanakan cara menaklukan mas Azmi,”Tapi bagaimana caranya?Ah, aku tahu!Aku pergi menuju sebuah bangunan kecil yang ada di sebelah rumah utama.Yup, rumah khusus seluruh pembantu rumah tangga ini tinggal. Aku akan menemui mbok Tarsih. Aku akan mewawancarai mbok Tarsih.Di depan rumah itu terdapat dua orang wanita muda yang sedang mengobrol di teras, mereka mungkin beberapa tahun di atasku. Aku tidak begitu mengerti apa yang dikatakan mereka, karena mereka menggunakan bahasa yang sepertinya berasal dari Jawa Timur, terkesan keras.Kenapa aku tahu? Karena teman sekolahku ada yang berasal dari kota Solo dan bahasa yang dia gunakan saat berbincang bersama ibunya saat itu sangat pelan dan pembawaannya anggun.Maaf aku tidak bermaksud mendiskreditkan sesuatu, semua ini hanya berdasarkan penglihatanku saja.Salah seorang dari mereka menyadari kedatanganku lantas dia langsung berdiri dan sedikit m

  • Mendadak Menikah   BAB 24

    “Aku siap!” ucapku lantang. Mas Azmi menaikkan alisnya meremehkan.Jujur saja aku malu saat mengatakannya. Tapi aku sudah memikirkan ini semua jauh-jauh hari. Selama masa ujian, saat siang hari aku belajar bersama Haris, Salman dan Caca, sedangkan saat malam hari aku berselancar di media sosial mencari tata cara menjadi istri yang baik, termasuk cara menyenangkan suami.Memang se-niat itu aku memikirkan pernikahan ini. Tapi baru juga kurang dari satu hari, yang kurasa justru jauh dari rumah tangga yang akan bahagia. Tidak sesuai dengan yang selama ini aku baca di media sosial.Aku memang tidak mau menikah di usia se-dini ini, tapi jika memang mas Azmi adalah jodohku yang sudah dipersiapkan oleh tuhan maka aku harus menerimanya. Untuk kedepannya mengenai rumah tangga ini kita tidak bisa memprediksi, tinggal jalani saja.“Baguslah kalau kamu siap. Jadi saya tidak perlu buang uang untuk sewa wanita malam. Sudah dapat yang gratis ini,” ucap mas Azmi enteng, seolah aku wanita yang tidak me

  • Mendadak Menikah   BAB 23

    Tubuhku cukup segar setelah mandi barusan.Hari ini hari sabtu dan kemarin aku baru saja selesai melaksanakan ujian, otomatis hari ini libur bagi seluruh pelajar sepertiku. Hah enaknya…Sudah jam 7 pagi, pasti mas Azmi sudah turun ke bawah untuk sarapan. Lebih baik aku bergegas ikut sarapan bersamanya.Benar saja tebakanku, mas Azmi sedang menyimpan tas kerjanya di kursi. Saat dia mengangkat mangkuk nasi goreng itu aku lantas berteriak, “Stop, mas!” Mas Azmi berjingkat kaget. Aku mempercepat langkahku menuju ke arahnya. “Biar aku yang hangatkan nasinya!”Aku mengambil mangkuk besar itu dari genggaman mas Azmi. Dia masih diam, mungkin masih shock akan teriakan yang berasal dariku tadi.Mata mas Azmi melotot tajam. Aku tidak menghiraukan pelototan mas Azmi dan berbalik menuju microwave yang ada di dapur.5 menit berlalu. Dengan meyibukkan diriku sendiri melakukan entah apa pun itu yang ada di dapur setidaknya dapat mengurangi ketegangan yang terjadi. Dari tadi mas Azmi melotot tajam da

  • Mendadak Menikah   BAB 22

    Biasanya selepas subuh aku membereskan kamar lalu membantu ibu dan anak-anak panti yang kebagian memasak di dapur. Tapi saat ini aku hanya duduk di ranjang dan tidak melakukan apa pun. Sangat aneh jika aku tidak melakukan apa pun.“Lebih baik aku ke dapur saja.”Aku beranjak menuju dapur. Berbeda dengan keadaan rumah semalam yang sepi, saat ini justru terbilang ramai. Ada beberapa orang pembantu rumah tangga yang sedang membereskan rumah. Saat aku melewati mereka, mereka tersenyum ke arahku dan aku membalas senyuman mereka.Tengkukku tiba-tiba gatal, aku merasa justru dan merasa tak pantas mendapat senyuman sopan dari orang-orang yang lebih tua dariku. Malu lebih tepatnya, semua itu karena mereka lebih tua dariku tapi mereka seolah segan padaku.Ada seorang ibu paruh baya yang sedang sibuk di counter dapur. Aku menghampirinya. “Saya bantu, bu,” kataku sambil senyum ke arah ibu tersebut. Ibu itu sangat kaget mendengar suaraku yang tiba-tiba.“Astagfirulloh! Ya ampun, non! Mbok kaget.”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status