“Silakan baca sendiri aturan barunya di lampiran Undang-Undang Pernikahan Negara Pasal 45A. Atau, kalau mau repot, datang saja langsung ke pengadilan untuk tahu syarat-syarat perceraian bagi pasangan baru.”
Petugas itu mengucapkannya sambil menghela napas panjang, lalu menutup berkas di depannya seperti baru saja menyampaikan ramalan buruk. Ia tak peduli pada dua orang yang tengah berdebat dengan volume yang bisa membangunkan nenek moyang kantor itu. “Ayo ke pengadilan sekarang!” seru Gita, berdiri dengan semangat seperti baru mendapat misi penyelamatan dunia. “Aku harus masuk kantor! Ini hari pertamaku balik kerja!” sanggah Raka, memegangi jidatnya yang mulai cenut-cenut. “Tidak!” Petugas itu menepuk meja. “Kalian berdua harus menghadiri Pertemuan Verifikasi Pasangan Baru di lantai 3. Dua menit lagi acara dimulai. Lewat dari itu, harus daftar ulang minggu depan!” “Kami nggak butuh omong kosong seperti itu!” jawab Raka dan Gita serempak. Keduanya tampak kaget karena terlalu sering sepakat dalam kemarahan. Petugas itu mengangkat tangan dan bersandar, seolah berkata: nasibmu bukan urusanku lagi. Raka dan Gita saling pandang. Lewat tatapan mata penuh dendam terhadap sistem, mereka diam-diam sepakat: langkah selanjutnya adalah ke pengadilan agama. Tapi sebelum itu, mari berpura-pura patuh. Saat menunggu taksi online, Raka membuka website resmi pemerintah. Alisnya melengkung tajam seperti tanda tanya raksasa. “Batalkan taksinya!” serunya penuh keterkejutan. “Ada apa lagi?” Gita melirik dengan lelah dan malas. “Lihat ini: ‘Pasangan yang menikah di bawah 6 bulan harus membuktikan bahwa mereka telah tinggal bersama selama minimal 6 bulan penuh dan mengikuti seluruh tahapan bimbingan pernikahan sebelum bisa mengajukan gugatan cerai.’” “Apa? Bimbingan apa?” “Verifikasi dan bimbingan pernikahan di lantai 3!” Raka menarik tangan Gita agar mengikutinya ke lift sambil melihat jam tangan. “Kita sudah terlambat!” gerutunya cemas. Diserahkannya ponsel agar Gita bisa membaca sendiri aturan yang mengejutkan itu. Gita menatap layar, lalu menatap langit. “Tuhan, kenapa Engkau izinkan database lajang kami tertukar jadi pernikahan seperti pesanan ojek online?” “Aku gak mau ke acara itu!” tolak Gita. “Kalau nggak ikut, kita gak bisa cerai. Tinggal pilih: mau bekerja sama denganku enam bulan penuh, atau tak bisa mengubah status kita jadi lajang lagi!” Raka menatapnya serius. Pria muda itu memencet tombol lift dan memperhatikan angka yang bergerak di atas kotak lift dengan tak sabar. Gita menyentakkan tangannya yang sejak tadi dipegang Raka. Matanya melotot marah serta jengkel. Dia mengumpat dalam hati sambil menekan tombol pembatalan taksi. Wajahnya masam seperti anak SD yang disuruh les matematika sepulang sekolah. Wajahnya masih cemberut saat massuk ke lift. “Jangan tunjukkan ekspresi mau ngebunuh orang, ya,” bisiknya. “Ini acara pasangan bahagia.” “Apa aku juga harus pura-pura nyium tanganmu di depan petugas?” “Itu kalau kamu mau dapat bonus bantal love dari pemerintah.” Lift terbuka di lantai 3 keduanya celingukan ke kanan kiri untuk mencari arah yang benar. Seorang OB lewat dan Raka dengan cepat bertanya, “Mas, ruang verifikasi pernikahan di mana, ya?” “Oh, pasangan baru, ya?” tanyanya memastikan sambil tersenyum kecil. Raka mengangguk kikuk. “Lewat sini, lalu di ujung lorong, pintu kedua di sebelah kaanan. Ada tulisan di dekat pintu: Verifikasi Pernikahan.” OB itu menjelaskan dengan cepat. “Terima kasih,” ucap Raka sambil melangkah. Gita masih terpaku beberapa langkah di belakang, dipandangi sang OB dengan heran. “Mbak nggak ikut?” Gita bergumam, “Lagi nanya Tuhan kenapa pasangan resmiku bukan Oppa Korea .…” Dia akhirnya menyusul. Di depan pintu bertuliskan VERIFIKASI PERNIKAHAN, Raka mengetuk. Sebuah suara menyuruh mereka masuk. “Pagi, Bu,” sapa Raka sopan, setelah menenangkan batinnya yang bergejolak.. “Pasangan Raka Dirgantara dan Tara Gita Sanjana?” tanya petugas tanpa menoleh dari layar komputer. “Ya, benar,” jawab Raka, menyikut Gita yang sedang memikirkan cara pura-pura pingsan, namun akhirnya ikut mengangguk sopan setelah Raka menyenggol dengan sikunya. “Anda terlambat sepuluh menit,” tegur petugas ketus. “Maaf, tadi nyasar,” jawab Raka lagi, karena Gita sama sekali tak ingin bekerjasama menghadapi pertemuan ini. “Silakan duduk.” “Maaf, Bu. Kegiatan ini kira-kira berapa lama ya?” tanya Raka. “Tidak lama. Ini hanya tahap verifikasi. Syarat pertama dari enam pertemuan.” Mata Raka mengerjap. “Enam?” Sementara otak Gita sudah tak dapat lagi mencerna aturan system pernikahan yang super rumit dan njelimet ini. Dia hanya terbengong membayangkan enam pertemuan yang harus mereka hadiri. Petugas mengulurkan tangan. “Kartu keluarga dan bukti tinggal bersama.” “Kami belum mengganti Kartu Keluarga,” ujar Raka gugup. “Tapi saya punya foto-foto ... hasil manipulasi AI. Eh, maksud saya ... hasil cetakan pernikahan!” Ia mengeluarkan foto-foto hasil tempelan digital dengan gaya honeymoon ke Bali, lengkap dengan pose saling suap kerupuk. “Apa ini bisa?” Petugas memeriksa dengan tatapan kasihan, lalu mengangguk pelan. “Sementara, ini cukup. Tapi pertemuan berikutnya harus dilengkapi Kartu Keluarga dan bukti tinggal bersama selama tiga bulan.” “Ini belum final?” tanya Raka dengan wajah putus asa. “Masih ada rangkaian pertemuan dan bimbingan pasangan baru yang harus kalian ikuti … semuanya!” petugas itu memberikan selebaran wana biru pada Raka. “Bisa dibaca disini, semua tahapan yang harus dilalui.” Gita merebut selebaran itu, membacanya cepat. “Ini negara atau agensi perjodohan? Kenapa mengurusi hal-hal pribadi orang?” “Negara harus memastikan bahwa pasangan baru bisa memahami arti pernikahan dan tidak mudah mengajukan perceraian hanya karena kesalahpahaman kecil.” jawab petugas tanpa perasaan, seakan tengah membaca dari template robotik. “Tapi—” Raka meremas jemari Gita, memperingatkan agar tidak melawan sistem dengan emosi. Dia tidak ingin pertemuan verifikasi ini digandakan jadi sepuluh sesi. “Baik, lalu, kapankah pertemuan berikutnya?” tanya Raka dengan wajah antusias yang dibuat-buat. Petugas menjawab sambil terus mengetik. “Saya sedang menjadwalkannya. Nanti kami kirim pemberitahuan lewat email.” “Baik. Jadi, apakah urusan di sini sudah selesai?” tanya Raka tak sabar. Setelah membubuhkan tanda tangan di tablet, petugas menutup sesi dengan kalimat pamungkas, “ Selesai. Semoga jadi pasangan abadi dan bahagia.” Kalimat itu memantul di kepala mereka seperti kutukan sepanjang jalan keluar. Di lobby, Gita terduduk lemas di bangku tunggu. Dia mendesah berat, seperti baru saja dijatuhi vonis seumur hidup “Jadi, sekarang bagaimana?” gumamnya, suara lirih, hampir tak terdengar. Dia sudah kehabisan energi untuk mendebat Raka. Gita merasa bahwa semua ini sudah berjalan terlalu jauh. Dia ingin pernikahan ajaib ini segera dibatalkan, tapi negara justru ingin memastikan agar pernikahan yang baru terjadi akan berlangsung panjang dan abadi. Apa-apaan ini! “Jadi kita harus tinggal serumah ... selama enam bulan penuh?” gumamnya dengan suara kosong, seperti baru kehilangan arah hidup. Raka menatap jam tangannya kaku. “Sekarang aku harus ke kantor sebelum bosku berubah jadi monster.” Dia juga lelah dan pusing dengan apa yang terjadi. Tapi ada hal yang lebih genting sekarang, ketimbang pernikahan ini. Pekerjaannya! Lalu hening. Tak satu pun dari mereka bergerak. Mereka hanya duduk dan terdiam di sana, dua orang asing yang tak saling pilih, dipaksa oleh sistem untuk saling mengenal lebih jauh, demi bisa berpisah secara sah. Lalu, di antara keheningan, Gita bergumam lirih: “Kamarmu ... AC-nya dingin, kan?” Raka menoleh terkejut, menatap Gita seakan ingin mendapatkan kebenaran kata-kata itu. “Kau akan tinggal bersamaku?” Gita menatap lurus ke depan. “Tidak. Aku hanya ingin memastikan, neraka tempatku nanti tidak terlalu panas.”Pagi sekali setelah sarapan, semua pasangan diarahkan ke tempat pertemuan di tengah taman indah yang dikelilingi pepohonan. Suasana sangat mendukung bagi pasangan-pasangan baru untuk menemukan chemistry di antara mereka. Gita dan Raka duduk di baris kedua dan memperhatikan panitia yang masih sibuk menyiapkaan perlengkapan di depan sana. “Lo yakin ini tempat retreat pasangan? Bukan ... sekte?” bisik Gita.“Lo pikir gue ngerti? Mereka ngasih kita jadwal padat banget. ‘Sesi keintiman pagi’? ‘Menanam harapan bersama’? Kayak ikut pelatihan MLM,” sahut Raka sambil menunjukkan brosur yang dibagikan panitia.Di sisi lain, pasangan-pasangan muda lainnya duduk rapi. Seperti juga Gita dan Raka, mereka mengenakan seragam kaus putih bertuliskan: Cinta Butuh Bukti. Beberapa terlihat semangat, yang lain tampak mengantuk dan lesu karena olah raga malam.Gita berbisik, “Mereka ... kayak ... benar-benar ikhlas ikut ini.”“Dan kita? Total bohong,” gumam Raka.Seorang wanita muda berpakaian kasual sewar
“Raka, Retreat kebangsaan dijadwal minggu depan.”“Trus kenapa?” tanya Raka yang heran dengan ekspresi bingung Gita.“Aku pikir ... itu masih dua minggu lagi. Bukan ... barengan dengan rencana ke Bali!”Raka terkejut. Suasana pagi yang awalnya tenang dan santai berubah jadi arena debat kecil.“Git, kita gak bisa batalkan retreat itu. Itu salah satu persyaratan wajib. Kalau gak ikut, nanti proses pencatatan pernikahan kita bisa macet.”Gita mendesis frustrasi. “Dan kalau gak ke Bali, Mama Papamu bisa ngambek tujuh turunan! Mereka udah pesan hotel di Seminyak, tiket pesawat juga! Masa cuma dianggurin begitu aja?”“Pilihannya cuma dua,” Raka mendudukkan diri di sebelahnya. “Batalin Bali atau batalin ... legalitas pernikahan.”Gita mengerang. “Bisa gak sih negara ini bikin aturan yang lebih manusiawi? Orang baru nikah disuruh ikut Retreat Wawasan Kebangsaan! Itu acara pasangan apa pelatihan bela negara sih?”Keduanya terdiam bingung. Mereka memang tak punya pilihan lain. Bali, surga yang
“Jadi, kau yang melakukan hal kotor seperti ini?” Maya menatap Rangga tajam, menahan kemarahan yang siap meledak.Rangga menjatuhkan rokoknya ke paving block dan menginjaknya sekalian dengan ujung sepatu. “Kurasa ini cara yang paling cepat mendapatkan perhatianmu!”“Apa kau gila? Urusan kita berdua, tak ada hubungannya dengan Raka!” Suara Maya memekik karena emosi. Dia sudah tak tahan dengan sikap Rangga yang sama sekali tak peduli jika harus menyakiti orang lain, asal tujuannya tercapai.“Aku tak suka diabaikan!” Rangga menatap Maya tajam.“Baik!” Maya berusaha meredakan emosi dengan menghela napas panjang. Beberapa orang di sana memperhatikan mereka berdua. Dia tak ingin muncul lagi berita skandal tentang dirinya, yang mungkin berimbas pada Tessa Nadira.“Kita sudah bertemu. Jadi, apa maumu sekarang?” Suaranya yang kembali tegas karena pengendalian diri, membuat Rangga menyipitkan mata tak suka. Tangannya mencengkeran siku Maya dan berbisik mengancam, “Kalau kau mau berita viral it
Maya menatap kosong ke cermin besar di ruang ganti. Bayangan dirinya dalam balutan blazer mahal dan wajah sempurna hasil sapuan kuas make-up tak bisa menutupi kehampaan yang menyelinap di balik matanya. Cermin itu memantulkan sosok yang tampak tenang, padahal dalam dirinya, sesuatu tengah berantakan.Pikiran Maya belum bisa lepas dari kejadian di mall semalam. Dari cara Gita meledak di depan mantan kekasihnya, hingga bagaimana Raka dengan sabar menenangkan gadis itu seperti suami yang benar-benar peduli. Bukan sandiwara. Bukan pura-pura. Bukan seperti masa lalu mereka.Tiba-tiba ponselnya bergetar di meja rias. Nama “Rangga” muncul di layar. Napas Maya tertahan sejenak, tapi ia tetap mengangkatnya.“Aku sibuk,” katanya dingin.Suara dari seberang terdengar berat, penuh dominasi. “Kamu ke mana semalam? Kenapa nggak balas pesan?”“Karena aku memang nggak mau membalas,” sahut Maya tegas.“Jangan main-main, Maya. Aku bisa datang sekarang juga ke kantormu.”“Kau pikir itu akan menakutiku?”
“Aku beneran harus ikut?” tanya Gita dengan tatapan sayu dari balik bantal. Rambut acak-acakan dan piyama lusuh, membuatnya tampak seperti anak kost yang malas bangun di akhir pekan.“Ya,” jawab Raka mantap, sambil menggoyangkan remote tv di tangan sebagai ancaman. “Apartemen kita kekeringan logistik. Kulkas cuma isi es batu yang menggumpal dan saus sambal yang expired dua minggu lalu.”Gita mengerang. “Tapi hari ini tuh, hari rebahan nasional!”“Peringkat kedua setelah ‘Hari Pencucian Baju Global’. Tapi sayangnya, hari ini kita masuk agenda: belanja bulanan dan ngisi lemari es. Jadi tolong, bangun dan ganti baju. Jangan sampai ada yang ngira gue nyulik anak sekolahan.” Raka mematikan televisi untuk menunjukkan keseriusannya.Gita mendengus, tapi tetap bangun. Dua puluh menit kemudian, dia muncul dengan hoodie biru dan celana jeans, lengkap dengan tote bag besar yang tampak seperti siap menyelundupkan 20 liter minyak goreng ilegal.“Siap.” Gita menyeringai.Sesampainya di supermarket
“Kamu yakin semua dokumen sudah lengkap?” tanya Gita sambil melipat selembar kertas foto keluarga yang sudah dicetak tadi malam. Tiga lembar foto: satu Gita bersama ayah dan ibunya, satu Gita bersama Raka dan kedua orang tuanya, dan satu lagi yang sedikit diedit agar terlihat formal dan bahagia.Raka merapikan kemejanya di depan cermin. “Sudah. Aku cek dua kali semalam. Yang belum lengkap cuma kesabaran kita.”Mereka berdua tertawa pelan, seolah ingin menyemangati diri. Meski begitu, Gita belum bisa menyingkirkan perasaan tidak enak yang mengganjal sejak pagi. Kantor Pencatatan Pernikahan bukan tempat menyenangkan, apalagi jika kamu harus bolak-balik melengkapi berkas pasangan baru agar mereka bisa mendaftarkan perceraian secepat mungkin. Sesuatu yang terasa tragis, jika dipikirkan oleh kacamata awam.Di kantor itu, mereka kembali duduk di ruang tunggu dengan wajah pasrah. Petugas yang sempat mereka temui sbelumnya, menyapa, “Selamat pagi. Kalian pasangan yang … kemarin, ya?”“Ya,” s