Pagi sekali, Raka sudah menjemput Gita di apartemennya. Mereka harus ke kantor Catatan Sipil untuk membatalkan pernikahan itu. Berharap segalanya masih bisa diperbaiki.
Raka buka suara. “Kurasa lebih baik gak usah dibatalkan lagi. Bukankah tidak lucu jika status pernikahanku tiba-tiba harus diubah lagi? Apa yang akan dikatakan Bu Meilin?” “Apakah sekarang itu urusanku? Bukankah aku juga punya hak untuk mencapai impianku ke Seoul!” Gita berkata dengan nada ketus. “Aku harus segera mengkonfirmasi status lajangku jika ingin mendapatkan posisi yang kuincar di Seoul!” Raka menyadari emosi Gita yang sedang naik pagi ini, jadi dia berhenti mendesakkan keinginannya sendiri. Apa pun yang akan terjadi, maka biarkan saja. Mengingat totalitas Gita kemarin saat mendampinginya melewati wawancara dengan HRD Kantor Pusat, rasanya sekarang adalah gilirannya mendukung Gita. “Baiklah … mari kita coba.” Raka menganggguk lalu membuang muka ke luar jendela mobil, mengamati jalanan macet, menyembunyikan kegundahannya sendiri. “Lalu, bagaimana dengan pertemuan pasangan baru itu?” Tanya Raka iseng. Gita mengehempaskan napas jengkel. Kepalanya dengan cepat berbalik menatap Raka dengan ekspesi kesal yang nyata. “Apa aku harus mempedulikannya juga?!” Setelah rasa terkejutnya hilang, Raka menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. “Kau benar. Untuk apa kita mendatangi kegiatan omong kosong itu,” angguknya setuju. Mimiknya sangat serius, mencoba meyakinkan Gita bahwa dia mendapat dukungan penuh. “Setelah urusan di Kantor catatan Sipil selesai, aku akan langsung ke kantor. Liburku sudah habis.” Raka menambahkan pernyataan, seakan apa yang tadi diperbincangkan sama sekali tak mengganggunya. “Aku akan segera ke kedubes Korea Selatan dan mengajukan permohonan visa baru!” timpal Gita cepat, sebelum Raka berubah pikiran. Pria itu mengangguk dan mobil mereka menepi. Itu adalah kantor catatan Sipil yang membuat runyam hidup mereka berdua dalam 48 jam terakhir. Keduanya turun dengan gemas dan langkah tegas. Mencari loket pengaduan dan mengisi lembar pengaduan dengan tak sabar. Tak sampai satu jam, seorang pria datang memanggil mereka masuk ke sebuah ruangan untuk membahas surat pengaduan mereka yang terasa ganjil, hingga diproses secepatnya. “Hallo, saya petugas di bagian pengaduan. Silakan Bapak dan Ibu duduk.” Pria itu menyambut ramah dan menunjuk dua kursi untuk Gita dan Raka duduk di depan meja kerjanya. “Jadi, bagaimana ini bisa terjadi?” Pria itu bertanya seperti sedang berguman, sambil memeriksa ulang suat pengaduan mereka berdua. “Seharusnya kami yang tanya, Pak. Bagaimana bisa terjadi hal seperti ini? Kami tidak saling kenal sebelumnya, tapi tiba-tiba jadi pasangan suami istri!” Gita bicara dengan berapi-api. Emosinya yang tertahan sejak pagi, kini menemukan jalan pelampiasan. Refleks, Raka menyentuh lengannya untuk menenangkan emosi gadis itu. Petugas itu juga melihat, bagaimana Gita akhirnya bisa tenang setelah mendapatkan sentuhan Raka. “Ekhemm ….” Petugas itu berdehem dan kembali memeriksa berkass pengaduan. Dia menyebut nama keduanya dan dijawab dengan tegas. Lalu memeriksa alamat sesuaai dengan kartu identitas masing-masing. Kepalanya menggeleng bingung. Dia ingin menyimpulkan kedekatan dan ikatan dua orang itu berdasarkan sentuhan Raka tadi. Tapi tidak cocok dengan alamat yang tertera di masing-masing berkas terlampir. Jarinya memeriksa komputer dengan cepat. Kemudian wajah muramnya menjelaskan banyak hal. “Pencatatan pernikahan Anda berdua sudah tersimpan di sistem data nasional.” Petugas itu kemudian membaca beberapa hal administratif terkait pernikahan baru, telah dilakukan sesuai prosedur. “Surat undangan untuk validasi status pernikahan juga sudah dikirimkan ke alamat pasangan dan ke email Anda masing-masing. Jadwal pertemuannya hari ini, di lantai 3.” “Pak, kami ke sini bukan untuk datang sebagaai pasangan baru yang berbahagia!” protes Gita. Kembali raka menyentuh lengan Gita untuk menenangkannya, berharap wanita yang kini sudah berdiri dari duduknya itu kembali tenang. Dia bicara cepat, sebelum emosi Gita naik lagi. “Kami ke sini untuk mintaa pencatatan itu dihapuskan, Pak!” “Ya! Pernikahan ajaib ini harus dihapuskan. Menghancurkan mimpi dan kerja kerasku! Bikin aku mungkin akan diuber ibuku pakai sapu lidi, jika tau aku nikah tanpa restu dan lamaran yang pantas. Aku putri orang tuaku satu-satunya!” tambah Gita lagi, masih berapi-api. Raka yang selalu taak mengira Gita punya energi sebesar itu, akhirnya menyerah untuk kembali menyentuh lengan Gita agar dia tenang. Dia ikut nyeletuk, “Bapak lihat perbedaan sifat kami?” Gita yang tak menyangka Raka bicara begitu, makin tersinggung. “Jadi maksudmu, sikapku buruk?” Matanya melotot memandang pria yang dibantunya seharuan kemarin. “Aku enggak ada bilang gitu.” Raka membela diri. “Aku Cuma bil---” “Hah! Sama aja!” potong Gita. Dia lalu duduk dengan tubuh sedikit memunggungi Raka, menandakan kalau dia tak ingin berurusan dengan pria itu. “Tenang, Bu … Gita.” Petugas itu megambil alih situasi yang kini memanas. Jadi begini. Karena berkas Anda berdua sudah tercatat dan tersimpan di sistem data nasional, tidak semudah itu untuk menghapus status perkawinan yang tercatat.” Pria itu memutar layar komputernya agar bisa dilihat oleh dua orang tamu di depannya. “Anda berdua yang menandatangani sendiri berkas ini. Bersama-sama, beberapa hari yang lalu.” Raka dan Gita melihat tanda tangan mereka di berkas yang ditunjukkan. Saling memandang dengan bingung. “Kami enggak tau bagaimana bisa seperti itu. Saya datang untuk melengkapi dokumen pengajuan visa kerja!” Gadis itu hampir menangis putus asa. “Bagaimana dengan karierku!” Matanya berkaca-kaca menahan tangis. “Tapi memang sudah tak bisa dibatalkan lagi, Bu.” Petugas menggeleng, sama buntunya dengan dua orang di depannya. “Lalu, bagaimana caranya agar kami bisa kembali ke status lajang kami yang tenang dan menyenangkan?” ujar Raka sarkastik. “Betul. Aku ingin kembali ke kehidupanku yang bebas, penuh warna, dan hangat!” timpal Gita tak mau kalah. Petugas di depan meja itu diam sejenak setelah menghela napas panjang. Dahinya berkerut memikirkan sesuatu. “Sepertinya, harus lewat pengadilan. Anda berdua bisa memilih mengajukan pembatalan pernikahan lewat pengadilan negeri, yang tentu akan makan waktu, tenaga dan uang untuk menyewa pengacara. Atau ….” “Atau apa?” Kali ini Raka tak dapat menahan antusiasmenya sendiri, membuat petugas itu mundur sedikit dari posisinya. Wajahnya menunjukkan harapan yang amat sangat agar bisa lepas dari pernikahan yang dipaksakan sistem seperti ini. “Biarkan Bapak itu menyelesaikan kalimatnya!” tegur Gita yang menunggu dengan wajah berbinar penuh harapan, tak sabar menanti kalimat berikutnya diucapkan. “Oh ya, silakan dilanjut, Pak. Maaf, saya sangat bersemangat.” Wajah Raka memerah menahan jengah atas sikapnya yang spontan itu. Dia kembali duduk dengan tenang di kursinya. “Ekhemm … maksud saya, Anda bisa juga mengajukan gugatan perceraian lewat pengadilan agama. Ini jauh lebih mudah dan tidak berlarut-larut.” “Kalau lewat pengadilan agama, artinya nanti saya jadi janda, dong?” Gita cemberut. Dia membuang muka ke arah pintu yang tertutup rapat. Raka terdiam di kursinya, mencerna cara kedua. “Apakah kami bisa mengajukan perceraian sekarang?” Gita terkejut dengan ide Raka. Dia menoleh cepat dan mengangguk pada petugas itu, berharap jawaban yang membawa cahaya masa depan. Petugas itu menggeleng halus, lalu mengetik di komputernya dan memabacakan aturan yang tertera. “Pasangan yang ingin mengajukan perceraian setidaknya telah tinggal bersama selama minimal 6 bulan. Dan harus membawa bukti-bukti telah hidup serumah selama jangka waktu tersebut. Juga membawa berkas-berkas lain yang dibutuhkan untuk menguatkan sebuah perceraian.” “Tinggal bersama?!” Keduanya berseru serempak, dengan ekspresi terkejut.Pagi sekali setelah sarapan, semua pasangan diarahkan ke tempat pertemuan di tengah taman indah yang dikelilingi pepohonan. Suasana sangat mendukung bagi pasangan-pasangan baru untuk menemukan chemistry di antara mereka. Gita dan Raka duduk di baris kedua dan memperhatikan panitia yang masih sibuk menyiapkaan perlengkapan di depan sana. “Lo yakin ini tempat retreat pasangan? Bukan ... sekte?” bisik Gita.“Lo pikir gue ngerti? Mereka ngasih kita jadwal padat banget. ‘Sesi keintiman pagi’? ‘Menanam harapan bersama’? Kayak ikut pelatihan MLM,” sahut Raka sambil menunjukkan brosur yang dibagikan panitia.Di sisi lain, pasangan-pasangan muda lainnya duduk rapi. Seperti juga Gita dan Raka, mereka mengenakan seragam kaus putih bertuliskan: Cinta Butuh Bukti. Beberapa terlihat semangat, yang lain tampak mengantuk dan lesu karena olah raga malam.Gita berbisik, “Mereka ... kayak ... benar-benar ikhlas ikut ini.”“Dan kita? Total bohong,” gumam Raka.Seorang wanita muda berpakaian kasual sewar
“Raka, Retreat kebangsaan dijadwal minggu depan.”“Trus kenapa?” tanya Raka yang heran dengan ekspresi bingung Gita.“Aku pikir ... itu masih dua minggu lagi. Bukan ... barengan dengan rencana ke Bali!”Raka terkejut. Suasana pagi yang awalnya tenang dan santai berubah jadi arena debat kecil.“Git, kita gak bisa batalkan retreat itu. Itu salah satu persyaratan wajib. Kalau gak ikut, nanti proses pencatatan pernikahan kita bisa macet.”Gita mendesis frustrasi. “Dan kalau gak ke Bali, Mama Papamu bisa ngambek tujuh turunan! Mereka udah pesan hotel di Seminyak, tiket pesawat juga! Masa cuma dianggurin begitu aja?”“Pilihannya cuma dua,” Raka mendudukkan diri di sebelahnya. “Batalin Bali atau batalin ... legalitas pernikahan.”Gita mengerang. “Bisa gak sih negara ini bikin aturan yang lebih manusiawi? Orang baru nikah disuruh ikut Retreat Wawasan Kebangsaan! Itu acara pasangan apa pelatihan bela negara sih?”Keduanya terdiam bingung. Mereka memang tak punya pilihan lain. Bali, surga yang
“Jadi, kau yang melakukan hal kotor seperti ini?” Maya menatap Rangga tajam, menahan kemarahan yang siap meledak.Rangga menjatuhkan rokoknya ke paving block dan menginjaknya sekalian dengan ujung sepatu. “Kurasa ini cara yang paling cepat mendapatkan perhatianmu!”“Apa kau gila? Urusan kita berdua, tak ada hubungannya dengan Raka!” Suara Maya memekik karena emosi. Dia sudah tak tahan dengan sikap Rangga yang sama sekali tak peduli jika harus menyakiti orang lain, asal tujuannya tercapai.“Aku tak suka diabaikan!” Rangga menatap Maya tajam.“Baik!” Maya berusaha meredakan emosi dengan menghela napas panjang. Beberapa orang di sana memperhatikan mereka berdua. Dia tak ingin muncul lagi berita skandal tentang dirinya, yang mungkin berimbas pada Tessa Nadira.“Kita sudah bertemu. Jadi, apa maumu sekarang?” Suaranya yang kembali tegas karena pengendalian diri, membuat Rangga menyipitkan mata tak suka. Tangannya mencengkeran siku Maya dan berbisik mengancam, “Kalau kau mau berita viral it
Maya menatap kosong ke cermin besar di ruang ganti. Bayangan dirinya dalam balutan blazer mahal dan wajah sempurna hasil sapuan kuas make-up tak bisa menutupi kehampaan yang menyelinap di balik matanya. Cermin itu memantulkan sosok yang tampak tenang, padahal dalam dirinya, sesuatu tengah berantakan.Pikiran Maya belum bisa lepas dari kejadian di mall semalam. Dari cara Gita meledak di depan mantan kekasihnya, hingga bagaimana Raka dengan sabar menenangkan gadis itu seperti suami yang benar-benar peduli. Bukan sandiwara. Bukan pura-pura. Bukan seperti masa lalu mereka.Tiba-tiba ponselnya bergetar di meja rias. Nama “Rangga” muncul di layar. Napas Maya tertahan sejenak, tapi ia tetap mengangkatnya.“Aku sibuk,” katanya dingin.Suara dari seberang terdengar berat, penuh dominasi. “Kamu ke mana semalam? Kenapa nggak balas pesan?”“Karena aku memang nggak mau membalas,” sahut Maya tegas.“Jangan main-main, Maya. Aku bisa datang sekarang juga ke kantormu.”“Kau pikir itu akan menakutiku?”
“Aku beneran harus ikut?” tanya Gita dengan tatapan sayu dari balik bantal. Rambut acak-acakan dan piyama lusuh, membuatnya tampak seperti anak kost yang malas bangun di akhir pekan.“Ya,” jawab Raka mantap, sambil menggoyangkan remote tv di tangan sebagai ancaman. “Apartemen kita kekeringan logistik. Kulkas cuma isi es batu yang menggumpal dan saus sambal yang expired dua minggu lalu.”Gita mengerang. “Tapi hari ini tuh, hari rebahan nasional!”“Peringkat kedua setelah ‘Hari Pencucian Baju Global’. Tapi sayangnya, hari ini kita masuk agenda: belanja bulanan dan ngisi lemari es. Jadi tolong, bangun dan ganti baju. Jangan sampai ada yang ngira gue nyulik anak sekolahan.” Raka mematikan televisi untuk menunjukkan keseriusannya.Gita mendengus, tapi tetap bangun. Dua puluh menit kemudian, dia muncul dengan hoodie biru dan celana jeans, lengkap dengan tote bag besar yang tampak seperti siap menyelundupkan 20 liter minyak goreng ilegal.“Siap.” Gita menyeringai.Sesampainya di supermarket
“Kamu yakin semua dokumen sudah lengkap?” tanya Gita sambil melipat selembar kertas foto keluarga yang sudah dicetak tadi malam. Tiga lembar foto: satu Gita bersama ayah dan ibunya, satu Gita bersama Raka dan kedua orang tuanya, dan satu lagi yang sedikit diedit agar terlihat formal dan bahagia.Raka merapikan kemejanya di depan cermin. “Sudah. Aku cek dua kali semalam. Yang belum lengkap cuma kesabaran kita.”Mereka berdua tertawa pelan, seolah ingin menyemangati diri. Meski begitu, Gita belum bisa menyingkirkan perasaan tidak enak yang mengganjal sejak pagi. Kantor Pencatatan Pernikahan bukan tempat menyenangkan, apalagi jika kamu harus bolak-balik melengkapi berkas pasangan baru agar mereka bisa mendaftarkan perceraian secepat mungkin. Sesuatu yang terasa tragis, jika dipikirkan oleh kacamata awam.Di kantor itu, mereka kembali duduk di ruang tunggu dengan wajah pasrah. Petugas yang sempat mereka temui sbelumnya, menyapa, “Selamat pagi. Kalian pasangan yang … kemarin, ya?”“Ya,” s