“Sebuah pesan masuk ke ponsel Gita petang itu saat dia asik mengelus daun monstera dengan selembar tissue basah.
“Kita harus bicarakan urusan tinggal Bersama ini secara serius!” Begitu pesan pesan Raka, disertai tanda seru besar dan tebal. “Enak aja. Ogah!” Sebuah balasan terkirim, disusul emotikon bibir manyun yang menurut Gita sangat menggemaskan. “Kalau gitu, selamanya kau jadi istriku … dan tidak bisa menikahi orang yang kaucintai nanti!” Sebuah pesan susulan masuk juga dengan cepat. “Pikirkan baik-baik!” “Kau kira aku seharian ini ndlosor di lantai, uring-uringan gini karena hobby? Kepalaku mau pecah mikirin keruwetan ini!” Gita berteriak kasar sambil melempar lembaran tissue yang kini sudah penuh noda debu. Gadis itu jatuh lunglai karena Lelah berpikir sehariaan. Kanvas yang tadi dia pasang di tiang, tak tersentuh sama sekali. Tube-tube cat menunggu sentuhan halus jemari Gita. Diraihnya ponsel dan menulis pesan dengan ketukan jari yang lincah. “Bagiku, semua ini tak sederhana. Ada impactnya untuk keluargaku. Jujur saja, makin kupikirkan caranyaa, makin sakit kepala!” Lama dipandanginya ponsel, menunggu balasan pesan dari Raka. Hingga dia kesal dan pergi ke balkon untuk menikmati sisa senja di langit yang mulai menggelap. “Kau sudah makan malam?” Pesan Raka masuk satu jam kemudian. “Apa kau mau mentraktirku?” balas Gita cepat. Dia sedang malas melakukan apa pun. “Turunlah! Kutunggu di lobby!” “Hah?!” Gita duduk di tepi tempat tidurnya. Matanya menatap ponsel tak percaya. “Kau sudah di bawah?” tanyanya tak percaya. “5 Menit tak kelihatan, aku pergi!” Sebuah pesan balasan yang dingin. “Aku turun!” Balas Gita cepat. Secepat dia meraih tas selempang rajut kecil dan memenuhinya dengan dompet serta ponsel. Kemudian lari menuju lift lobby. Lift berdenting pelan. Gita nyaris menabrak seorang ibu hamil yang sedang ingin keluar lift. “Maaf, Bu!” katanya sambil menahan pintu agar si ibu bisa keluar dengan aman sebelum dia masuk untuk turun ke lobby. Begitu pintu tertutup lagi, Gita menarik napas dalam. “Astaga, kenapa seperti ini hidup gue sekarang ya? Disuruh turun dadakan sama cowok yang bahkan nggak gue pilih buat jadi suami?!” gerutunya, sambil memperbaiki posisi tas di bahu. Sesampainya di lobby, mata Gita langsung mencari sosok jangkung itu. Raka berdiri seperti papan pengumuman: tinggi, tegap, dengan raut wajah yang sok serius seperti mahasiswa mau sidang skripsi. “Cepet juga turunnya,” ujar Raka, suaranya datar. “Apa lu pikir gue gak kepingin ngebatalin pernikahan konyol ini?” balas Gita nyolot. “Ini menyangkut harkat dan martabat gue sebagai wanita!” Raka tersenyum miring. “Makanya, kita bicarain ini baik-baik. Gue udah pesen tempat di atas.” “Atas?” Gita menunjuk ke langit-langit dengan ekspresi jengkel karena merasa dikerjai. “Kalau memang di atas, kenapa nyuruh gue turun segala? Kan gue bisa nyusul ke atas tanpa harus turun ke lobby!” Raka hanya tersenyum sumbang sambil melangkah ke lift dan masuk lebih dulu tanpa mengindahkan Gita sama sekali. Tempat yang dimaksud ternyata rooftop café di lantai 20, dengan pemandangan lampu kota yang cantik dan harga kopi yang nggak manusiawi. Tapi Gita memutuskan untuk tidak protes. Setidaknya dia nggak masak malam ini. “Nih,” ujar Raka sambil mengeluarkan selembar kertas dari map hitamnya. “Draft perjanjian tinggal bersama. Supaya nggak salah paham dan semua sesuai syarat negara.” Gita mendecak sambal menganggukkan kepala seirama musik. “Buset, beneran? Kayak drama Korea banget gak sih.” “Gue bukan mau ngajak lu jatuh cinta, Git. Ini cuma soal kelangsungan hidup. Kalau nggak tinggal bareng, kita nggak bisa ngajuin pembatalan nikah. Kalau nggak bisa ngebatalin, lu nggak bisa nikah sama siapa pun. Gue juga sama.” Gita mengambil kertas itu dan mulai membaca keras-keras. “Pasal satu. Para pihak sepakat untuk tinggal bersama selama jangka waktu minimal enam bulan terhitung sejak tanggal penandatanganan perjanjian ini .…” “Pasal dua. Para pihak tidak berkewajiban untuk melakukan hubungan suami istri .…” “Pasal tiga. Segala bentuk urusan pribadi tetap menjadi tanggung jawab masing-masing ….” “Wah, pasal dua nih yang gue suka,” ujar Gita sambil mengacungkan jempol. Raka nyengir. “Santai, gue juga ogah nyentuh lu. Kita ini dua orang asing yang dicomblangi sistem negara gara-gara berkas tertukar.” “Lu yakin nggak salah universe?” “Gue juga curiga. Tapi ya udah kejadian.” Gita menghela napas panjang. “Jadi … kita tinggal di mana? Di tempatmu, atau tempatku?” Raka menatap Gita serius. “Apartemen lu berapa luas?” “Itu apartemen sewa type studio. Tadinya gue mau tinggal di apartemen temen, tapi dia justru sedang di luar kota. Jadi, mendadak nyari apartemen studio untuk sebulan ini, nunggu urusan visa selesai.” Gita cemberut membayangkan kerumitan jalan hidupnya kini. Raka mengangguk cepat. “Apartemen gue kamarnya dua. Jadi lu bisa pindah ke sana. Kita nggak akan tidur sekasur, tenang aja. Gue punya kamar sendiri. Dan lu juga.” “Wah, pinter juga milih kata-katanya. Gue jadi kayak tamu di kosan orang.” Gita tertawa getir. “Gue sih mikirnya kayak lu main reality show: nikah dadakan bareng orang asing, tinggal bareng, dan saling bertahan sampai episode final.” Gita tertawa lemas. “Gue bukan artis FTV, Raka.” “Tapi hidup kita lebih drama dari FTV,” sahut Raka cepat. “Jadi gimana? Lu mau tanda tangan sekarang?” “Gue mau tambahin pasal-pasal penting!” ujar Gita cepat. “Apa?” Raka menatapnya penuh kecurigaan. “Gue nggak nyuci celana dalem kamu.” Raka angkat alis. “Oke... noted.” “Dan jangan pernah ngelirik, waktu gue cuci muka. Itu momen sakral.” “Got it.” “Dan jangan asal-nyetel playlist kamu. Gue trauma denger orang yang nyetel lagu sambil mandi. Itu selalu menandakan psikopat.” Raka menyeringai. “Berarti aku harus uninstall playlist dangdut remix?” “Bakar sekalian.” Mereka akhirnya tertawa kecil, walau senyum mereka masih menyimpan 1% kecurigaan dan 99% kejanggalan. Raka memperhatikan Gita yang menuliskan syarat-syaratnya sendiri. Pria mud aitu tersenyum begitu saja tanpa sadar. Gita memutar mata. “Lu bawa pulpen warna biru?” “Selalu.” Raka menyodorkan pulpen metalik dengan inisial 'R.D.' terukir di badan pulpen. Serius amat, pikir Gita. Dia ragu sejenak, lalu menandatangani perjanjian itu. Raka juga melakukan hal yang sama. “Kita resmi tinggal bareng. Secara administratif.” “Dan secara psikologis, kita tetap dua orang yang saling ilfeel,” sahut Gita cepat. *** Dua jam berikutnya, Gita kembali berdiri di depan unit apartemen milik Raka. Gita memandangi interior yang bersih dan rapi setelah ditinggalkannya dua hari lalu. Terlalu rapi untuk ukuran cowok lajang. Di atas rak sepatu, sekarang ada tanaman lidah mertua yang tampak segar. “Apa lu selalu begini?” tanya Gita sambil menyeret kopornya masuk. Raka ikut menarik tas lain yang lumayan berat. “Kenapa? Nggak cukup berantakan buat cowok?” “Justru itu. Terlalu beres. Jangan-jangan elu psycho.” “Gue OCD,” sahut Raka datar. “Oh. Oke.” “Lu bisa pake kamar sebelah kanan. Ada lemari, meja kerja, AC. Tapi jangan ubah posisi furnitur. Gue udah ukur semua pake penggaris.” Gita menatap Raka tajam. “Gue punya hak hidup layak sebagai manusia loh.” “Dan gue punya hak untuk tidak kehilangan akal sehat karena lemari tiba-tiba pindah 10 cm dari posisi semula.” “Huh!” Gita menggerutu dan mulai menyesal kenapa dia yang pindah ke sini. *** Malam itu, Gita akhirnya mendarat di kasur empuk di kamar barunya. Dia memandangi plafon dan berpikir, hidupnya benar-benar jungkir balik dalam beberapa hari saja. Dari calon seniman bebas, jadi istri sah seseorang yang bahkan belum pernah ngajak dia nonton bioskop. Saat hendak memejamkan mata, notifikasi ponsel berbunyi. Sebuah pesan dari Raka. “Besok kita harus foto bareng. Buat syarat verifikasi tinggal bersama. Bikin kelihatan mesra ya.” Gita membalas cepat: “Oke. Tapi abis itu gue bebas lempar remote kalau lu ngorok ya.” Balasan Raka muncul dalam dua detik: “Ngorok? Gue tidur pake earplug, justru lu yang harusnya waspada kalau suka nyanyi waktu tidur.” Gita menahan tawa. “Gila nih orang,” gumamnya. Tepat saat dia meletakkan ponsel, ada suara ketukan pelan di dinding pembatas kamarnya. Suara dari arah kamar Raka. “Git,” terdengar suara Raka memanggil. “Apa lagi? Udah hampir tengah malem!” sahut Gita malas. “Lu ... beneran bisa masak, kan?” “Hah?!” “Karena gua baru inget, gua nggak bisa makan mi instan terus selama enam bulan ke depan .…”Pagi sekali setelah sarapan, semua pasangan diarahkan ke tempat pertemuan di tengah taman indah yang dikelilingi pepohonan. Suasana sangat mendukung bagi pasangan-pasangan baru untuk menemukan chemistry di antara mereka. Gita dan Raka duduk di baris kedua dan memperhatikan panitia yang masih sibuk menyiapkaan perlengkapan di depan sana. “Lo yakin ini tempat retreat pasangan? Bukan ... sekte?” bisik Gita.“Lo pikir gue ngerti? Mereka ngasih kita jadwal padat banget. ‘Sesi keintiman pagi’? ‘Menanam harapan bersama’? Kayak ikut pelatihan MLM,” sahut Raka sambil menunjukkan brosur yang dibagikan panitia.Di sisi lain, pasangan-pasangan muda lainnya duduk rapi. Seperti juga Gita dan Raka, mereka mengenakan seragam kaus putih bertuliskan: Cinta Butuh Bukti. Beberapa terlihat semangat, yang lain tampak mengantuk dan lesu karena olah raga malam.Gita berbisik, “Mereka ... kayak ... benar-benar ikhlas ikut ini.”“Dan kita? Total bohong,” gumam Raka.Seorang wanita muda berpakaian kasual sewar
“Raka, Retreat kebangsaan dijadwal minggu depan.”“Trus kenapa?” tanya Raka yang heran dengan ekspresi bingung Gita.“Aku pikir ... itu masih dua minggu lagi. Bukan ... barengan dengan rencana ke Bali!”Raka terkejut. Suasana pagi yang awalnya tenang dan santai berubah jadi arena debat kecil.“Git, kita gak bisa batalkan retreat itu. Itu salah satu persyaratan wajib. Kalau gak ikut, nanti proses pencatatan pernikahan kita bisa macet.”Gita mendesis frustrasi. “Dan kalau gak ke Bali, Mama Papamu bisa ngambek tujuh turunan! Mereka udah pesan hotel di Seminyak, tiket pesawat juga! Masa cuma dianggurin begitu aja?”“Pilihannya cuma dua,” Raka mendudukkan diri di sebelahnya. “Batalin Bali atau batalin ... legalitas pernikahan.”Gita mengerang. “Bisa gak sih negara ini bikin aturan yang lebih manusiawi? Orang baru nikah disuruh ikut Retreat Wawasan Kebangsaan! Itu acara pasangan apa pelatihan bela negara sih?”Keduanya terdiam bingung. Mereka memang tak punya pilihan lain. Bali, surga yang
“Jadi, kau yang melakukan hal kotor seperti ini?” Maya menatap Rangga tajam, menahan kemarahan yang siap meledak.Rangga menjatuhkan rokoknya ke paving block dan menginjaknya sekalian dengan ujung sepatu. “Kurasa ini cara yang paling cepat mendapatkan perhatianmu!”“Apa kau gila? Urusan kita berdua, tak ada hubungannya dengan Raka!” Suara Maya memekik karena emosi. Dia sudah tak tahan dengan sikap Rangga yang sama sekali tak peduli jika harus menyakiti orang lain, asal tujuannya tercapai.“Aku tak suka diabaikan!” Rangga menatap Maya tajam.“Baik!” Maya berusaha meredakan emosi dengan menghela napas panjang. Beberapa orang di sana memperhatikan mereka berdua. Dia tak ingin muncul lagi berita skandal tentang dirinya, yang mungkin berimbas pada Tessa Nadira.“Kita sudah bertemu. Jadi, apa maumu sekarang?” Suaranya yang kembali tegas karena pengendalian diri, membuat Rangga menyipitkan mata tak suka. Tangannya mencengkeran siku Maya dan berbisik mengancam, “Kalau kau mau berita viral it
Maya menatap kosong ke cermin besar di ruang ganti. Bayangan dirinya dalam balutan blazer mahal dan wajah sempurna hasil sapuan kuas make-up tak bisa menutupi kehampaan yang menyelinap di balik matanya. Cermin itu memantulkan sosok yang tampak tenang, padahal dalam dirinya, sesuatu tengah berantakan.Pikiran Maya belum bisa lepas dari kejadian di mall semalam. Dari cara Gita meledak di depan mantan kekasihnya, hingga bagaimana Raka dengan sabar menenangkan gadis itu seperti suami yang benar-benar peduli. Bukan sandiwara. Bukan pura-pura. Bukan seperti masa lalu mereka.Tiba-tiba ponselnya bergetar di meja rias. Nama “Rangga” muncul di layar. Napas Maya tertahan sejenak, tapi ia tetap mengangkatnya.“Aku sibuk,” katanya dingin.Suara dari seberang terdengar berat, penuh dominasi. “Kamu ke mana semalam? Kenapa nggak balas pesan?”“Karena aku memang nggak mau membalas,” sahut Maya tegas.“Jangan main-main, Maya. Aku bisa datang sekarang juga ke kantormu.”“Kau pikir itu akan menakutiku?”
“Aku beneran harus ikut?” tanya Gita dengan tatapan sayu dari balik bantal. Rambut acak-acakan dan piyama lusuh, membuatnya tampak seperti anak kost yang malas bangun di akhir pekan.“Ya,” jawab Raka mantap, sambil menggoyangkan remote tv di tangan sebagai ancaman. “Apartemen kita kekeringan logistik. Kulkas cuma isi es batu yang menggumpal dan saus sambal yang expired dua minggu lalu.”Gita mengerang. “Tapi hari ini tuh, hari rebahan nasional!”“Peringkat kedua setelah ‘Hari Pencucian Baju Global’. Tapi sayangnya, hari ini kita masuk agenda: belanja bulanan dan ngisi lemari es. Jadi tolong, bangun dan ganti baju. Jangan sampai ada yang ngira gue nyulik anak sekolahan.” Raka mematikan televisi untuk menunjukkan keseriusannya.Gita mendengus, tapi tetap bangun. Dua puluh menit kemudian, dia muncul dengan hoodie biru dan celana jeans, lengkap dengan tote bag besar yang tampak seperti siap menyelundupkan 20 liter minyak goreng ilegal.“Siap.” Gita menyeringai.Sesampainya di supermarket
“Kamu yakin semua dokumen sudah lengkap?” tanya Gita sambil melipat selembar kertas foto keluarga yang sudah dicetak tadi malam. Tiga lembar foto: satu Gita bersama ayah dan ibunya, satu Gita bersama Raka dan kedua orang tuanya, dan satu lagi yang sedikit diedit agar terlihat formal dan bahagia.Raka merapikan kemejanya di depan cermin. “Sudah. Aku cek dua kali semalam. Yang belum lengkap cuma kesabaran kita.”Mereka berdua tertawa pelan, seolah ingin menyemangati diri. Meski begitu, Gita belum bisa menyingkirkan perasaan tidak enak yang mengganjal sejak pagi. Kantor Pencatatan Pernikahan bukan tempat menyenangkan, apalagi jika kamu harus bolak-balik melengkapi berkas pasangan baru agar mereka bisa mendaftarkan perceraian secepat mungkin. Sesuatu yang terasa tragis, jika dipikirkan oleh kacamata awam.Di kantor itu, mereka kembali duduk di ruang tunggu dengan wajah pasrah. Petugas yang sempat mereka temui sbelumnya, menyapa, “Selamat pagi. Kalian pasangan yang … kemarin, ya?”“Ya,” s