Gita terbangun dengan rasa asing yang tidak bisa dijelaskan. Bukan karena suara alarm, tapi karena … ada suara panci jatuh dari dapur.
Dapur? Refleks dia duduk di ranjang dan melirik sekeliling keheranan. Oh iya. Bukan kamarnya sendiri. Ini … apartemennya Raka. Lebih tepatnya, apartemen mereka berdua sekarang. “Astaga,” desahnya sambil memegangi dahi. “Kenapa rasanya seperti tinggal di reality show murahan?” Ia bangkit dan menyeret kaki ke luar kamar. Begitu melongok ke dapur, ia langsung ingin balik lagi ke kasur dan pura-pura tak melihat. Raka, yang entah kenapa sudah lengkap dengan celemek bergambar ayam pakai dasi, sedang bergulat dengan wajan teflon dan telur. “Apa yang kau lakukan?” tanya Gita sinis, menyipitkan mata sambil menguap lebar. “Jangan begitu dong. Aku berbaik hati untuk membuatkan sarapan perdana kita sebagai ... yah, pasangan eksperimen,” jawab Raka, tanpa menoleh. Dia sedang sangat serius. “Kau mau omelet atau telur setengah matang?” “Aku mau kamu jauh dari dapur!” seru Gita dengan ekspresi ngeri melihat sosok Raka yang tidak matching dengan dapur kecil itu. Panci kecil yang dipegang pria itu kembali terlepas dan jatuh. Raka melompat sedikit menghindari cipratan minyak, lalu mengangkat tangannya tanda menyerah. “Oke, kamu menang. Aku order makanan saja.” Gita duduk di stool dapur sambil melipat tangan dengan wajah mengejek. “Ini hari pertama, dan kau sudah nyaris bakar apartemen. Sungguh ide yang cemerlang!” “Tenang … ini semua demi chemistry.” Raka membuka ponselnya dan mulai memilih menu. “Mau bubur ayam atau croissant?” “Kalau bisa, bubur … plus kehidupan normal,” gumam Gita. Dia memperhatikan dapur yang kacau dan cipratan minya di sana sini tanpa keinginan untuk bantu membersihkan. Dengan cepat Gita ingat bahwa Raka mengidap OCD. Pria itu tak akan puas pada pekerjaan orang lain di daerah kekuasaannya. Jadi, biarkan saja dia yang bersihkan sendiri. Beberapa menit kemudian, mereka makan bubur di meja makan kecil sambil saling diam. Tak ada yang bicara. Sampai akhirnya, Raka membuka topik yang membuat Gita nyaris tersedak. “Kita harus buat peraturan hidup bersama,” katanya datar. “Lah, bukannya kontrak udah cukup?” “Kontrak terlalu legal, resmi. Maksudku, kita butuh aturan domestik. Kayak ... siapa yang nyuci piring, jadwal bersih-bersih, giliran ambil paket, hal-hal penting kayak gitu.” Gita menatapnya dengan tatapan "lo becanda?". Tapi saat melihat keseriusan di wajah Raka, ia sadar ... pria itu sungguh-sungguh. Akhirnya mereka menulis di whiteboard kecil dekat kulkas. Judul besar tertulis: “PERATURAN RUMAH TANGGA PAKSA”. Tidak ada sentuhan fisik yang tidak perlu. Pembagian tugas rumah tangga berdasarkan hasil suit. Dilarang membawa ‘gebetan’ atau mantan ke apartemen. Termasuk mantan gebetan yang belum jadi, tapi udah bikin trauma. Area pribadi tidak boleh dimasuki tanpa izin. Kalau bertengkar, wajib break 10 menit sebelum lanjut adu argumen. Tidak ada kewajiban berperan sebagai suami-istri, kecuali demi menjaga norma di hadapan pihak luar. “Terlalu idealis,” komentar Gita sambil melengos. “Tapi efektif. Lagian, kita cuma butuh bertahan enam bulan. Gampang, kan?” Gita memutar bola mata. “Kau bilang itu ke semua mantan pacarmu juga?” “Aku nggak pernah pacaran enam bulan,” sahut Raka santai. “Biasanya ... dua bulan mereka udah kabur.” Pria itu nyengir dengan wajah menyedihkan. “Bagaimana kalau ada yang melanggar aturan?” tanya Gita kritis. Dia tak mau terjebak dalam aturan yang tidak jelas reward dan punishment-nya. “Hem … menurutmu apa yang cocok jadi hukuman?” Raka balik bertanya. “Yang melanggar harus rela melihat pihak lain bebas melakukan hobbynya tanpa batasan selama satu hari!” Gita menyeringai senang. Raka bisa melihat seringat maut penuh jebakan itu. Dia menggeleng cepat. “Tidak setuju! Aku bisa lihat rencana busuk di balik kalimatmu itu.” “Kau penuh kecurigaan!” keluh Gita, dia menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Buburnya sudah habis dan didorongnya mangkuk ke tengah meja. Sedikit sebal, karena Raka dapat menangkap maksud tersembunyinya tadi. Pria itu terlalu cerdas untuk dikerjai. “Yang melanggar aturan, harus membersihkan seluruh rumah dalam sehari.” Raka memainkan alisnya naik turun dengan jenaka. “Enggak!” tolak Gita. “Ya!” Raka bersikukuh. Pria itu tak akan mundur selangkah pun. “Baiklah. Aku pasang CCTV untuk memastikan tak ada pihak yang curang!” Gita menyerah. Berdebat perihal aturan rumah dengan Raka, tak akan berhasil. “Oke!” Raka langsung berdiri dan mengangkat mangkuk ke dapur dan mencucinya sekalian. Kemudian membersihkan lantai dari noda minyak hingga kembali bersih seakan tak pernah terjadi mala petaka di sana. Hari itu rumah tenang setelah Raka berangkat ke kantor. Gita sibuk melukis di balkon yang bermandikan cahaya matahari. Dia merasa bebas di apartemen tanpa kehadiran si pria kaku itu di rumah. *** Malamnya, lampu utama sudah dipadamkan. Tapi Gita masih asik menonton drama Korea di sofa dengan wajah setengah mengantuk. Tak lama Raka pulang dan mendapati gadis itu sudah terbang ke alam mimpi dengan piring sisa makanan cepat saji di atas meja tamu. Ekspresinya memburuk sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang. Dia mengangkat semua piring kotor dan membawanya ke dapur yang lebih kacau, dengan sampah bungkus makanan masih berada di atas pantry. Setelah membersihkan tubuh, pria itu menulis catatan dan menempelkannya di kulkas. Dia juga membuat beberapa foto barang bukti dan mencetaknya langsung di kertas hvs dan ditempel di pintu kulkas juga. Semua pesan lain ditulis dengan spidol hitam tebal. Kali ini kertass pesan itu ditempel di pintu kamar Gita. “Penting! Besok pagi, orangtuaku mau datang buat nengok menantu baru mereka.” Kemudian apartemen itu sunyi dan tenang dengan sebagian besar lampu telah padam. Kecuali tv yang masih menyala dan menonton Gita tidur pulas di sofa. Menjelang subuh, sebuah teriakan melengking membuat Raka langsung duduk tegak di tempat tidurnya dengan mata melotot dan bingung. Gedoran pintu kamar mengantar nyawanya kembali. “RAKAAAA!!!” Itu suara Gita. Jelas sangat marah. Gedoran kasar kembali terdengar di pintu kamar Raka. “Apa maksud pesanmu ini!”Pagi sekali setelah sarapan, semua pasangan diarahkan ke tempat pertemuan di tengah taman indah yang dikelilingi pepohonan. Suasana sangat mendukung bagi pasangan-pasangan baru untuk menemukan chemistry di antara mereka. Gita dan Raka duduk di baris kedua dan memperhatikan panitia yang masih sibuk menyiapkaan perlengkapan di depan sana. “Lo yakin ini tempat retreat pasangan? Bukan ... sekte?” bisik Gita.“Lo pikir gue ngerti? Mereka ngasih kita jadwal padat banget. ‘Sesi keintiman pagi’? ‘Menanam harapan bersama’? Kayak ikut pelatihan MLM,” sahut Raka sambil menunjukkan brosur yang dibagikan panitia.Di sisi lain, pasangan-pasangan muda lainnya duduk rapi. Seperti juga Gita dan Raka, mereka mengenakan seragam kaus putih bertuliskan: Cinta Butuh Bukti. Beberapa terlihat semangat, yang lain tampak mengantuk dan lesu karena olah raga malam.Gita berbisik, “Mereka ... kayak ... benar-benar ikhlas ikut ini.”“Dan kita? Total bohong,” gumam Raka.Seorang wanita muda berpakaian kasual sewar
“Raka, Retreat kebangsaan dijadwal minggu depan.”“Trus kenapa?” tanya Raka yang heran dengan ekspresi bingung Gita.“Aku pikir ... itu masih dua minggu lagi. Bukan ... barengan dengan rencana ke Bali!”Raka terkejut. Suasana pagi yang awalnya tenang dan santai berubah jadi arena debat kecil.“Git, kita gak bisa batalkan retreat itu. Itu salah satu persyaratan wajib. Kalau gak ikut, nanti proses pencatatan pernikahan kita bisa macet.”Gita mendesis frustrasi. “Dan kalau gak ke Bali, Mama Papamu bisa ngambek tujuh turunan! Mereka udah pesan hotel di Seminyak, tiket pesawat juga! Masa cuma dianggurin begitu aja?”“Pilihannya cuma dua,” Raka mendudukkan diri di sebelahnya. “Batalin Bali atau batalin ... legalitas pernikahan.”Gita mengerang. “Bisa gak sih negara ini bikin aturan yang lebih manusiawi? Orang baru nikah disuruh ikut Retreat Wawasan Kebangsaan! Itu acara pasangan apa pelatihan bela negara sih?”Keduanya terdiam bingung. Mereka memang tak punya pilihan lain. Bali, surga yang
“Jadi, kau yang melakukan hal kotor seperti ini?” Maya menatap Rangga tajam, menahan kemarahan yang siap meledak.Rangga menjatuhkan rokoknya ke paving block dan menginjaknya sekalian dengan ujung sepatu. “Kurasa ini cara yang paling cepat mendapatkan perhatianmu!”“Apa kau gila? Urusan kita berdua, tak ada hubungannya dengan Raka!” Suara Maya memekik karena emosi. Dia sudah tak tahan dengan sikap Rangga yang sama sekali tak peduli jika harus menyakiti orang lain, asal tujuannya tercapai.“Aku tak suka diabaikan!” Rangga menatap Maya tajam.“Baik!” Maya berusaha meredakan emosi dengan menghela napas panjang. Beberapa orang di sana memperhatikan mereka berdua. Dia tak ingin muncul lagi berita skandal tentang dirinya, yang mungkin berimbas pada Tessa Nadira.“Kita sudah bertemu. Jadi, apa maumu sekarang?” Suaranya yang kembali tegas karena pengendalian diri, membuat Rangga menyipitkan mata tak suka. Tangannya mencengkeran siku Maya dan berbisik mengancam, “Kalau kau mau berita viral it
Maya menatap kosong ke cermin besar di ruang ganti. Bayangan dirinya dalam balutan blazer mahal dan wajah sempurna hasil sapuan kuas make-up tak bisa menutupi kehampaan yang menyelinap di balik matanya. Cermin itu memantulkan sosok yang tampak tenang, padahal dalam dirinya, sesuatu tengah berantakan.Pikiran Maya belum bisa lepas dari kejadian di mall semalam. Dari cara Gita meledak di depan mantan kekasihnya, hingga bagaimana Raka dengan sabar menenangkan gadis itu seperti suami yang benar-benar peduli. Bukan sandiwara. Bukan pura-pura. Bukan seperti masa lalu mereka.Tiba-tiba ponselnya bergetar di meja rias. Nama “Rangga” muncul di layar. Napas Maya tertahan sejenak, tapi ia tetap mengangkatnya.“Aku sibuk,” katanya dingin.Suara dari seberang terdengar berat, penuh dominasi. “Kamu ke mana semalam? Kenapa nggak balas pesan?”“Karena aku memang nggak mau membalas,” sahut Maya tegas.“Jangan main-main, Maya. Aku bisa datang sekarang juga ke kantormu.”“Kau pikir itu akan menakutiku?”
“Aku beneran harus ikut?” tanya Gita dengan tatapan sayu dari balik bantal. Rambut acak-acakan dan piyama lusuh, membuatnya tampak seperti anak kost yang malas bangun di akhir pekan.“Ya,” jawab Raka mantap, sambil menggoyangkan remote tv di tangan sebagai ancaman. “Apartemen kita kekeringan logistik. Kulkas cuma isi es batu yang menggumpal dan saus sambal yang expired dua minggu lalu.”Gita mengerang. “Tapi hari ini tuh, hari rebahan nasional!”“Peringkat kedua setelah ‘Hari Pencucian Baju Global’. Tapi sayangnya, hari ini kita masuk agenda: belanja bulanan dan ngisi lemari es. Jadi tolong, bangun dan ganti baju. Jangan sampai ada yang ngira gue nyulik anak sekolahan.” Raka mematikan televisi untuk menunjukkan keseriusannya.Gita mendengus, tapi tetap bangun. Dua puluh menit kemudian, dia muncul dengan hoodie biru dan celana jeans, lengkap dengan tote bag besar yang tampak seperti siap menyelundupkan 20 liter minyak goreng ilegal.“Siap.” Gita menyeringai.Sesampainya di supermarket
“Kamu yakin semua dokumen sudah lengkap?” tanya Gita sambil melipat selembar kertas foto keluarga yang sudah dicetak tadi malam. Tiga lembar foto: satu Gita bersama ayah dan ibunya, satu Gita bersama Raka dan kedua orang tuanya, dan satu lagi yang sedikit diedit agar terlihat formal dan bahagia.Raka merapikan kemejanya di depan cermin. “Sudah. Aku cek dua kali semalam. Yang belum lengkap cuma kesabaran kita.”Mereka berdua tertawa pelan, seolah ingin menyemangati diri. Meski begitu, Gita belum bisa menyingkirkan perasaan tidak enak yang mengganjal sejak pagi. Kantor Pencatatan Pernikahan bukan tempat menyenangkan, apalagi jika kamu harus bolak-balik melengkapi berkas pasangan baru agar mereka bisa mendaftarkan perceraian secepat mungkin. Sesuatu yang terasa tragis, jika dipikirkan oleh kacamata awam.Di kantor itu, mereka kembali duduk di ruang tunggu dengan wajah pasrah. Petugas yang sempat mereka temui sbelumnya, menyapa, “Selamat pagi. Kalian pasangan yang … kemarin, ya?”“Ya,” s