Share

Bab 2 MNK : Menghindari Abelin

Meski tubuh Abelin kecil, namun gerakannya sangat gesit. Dia terus menunjukkan cinta yang bergelora kepada Diego.

Karena kesal diperlakukan seperti itu, Diego membanting tubuh Abelin dan mengikat kedua tangan gadis itu dengan gesper yang ada di kasur.

"Kau ini benar-benar keterlaluan!" Diego menampar pipi Abelin agar keponakannya itu tersadar.

Abelin menangis terisak. Dia berulang kali menggelengkan kepalanya. "Paman … jangan marah! Aku hanya bercanda!"

"Bercanda katamu! Kau gadis yang tolol!" hardik Diego. Dia segera memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas, lalu meninggalkan Abelin sendirian di kamarnya.

Dengan tergesa dia berlari kecil menuruni tangga dan keluar rumah dari pintu samping, menuju mobil jeep dan mengendarai mobil tersebut keluar dari pekarangan rumah.

"Kenapa Paman tidak mengerti juga dengan semua perhatianku selama ini?" isak Abelin memandang nanar kepergian Diego dari kaca besar yang ada di kamar itu.

Di perjalanan, Diego terus memikirkan tindakan bodoh Abelin. "Ada apa dengan dirinya? Apa dia putus cinta dan melampiaskan padaku? Gadis bodoh itu!" Hembusan napas Diego begitu kasar. Dia masih menahan gemuruh di dalam dada.

Dia menekan satu tombol dan langsung tertuju pada Nex, teman sekaligus asisten pribadinya.

"Hallo Nex, carikan penginapan di pedesaan untukku dua hari."

Tak membutuhkan jawaban apapun, dia memutuskan sepihak telepon tersebut.

"Divne, cintaku setia untuk dirimu yang telah tiada. Sudah 10 tahun berlalu, haruskah aku menikah sekarang?"

Dia menambah kecepatan mobilnya agar segera sampai pada tujuan.

Di sebuah cafe, sudah menunggu Nex dan Kevin. Mereka tertawa dan menikmati penampilan gadis yang menari secara eksotis. Beberapa kali Nex melemparkan uang pada gadis itu ketika ia puas melihat tarian yang disuguhkan.

Cafe Morale terkenal karena memiliki pemandangan yang sejuk, cafe tersebut berdiri kokoh di daerah pedesaan yang terdapat banyak gunung. Biasanya hanya orang-orang kaya yang mampu berkunjung ke cafe tersebut karena biaya kartu anggota pun terbilang mahal.

Derap langkah kaki Diego membuat suasana hening. Laki-laki dewasa yang berpakaian sesantai mungkin itu datang dengan memakai topi berwarna putih. Tidak ada senyuman di wajahnya, dia terkenal dingin dan angkuh.

"Tuan Carlos, selamat datang," sapa Tuan Adero yang menyunggingkan senyumnya.

Diego hanya mengibaskan satu tangannya. Dengan begitu ruangan tersebut menjadi private. Beberapa orang diminta Tuan Adero berpindah lokasi dan membiarkan Carlos Diego dengan privasinya.

Mata Kevin menelisik penampilan Diego. "Kau berantakan sekali! Apa kau habis bergulat dengan seorang wanita di ranjang?" kekehnya sambil mengelus dagu.

Diego meneguk satu botol minuman yang baru dibuka oleh pelayan.

"Apakah anak usia 17 tahun sudah dewasa?"

Kevin dan Nex saling pandang, kemudian tertawa terbahak-bahak. "Hei, kau bercinta dengan gadis muda?" selidik Kevin.

"Lupakan! Ayo kita berkuda." Diego berdiri dan meninggalkan kedua temannya yang terbengong menatap sikap anehnya.

"Ku rasa karena dia kelamaan menyendiri, kuda dijadikan pelampiasan," ucap Nex tergelak.

Kevin berdiri dan menepuk punggung Nex, mereka mengikuti langkah Diego ke kawasan berkuda.

"Bahkan dia tidak menunggu kita!" keluh Nex kala menatap punggung Diego di atas kuda yang menjauh.

"Lebih baik kau tetap di sini. Jaga keamanan kami!" perintah Kevin yang melempar pisau yang terbungkus.

Nex menghela napasnya. Dia memilih duduk di kursi dan meraih teropong, memindai sekitaran. Meski wilayah ini Carlos Diego dan Kevin Garra adalah penguasa, tidak menutup kemungkinan ada musuh yang menyelinap.

Diego dan Kevin adalah sepasang pebisnis yang kejam. Mereka akan membabat habis keuntungan dari rekan bisnisnya. Menawarkan kerjasama dengan keuntungan 80% yang akan mereka dapatkan. Kepiawaian dalam berbisnis, menjadikan keluarga keduanya menjadi keluarga terpandang di negara itu.

"Ajudan. Tetap siaga pada posisi kalian," perintah Nex melalui headphone.

"Mereka memberiku pisau tajam untuk apa? Harusnya aku menyimpan satu pistol kecil, bukan?" gerutu Nex.

***

Abelin merebahkan tubuh di kasur miliknya. Dia menatap ke dinding dengan banyak foto dirinya bersama keluarga besar. Abelin berjalan mendekat, menyentuh fotonya bersama Diego. Di dalam foto itu, dia masih kecil dan tersenyum kala sang paman memeluk dan mencium pipi gembulnya.

"Kau sudah jarang menciumku! Apa kau tau Carlos Diego, kau adalah satu-satunya laki-laki yang seksi di mataku. Aku menyukai semua yang ada pada dirimu itu, paman," kekehnya.

Abelin menari dan berputar-putar. Mengkhayal suatu hari nanti akan jadi pengantinnya Carlos Diego.

Dia meremas telapak tangan dan berdoa. "Aku harap semua orang di keluarga ini akan menerima dan memenuhi keinginan terbesarku, untuk bersamamu. Itu adalah doaku disepanjang hidup ini."

Abelin pergi ke ruang makan, dia duduk dengan manis di kursinya. Dentingan suara sendok dan garpu memenuhi ruangan besar yang tengah berkumpul untuk menyantap makan malam.

Tuan Gerardo menatap kursi yang kosong dan berdehem. "Dimana Diego?"

Hening. Anggota keluarga yang lain hanya saling bertukar pandang.

"Papa, lanjutkan lah makanmu dengan tenang! Setelahnya minum vitamin dan beristirahat," saran Alberto.

Tuan Gerardo memandang anak keduanya. "Teo, dimana putramu?"

"Pertemuan bisnis di luar kota, Pa."

"Tidak ada yang memberitahuku sebelumnya?" Raut wajah tak suka dari Tuan Gerardo, mampu membuat susana menjadi hening. Tidak ada yang berani bersuara bahkan melanjutkan makan malamnya.

"Kakek Besar, aku ingin belajar melukis bersama paman. Minta dia untuk segera pulang," rengek Abelin.

Alberto mendelik kepada Abelin. Lalu tatapan tajam itu terarah pada anaknya, Reyna Berta. Dengan sedikit gugup Reyna mengelus pundak sang anak. "Dengar sayang, jangan mengganggu Kakek Besar. Segeralah habiskan makananmu dan kembali ke kamar!"

"Kalau begitu, Kakek Alberto dan Kakek Teo tolong bujuk paman."

"Tidak bisa begitu. Diego sedang sibuk," tolak Teo.

"Mama …." Abelin menangis dengan rontaan, bukan Abelin namanya jika harus menyerah secepat itu.

Tuk tuk tuk

Tongkat diketuk oleh Tuan Gerardo. Dia berdiri dan meninggalkan ruang makan sambil memerintah, "Telepon Diego dan suruh dia kembali!"

Senyum mengembang di wajah Abelin. Teo dan Alberto menghembuskan napas kasar. Mereka turut meninggalkan ruangan tersebut bersama pasangan masing-masing.

"Kenapa kau keras kepala?" Reyna memarahi anaknya.

Abelin abai, dia melanjutkan makan malamnya dengan hati gembira.

"Sudahlah, Ma. Tidak perlu memarahi Abelin, dia cucu kecil satu-satunya, Kakek Besar pasti memikirkan kebahagiaannya," kata Oscar.

Reyna menghentak tangan di atas meja. "Jangan terus memanjakannya! Kau tau anak ini akan menjadi semakin keras kepala."

"Mama maaf, jangan marah. Abelin sangat menyayangi Mama," ucap gadis itu dengan memeluk dan mencium pipi Reyna dengan manja.

"Aku akan kembali, kau tunggu kepulangan Diego." Reyna menatap sang suami, lalu meninggalkan ruang makan.

"Kau putriku satu-satunya. Kau Dewi hidupku, Abelin!" kata Oscar mengelus rambut panjang sang putri.

Sesuai perintah, Oscar menunggu kepulangan Diego. Dia duduk sambil mengerjakan beberapa file di ruang tamu, jarinya mengetik dengan cepat dan mata yang fokus menatap layar laptop.

"Ini adalah peluru keberuntunganku!"

Suara mesin mobil mengalihkan atensi Oscar. Dia tersenyum kecil lalu menunggu cucu emas dari Tuan Gerardo itu masuk ke dalam rumah. Pelayan membukakan pintu, dengan wajah lelah Diego berlalu dari sana.

"Diego tunggu!"

"Kau? Kenapa tengah malam berada di sini?"

"Tuan Gerardo meminta untuk menunggu k

edatanganmu. Sepertinya kau membuatnya kecewa kali ini."

Pandangan Diego sayup, dia segera berlari menuju kamar sang kakek.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status