Share

Bab 3 MNK : Hampir Gila

Mengetuk pintu perlahan, Diego dengan tenang berdiri di depan pintu. Pelayan membukakan pintu dan mempersilakan Diego masuk.

"Apa kakekku sudah tidur?"

"Dia menunggu kepulangan Tuan Muda," sahut pelayan dengan menundukkan kepalanya.

Diego melangkah mendekat. "Kakek, kau belum tidur?"

Punggung Tuan Gerardo bergerak, dia segera duduk dan menatap sang cucu. "Ada apa? Kau menyembunyikan sesuatu dariku?" tebak Tuan Gerardo.

Diego duduk di samping kakeknya. "Tidak perlu mencemaskanku! Aku akan selalu oke untuk kau, Kakek."

Suara tawa terdengar dari Tuan Gerardo, Diego tersenyum kecil. "Tidurlah, ini sudah malam," kata Diego.

Dia memastikan sang kakek tertidur, barulah ia kembali menuju kamar pribadinya di lantai 3.

Diego memilih menyegarkan diri. Dia pandangi dirinya di kaca yang ada di kamar mandi. Lampu kamar mandi tiba-tiba padam, membuat Diego berhati-hati.

Dia melirik ke ventilasi, terdapat cahaya dari luar. Artinya lampu di kamarnya masih menyala, hanya lampu di kamar mandi itu yang padam.

Saat Diego hendak menyelesaikan acara mandinya, tiba-tiba ada tangan memeluk tubuhnya. Bergerilya dengan lincahnya menyentuh tubuh atletis pemuda itu.

"Siapa kau? Abelin?"

Abelin melumat bibir Diego dan menarik rambut basah pemuda itu. Gerakannya gesit, setiap kali Diego menyentak tubuhnya, dia menghindar dan memeluk kembali sang paman dengan agresifnya.

"Hentikan! Atau kau akan dihukum oleh Reyna!" ancam Diego. Dia keluar dan mencari tombol on, lampu menyala. Menampilkan sosok Abelin yang menawan dengan gaun malamnya. Tubuhnya ikut basah, kaki jenjangnya yang mulus berjalan mendekat pada Diego yang hanya menggunakan boxer dengan tubuh yang sepenuhnya basah.

"Diego!" Abelin memanggil nama sang paman dengan mesra. 

Diego memicing, menatap tubuh Abelin. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis mungil itu.

"Abelin, sadar! Sebelum Kakek Besar mengetahui ini dan menghukum berat dirimu."

"Diego … aku tidak bisa menahan rasa ini," tunjuk Abelin pada dadanya.

"Kau masih kecil. Kau gadis baik dan cantik, kau bisa memilih pemuda lain untuk berkencan atau menikah jika kau mau."

Abelin menggeleng, dia terus maju perlahan. Sedangkan, Diego terus menghindar. Dia tidak bodoh, tengah malam begini jika mereka ketahuan maka bukan hanya hukuman namun aib terbesar untuk keluarganya sendiri. Kesehatan sang kakek, adalah prioritas utama bagi Diego.

Abelin berlari dan menerjang tubuh Diego hingga terjatuh. Dengan liar Abelin menyentuh dan meremas setiap jengkal tubuh Diego. Erangan kecil terdengar keluar dari mulut pemuda itu. Dia membanting tubuh Abelin, agar keponakannya itu sadar.

"Ini benar-benar mimpi buruk!" kesal Diego.

Diego segera memakai pakaiannya dan kembali pergi di dini hari. Amarahnya tak terbendung, satu tamparan yang cukup keras tak membuat Abelin menyerah. Gadis itu semakin berani, membuat Diego frustasi.

Di perjalan Diego berulang kali memukul stir mobil dengan terus mengumpat kesal. Dia tak habis pikir, keponakan yang disayang dan dimanja itu tumbuh menjadi liar.

"Sial … sial … benar-benar sial," maki Diego.

Dia bingung harus bagaimana menyikapi sifat Abelin yang tidak bisa ditoleransi lagi. 

"Apa aku adukan saja pada Reyna? Tapi … ah mana mungkin Reyna percaya!"

Diego benar-benar lelah, rumah besar bak istana itu tidak membuatnya merasa nyaman. Dia berpikir tentang Abelin yang berubah drastis. Dia mencoba mengingat kapan terakhir keponakannya itu bersikap normal.

Diego sampai pada sebuah desa, dia mencari penginapan yang buka. Beruntung masih ada yang buka di waktu subuh. Dia memasuki kamar dan menghempaskan tubuhnya di kasur. Terus merutuki kebodohan Abelin yang menantang jiwa kelelakiannya.

"Bedebah!" teriaknya lantang.

Sinar matahari memasuki ventilasi di atas jendela. Diego bangun dengan linglung, dia mengamati sekeliling.

"Ah, aku hampir gila."

Diego segera memasuki kamar mandi, menyegarkan tubuhnya. Memilih sarapan di resto bawah, langkah kakinya cepat menuruni tangga.

"Ini Tuan pesanannya, silakan." Pelayan meninggalkan meja Diego.

Chilaquiles dan pozole terhidang di atas meja klasik. Diego segera meraih air mineral dan meminumnya setengah botol, setelahnya makan dengan tenang. Rasanya makanan lezat itu tidak bisa mencuri perhatian Diego. Pemuda itu terus memikirkan Abelin. Mendadak mood-nya berubah. Dia mengakhiri sarapan paginya, kemudian pergi meninggalkan penginapan.

Mobilnya melaju kencang, membelah jalanan luas yang masih terlihat sepi. Diego berhenti di depan toko pakaian.

"Silakan. Ada yang bisa saya bantu?"

Diego mengatakan detail pakaian yang dia cari, pelayan toko memilihkan pakaian terbaik untuk pemuda tampan itu. 

Diego tersenyum puas saat menatap dirinya pada cermin. 'Selalu sempurna, tapi terus single dan membuat anak remaja tergila-gila bahkan gila setengah mati.' Lagi, dia berdecak kagum sekaligus kesal. Membayangkan pergulatan yang menolak kegilaan Abelin.

"Benar-benar menyusahkan!"

Diego membayar pakaian yang dia beli, cukup untuk seminggu. Dia berencana untuk menghindar dan akan memberikan alasan pekerjaan dadakan pada sang kakek. 

Diego berjalan-jalan menuju daerah pegunungan yang begitu asri, terlihat air terjun tiga sisi yang mengubah suasana. Dia memandang kegiatan orang-orang yang berkebun. Hatinya tergerak saat melihat anak kecil yang terjatuh, dia angkat tubuh kecil itu.

"Apa kau terluka?"

Anak perempuan itu menggelengkan kepalanya pelan. Dia menatap kagum pada pria dewasa yang ada di hadapannya. Tangannya terulur, dia menyentuh wajah Diego sambil tersenyum senang.

"Kau sangat tampan, Tuan!"

Diego tersenyum dan menyentuh kepala anak itu, mengelusnya perlahan. "Oke, katakan dimana orang tuamu?"

Anak perempuan itu mengangkat tangannya dan menunjuk dua pasangan yang tengah memanen sayuran. Diego menggendong anak itu, lalu berjalan menghampiri orang tuanya.

"Selamat pagi," sapa Diego.

Ibu anak tersebut terkejut kala menatap sang anak berada dipelukan orang asing.

"Lepaskan anakku!" Dia menarik paksa sang putri.

"Ibu dia orang baik, dia menolongku," kata anak perempuan itu yang menyentuh wajah ibunya dan membenarkan anak rambut yang berantakan.

Sang ibu menelisik penampilan Diego, kemudian dia menundukkan kepalanya dan berucap, "Maaf Tuan. Kau asing bagi kami."

"Maaf Tuan dan terima kasih sudah menolong putri kami. Tapi … Tuan ini siapa? Apakah penduduk baru?" tanya sang ayah dari anak perempuan itu.

"Bukan. Saya hanya berlibur ke daerah sini. Kebetulan saya ingin membeli satu kebun dan satu rumah jika ada yang menjualnya," kata Diego.

"Benarkah?" Mata Jose berbinar. Dia segera mencuci tangannya dan mengajak Diego untuk duduk di salah satu gazebo yang ada di sisi kebun.

"Kebetulan sekali, saya ingin menjual kebun yang ada di sebelah sana, juga rumah itu." Jose menunjuk rumah sederhana yang ada di tengah kebun. Lebih tepatnya rumah yang dikelilingi kebun. Terlihat sangat asri, Diego tertarik dan menanyakan harga.

Jose mengajak Diego pergi ke rumahnya untuk bertransaksi, dia benar-benar merasa beruntung bisa dipertemukan dengan Tuan Muda yang kaya raya.

"Anggap kita saudara, jika Tuan membutuhkan bantuanku maka datanglah ke sini," ucap Jose tersenyum.

"Itu tepat! Kau bisa menjaga dan merawat kebun dan rumahku saat aku tak berada di sini."

"Sebenarnya Tuan dari mana?" Jose sangat tertarik pada pemuda tampan itu.

"Kota barat daya," ucap Diego.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status