Ucapan Amira masih terngiang-ngiang di telinga Clay. Jika wanita yang diceritakan Amira memiliki kemiripan dengannya, apa mungkin jika Bu Bertha yang dimaksud tak lain adalah nenek Kazuya? Bukankah nenek Kazuya juga merupakan nenek kandungnya?Clay terbukti memiliki darah yang sama dengan Martin, itu artinya Oma Bertha adalah nenek kandungnya.Malam itu mata Clay tak kunjung terpejam. Padahal esok hari dia harus berjualan demi memenuhi kebutuhan hidup juga menabung untuk biaya persalinannya.Tangan Clay bergerak menyingkap selimut bagian atas tubuhnya. Dalam kondisi terlentang, perutnya sudah terlihat membesar. Clay menatap perutnya yang sudah mulai membulat, jemarinya membelai lembut permukaan hangat yang tertutup kaos tipis. Dia bisa merasakan pergerakan kecil dari janin yang tumbuh di rahimnya. Kedutan ringan yang menciptakan sensasi geli, menjadi satu hal baru yang mampu menitikkan satu kebahagian.“Sayang, apa kamu bisa mendengar suara ibu?” ucap Clay seraya tersenyum samar, seo
Hidup dalam pelarian dengan status masih terikat dalam pernikahan, membuat Clay menjadi bahan omongan warga desa.Kepala dusun setempat memang meminta data diri Clay, termasuk Kartu Identitas miliknya sebagai syarat tinggal. Di sana tertulis status Clay yang sudah menikah. Hal itu memancing pertanyaan akan apa alasan di balik kepindahannya ke desa itu seorang diri, tanpa didampingi sang suami. Tentu Clay sudah menyiapkan satu alasan.“Kami sedang proses perpisahan.” Ya, itulah alasan yang masuk akal untuk saat ini. Apalagi dia tahu, jika dalam perutnya kini benih Kazuya tumbuh.Usia kandungan Clay saat ini sudah memasuki bulan kelima. Memiliki tubuh yang kurus, tentu mempermudah untuknya menutupi keadaannya sekarang. Kondisi perutnya memang belum menonjol, Clay sengaja mengenakan kaos dengan ukuran besar untuk menutupi. Namun meski seperti itu, tak jarang beberapa warga desa curiga akan bentuk tubuh Clay yang tampak seperti wanita hamil.Kehamilan anak pertama tentu menjadi sebuah h
“Sepertinya aku harus mengingatkanmu sekali lagi mengenai satu hal penting,” lanjut Martin lagi, seraya melangkah mendekati Kazuya yang terlihat bingung.Martin meraih kursi, memindahkannya di sisi ranjang. Menyalakan lampu penerangan di atas ranjang, lalu duduk tepat di depan sang putra.“Walau bagaimanapun dia adalah putriku. Putri kandungku!” ucap Martin yang sengaja mempertegas kalimat terakhir. Raut wajahnya terlihat serius, matanya menatap tajam Kazuya.Kazuya terdiam, mencoba menerka-nerka siapa orang yang dimaksud papanya. Akibat kecelakaan itu, sebagian memorinya menghilang.“Apa yang papa maksud? Aku tak mengerti,” ujar Kazuya dengan alis bertaut.Martin menghela nafas panjang. Tak langsung menjawab, justru meraih sesuatu dari balik jasnya. Selembar kertas putih yang terlipat, dan menyodorkannya pada Kazuya.“Apa ini?” tanya Kazuya tak mengerti.“Bukalah, maka kau akan mengerti maksudku!” perintah Martin.Tatapan Kazuya kini fokus pada kertas di tangannya. Perlahan membuka k
Ucapan Kazuya begitu menusuk hati Martin. Awalnya dia menganggap sepele atas permasalahan yang terjadi, namun sepertinya kecelakaan itu membuat Kazuya melupakan kejadian penting sebelum kecelakaan itu terjadi.Waktu berlalu terasa begitu lambat. Menjalani pengobatan hingga keadaannya membaik, tentu membutuhkan waktu tak sebentar. Serangkaian fisioterapi dia jalani dengan penuh semangat, hanya karena iming-iming agar segera pulang bertemu dengan istri tercinta.Martin bahkan selalu mencari alasan untuk menolak jika Kazuya memintanya untuk menghubungi Clay. Kazuya merasakan ada sesuatu yang sengaja disembunyikan oleh papanya.Hingga dua bulan berlalu, akhirnya kondisi Kazuya berangsur-angsur membaik. Hari ini dia sudah diperbolehkan pulang. Meski Martin membujuknya untuk sementara waktu tinggal di sini, namun Kazuya dengan keras menolak.Tiket penerbangan sudah dipesan, Kazuya tak sabar melihat langsung wanita yang selama ini hanya bisa ditemuinya dalam mimpi.Dadanya terus bertalu, men
Kazuya mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, tanpa arah yang pasti. Jika nantinya dia harus hidup serumah bersama Clay dengan status yang berbeda, Kazuya tak yakin bisa menjalani kehidupan itu. Tentu hal itu akan menyiksa batin.“Aakkkkkhhhhhhhhh!!!!” teriak Kazuya seraya memukul setir. Meluapkan rasa sakit yang menyesakkan dada. Amarahnya masih belum menemukan ujung. Kakinya menekan pedal gas semakin dalam, membuat laju mobil semakin kencang. Menembus jalanan malam yang mulai dihiasi oleh rintik hujan.Angin berdesir liar melalui kaca yang terbuka separuh. Percikan hujan pun ikut masuk, namun Kazuya tak peduli. Tangannya menggenggam erat kemudi, bahkan terlalu erat hingga buku jarinya memutih. Setiap tikungan ia libas tanpa pikir, setiap rambu diabaikan.Dan kemudian..Cahaya dari arah berlawanan membutakan pandangan Kazuya. Suara klakson meraung, ban berdecit.Waktu seakan melambat. Sepersekian detik, Kazuya hanya bisa membelalakan mata. Mobilnya tak bisa menghindar.Bruuuukk
Waktu terasa berhenti, saat dua pasang mata saling pandang dalam keheningan. Sorot mata yang sama-sama menyimpan rasa sakit dan kekecewaan akan kenyataan pahit.Selama beberapa menit, Clay hanya terdiam. Hingga Kazuya memutuskan untuk memulai obrolan.“Bagaimana kondisimu? Apa ada yang sakit?” tanya Kazuya seraya mengulurkan tangan, hendak menyentuh dahi Clay. Namun wanita itu justru membuang wajahnya ke samping.Kazuya kembali menarik tangannya, “maaf!” ucapnya dengan perasaan campur aduk. Penolakan itu sedikit menyakiti hatinya, namun Kazuya berusaha memahami.Tak ada satu patah kata pun keluar dari bibir Clay, selain dari suara isak tangis yang terdengar menyayat hati.“Kamu butuh sesuatu? Aku akan..”“Tidak! Pergilah! Aku mau sendiri!” pungkas Clay dengan suara bergetar. Berusaha meredam tangis agar tak terlihat, dia pun berpindah posisi tidur membelakangi Kazuya.Suasana sunyi yang sangat menyiksa, membuat Kazuya kembali terdiam untuk beberapa saat. Menunggu hingga tangis Clay me