Share

Bab 2 (kesialan atau keberuntungan?)

"Sinar mentari dan kejayaan bagi kota Darian, Yang Mulia Putra Mahkota." Pria setengah baya itu mengangkat sebelah tangannya di dada dengan patuh dan tunduk pada lelaki yang ada di depannya tengah duduk angkuh memperhatikan pergerakan lawan bicaranya.

"Ruby ... apa dia berulah lagi?" tanya lelaki itu tersirat rasa khawatir dalam kalimatnya nan dingin. Seberapa pun ia berusaha membenci, tetap saja dirinya tidak bisa mengabaikan.

"Tidak sama sekali, Yang Mulia. Dari pemeriksaan saya, nona Ruby kehilangan sebagian ingatannya tentang tempat ini, bahkan marganya sendiri, dia tidak bisa mengingatnya," kata Tabib itu setengah membela pada keadaan Ruby yang terdengar tidak baik-baik saja.

"Dia bahkan lupa dengan apa yang membuatnya tidak sadarkan diri selama tujuh hari, dan dia tidak tahu siapa yang menyelamatkannya dari kematian, Yang Mulia," sambungnya lagi.

"Apa ini adalah alibinya agar tidak dihakimi akan tindak kejahatannya pada Zalina?" beo Theron datar. "Ruby ingin lari dari tanggung jawabnya?"

"Nona Ruby adalah sahabat anda, saya yakin anda lebih tahu bagaimana sifat nona Ruby sebelum ini, Yang Mulia," ucap Tabib itu setia menunduk dengan senyuman mengembang.

Semenjak hadirnya Zalina, kekasih Theron sang Putra Mahkota, Ruby hanya sebagai sahabat tersingkir karenanya. Banyak pelayan yang mengatakan kalau Ruby memiliki perasaan lebih dari sekadar sahabat bagi Putra Mahkota.

Dan saat Theron memilih Zalina sebagai calonnya, banyak orang beramsumsi Ruby tak suka dan berniat mencelakai Zalina. Bahkan Putra Mahkota sendiri percaya akan hal itu, karena ia yakin Ruby berada di bawah tekanan sang Ayah agar ia menjadi Putri Mahkota yang sah.

Namun, mengingat sifat Ruby yang teramat lembut, Theron sempat ragu kalau Ruby berniat akan hal itu. Menjalin persahabatan dari kecil membuatnya sangat mengenal Ruby melebihi orang tua Ruby sendiri. Hati Ruby terlalu lembut untuk melakukan hal keji seperti itu.

Jika benar, itu terlalu jahat untuk ukuran orang sebaik Zalina. Tetapi, pada saat Zalina kecelakaan, pada saat itu juga Ruby menghilang entah ke mana. Saat itu, Theron dilema, ia merasa marah dan diliputi rasa khawatir. Biar bagaimana pun Ruby adalah sahabatnya.

Malam Zalina terluka.

Dan Ruby menghilang.

Petir menggelegar bagai membelah langit hitam, Theron tetap pada pendiriannya untuk mencari Ruby yang menghilang entah ke mana. Dengan diliputi rasa khawatir dan juga amarah yang berlebih, Theron melajukan kudanya dengan kecepatan penuh meski hujan mengguyur dengan lebat.

Saat itu, hanya satu tujuan Theron untuk mencapai Ruby. Sebuah danau biru yang biasanya Ruby datangi saat dirinya tengah kalut. Gadis itu suka sekali pantulan bulan yang mengenai air danau yang hening saat malam hari.

Ruby menyebutnya teman bercerita. Dia menceritakan keluh kesahnya di sana tanpa ada yang membocorkan. Meski telah lama bersahabat dengan Theron, Ruby tidak pernah menganggapnya dapat di percaya hingga membuat Theron sedikit cemburu dengan danau yang ia tuju sekarang.

Namun, untuk apa Ruby ke sana saat bulan sudah sepenuhnya tertutup awan? Ruby tidak pernah senekat ini kalau bukan terjadi sesuatu. Gadis itu tidak pernah membahayakan dirinya demi hal yang sia-sia. Entah bagaimana, ia kepikiran Ruby benar-benar mencelakai Zalina, kekasihnya.

"Ruby!"

Dan akhirnya firasat Theron benar. Ia menemukan Ruby tengah mengambang di danau dengan air hujan mengguyurnya lebat. Mata tertutup dengan bibir pucat itu seketika membuat Theron seperti berhenti bernafas. Cairan panas yang berasal dari matanya mengalir bersama tetesan air hujan di pipinya.

"Ruby! Kau bisa mendengarku? Ku mohon jangan tinggalkan aku!"

Theron sangat takut waktu itu. Ia tidak bisa memikirkan cara lain selain memberi Ruby nafas buatan kemudian menekan dada Ruby untuk mengeluarkan air danau yang baru saja Ruby telan. Ia tidak akan berhenti sampai Ruby mengeluarkan air yang ada dalam tubuhnya.

Sampai akhirnya penantian Theron telah tiba, Ruby terbatuk mengeluarkan air yang sudah ia telan. Akan tetapi bukannya sadar, Ruby malah semakin melemah dan tidak sadarkan diri hingga tujuh hari penuh Theron dilanda rasa bingung dan penuh tanda tanya.

"Bagaimana aku bisa menanyakan apa yang dilakukan Ruby malam itu?" gumamnya meringis di depan Tabib yang merawat Ruby selama tujuh hari ini.

"Sebaiknya anda tidak menanyakan hal itu dulu. Bahkan, saat ini saya tidak yakin apakah nona masih mengingat anda, Yang Mulia."

"Jangan mengarang! Tidak mungkin Ruby melupakan sahabatnya sendiri!" desis Theron tajam penuh emosi yang terpendam.

"Pergi dari sini sebelum aku memenggal kepalamu, tabib!"

***

Ruby menatap kosong ke arah cermin yang menampilkan dirinya secara keseluruhan. Gadis itu sedikit melotot saat menatap warna rambut yang baru ia sadari berbeda sari biasanya. Rambut miliknya yang hitam legam itu kini menjadi kecoklatan. Sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih bersih.

Gadis itu terkekeh. Jadi benar ini adalah masa lalu?

"Aku ... tadi anak siapa?" tanya Ruby lagi pada Elina yang kini tengah menyisir rambutnya dengan telaten.

"Anda adalah Putri Tunggal dari Duke Edelmiro, nama anda adalah ... Ruby Victoria—"

"Sudah-sudah. Kau sudah mengatakannya sepuluh kali hari ini!" Potong Ruby jengkel seraya mengangkat tangannya di depan wajah Elina. Pelayan pribadinya dari kecil. Katanya.

"B-baik nona," jawab Elina dengan sedikit gagap. Kemudian ia kembali menyisir rambut Ruby dengan telaten.

Ruby kembali termenung. Sudah satu hari ia berada di sini dan tidak kunjung mendapat kameramen serta sutradara. Mungkinkah ia harus menjalani selama seminggu dulu agar ia dapat sedikit tenang? Bagaimana jika ini bukan prank?

Jujur saja, dia sedikit malu sampai harus dimandikan seperti tadi. Bagaimana jika kamera mengikutinya sampai kamar mandi?

"Ini tehnya, non—"

"Ah sial!" Umpat Ruby seraya mencomot cemilan yang baru saja diantar oleh pelayan.

Kedua pelayan itu menatap satu sama lain dengan ekspresi bingung. Setelah bangun dari tidurnya yang panjang. Nona mereka jadi banyak mengumpat. Setelah makan, setelah mandi, dan sebelum tidur. Mereka harus membiasakan diri untuk ke depannya.

Elina mengangguk dan kemudian pelayan yang mengantar teh itu keluar dari kamar Ruby. Sementara Ruby sendiri masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi hingga perutnya terasa lapar. Cacing-cacing di dalamnya mungkin sudah demo.

"Ngomong-ngomong sudah jam berapa sekarang? Mataharinya sudah tinggi sekali," kata Ruby menginterupsi, sementara Elina tengah menatapnya bingung.

"Jam itu ... apa?" tanya gadis itu membuat Ruby menepuk dahi. Sial. Konsep tahun berapa memangnya tidak tahu jam.

"Sudahlah." Ruby menarik nafas lalu memutar diri untuk menghadap sang pelayan," begini Elina, aku sudah lapar, bukankah sudah waktunya makan siang?"

"Nona ingin makan siang?" tanya Elina.

"Tentu saja lah! Memangnya aku robot!" ketus Ruby melipat tangan di dada.

"Robot itu apalagi nona?" tanya Elina lagi membuat kepala Ruby pusing bukan main.

"Siapkan saja makanannya Elina! Atau aku sendiri yang mengambilnya dengan kakiku yang lemah ini!" kata Ruby membuat Elina panik dan segera pamit untuk menghampiri pelayan dapur untuk segera menyiapkan makanan Ruby.

Ruby akui Elina itu cantik untuk seukuran pelayan. Akan tetapi saat mengingat betapa polosnya dia, Ruby jadi tidak heran dia dijadikan pelayan. Tapi kenapa harus menjadi pelayannya? Apa dia sama-sama bodoh? Ah miris sekali.

Menjadi Putri Bangsawan bukanlah hal yang menyedihkan baginya. Bukankah sekarang Ruby jadi orang kaya? Ia bisa makan apa saja sekarang dan membeli apa pun yang ia inginkan. Akan tetapi kenapa ia tidak dibolehkan keluar kamar?

"Ini kesialan atau keberuntungan?" gumam Ruby.

"Nona, makana anda akan segera siap!" ucap Elina yang baru saja datang terlihat sangat antusias.

Masih terdengar asing panggilan 'nona' untuk Ruby. Keluarganya bukanlah orang berada. Hidup menjadi anak ke dua dalam tiga bersaudara membuat Ruby selalu dilupakan. Semenjak Ayahnya meninggal, sang Ibu hanya fokus pada kakak perempuan serta adik laki-lakinya.

Sementara Ruby selalu diabaikan. Maka dari itu ia sering mencari kesenangan di luar. Bukan tanpa alasan dia sering kabur dari rumah. Meneriakkan kekesalannya di tengah sepinya malam. Memaki orang rumah yang selalu mengabaikannya. Ia merasa tak pernah dihargai oleh Ibu, dan kedua saudaranya.

Jauh berbeda dengan identitas ini. Dia adalah anak tunggal.

"Elina, bukankah kau bilang kita berada dalam Istana? Memangnya, apa yang dilakukan Putri Duke di sini? Kenapa tidak tinggal di kediamannya sendiri?" tanya Ruby beruntun. Walaupun negaranya bukan kekaisaran akan tetapi dia tahu sedikit tentang tempat tinggal para bangsawan. Apalagi Ruby putri tunggal.

"Nona ... seperti membicarakan orang lain," cicit Elina takut-takut. Gadis itu memilin jari-jarinya gugup.

Ruby menggigit bibur bawahnya bingung, bagaimana ia harus bicara?

"Begini saja. Memangnya apa yang kulakukan di istana ini? Apa ada sesuatu yang harus dikerjakan?" tanya Ruby mebyederhanakan perkataannya.

"Nona memang sudah lama tinggal di sini karena sudah dianggap sebagai keluarga kerajaan oleh Ratu dan Putra Mahkota karena anda bersahabat dengannya. Hingga ... saat kedudukan Putri Mahkota diumumkan, mungkin anda bisa memilih untuk tinggal di mana," jelas Elina.

"Maksudmu? aku calon Putri Mahkota?" tanya Ruby lagi menunjuk dirinya.

Apa ini dongeng? Sebuah novel? Kehidupan Ruby yang begitu sempurna.

"I-itu, belum ada yang tahu siapa yang akan menjadi Putri Mahkota karena sayembara belum berlangsung, nona." Elina meremas tangan yang ada di pangkuannya gelisah membuat Ruby mengernyit bingung.

"Sayembara? Itu berarti ... apa aku punya musuh?" heran Ruby.

"Benar, nona. Istana memiliki satu kandidat lain selain anda,"

Tiba-tiba ia teringat kejadian di danau sebelum ia terbangun di tempat ini. Wanita bergaun putih yang berteriak di tengah hujan sebelum menceburkan diri itu, bukankah dia menyebutkan nama seseorang?

Mungkinkah, dia adalah kandidat lain yang dimaksud?

"Boleh aku tau siapa kandidat Putri Mahkota selain aku?" Ruby menunjuk ke arah dirinya sendiri.

"Nona Zalina, d-dia adalah kekasih Yang Mulia Putra Mahkota."

Ruby ingat nama itu.

'apa anda mencintai nona Zalina?'

'BAIKLAH SAYA AKAN MUNDUR'

Ruby menutup mulutnya shock. Sial! Jadi wanita gila malam itu, adalah Ruby yang asli?

"Akhirnya kau bangun juga, Ruby."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status