"Kenapa kamu gak ajak aja ibu susu Richie tinggal disini, Kav?"
"Dia juga butuh privasi, Mi." "Tapi kita kan jadi repot harus sedia suster lagi." Kavi mengesah pelan, tak langsung menjawab. Ratna memang sangat rewel. Ibunya ini tak ada habisnya mengeluh. "Lebih repot lagi kalau gak ada ibu susu yang sesuai untuk Richie, Mam." Radhi menyela. "Sudahlah, hal-hal kecil seperti itu jangan selalu Mami jadikan sumbu pertengkaran. Hal yang paling penting saat ini, Richie bisa terpenuhi kebutuhan ASI-nya sementara Kavi bisa fokus bekerja mengurus perusahaan." Ratna memutar bola matanya malas. Suaminya ini memang semakin hari semakin tak sejalan dengannya. Apalagi sejak Ratna diketahui menyusun rencana perpisahan Kavi dan kekasihnya yang bernama Felicia. Radhi benar-benar marah pada Ratna, karena nyaris membuat Kavi depresi dan bunuh diri. "Daddy hanya ingin berpesan, agar kamu benar-benar memperhatikan kesehatan ibu susu Richie. Asupannya, harus benar-benar kamu perhatikan agar Richie juga sehat." Kavi mengangguk, paham. "Iya, Pi." Sementara Ratna, mendengus kesal merasa tak ada yang membelanya dan memilih keluar dari kamar bayi yang baru saja di huni oleh cucu lelakinya tersebut. "Aku ingin istirahat, uruslah bayi itu, sesuai dengan keinginan kalian," ucapnya berlalu, membuat kedua pria beda generasi itu saling menatap dan mengedikkan bahu. Kavi tak ingin mengambil pusing sikap ibunya saat ini, yang terpenting semua kebutuhan putranya tercukupi hingga ia dapat terlihat bertanggung jawab dihadapan keluarga mantan istrinya. Sebab, biar bagaimanapun, selama menjalin pernikahan dengan Sylvani, wanita itu juga cukup baik dan pengertian padanya. "Mel!" Panggil Kavi pada suster rumah sakit yang kini ikut membantu menjaga Richie di rumah utama. "Saya, Tuan!" "Ingat ya, jaga anak saya dengan baik. Setiap hari akan ada Asi tambahan yang harus kamu simpan dan jaga dengan baik, agar tetap steril saat diminum Richie!" Pesan Kavi, tegas. "Baik, Tuan!" Radhi menatap putranya tersebut dengan seksama. Ia melihat sesuatu yang berbeda dari biasanya. Binar manik hazel indah milik putra tunggalnya itu memancarkan kebahagian yang sepertinya samar ia sembunyikan. "Kav, ikut ke ruang kerja Daddy," ajak Radhi, akhirnya. Rasanya ia sangat penasaran dan ingin Kavi segera mengakui, meski persentase kemungkinan untuk itu sangatlah rendah. Namun, bukan Radhi namanya bila menyerah sebelum berusaha. Kavi mengerutkan dahinya sebelum kembali melihat Radhi mengangguk dan mulai melangkah keluar dari kamar baby Richie. Hingga, mau tak mau ia pun mengikuti dari belakang. "Apa ada yang sedang kamu sembunyikan dari Daddy?" Tanya Radhi, penuh selidik, membuat air muka Kavi seketika berubah. "Sembunyikan apa?" Kavi mencoba mencari clue lain dari ayahnya. Radhi terdengar menarik napas dalam, sebelum akhirnya kembali berujar. "Aku melihat dari matamu, ada bahagia yang masih enggan kau bagikan." Mendengar ucapan sang ayah yang begitu tepat sasaran Kavi pun seketika kesulitan menelan saliva-nya. "Kavi, kau tahu bagaimana selama ini ayahmu ini selalu mendukung apapun yang menjadi pilihanmu. Namun, aku sarankan untuk kau mempertimbangkan kembali segalanya. Jangan sampai ada yang tersakiti lagi." Ucap Radhi kembali, semakin menguatkan arah tujuan pembicaraan ayah dan anak tersebut kali ini. Kavi menunduk dalam, tak berani menatap Radhi yang kini tengah menatapnya dengan senyum sederhana yang tersungging. Nyatanya sebagai ayah, ia memang sangat memahami putra semata wayangnya ini dengan sangat baik. Gerak-gerik Kavi sangat jelas dapat terbaca olehnya. "Kali ini, aku akan mendukungmu untuk membahagiakannya. Namun, pesanku ... lakukanlah dengan indah, agar Mami-mu juga tak terluka." "Tapi Dad ...." "Aku tahu! Istriku itu memang punya watak yang sangat keras. Ia sangat menginginkan kesempurnaan dalam keluarga ini." Kavi akhirnya diam, tak membalas. Rasanya masih enggan untuk membahas tentang Felicia lagi, sekarang. Ia ingin melihat situasi dan kondisinya lebih dulu sebelum akhirnya kembali membuka diri soal mantan kekasihnya tersebut. Radhi akhirnya bangkit dari kursi kerjanya, menghampiri Kavi yang masih duduk menunduk alam diam. "Jangan putus asa, sebaiknya apa yang kita mau, harus di perjuangkan hingga titik darah penghabisan, agar tidak ada kata menyesal di kemudian hari," imbuh Radhi, memukul pelan pundak Kavi. Meninggalkannya sendirian. Sementara itu di dalam kamar, Ratna telah merebahkan diri dengan wajah yang masam, saat Radhi masuk. "Sudah tidur, Mi?" Tanya Radhi, menghampiri. "Belum," jawab Ratna datar. "Lah, kenapa?" Radhi, duduk di sisi tempat tidur dimana kini istrinya berbaring membelakangi. "Aku masih memikirkan nasib Richie, sebaiknya Kavi menikah lagi, tapi ... dengan siapa?" Ratna mengungkapkan isi pikirannya yang cukup membuat Radhi kehilangan kata-katanya. Bagaimana bisa istrinya ini memikirkan pernikahan lagi untuk putranya, sementara kuburan istrinya saja masih basah. "Apa menurutmu tidak terlalu cepat? Sylvi belum 40 hari." "Cepat bagaimana? Kavi itu laki-laki ... Dia juga gak mungkin bisa urus Richie sendiri, selain punya kebutuhan biologis yang ...." "Mi, untuk kali ini ..., berilah waktu dan ruang untuk Kavi memutuskan jalan hidupnya sendiri. Kasian dia kalau harus terus mengikuti selera kita. Dia sudah tua, sudah bisa memilih mana yang baik dan sangat ia butuhkan dalam hidupnya." Radhi berusaha menenangkan sekaligus meyakinkan Ratna. "Kavi itu naif, Dad. Dia gak tahu mana yang baik, mana yang buruk, mana yang bagus, mana yang jelek." "Mi ...." "Dad! Dengerin Mami ya. Mami melakukan semua ini demi keluarga kita, demi kita semua. Mami gak mau Kavi susah." "Doakan saja yang terbaik! ... Ini sudah larut, Mi. Sebaiknya kita istirahat sekarang. Urusan Kavi, nanti kita bahas di lain waktu." Radhi bangkit menuju walking closet yang berada di sebelah Utara kamarnya. Tak lagi menghiraukan keluhan Ratna yang masih kesal dengan tanggapan suaminya itu. Sementara itu, Felicia yang di tinggal sendiri di Apartemen terus berusaha memejamkan matanya Yanga sedari tadi tak kunjung dapat terpejam, sementara tubuhnya sudah sangat benar-benar lelah. Apartemen dengan ukuran kurang lebih 200 meter persegi itu, agaknya benar-benar membuat Felicia gusar, takut. Entah sudah berapa kali Felicia mengganti posisi tidurnya dan entah usaha apa saja yang sudah ia lakukan agar lebih rileks di tempat barunya ini. Mulai dari minum susu hangat, merendam kaki. Namun, sepertinya semua sia-sia. Felicia tetap tak dapat tertidur dengan tenang. Felicia meraih telepon genggam yang sedari tadi ada di atas nakas sisi kirinya. Usaha terakhirnya adalah menonton drama. Felicia pikir, matanya akan lelah nanti bila terus menatap layar. Felicia baru saja hendak memulai episode pertama, saat sebuah pesan dari Kavi masuk. Sesaat diliriknya jam dinding yang ada tepat di atas pintu kamar tersebut. "Sudah jam 1 dini hari," batin Felicia. "Bisa tidur Fel?" Tanya Kavi dalam pesan tersebut. Felicia hanya membaca pesan dari bubble notifikasi. Ia enggan membukanya langsung, karena Kavi pasti akan tahu bila ia belum tidur. "Syukurlah kalau kamu bisa tidur. Aku khawatir, soalnya kan, aku tahu kamu penakut." Satu pesan lagi masuk. Membuat Felicia mencebik. "Udah tahu penakut, tetap aja di tinggal sendiri!" Dengus Felicia, kesal. "Semoga mimpi indah, Fel." Kavi masih mengiriminya pesan. Membuat Felicia tak tahan untuk membalas. "Mas, aku takut!"Kavi seketika bangkit dari tempat duduknya, terkejut dengan kehadiran sang mantan ibu mertua yang kini berdiri dengan tatap penuh selidik dihadapannya. "Ma-ma?" Kavi terbata menyapa wanita bergaun emerald. "Hmm." "Ini temen aku, Ma." Terang Kavi dengan nada suara yang lebih stabil. Riska, menatap lekat Felicia yang kini menunduk dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Wajahnya yang sendu mengingatkannya pada seseorang. Riska seolah tidak asing dengan Felicia. "Duduk, Ma. Kita makan bareng?" Tawar Kavi santun, seraya menarik satu juga kursi di sisinya, berhadapan dengan Felicia yang semakin resah. "Hmm, gak usah. Mama mau langsung pulang. Tadi ke sini, cuma pengen beli dessert aja." Tolak Riska tanpa mengalihkan pandangannya pada Felicia. "Ah, ya." "Richie apa kabar Kav?" "Baik, Ma. Sehat." "Hmm, syukurlah. Sesekali kamu bawa lah dia ke rumah. Jangan lupakan kalau Mama ini juga neneknya." "Iya, Ma." "Hmm, bawa saat peringatan kematian Sylvi." "Iya, Ma." "Kav, Sylvi belum
"Ada lagi?" Tanya Kavi, lembut. Memastikan bahwa semua kebutuhan Felicia yang sebagian besar merupakan makanan ringan dan bahan makan sehat itu memenuhi trolley yang mereka bawa. Felicia menggeleng malu. Tersirat senyum yang dikulum, menandakan rasa bahagia dan sungkan yang jelas berbaur menjadi satu dalam debaran jantungnya yang kini berirama tak beraturan. "Buah, sayur, daging, ikan segar, Snack, sereal, susu, perbumbuan duniawi," Kavi mengecek kembali isi keranjang dorongnya itu, untuk Felicia simak kembali. "Udah Mas, udah cukup," ujar Felicia, menghentikan tangan Kavi yang masih hendak menambah isi keranjang mereka dengan makanan ringan kesukaan Felicia. "Sekalian, buat stok! Kamu bilang kalau menyusui gampang laper? Nanti kalau gak di isi bisa masuk angin, dong. Terus ASI-nya jadi campur angin, Richie ikut gak nyaman," ucap Kavi yang seketika kembali menyadarkan Felicia, bahwa perhatian Kavi padanya saat ini semata-mata hanya untuk kebutuhan putranya, Richie. Felicia yang t
Kavi hendak meletakkan telepon genggamnya setelah memastikan Felicia baik-baik saja di apartemen tersebut. Namun, saat telepon genggam itu baru saja bersentuhan dengan meja nakas di sisi tempat tidurnya tiba-tiba berdenting dan bergetar, menandakan sebuah notifikasi kembali masuk. "Mas, aku takut!" Isi pesan balasan dari Felicia. Sesaat Kavi terhenyak, lalu tersenyum simpul setelahnya. Seperti dugaannya, wanita itu nyatanya belum berubah. Felicia masih sama penakutnya di tempat baru. "Aku ke sana?" Tawar Kavi masih dengan ekspresi sumringah. Penuh harap, kalau-kalau Felicia memintanya menemani. Sedetik, dua detik, pesannya tak kunjung dibalas, membuat Kavi yang tadinya sumringah, kini mulai mengerutkan dahi. Tak sabar."Gak usah, ini sudah mau pagi." Akhirnya Felicia membalas. Membuat semangat Kavi runtuh. "Hmm, ya sudah kalau begitu. Kamu coba tidur ya." "Iya." "Fel!" Kavi kembali mengirim pesan. "Telepon aja kalau ada apa-apa ya. 24 jam, hapenya gak aku silent." "Hmm, iya, M
"Kenapa kamu gak ajak aja ibu susu Richie tinggal disini, Kav?" "Dia juga butuh privasi, Mi." "Tapi kita kan jadi repot harus sedia suster lagi." Kavi mengesah pelan, tak langsung menjawab. Ratna memang sangat rewel. Ibunya ini tak ada habisnya mengeluh. "Lebih repot lagi kalau gak ada ibu susu yang sesuai untuk Richie, Mam." Radhi menyela. "Sudahlah, hal-hal kecil seperti itu jangan selalu Mami jadikan sumbu pertengkaran. Hal yang paling penting saat ini, Richie bisa terpenuhi kebutuhan ASI-nya sementara Kavi bisa fokus bekerja mengurus perusahaan." Ratna memutar bola matanya malas. Suaminya ini memang semakin hari semakin tak sejalan dengannya. Apalagi sejak Ratna diketahui menyusun rencana perpisahan Kavi dan kekasihnya yang bernama Felicia. Radhi benar-benar marah pada Ratna, karena nyaris membuat Kavi depresi dan bunuh diri. "Daddy hanya ingin berpesan, agar kamu benar-benar memperhatikan kesehatan ibu susu Richie. Asupannya, harus benar-benar kamu perhatikan agar Richie j
"Apartemen ini aku beli atas nama kamu. Jadi, jangan sungkan!" Terang Kavi, sembari mempersilakan Feli masuk ke dalam hunian dengan tipe duplex tersebut.Felicia seketika menghentikan langkahnya, tatkala Kavi memberitahukan status kepemilikan tempat tinggal barunya ini. "Namaku?" Beo Felicia tak percaya. Bola matanya yang cokelat itu bahkan ikut terbelalak karena terkejut. Kavi mengangguk santai dan terus melangkah dengan satu tangan menenteng tas pakaian milik Felicia, sementara yang satunya masuk ke dalam saku celananya. "Apartemen ini akan menjadi milikmu, sebagai salah satu kompensasi yang aku berikan karena kamu sudah menyusui Richie." "Tapi Mas, apa ini tidak berlebihan?" Kavi kembali menggeleng. "Berlebihan gimana? Kamu menyusui Richie untuk menjamin masa depannya. Ini, belum ada apa-apanya di bandingkan dengan itu semua."Langkah Kavi terus membawa Felicia menuju sebuah kamar di lantai satu apartemen tersebut. Belum banyak dekorasi yang berubah, karena apartemen ini bar
"Terlambat?" Suara Ratna menyambut sang putra yang baru beberapa langkah memasuki ruang makan keluarga dengan 12 kursi di sana. "Gimana kondisi Richie? Kapan kamu bawa pulang?" Kali ini pertanyaan ayahnya yang terdengar khawatir. Kavi tak langsung membalas, ia memberikan salam dan kecup hangat terlebih dahulu pada kedua orang tuanya, lalu menarik kursi tepat di sisi kanan sang ayah. "Richie baik-baik saja," jawab Kavi, seraya mengangkat cangkir kopi yang telah tersaji dihadapannya. "Syukurlah, Daddy begitu mencemaskannya." "Hmm.""Bagus kalau begitu. Bawa Richie pulang saat acara 40 harian Vani," ujar Ratna yang lebih seperti perintah. "Ya, Mami benar Vi, keluarga Hasto pasti akan senang melihat cucu mereka." Radhi menimpali. Kavi mengangguk. "Hmm, aku mengerti." "Lalu, apa kamu sudah mendapatkan ibu susu untuk Richie? Usahakan untuk tidak memberikan susu formula hingga usianya 2 tahun, Vi." "Kalau bisa, biarkan ibu susu Richie tinggal bersama kita, agar segala nutrisinya dap