Sabrina terus berdebar jantungnya, ia panik dan terus menggigiti kuku jarinya. Yang ia ingin saat ini hanya melihat putrinya baik-baik saja, mungkin hanya harapan namun Sabrina benar-benar berharap dengan itu.
"Sayang pelan sedikit," tegur Nio pada istrinya.
Namun sekolah nampak ramai orang bergerombol, banyak terdengar suara tangis para anak-anak juga disana. Sabrina semakin cemas hingga kakinya begitu lemas, beruntung Nio sigap menopang tubuh istriyna.
"Sasa, Sasa anak mama."
"Kita lihat dulu, Sasa pasti baik-baik saja."
Tak bisa dipungkiri jika saat ini jantung Nio juga berdebar dengan begitu tak karuan seperti Sabrina, namun ia tak boleh lemah didepan istrinya yang sudah terlihat lemah.
Semakin mereka dekat semakin jelas terdengar suara riuh dari beberapa orang disana, dan ternyata ada ahli medis juga yang tengah menangani pasiennya. Samar-samar telinga Sabrina mendengar seseorang menyebut nama putrinya, ia dengan panik seger
Tangan Selly gemetar melihat putrinya terkapar bersimbah darah, ingin rasanya ia berlari memeluk namun sungguh kini ia sangat takut. Selly perlahan memundurkan langkahnya, kaki itu tak bisa melangkah selain mundur.Sasa yang sudah tak berdaya hanya bisa menatap kepergian Selly meninggalkannya, seorang diri didalam rumah dengan tubuh yang sudah mati rasa. Sasa kini hanya berharap sebelum ia tertidur dan matanya terpejam akan dapat melihat mama yang sangat dirindukannya itu."Terima kasih adik udah mau nemenin kakak disini, kakak jadi nggak sendirian deh."Nio mendapat alamat dimana keberadaan Selly saat ini, ia meminta segera Alex menuju kesana dan mengamankan rumah tersebut.Sabrina terus memaksa ikut dengan suaminya, kini difikirannya hanya ada Sasa dengan ketakutannya. Tak bisa dibohongi jika firasatnya mengatakan saat ini putrinya itu tengah terluka dan membutuhkannya."Nggak ya, kalau hubby nggak mau bawa aku fine gpp. Aku bis
Selly tak tahu harus kemana saat ini, tak mungkin ia kembali kerumahnya dengan semua kondisi saat ini. Sudah pasti Nio akan memburunya disana, kini ia berfikir keras kemana ia harus bersembunyi."Brengsek! Kenapa pake jatuh segala sih, bikin repot banget," gerutunya.Selly kembali mengingat kejadian itu, kejadian dimana Sasa ketakutan dengan keberadaannya. Selly marah, ya dia marah. Dia ibunya, orang yang berjuang mempertaruhkan nyawanya demi Sasa lalu mengapa kini anak yang diperjuangkannya seakan asing dengannya.Selly berniat menghubungi mamanya, namun ia kembali berfikir dan tak ingin melibatkan Lastri kedalam masalah ini. Selly benar-benar tak tahu harus kemana saat ini, satu-satunya tempat yang bisa ditujunya adalah rumahnya namun tak mungkin jika ia sekarang kembali.Selly hanya bisa pasrah, terdiam dalam mobilnya dengan segala kegundahan hatinya. Namun dari semua rasa gundah itu tak satupun terselip rasa penyesalan terhadap apa yang telah di
Hari ini adalah hari dimana Max menerima hukuman matinya, Syan berada disana sebelum akhirnya Max dieksekusi mati. Permintaan Max sebelum eksekusi ternyata sangatlah sederhana, ia hanya ingin mendatangi makan Carisa dan jika ia mati nantinya ia ingin dimakamkan bersebelahan dengan istrinya.Irma marah besar dan tak terima dengan apa yang suaminya minta, bahkan namanya pun tak masuk dalam daftar permintaan itu. Hanya ada tentang Carisa juga anaknya Syan, dan hari ini Syan datang memenuhi permintaan papanya."Syan maafin papa," berat rasanya bagi Syan merelakan papanya dengan hukumannya, berat rasanya ketika pada akhirnya papanya sadar ketika kematian didepan matanya. Hati Syan begitu bergejolak tak karuan, ingin ia berlari memeluk papanya dan mendekapnya lama. Tangannya hanya mampun terulur tanpa mampu meraih Max yang kini ada didepan matanya. Beberapa petugas mulai datang, salah satu dari mereka datang menutup kepala Max dengan sebuah kain hitam.S
Sudah hampir satu bulan sejak kondisi Sasa yang koma, satu bulan pula Selly masih tak kunjung menampakan dirinya. Begitu lihai bersembunyi hingga sampai kini tak ada satupun orang yang dapat menemukannya, bahkan polisi juga sudah menyebarkan foto Selly dimasyarakat sebagai buronan.Kondisi Sasa masih tetap sama, masih tertidur dengan begitu nyenyaknya. Sasa bisa bertahan memang berkat alat bantu yang menopang hidupnya, dokter sudah menyerah pekan lalu dan mengutarakan hal itu pada semua keluarga namun Sabrina histeris dan menolak hal itu. Nio sempat dilema dengan apa yang harus diputuskannya, satu sisi ia tak ingin menyiksa putrinya namun disisi lain ia juga tak bisa mengabaikan kondisi istrinya saat ini."Hai sayang, lihat deh siapa yang datang ini," seru ceria Sabrina.Syan masuk bersama Lili membawa sebuah bonek tedy bear berukuran cukup besar, mereka ingat jika Sasa sangat menyukai jenis boneka itu. Sabrina masih tak menyerah dan berusaha membangunkan pu
Ica turun dan sedikit berlari menuju supermarket yang ada didepannya saat ini, namun tanpa sengaja saat ia ingin mengambil makanan kesukaan Sabrina sebuah tubuh menabrak dirinya. Ica yang saat itu tak seimbang jatuh ke lantai dengan cukup keras. Wanita yang menabrak Ica begitu terkejut saat melihat siapa yang sudah ditabraknya, Ica melihatnya. Saat wanita itu berlari dengan ketakutan tanpa sengaja Ica melihat sekilas wajahnya saat sedang berbalik menatapnya. "Anda?" Suara Ica yang cukup lantang membuat wanita tersebut semakin ketakutan dan mempercepat larinya keluar dari supermarket. Ica segera menyelesaikan belanjanya dan segera kembali kedalam mobil Marshel. "Lama banget sih, beli apa aja sampai lama gini," omel Marshel melihat Ica baru saja duduk disebelahnya. Ica hanya diam, ia terdiam dengan fikiran terus melayang memikirkan wanita yang sempat menabraknya itu. Ia merasa tak asing dengan wajah itu, walaupun luka diwajahnya cukup para
Semua orang menatap kedatangan Nio dengan wajah tegangnya, Nio menaikkan alisnya menatap semua orang didepannya."Apa yang sedang kalian semua sembunyikan ?"Tak ada satupun yang berbicara maupun menjawab pertanyaan Nio barusan, mereka memilih menghindari kontak mata dengan Nio."Lex, katakan."Alex menelan salivanya dengan susabh payah, bibirnya terasa berat menyampaikan apa yang baru saja dokter sampaikan padanya. Terasa berat hingga rasanya ia sudah menjadi orang bisu saat ini."Ikut gue, kita ngobrol di taman aja."Nio mengikuti Marshel berjalan menuju taman rumah sakit, ada rasa penasaran tentang apa yang sebenarnya tengah mereka bicarakan. Selagi Marshel membawa Nio pergi, ketiganya masuk dan menemui Sabrina yang tengah membasuh tubuh putrinya."Kak Ica sendirian aja?" tanya Sabrina dengan tetap fokus pada kegiatannya."Sama kak Marshel kok, cuma lagi keluar sebentar katanya mau ke toilet," bohongnya sembari meletak
Lastri begitu kesepian, hidup sebatang kara tanpa sanak saudara. Hingga kini bahkan dirinya masih tak tahu kemana perginya Selly putrinya, rasanya anaknya itu sudah hilang bersama waktu.Tak hanya tak kunjung menemukan Selly putrinya, ia juga kesulitan menemui putrinya yang hingga kini masih dalam keadaan koma. Nio begitu ketat menjaga putrinya, ia bahkan menempatkan penjaga khusus untuk memantau siapa saja yang bisa menengok putri kecilnya.Merasa bosan, Lastri memutuskan untuk pergi keluar sekedar menghirup udara segar. Menggunakan mobil Lastri terus berjalan hingga ia tiba dimana ia sama sekali belum pernah mengunjungi tempat tersebut.Saat ia membuka jendela mobil, sosok seorang pengemis begitu menarik perhatiannya. Sempat mengira jika itu adalah putrinya. Namun saat matanya menatap wajah rusak itu keyakinan itu menguap begitu saja dari dalam diri Lastri."Sudah gila aku ini, mana mungkin putriku sejelek itu," gumamnya meninggalkan tempat itu.
Nio marah dengan keadaan putrinya saat ini, semua kenangan bersama Sasa terputar begitu saja dalam ingatannya. Semua penjelasan Marshel kala itu kembali berdengung ditelinganya. Ia menatap sang istri yang tengah menangis dalam pelukan maminya, matanya berkabut dengan kekalutannya.Pelahan ia bangkit dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan, Alex berusaha mencegah tuannya agar tak salah berlaku kepada istrinya. Nyatanya kini Nio sudah dikuasai emosinya, ia tak bisa mendengar apapun selain fikirannya sendiri."Ini semua gara-gara kamu, kamu menyiksa anakku! Kamu egosi."Semua orang tercengang mendengar teriakan Nio kala itu, hati Sabrina berdetak begitu cepat mendengar itu. Egois? Apa benar itu, hingga membuat Sabrina menatap suaminya dalam diam."Nio, jaga bicara kamu ini.""Papi nggak usah ikut campur, dia memang sangat egois yang hanya memikirkan perasaannya sendiri."Nio semakin diliputi rasa marahnya, ia kehilangan kendali diri hingg