Amel berdiri mematung di balik pintu, napasnya tercekat. Kata-kata Jonathan barusan menggema terus di benaknya. Mereka akan bertemu lagi besok untuk membicarakan sesuatu yang harus diluruskan. Tapi apa yang perlu diluruskan dari hubungan yang seharusnya sudah selesai? Amel menggenggam dadanya. Rasa nyeri itu kembali menghantam, kali ini bukan di perut, tapi di hati. Ia mundur perlahan, berharap Jonathan tidak menyadari keberadaannya, lalu berjalan menuju kamarnya dengan langkah gemetar. Setelah beberapa menit, Jonathan kembali ke kamar. Amel masih tertidur membelakangi pintu, jadi yang ia rasakan hanya sedikit pergerakan di kasur saat Jonathan duduk di tepinya. Tak lama kemudian, ada sentuhan hangat di keningnya—telapak tangan Jonathan singga sebentar seolah memastikan suhu tubuhnya. "Masih panas," gumamnya pelan. Dengan hati-hati, ia membetulkan selimut yang menutupi tubuh Amel. Gadis itu masih membelakanginya, seolah-olah terlelap. Setelah memastikan Amel nyaman, Jonathan b
Malam telah larut, dan Amel membuka mata perlahan. Pandangannya masih buram karena demam yang belum reda. Namun, yang pertama kali ia lihat adalah kepala seseorang di sisi ranjang, tertidur dengan tubuh bersandar di ujung kasur. Jonathan. Dan pria itu menggenggam erat jemarinya. Hatinya berdenyut. Jonathan masih mengenakan kemeja, tapi kancing atasnya terbuka, dasinya tersampir di kursi. Wajahnya terlihat lelah. Helaan napasnya teratur, tapi ada kerutan tipis di antara alisnya, seolah ia tetap waspada bahkan dalam tidur. Amel menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca, lalu air mata itu pun jatuh perlahan. Ia menangis. Tanpa suara. Jonathan membuka mata karena merasakan gerakan pelan dari Amel. Ia terbangun, tubuhnya menegak. Tangan satunya mengusap dahi Amel dengan lembut. “Amel?” Jonathan terlihat cemas. Tangannya tetap menyentuh dahi Amel, memeriksa jika demam kembali naik. “Kenapa? Perutmu sakit lagi?” tanyanya cemas. Amel menggeleng pelan. Tangisnya masih tertahan.
Sore itu, langit berwarna jingga tembaga. Amel duduk sendirian di bangku dekat kolam. Matanya kosong menatap ke depan. Pikirannya penuh dan lelah. Sudah lebih dari satu jam dia di situ. Hanya diam memeluk perutnya yang mulai nyeri karena stres yang terus menumpuk. Langkah kaki berat menghentak kerikil. Suara sepatu kulit mendekat. “Amel, kenapa kamu disini sendirian?” Suara Marcell terdengar dari belakang, membuat Amel menoleh. “Tadi aku ke kamar, tapi kamu tidak ada di sana.” Amel menghela napas singkat. “Aku hanya ingin sendiri. Jadi bisakah kamu pergi dari sini? Tolong,” pintanya dengan nada lelah. Marcell tak langsung menjawab. Ia justru melangkah lebih dekat, menyisakan hanya beberapa meter jarak di antara mereka. “Kenapa?” tanyanya dengan nada tenang. “Apa aku tidak boleh mendekatimu? Kita sudah sepakat soal ini, kan? Tidak ada batasan di antara kita.” Amel menunduk. Tangannya refleks menggenggam perutnya yang mulai terasa nyeri lagi. “Aku hanya butuh waktu sendiri.”
Pagi itu, Amel sarapan hanya berdua dengan Laura. Jonathan sudah pergi sejak fajar menyingsing, katanya ada rapat penting di kantor. Ratna sedang berada di luar kota, sementara Marcell belum juga pulang dari semalam. Suasana meja makan terasa sunyi. Hanya denting sendok yang sesekali terdengar, diselingi suara lembut Laura yang bertanya tentang kehamilan Amel, dan dijawab seperlunya oleh gadis itu. Saat ini perasaannya campur aduk. Ia berusaha untuk tidak memikirkan tentang Jonathan yang masih menemui Fidya diam-diam disaat dia mencoba untuk percaya. “Pastikan kamu makan banyak, ya, Nak,” ujar Laura lembut, menatap Amel dengan sorot prihatin yang disembunyikan di balik senyum keibuan. Amel mengangguk pelan. Senyum tipis terbit di sudut bibirnya. “Baik, Ma,” sahutnya singkat. Keduanya kembali terdiam. Hanya bunyi peralatan makan yang terus mengisi keheningan. Di sisi lain, di ruang kerjanya yang megah di pusat kota, Jonathan duduk di balik meja. Layar laptop menyala, file rap
Jonathan masuk tanpa menunggu jawaban. Wajahnya serius. Sorot matanya tajam, tapi jelas terlihat lelah. “Kita perlu bicara,” katanya singkat Amel menghela napas panjang, lalu duduk di sisi ranjang. “Nanti saja, Kak,” tutur Amel pelan, dengan nada lelah yang tak kalah dari Jonathan. Jonathan melangkah mendekat, lalu berhenti tepat di depan Amel. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, seolah berharap amarahnya bisa luruh bersama gerakan itu. “Ada apa denganmu, Amel?” tanyanya dengan nada yang tak lagi bisa ditahan. “Beberapa hari ini kita baik-baik saja. Tapi sekarang? Aku harus menghadapi sikapmu yang berubah-ubah seperti ini. Aku juga lelah, Amel!” “Kalau begitu abaikan saja aku!” sahut Amel, suaranya meninggi, lalu menurun pelan, seolah tercekik oleh emosi yang terlalu berat untuk dikeluarkan. Jonathan menatapnya lama, pandangannya campur aduk–antara marah, bingung, dan kecewa. “Kamu pikir aku bisa mengabaikanmu semudah itu?” tanyanya serak. Tatapannya menyapu wajah Amel, seola
Di dalam mobil, suasana terasa lebih sunyi dari biasanya. Mesin mobil menderu pelan, mengiringi jalanan siang yang tak terlalu ramai. Sinar matahari menembus kaca jendela, membingkai wajah Amel yang diam menatap ke luar. Di pangkuan, layar ponsel masih menyala, menampilkan pesan singkat yang membuat perutnya mual sejak tadi. Jonathan melirik ke arah Amel beberapa kali dari balik kemudi. “Kamu yakin tidak ada apa-apa?” tanyanya pelan. Amel tersenyum paksa. “Iya, Kak. Tidak ada,” ucapnya singkat. “Hanya sedikit lelah.” Jawaban itu tidak membuat Jonathan puas, tapi ia tak ingin memaksa. “Baiklah. Kita langsung pulang ya. Supaya kamu bisa istirahat.” Mobil meluncur dalam diam. Hanya suara pendingin udara dan musik lembut dari radio yang terdengar samar. Amel menunduk, menggenggam ponsel erat-erat. Di layar, wajah Fidya–di dalam mobil Jonathan– tersenyum di balik foto-foto itu, Jonathan yang sedang mengemudi disampingnya, lalu Jonathan yang sedang meletakan makanan di atas meja makan.