Amel tidak tahu sudah jam berapa, namun rasa laparnya membuatnya terjaga. Tangannya secara otomatis menyentuh perutnya yang mulai keroncongan. Ia menghela napas panjang, merasa lelah dan tak tahu apa yang harus dilakukannya. Tiba-tiba, pintu terbuka perlahan. Amel langsung berdiri, matanya bergerak gelisah melihat Marcell di ambang pintu. “Kak?” Suaranya terdengar ragu, namun penuh harap.Marcell muncul membawa sebuah kotak nasi. Ia berjalan mendekat, namun sebelum berbicara, ia mengunci pintu dengan gerakan tenang, lalu mengantongi kembali kunci itu.“Makanlah dulu,” ujar Marcell dengan nada datar, menyodorkan kotak nasi ke arah Amel.Amel hanya mengangguk perlahan, ragu. Matanya menatap kotak nasi itu sejenak, sebelum ia mengambil kotak tersebut, kembali duduk di ranjang, dan mulai makan dengan lambat.Amel mengunyah, namun hatinya terasa berat. Ia memandang Marcell sejenak, lalu mengumpulkan keberanian untuk berbicara. “Kak, tolong bawa aku keluar dari sini. Jonathan pasti khawat
Amel memeluk perutnya erat sambil menunduk, membiarkan air matanya jatuh tanpa mampu dihentikan. Ia baru menyadari bahwa sebelah sandalnya hilang entah dimana. Telapak kakinya memerah, sebagian memar dan bahkan ada yang berdarah. Rasa sakit itu baru terasa saat semuanya menjadi sunyi. Beberapa menit berlalu, terasa seperti berjam-jam. Amel menghapus air matanya dengan punggung tangan, lalu menyeret tubuhnya yang lemas ke sisi ranjang. Derit panjang terdengar saat pegas ranjang menerima beban tubuhnya. Matanya menyapu seluruh sudut ruangan, mencari kemungkinan celah, jendela tersembunyi, atau pintu rahasia, apapun yang bisa membantunya melarikan diri. Tapi tak ada harapan. Ruangan itu tertutup rapat, tanpa celah sedikitpun. Ia mulai berdoa dalam hati, berharap Jonathan segera menemukannya.Tiba-tiba, suara mobil terdengar. Ia menegakkan tubuhnya dan buru-buru menempelkan telinga ke dinding, mencoba menangkap suara yang perlahan menjauh. Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya mulai be
Kata-kata itu terus bergema di kepala Amel, menggumpal di tenggorokan, menahan setiap kalimat yang ingin ia ucapkan. Ia melirik pria di sampingnya. Pria itu menunduk dalam. Rahasia seperti apa yang begitu berat, sampai-sampai dua saudara kandung ini–Marcell dan Jonathan–mengucapkan hal yang sama? “Sebenarnya apa yang kalian sembunyikan dariku?” tanya Amel akhirnya. Marcell masih tak menjawab. Kedua telapak tangannya dirapatkan, lalu dikepalkan erat di atas lutut. Buku-buku jarinya memutih. Rahangnya menegang. Ia terlihat seperti seseorang yang sedang berperang dengan dirinya sendiri— antara mengatakan sesuatu yang seharusnya dikatakan atau menyimpannya lebih lama lagi. Amel meliriknya dengan cemas. Ia ingin mendesak lebih jauh, ingin mengguncang bahu pria itu agar bicara, tapi ia tahu, satu tekanan yang salah bisa membuat segalanya lepas kendali. Jadi ia hanya duduk di sana, menatap Marcell yang masih diam membatu, berharap dengan sabar dan cemas, bahwa pria itu akhirnya memilih u
Amel memejamkan mata, memeluk perutnya erat. Tangannya gemetar, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya meski AC mobil menyala. Ia mencoba bernafas perlahan, mencoba mengendalikan kepanikan yang mulai menyesakkan dadanya. Marcell menyetir tanpa bicara. Suasana di dalam mobil terasa mati. Hanya suara roda menggilas aspal dan dengung samar mesin yang terdengar. Jalanan makin sepi. Pusat kota sudah tertinggal jauh dibelakang—yang ada hanya deretan ruko kosong dan sawah gelap di kejauhan. Amel melirik ke sisi pintu. Kunci otomatis masih menyala merah. Terkunci. Ia menatap ke luar, mencari penanda jalan, toko, apa saja yang bisa dikenali, tapi semuanya asing. “Kamu mau bawa aku kemana?” suaranya pelan, tercekik.Marcell tetap diam. Jemarinya mencengkram setir lebih kuat, buku-buku jarinya menegang. Amel menelan ludah. Perlahan, ia menggeser tangannya ke arah saku celana—ponselnya tidak ada. Ia ingat, tadi tertinggal di kamar. Mulutnya terasa pahit. “Kalau kamu terus seperti ini,” k
Amel duduk di tepi ranjang, tangannya meremas ujung selimut dengan gemetar. Ia tak keluar kamar setelah pulang dari kafe tersebut. Pikirannya masih kalut, terus memutar kejadian tadi—Jonathan memeluk Fidya. Ia mencoba menepisnya, menolak percaya, tapi bayangan itu terus berulang di benaknya. Apakah semua kata-kata Jonathan selama ini hanya omong kosong?Hingga suara ketukan keras di pintu membuatnya terlonjak. Sebelum sempat menjawab, pintu terbuka. Marcell berdiri di ambang pintu—wajah pucat, rambut berantakan, mata merah. “Amel,” panggil Marcell, suaranya pelan tapi mendesak. “Kamu harus ikut aku sekarang.”Amel mengerutkan keningnya. “Kemana, Kak?” Marcell masuk tanpa memberi jawaban. Langkahnya cepat, gelisah. Amel refleks berdiri, satu langkah mundur. “Kak Marcell, ada apa? ” “Aku sudah tidak tahan. Mereka semua membohongi kita. Jonathan, Mama, Eyang. Mereka semua tahu apa yang terjadi, tapi memilih diam.”“Apa maksudmu?” Marcell menghampirinya, menggenggam tangannya dengan
Tangan Amel bergetar saat ia menggenggam ponsel. Hanya satu kalimat, tapi mampu membuat jantungnya berdegup tak beraturan. Ia menoleh lagi ke arah Jonathan, memastikan pria itu masih tertidur pulas. Wajah suaminya tampak tenang, hampir damai. Ia bangkit perlahan, berusaha tak membuat suara. Kakinya melangkah pelan, nyaris tanpa suara, melintasi lantai marmer dingin menuju pintu balkon. Ia membuka pintunya perlahan dan melangkah keluar. Angin langsung menyapa kulitnya yang merinding.Amel menutup pintu kaca di belakangnya dan berdiri di luar. Langit masih gelap, tapi semburat jingga mulai terlihat di ufuk timur. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tangannya masih menggenggam ponsel.Amel mengetuk layar ponsel, membuka pesan itu lagi. Matanya membaca berulang kali kalimat yang sama,[Kamu ingin tahu siapa yang menabrak orang tuamu empat tahun lalu di malam Paskah itu?]Dengan napas yang ia atur pelan-pelan, Amel menekan tombol panggil. Nadanya berdering. Sekali. Dua