Share

Bab 6. Perhatian Marcell

Penulis: Ralonya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-20 14:10:43

Amel melangkah ke arah pintu. Namun belum sempat menyentuh gagangnya, pintu itu terbuka dari luar. Marcell berdiri di ambangnya, mengenakan mantel gelap dan membawa kantong kertas. 

 Amel membeku sesaat. 

 “Kak Marcell?” lirihnya tercekat. 

  Pria itu melangkah masuk. Suara sepatunya menggema pelan di lantai marmer, menciptakan irama sunyi yang menekan. Amel mundur beberapa langkah hingga kakinya menyentuh pinggiran kasur. 

 “Aku dengar kamu sakit,” kata Marcell datar. “Eyang bilang kamu minta dibelikan obat. Jadi aku datang memeriksa keadaanmu sekalian membawakan obat.” 

 “Kenapa masuk tanpa izin?” tanya Amel pelan, berusaha mempertahankan jarak. 

 Marcell menaikkan alis. “Lucu kamu bicara soal izin. Padahal kamu pernah berbagi ranjang dengan kakakku tanpa malu.” 

 “Jangan bawa-bawa itu!” seru Amel nyaris berteriak, tapi tubuhnya terlalu lemah. Dia menjatuhkan diri ke ranjang, wajahnya memucat. 

 Napas Amel memburu. Dinding kamar yang biasanya menenangkan kini terasa seperti penjara. Dia ingin berteriak, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. 

 Marcell ikut duduk di tepi ranjang, menyandarkan satu siku di lututnya. Sorot matanya tajam, seolah menatap milik yang pernah ia genggam tapi terlepas. 

  "Aku tahu sakitmu bukan cuma karena perut. Kamu takut, ya?" suaranya merendah, nyaris seperti bisikan—lembut, tapi tajam. “Takut Jonathan tidak pulang? Atau takut Fidya mengambilnya darimu?” 

  "Pergi, kak..." desis Amel. Suara gemetar. 

  “Aku bisa membantumu merasa lebih baik, kalau kamu mengizinkan." Nadanya halus, tapi mengandung tekanan. 

  “Jangan sentuh aku!” 

 “Aku tidak akan menyentuhmu, tapi jika kamu mengizinkan, aku...,” 

 “Tidak, kak,” potong Amel cepat. “Kumohon, pergilah. Kak Jonathan akan segera pulang.” 

 Marcell mendengus. “Kamu pikir dia akan pulang karena peduli padamu?” Ia mencondongkan tubuh. “Bukan, Amel. Dia hanya peduli pada satu orang: Fidya.” 

 Ucapan itu menancap seperti paku di dada Amel. Wajahnya menegang. Bayangan Jonathan menggandeng tangan Fidya dan membawanya pergi kembali menghantui. Amel menggeleng lirih, menggigit bibirnya agar tidak menangis. 

 Marcell terus menekan, mendekat hingga wajah mereka nyaris bersentuhan. 

 “Kalau bukan karena bayi itu, kamu pikir dia akan memilihmu, menikahimu? Jangan bodoh, Amel.” 

  Setetes air mata meluncur dari mata Amel, tapi dia menolak memalingkan wajah. “Aku tahu... Jadi diamlah!" 

  Marcell menyeringai, tapi senyum itu kosong—dingin seperti topeng. 

  “Aku akan tetap datang… kapan pun aku mau, karena aku tidak bisa lagi membiarkanmu jadi milik orang lain. Tidak setelah mama mengambilmu menjadi anaknya. Tidak juga setelah Jonathan merebut semuanya dariku, termasuk kamu. Kali ini, aku tidak akan tinggal diam.” 

 Amel sepenuhnya tidak paham, tapi kalimat terakhir itu seperti membuka lembaran kelam yang selama ini ditutup rapat. Empat tahun di rumah itu membuatnya tahu apa yang sudah terjadi. Ketegangan dan perebutan kursi jabatan antara dua saudara sedarah itu menjadi makanannya setiap hari. 

  Terdengar suara langkah cepat dari arah tangga—seseorang datang. Marcell berdiri, mengatupkan rahang, dan menatap pintu sejenak. 

  “Dia datang atau tidak pun, aku akan selalu jadi orang pertama yang tahu saat kamu butuh seseorang. Karena aku memperhatikanmu jauh lebih lama dari yang kamu sadari.” 

 Amel terpaku. Setiap kata-kata itu menyadarkannya akan sesuatu—bahwa mungkin sejak awal, Marcell tidak pernah benar-benar membenci kehadirannya. Mungkin yang pria itu benci adalah kenyataan bahwa dia tidak pernah bisa memilikinya. 

 Marcell melangkah keluar kamar, tapi sebelum pintu tertutup sepenuhnya, dia sempat berujar: 

  “Di hari-hari selanjutnya... aku akan lebih sering menunjukkan kehadiranku. Jadi, jangan menolak ku!" 

 Amel meremas ujung sprei, tubuhnya gemetar. Jadi selama ini, Marcell memperhatikannya? 

 **

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 47. “Saat aku menyakitimu.”

    Sore itu, langit berwarna jingga tembaga. Amel duduk sendirian di bangku dekat kolam. Matanya kosong menatap ke depan. Pikirannya penuh dan lelah. Sudah lebih dari satu jam dia di situ. Hanya diam memeluk perutnya yang mulai nyeri karena stres yang terus menumpuk. Langkah kaki berat menghentak kerikil. Suara sepatu kulit mendekat. “Amel, kenapa kamu disini sendirian?” Suara Marcell terdengar dari belakang, membuat Amel menoleh. “Tadi aku ke kamar, tapi kamu tidak ada di sana.” Amel menghela napas singkat. “Aku hanya ingin sendiri. Jadi bisakah kamu pergi dari sini? Tolong,” pintanya dengan nada lelah. Marcell tak langsung menjawab. Ia justru melangkah lebih dekat, menyisakan hanya beberapa meter jarak di antara mereka. “Kenapa?” tanyanya dengan nada tenang. “Apa aku tidak boleh mendekatimu? Kita sudah sepakat soal ini, kan? Tidak ada batasan di antara kita.” Amel menunduk. Tangannya refleks menggenggam perutnya yang mulai terasa nyeri lagi. “Aku hanya butuh waktu sendiri.”

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 46. Perhatian dalam diam

    Pagi itu, Amel sarapan hanya berdua dengan Laura. Jonathan sudah pergi sejak fajar menyingsing, katanya ada rapat penting di kantor. Ratna sedang berada di luar kota, sementara Marcell belum juga pulang dari semalam. Suasana meja makan terasa sunyi. Hanya denting sendok yang sesekali terdengar, diselingi suara lembut Laura yang bertanya tentang kehamilan Amel, dan dijawab seperlunya oleh gadis itu. Saat ini perasaannya campur aduk. Ia berusaha untuk tidak memikirkan tentang Jonathan yang masih menemui Fidya diam-diam disaat dia mencoba untuk percaya. “Pastikan kamu makan banyak, ya, Nak,” ujar Laura lembut, menatap Amel dengan sorot prihatin yang disembunyikan di balik senyum keibuan. Amel mengangguk pelan. Senyum tipis terbit di sudut bibirnya. “Baik, Ma,” sahutnya singkat. Keduanya kembali terdiam. Hanya bunyi peralatan makan yang terus mengisi keheningan. Di sisi lain, di ruang kerjanya yang megah di pusat kota, Jonathan duduk di balik meja. Layar laptop menyala, file rap

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 45. Kecemburuan Jonathan

    Jonathan masuk tanpa menunggu jawaban. Wajahnya serius. Sorot matanya tajam, tapi jelas terlihat lelah. “Kita perlu bicara,” katanya singkat Amel menghela napas panjang, lalu duduk di sisi ranjang. “Nanti saja, Kak,” tutur Amel pelan, dengan nada lelah yang tak kalah dari Jonathan. Jonathan melangkah mendekat, lalu berhenti tepat di depan Amel. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, seolah berharap amarahnya bisa luruh bersama gerakan itu. “Ada apa denganmu, Amel?” tanyanya dengan nada yang tak lagi bisa ditahan. “Beberapa hari ini kita baik-baik saja. Tapi sekarang? Aku harus menghadapi sikapmu yang berubah-ubah seperti ini. Aku juga lelah, Amel!” “Kalau begitu abaikan saja aku!” sahut Amel, suaranya meninggi, lalu menurun pelan, seolah tercekik oleh emosi yang terlalu berat untuk dikeluarkan. Jonathan menatapnya lama, pandangannya campur aduk–antara marah, bingung, dan kecewa. “Kamu pikir aku bisa mengabaikanmu semudah itu?” tanyanya serak. Tatapannya menyapu wajah Amel, seola

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 44. Orang ke tiga

    Di dalam mobil, suasana terasa lebih sunyi dari biasanya. Mesin mobil menderu pelan, mengiringi jalanan siang yang tak terlalu ramai. Sinar matahari menembus kaca jendela, membingkai wajah Amel yang diam menatap ke luar. Di pangkuan, layar ponsel masih menyala, menampilkan pesan singkat yang membuat perutnya mual sejak tadi. Jonathan melirik ke arah Amel beberapa kali dari balik kemudi. “Kamu yakin tidak ada apa-apa?” tanyanya pelan. Amel tersenyum paksa. “Iya, Kak. Tidak ada,” ucapnya singkat. “Hanya sedikit lelah.” Jawaban itu tidak membuat Jonathan puas, tapi ia tak ingin memaksa. “Baiklah. Kita langsung pulang ya. Supaya kamu bisa istirahat.” Mobil meluncur dalam diam. Hanya suara pendingin udara dan musik lembut dari radio yang terdengar samar. Amel menunduk, menggenggam ponsel erat-erat. Di layar, wajah Fidya–di dalam mobil Jonathan– tersenyum di balik foto-foto itu, Jonathan yang sedang mengemudi disampingnya, lalu Jonathan yang sedang meletakan makanan di atas meja makan.

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 43. Detak kecil di dalam perut

    Lorong rumah sakit pagi itu lengang. Aroma antiseptik dan wangi samar dari diffuser lavender menyambut langkah Amel dan Jonathan yang berjalan berdampingan, meski tak saling bergandengan tangan. Amel menunduk pelan, menahan senyum. Perutnya yang baru sedikit menonjol membuat langkahnya sedikit pelan. Jonathan berjalan setengah langkah di belakang, sesekali meliriknya dengan gugup—seperti suami baru yang belum hafal ritme pasangannya. “Ini pertama kalinya kamu ikut kontrol,” gumam Amel, tidak bisa menyembunyikan rasa gembiranya. “Hm.” Jonathan mengangguk, tapi mata tajamnya tak lepas dari setiap gerak Amel. Mereka masuk ke ruang praktek dokter kandungan. Ruangan itu hangat dan tertata nyaman. Ada sofa kecil, tirai lembut di jendela, dan alat USG yang terlihat canggih di pojok ruangan. Dokter Dina menyambut mereka dengan senyum ramah. “Selamat pagi, Bu Amel, Pak Jonathan. Hari ini periksa kehamilan tiga bulan, ya?” sapanya sambil membuka catatan rekam medis. “Iya, dok. Tiga bu

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 42. Jangan biarkan siapa pun masuk

    Amel duduk bersila di atas karpet ruang keluarga. Kotak P3K terbuka di hadapannya, isinya berserakan: perban, plester, kapas, dan cairan antiseptik. Tangan kecilnya bekerja pelan dan teliti, seolah setiap benda harus kembali ke tempat semula dengan rapi. Di sofa, Marcell bersandar santai. Lengan kirinya terentang malas di sandaran, sementara mata tajamnya menatap Amel yang sedang sibuk merapikan isi kotak. “Kamu lembut juga, ya, kalau lagi ngobatin orang,” ucap Marcell dengan suara rendah. Senyum samar menghiasi ujung bibirnya, meski sisi lainnya masih tampak memar, tertutup plester. Amel tidak langsung menjawab. Ujung jarinya berhenti sejenak di atas plester, lalu melipatnya pelan. Bukan karena dia malu, tapi karena hatinya terasa sedikit tak tenang. Lalu terdengar langkah kaki menyentuh lantai marmer, agak terburu-buru membuatnya menoleh. Jonathan berdiri di sana, masih mengenakan kemeja kerja yang tadi pagi dia pilihkan. Di tangan pria itu ada buket mawar putih tampak mencol

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status