Selesai makan malam, Flora tidak langsung kembali ke kamarnya. Ia memilih duduk di taman, menikmati dinginnya malam yang terasa semakin menusuk setelah hujan deras mengguyur sore tadi.
Di bawah langit gelap yang dihiasi bintang-bintang samar, pikirannya melayang pada mimpi-mimpi yang belakangan ini kerap menghampirinya. Mimpi-mimpi itu terasa begitu nyata, seperti pintu yang membuka kenangan masa lalunya. Dan yang paling mengganggunya, di setiap mimpi itu selalu ada Birru—sosok yang kini menjadi bagian dari hidupnya dengan cara yang tak pernah ia bayangkan. Flora menarik napas panjang. Ia bertanya-tanya, apakah dirinya mulai merindukan Birru yang dulu? Birru yang lembut, penuh perhatian, dan selalu menjaga dirinya layaknya seorang kakak? Ia tahu pasti perasaannya pada Birru tak pernah lebih dari sekadar kasih sayang seorang adik kepada kakaknya. Bukti nyatanya, ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Riki, pria yang ditemuinya di hari pertama masuk sekolah. Namun kini, semuanya berubah. Sikap Birru yang dingin dan penuh sinisme terhadapnya membuat hatinya terluka. Perlakuan Birru seolah menyalahkannya atas pernikahan dadakan yang tiba-tiba mempertemukan mereka sebagai suami istri. Padahal, ia sama sekali tidak tahu-menahu soal perjodohan itu. "Kenapa kamu malah duduk di sini sendirian, Flo?" Suara Violet tiba-tiba memecah keheningan malam. Flora tersenyum kecut pada kakak iparnya itu, lalu bergeser, memberi ruang untuk Violet duduk di sebelahnya. "Dia masih sering ketus sama kamu?" tanya Violet, meskipun sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. Flora hanya mengangguk pelan tanpa kata. Hanya kepada Violet, ia bisa menjadi dirinya sendiri—rapuh dan terluka. Di depan orang lain, ia selalu berusaha tegar. Tapi malam ini, semuanya runtuh. Violet merangkulnya dengan hangat, mencoba menyampaikan kekuatan tanpa kata. Perlahan, Flora mulai menangis dalam pelukan Violet. Tangisnya pecah, seolah ingin meluapkan semua rasa sakit yang ia pendam selama ini. Violet hanya diam, terus mengelus punggungnya dengan lembut, berharap pelukan itu bisa sedikit mengobati luka di hati Flora. Namun tanpa mereka sadari, di ujung pintu taman yang remang-remang, Birru berdiri diam. Pandangannya terpaku pada Flora yang menangis dalam pelukan Violet. Ada sesuatu yang menghantam dadanya—rasa sesak dan tidak nyaman yang ia sendiri tak bisa pahami. Ia membenci pernikahan ini. Ia membenci segala hal yang berhubungan dengannya, termasuk Flora. Gadis yang dulu ia sayangi sebagai adik, kini menjadi istrinya. Perubahan status itu membuat segalanya terasa salah. Semua kasih sayangnya seolah terkubur oleh rasa kesal dan keterpaksaan. Tapi malam ini, melihat Flora menangis seperti itu, sesuatu di hatinya terasa retak. Namun ia terlalu bingung untuk memahami apa artinya. * Setelah memastikan Lia sudah tertidur di kamarnya, Flora kembali ke kamarnya sendiri. Ia tidak mau mertuanya itu melihat wajahnya penuh dengan sisa kesedihan. Flora membuka pintu perlahan, berusaha tak menimbulkan suara. Di dalam, Birru sudah ada di atas kasur, bersandar pada kepala ranjang dengan sebuah buku di tangannya. Itu kebiasaan Birru sebelum tidur—membaca meskipun hanya sebentar. Birru sama sekali tidak menoleh atau melirik ke arah Flora, namun ia tahu siapa yang baru saja masuk. Kehadirannya sudah cukup dikenali tanpa harus melihat. Flora berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya yang sembab. Bekas air mata membuat wajahnya terasa lengket, dan ia butuh waktu untuk meredakan kesedihan yang masih terasa mengganjal di dadanya. Setelah itu, ia menuju walk-in closet untuk berganti piyama. Saat pintu tertutup, Birru perlahan mengangkat kepalanya dari buku yang sedang ia baca. Matanya terarah pada pintu, tatapannya kosong dan penuh keraguan. Namun, ketika Flora membuka pintu kembali, suara halus dari engsel pintu membuatnya buru-buru menunduk, kembali memfokuskan diri pada halaman buku di tangannya. Flora berjalan mendekat dan menyibak selimut di atas kasur. Ia masuk ke dalamnya, lalu duduk sejenak, seperti ingin mengatur posisi tidur. Namun ketika ia mulai menggeser tubuh untuk berbaring, suara Birru tiba-tiba memecah keheningan. “Besok mau ke mana?” tanyanya tanpa mengangkat pandangan dari bukunya. Flora berhenti bergerak, menoleh dengan dahi berkerut bingung. “Maksudnya?” suaranya terdengar pelan dan serak, sisa tangis tadi masih terasa jelas. Birru akhirnya menatap Flora sekilas. Wajah sembab gadis itu terlihat jelas di bawah lampu kamar, tapi ia segera memalingkan pandangan lagi. “Katanya mau jalan-jalan,” ucapnya singkat, nadanya datar. “Oh.” Flora mengangguk kecil, tapi tak menunjukkan minat untuk melanjutkan percakapan. “Nggak usah dipikirin, gue mau di rumah aja. Tidur seharian.” Nada suaranya terdengar cuek, dan ia segera berbaring, membelakangi Birru, bersiap memejamkan mata. Ia mendengar Birru mendesah pelan, kesal. “Lu mau bikin gue disalahin sama Bunda karena nggak ngajak lu jalan-jalan?” Nada sinis itu membuat Flora memejamkan matanya lebih kuat, mencoba mengabaikan. Setelah menarik napas dalam, ia menjawab tanpa mengubah posisi. “Terserah lu aja kalau gitu. Gue ikut aja ke mana pun lu mau pergi.” Suaranya datar, tanpa emosi, seperti menyuruh Birru menyelesaikan masalahnya sendiri. “Terserah?” ujar Birru, suaranya terdengar datar. “Mau gue bawa ke kuburan sekalian?” Entah kenapa, kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Tanpa berpikir. Flora, yang awalnya membelakanginya, tiba-tiba berbalik. Tatapan matanya tajam menembus Birru, seolah mencari makna di balik ucapannya. Birru, yang masih duduk bersandar dengan santai, segera menyadari gerakan itu. Pandangannya beralih pada Flora, mencoba membaca pikiran gadis itu, menebak-nebak apa yang akan dia katakan selanjutnya. “Lu mau ngajak gue mati? Atau lu mau gue mati?” Suara Flora dingin, nyaris tanpa emosi, tapi justru itulah yang membuat kalimatnya terasa menusuk. Tatapan seriusnya membuat Birru terdiam. Wajahnya yang tadi terlihat cuek langsung berubah suram. Kata-kata itu menghantam kesadarannya—apa yang barusan dia ucapkan begitu salah. Namun, alih-alih menjawab, Birru hanya terdiam. Kata-kata seolah terjebak di tenggorokannya, tidak mampu melawan keheningan yang mendadak terasa berat. Melihat itu, Flora menghela napas pelan. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia kembali memunggungi Birru, meninggalkannya dengan rasa bersalah yang membebaninya dalam keheningan malam itu. “Gue udah booking kamar di resort, dua malam,” ucap Birru akhirnya, suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit nada ragu. “Senin kan tanggal merah.” Ia menoleh, berharap setidaknya ada reaksi kecil dari Flora. Tapi gadis itu tetap diam, tidak bergeming sedikit pun. Wajahnya tetap menghadap ke sisi lain, matanya terpejam seperti mencoba melarikan diri dari percakapan. “Rekomendasi dari Mbak Violet,” tambah Birru, mencoba membuat pernyataannya terdengar lebih ringan. Ia berharap menyebut nama itu akan memancing sedikit ketertarikan, seolah rencana ini bukan sepenuhnya ide dia. Namun Flora masih sama. Diam. Dingin. Tubuhnya tak bergerak, posisinya tetap membelakangi Birru seolah kehadiran pria itu tak berarti apa-apa. Birru mengembuskan napas panjang, memalingkan pandangannya ke arah langit-langit. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan lagi. Pikirannya berkecamuk, tapi tak ada satu pun yang berhasil ia jadikan kata-kata. Mungkin Flora memang sengaja bersikap seperti ini. Atau, mungkin ia benar-benar sudah tidak peduli. ***Hari-hari berikutnya, Birru mulai mencari rumah yang sesuai dengan keinginan mereka. Ia meminta bantuan Dion dan beberapa rekannya untuk mencari lokasi yang nyaman, tidak terlalu jauh dari kantor, tetapi tetap tenang dan ideal untuk keluarga kecil. Sementara itu, Flora juga mulai mempersiapkan diri untuk perubahan besar ini. Ia mulai menyortir barang-barangnya, membayangkan seperti apa kehidupan mereka nanti setelah pindah. Namun, di lubuk hatinya, ada sedikit kekhawatiran—bagaimana reaksi Lia ketika mereka benar-benar pindah? Suatu malam, setelah makan malam bersama keluarga, Birru memutuskan untuk berbicara dengan ibunya. "Bun, aku dan Flora ada rencana untuk pindah ke rumah sendiri," kata Birru dengan hati-hati. Lia, yang sedang merapikan piring, terdiam sejenak sebelum menoleh ke putranya. "Kenapa tiba-tiba ingin pindah?" "Bukan tiba-tiba, Bun," Birru tersenyum kecil. "Aku pikir sudah saatnya aku dan Flora mandiri, membangun rumah tangga kami sendiri. Tapi bukan berarti aku m
Pagi ini, Birru sengaja tidak pergi ke kantor. Ia menyerahkan masalah perusahaan akibat ulah Fani kepada Juna dan Dion. Setelah mengabarkan Dion melalui telepon, Birru meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, lalu berbalik dan merengkuh istrinya dalam pelukan.Ia ingin menghabiskan waktu seharian bersama Flora, tanpa gangguan pekerjaan atau hal lain yang membebani pikirannya.Flora menggeliat kecil ketika tangan Birru dengan lembut menyusuri setiap inci tubuhnya di balik piyama tipis yang ia kenakan. Napasnya masih teratur, matanya masih terpejam, tetapi ia sadar sepenuhnya akan sentuhan suaminya."Mas..." gumamnya pelan, suaranya serak karena baru bangun tidur."Hm?" Birru menempelkan bibirnya di puncak kepala istrinya, menghirup aroma khas tubuh Flora yang selalu membuatnya tenang."Kenapa nggak ke kantor?" tanya Flora dengan mata yang masih setengah tertutup."Aku mau sama kamu seharian," jawab Birru tanpa ragu.Flora membuka matanya, menatap suaminya yang kini tersenyum tipis.
Hingga malam tiba, Birru masih belum memberi kabar. Flora yang awalnya berusaha menunggu di kamar akhirnya tertidur, meski tidurnya terasa gelisah dan tidak tenang. Sesekali ia tersentak bangun, lalu kembali mencoba memejamkan mata, tetapi pikirannya terus dihantui kecemasan. Ketika akhirnya ia terbangun lagi, matanya langsung melirik jam di atas nakas. Sudah lewat tengah malam. Dengan jantung yang berdebar cemas, ia meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Birru. Tidak ada jawaban. Panggilan kedua pun tak berbalas. Saat ia akan mencoba untuk ketiga kalinya, suara nada sambung terdengar bersamaan dengan bunyi pintu kamar yang terbuka. Flora menoleh cepat, ponsel masih menempel di telinganya. Ketika pandangannya bertemu dengan suaminya, mereka sama-sama terkejut. "Kamu belum tidur, Flo?" suara Birru terdengar serak. Flora mengernyit, lalu berdiri, mendekat untuk melihat lebih jelas. Penampilan Birru jauh berbeda dari saat ia berangkat pagi tadi—kemejanya kusut, dasinya sudah dilep
Di dalam air hangat yang penuh dengan busa sabun wangi, tangan Birru dengan lembut menjelajahi setiap inci tubuh istrinya, memanjakannya dengan sentuhan yang penuh kasih. Flora bersandar di dadanya, merasakan kehangatan yang menyelimuti mereka berdua. Birru menciumi bahu dan leher Flora, membisikkan kata-kata manis yang membuat tubuh istrinya semakin melebur dalam keintiman. Napas mereka berbaur dengan uap air, menciptakan kehangatan yang lebih dari sekadar suhu di dalam kamar mandi. Tak lama, Birru mengangkat tubuh Flora dari bathtub, membawanya ke bawah guyuran shower. Air hangat mengalir membasahi mereka, menciptakan sensasi yang lebih intens. Di bawah aliran air yang jatuh membasahi tubuh mereka, Birru melanjutkan cumbuan penuh gairah, menyatukan mereka dalam keintiman yang lebih dalam. Ketika mereka mencapai puncak bersama, Birru memeluk Flora erat, napasnya masih memburu. Lalu, dengan suara serak dan lembut, ia berbisik di telinga istrinya, "Aku ingin kita punya anak, saya
Hari ini adalah hari terakhir semester awal sebelum liburan. Flora sibuk dengan buku-buku perpustakaan yang harus ia kembalikan. Tiba-tiba, seseorang datang menghampirinya dari belakang. Flora terperanjat dan hampir tersandung kakinya sendiri, untung saja orang itu sigap menangkapnya. Dalam sekejap, ia berada dalam dekapannya—begitu dekat hingga ia bisa merasakan napas hangatnya. "Maaf, aku bikin kamu kaget, Flo," suara itu terdengar pelan sebelum orang itu melepaskan pegangannya dan memastikan Flora sudah berdiri stabil. Flora menelan ludah begitu menyadari siapa yang berdiri di depannya. "Thanks," jawabnya datar, lalu segera mengambil satu langkah mundur untuk menjaga jarak. "Boleh bicara sebentar?" Flora mendongak, menatap mata Riki yang tampak penuh arti. "Soal apa?" tanyanya hati-hati. "Ssttt!" suara teguran dari penjaga perpustakaan membuat Riki buru-buru menutup mulutnya. Ia tersenyum kecil, sementara Flora hanya menghela napas. "Kita ngomong di luar," kata Flora setelah
"Flora!"Renata berlari menghampiri Flora dan Kirana yang baru saja keluar dari perpustakaan."Hai, Na!" sapanya begitu sadar bahwa yang bersama istri sepupunya adalah Kirana. "Oh iya, lu dapat salam dari Boy, teman sekelas gue," tambahnya, sambil mengedipkan sebelah mata.Kirana tersenyum simpul. "No thanks, he’s not being a gentleman," jawabnya santai.Renata tertawa kecil. "Nanti gue bilangin, biar Boy grow up and be a man."Mereka pun tertawa bersama."Udah ah, cukup gibahnya. Lu tadi mau ngomong apa?" tanya Flora kemudian."Oh iya!" Renata menepuk jidatnya pelan. "Riki pindah kuliah, Flo. Ke luar negeri."Langkah Flora sempat terhenti sesaat, tapi ia cepat-cepat mencoba bersikap biasa saja.Semester awal memang sudah berakhir, dan sebulan terakhir Riki benar-benar menjaga jaraknya. Meskipun begitu, terkadang mata mereka masih saling bertemu—di kelas, saat berpapasan di lorong, atau saat salah satu dari mereka maju untuk presentasi.Kirana melirik Flora dengan tatapan penuh arti.