Birru dan Flora tumbuh bersama, saling menyayangi seperti kakak dan adik. Namun, takdir membawa mereka pada jalan yang tak pernah mereka bayangkan. Ketika ibu Birru, yang sedang sakit, memohon agar Birru menikahi Flora, ia merasa tertekan untuk memenuhi permintaan itu. Meskipun hatinya tak siap, Birru setuju demi kebahagiaan ibunya. Pernikahan yang dipaksakan itu membawa perubahan besar dalam hubungan mereka. Birru yang dulunya penuh perhatian kini bersikap dingin dan acuh terhadap Flora. Kata-kata yang melukai dan sikap yang berubah membuat Flora merasa tersisih dan terluka. Namun, di tengah luka dan ketegangan, mereka perlahan mulai menyadari bahwa sayang yang dulu pernah ada mungkin masih bisa ditemukan. Perjalanan ini tentang menemukan kembali ikatan yang hilang, mengatasi luka, dan menciptakan kembali perasaan yang murni di antara mereka. Bisakah mereka mengubah rasa sayang yang tersisa menjadi cinta sejati?
View MoreAlison had just left the shop, where she had bought a gift for her husband to celebrate their wedding anniversary.
It was their fifth anniversary, and she wanted to surprise him. Her feet moved swiftly towards the room, unable to contain her joy. But just as she opened the door of their matrimonial room, she was greeted with the worst thing she could ever imagine. Bruno was in bed with another woman, having sex without a care in the world. She stood frozen, unable to utter a word, even though many thoughts were running through her mind. "Bruno?" Her voice, now almost lost, filled the room, putting a distraction between the two, as the gift box fell off her hands. He turned, a hint of surprise crossing his face before it hardened to something she could not place a hand on. "Alison, what are you doing here?" His voice came through, breaking her heart further. "What am I doing here?" she echoed, her voice rising with anger. "What are you doing here, Bruno? With her? Worst of all, it had to be on this special day of ours!" Bruno frowned, "what are you talking about? What's so special about today?" He asked, getting off the bed. Alison's gaze locked onto Bruno, her eyes burning with a pain that she had never felt before. "You don't know what I'm talking about? You don't know that this is our anniversary? Five years, Bruno, five years of marriage, and you choose to celebrate it with her? You chose to defile our matrimonial room with another woman?" He scoffed, his eyes cold. "Don't be ridiculous, Alison. This is my house, I can do what I want. Besides, there is nothing special about the wedding anniversary." "This is our house," she corrected, her voice filling the room. "And you call this 'doing what you want'? And then, you say you love me." Bruno's lips curled into a sneer. "Love? Do you think this is about love, Alison? This is about freedom, about doing what I want, when I want, with whomever I want. And when have I ever told you I love you, genuinely? Heck, those are facades for the public to not be skeptical." His words were like a dagger, plunged deeply into her heart. Although her marriage with Bruno was an arranged one, because her father could not pay his debt before he died, she didn't think it would get to this point. "You're a monster," she spat, clutching the fabric over her chest. "I'm a man who wants to live his life," he retorted, his voice cold and resounding. "And you, Alison, are a woman who is holding me back. Have some sense, will you? Why are you even so bothered when this marriage is just a disguise." Alison's heart ached, as she moved forward immediately, standing in front of the woman, whom she now recognized to be one of the employees working in the company. "You...how dare you?" She said, smacking her right cheek. She clutched her reddened cheek and looked down. "I.. I'm so—" Bruno, whose face was now filled with anger, grabbed Alison's arm tightly. "Alison, you've gone too far!" He pushed her away, causing her to hit her back hard on the wall. "Don't you dare touch her," he hissed. "You think you can just throw me away like a piece of trash? After five years of marriage, after everything we've been through, you think you can just walk away? You told me you married me, not because it was an arranged marriage, but because you were interested in me. What did I do wrong to you, Bruno? I tried my best to be a good wife, yet you don't ever appreciate it." He stood there, waiting patiently for her to finish ranting. Just as she was done, he looked at her in the eyes, and said, "It is over, Alison. We are done." Alison could feel her world-shattering as those words left his lips. "Wha.. what did you say?" She asked, trying to confirm if what she heard was true or maybe, she was only hallucinating. Bruno did not say a word, he turned to the table and picked up a large brow envelope. He moved closer to her as he shoved the envelope roughly into her hands. She looked down at it with tears in her eyes, as her voice became lower than a whisper. "What is this?" She asked, looking back at him. He leaned in on the table and shrugged. "Open it, will you?" She swallowed hard, not sure of what the envelope held inside. As she split it open, she brought out a white paper with words imprinted on it. The heading caught her attention, and she stepped back a little. "DIVORCE AGREEMENT" was its heading, and now she was sure that this was no joke. "Bruno, you can't just divorce me!" She said, unable to accept the reality of things. He scoffed, shaking his head. "Oh, I can. I can divorce you anytime I want to, and that's what I'm doing now." Tears fell from her eyes, and she replied, "Why? What did I do to you? I'm sure we can work it out—" "Stop making this seem hard, Alison. Sign those papers and be free. Isn't that what you have always wanted? To be free from a man like me; a monster as you call me." "When you said you were interested in me, was it a lie?" She asked, swallowing hard. "I never loved you, Alison. I was interested in your capability and what you had to offer to the company. Your father owed our family a huge debt, of course, you had to pay for it with your skill, and now that I no longer need your service, I'm done with you," he paused, picking up a pen. He stretched it over to her, "Alison, do yourself a favor and sign these god-damned papers!" He yelled, shoving a hand into his hair. The words hit her hard like a storm. She had been used and dumped. She looked at him, and a flash of all that had happened in the past few years rushed into her mind. She grabbed the pen from him and signed her name. "You want a divorce, here it is, Bruno Francisco."Hari-hari berikutnya, Birru mulai mencari rumah yang sesuai dengan keinginan mereka. Ia meminta bantuan Dion dan beberapa rekannya untuk mencari lokasi yang nyaman, tidak terlalu jauh dari kantor, tetapi tetap tenang dan ideal untuk keluarga kecil. Sementara itu, Flora juga mulai mempersiapkan diri untuk perubahan besar ini. Ia mulai menyortir barang-barangnya, membayangkan seperti apa kehidupan mereka nanti setelah pindah. Namun, di lubuk hatinya, ada sedikit kekhawatiran—bagaimana reaksi Lia ketika mereka benar-benar pindah? Suatu malam, setelah makan malam bersama keluarga, Birru memutuskan untuk berbicara dengan ibunya. "Bun, aku dan Flora ada rencana untuk pindah ke rumah sendiri," kata Birru dengan hati-hati. Lia, yang sedang merapikan piring, terdiam sejenak sebelum menoleh ke putranya. "Kenapa tiba-tiba ingin pindah?" "Bukan tiba-tiba, Bun," Birru tersenyum kecil. "Aku pikir sudah saatnya aku dan Flora mandiri, membangun rumah tangga kami sendiri. Tapi bukan berarti aku m
Pagi ini, Birru sengaja tidak pergi ke kantor. Ia menyerahkan masalah perusahaan akibat ulah Fani kepada Juna dan Dion. Setelah mengabarkan Dion melalui telepon, Birru meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, lalu berbalik dan merengkuh istrinya dalam pelukan.Ia ingin menghabiskan waktu seharian bersama Flora, tanpa gangguan pekerjaan atau hal lain yang membebani pikirannya.Flora menggeliat kecil ketika tangan Birru dengan lembut menyusuri setiap inci tubuhnya di balik piyama tipis yang ia kenakan. Napasnya masih teratur, matanya masih terpejam, tetapi ia sadar sepenuhnya akan sentuhan suaminya."Mas..." gumamnya pelan, suaranya serak karena baru bangun tidur."Hm?" Birru menempelkan bibirnya di puncak kepala istrinya, menghirup aroma khas tubuh Flora yang selalu membuatnya tenang."Kenapa nggak ke kantor?" tanya Flora dengan mata yang masih setengah tertutup."Aku mau sama kamu seharian," jawab Birru tanpa ragu.Flora membuka matanya, menatap suaminya yang kini tersenyum tipis.
Hingga malam tiba, Birru masih belum memberi kabar. Flora yang awalnya berusaha menunggu di kamar akhirnya tertidur, meski tidurnya terasa gelisah dan tidak tenang. Sesekali ia tersentak bangun, lalu kembali mencoba memejamkan mata, tetapi pikirannya terus dihantui kecemasan. Ketika akhirnya ia terbangun lagi, matanya langsung melirik jam di atas nakas. Sudah lewat tengah malam. Dengan jantung yang berdebar cemas, ia meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Birru. Tidak ada jawaban. Panggilan kedua pun tak berbalas. Saat ia akan mencoba untuk ketiga kalinya, suara nada sambung terdengar bersamaan dengan bunyi pintu kamar yang terbuka. Flora menoleh cepat, ponsel masih menempel di telinganya. Ketika pandangannya bertemu dengan suaminya, mereka sama-sama terkejut. "Kamu belum tidur, Flo?" suara Birru terdengar serak. Flora mengernyit, lalu berdiri, mendekat untuk melihat lebih jelas. Penampilan Birru jauh berbeda dari saat ia berangkat pagi tadi—kemejanya kusut, dasinya sudah dilep
Di dalam air hangat yang penuh dengan busa sabun wangi, tangan Birru dengan lembut menjelajahi setiap inci tubuh istrinya, memanjakannya dengan sentuhan yang penuh kasih. Flora bersandar di dadanya, merasakan kehangatan yang menyelimuti mereka berdua. Birru menciumi bahu dan leher Flora, membisikkan kata-kata manis yang membuat tubuh istrinya semakin melebur dalam keintiman. Napas mereka berbaur dengan uap air, menciptakan kehangatan yang lebih dari sekadar suhu di dalam kamar mandi. Tak lama, Birru mengangkat tubuh Flora dari bathtub, membawanya ke bawah guyuran shower. Air hangat mengalir membasahi mereka, menciptakan sensasi yang lebih intens. Di bawah aliran air yang jatuh membasahi tubuh mereka, Birru melanjutkan cumbuan penuh gairah, menyatukan mereka dalam keintiman yang lebih dalam. Ketika mereka mencapai puncak bersama, Birru memeluk Flora erat, napasnya masih memburu. Lalu, dengan suara serak dan lembut, ia berbisik di telinga istrinya, "Aku ingin kita punya anak, saya
Hari ini adalah hari terakhir semester awal sebelum liburan. Flora sibuk dengan buku-buku perpustakaan yang harus ia kembalikan. Tiba-tiba, seseorang datang menghampirinya dari belakang. Flora terperanjat dan hampir tersandung kakinya sendiri, untung saja orang itu sigap menangkapnya. Dalam sekejap, ia berada dalam dekapannya—begitu dekat hingga ia bisa merasakan napas hangatnya. "Maaf, aku bikin kamu kaget, Flo," suara itu terdengar pelan sebelum orang itu melepaskan pegangannya dan memastikan Flora sudah berdiri stabil. Flora menelan ludah begitu menyadari siapa yang berdiri di depannya. "Thanks," jawabnya datar, lalu segera mengambil satu langkah mundur untuk menjaga jarak. "Boleh bicara sebentar?" Flora mendongak, menatap mata Riki yang tampak penuh arti. "Soal apa?" tanyanya hati-hati. "Ssttt!" suara teguran dari penjaga perpustakaan membuat Riki buru-buru menutup mulutnya. Ia tersenyum kecil, sementara Flora hanya menghela napas. "Kita ngomong di luar," kata Flora setelah
"Flora!"Renata berlari menghampiri Flora dan Kirana yang baru saja keluar dari perpustakaan."Hai, Na!" sapanya begitu sadar bahwa yang bersama istri sepupunya adalah Kirana. "Oh iya, lu dapat salam dari Boy, teman sekelas gue," tambahnya, sambil mengedipkan sebelah mata.Kirana tersenyum simpul. "No thanks, he’s not being a gentleman," jawabnya santai.Renata tertawa kecil. "Nanti gue bilangin, biar Boy grow up and be a man."Mereka pun tertawa bersama."Udah ah, cukup gibahnya. Lu tadi mau ngomong apa?" tanya Flora kemudian."Oh iya!" Renata menepuk jidatnya pelan. "Riki pindah kuliah, Flo. Ke luar negeri."Langkah Flora sempat terhenti sesaat, tapi ia cepat-cepat mencoba bersikap biasa saja.Semester awal memang sudah berakhir, dan sebulan terakhir Riki benar-benar menjaga jaraknya. Meskipun begitu, terkadang mata mereka masih saling bertemu—di kelas, saat berpapasan di lorong, atau saat salah satu dari mereka maju untuk presentasi.Kirana melirik Flora dengan tatapan penuh arti.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments