Masuk
“Pak, saya hamil,” ungkap Elena sembari menunduk, menatap perutnya yang masih rata.
Aditya spontan mengalihkan perhatiannya dari benda pipih yang sejak tadi menjadi titik fokusnya, dari sekian banyak balasan email yang didapatkannya, pengakuan dari salah satu stafnya itu menjadi satu hal yang paling tidak diharapkan. Sebelah alisnya terangkat, matanya menatap tajam Elena yang tak memiliki kekuatan. “Kamu tau kepada siapa keluhan ini kamu sampaikan?” balasnya alih-alih iba. Elena mengangguk, ia juga tahu jika yang dilakukannya itu sangat berisiko, tetapi janin di perutnya itu membutuhkan tanggung jawab dan perlindungan. Dan tak pernah Elena melakukan hal bodoh itu sebelum menikah, kecuali karena terjebak bersama bosnya itu. “Minta berapa?” tanya Aditya kemudian membuka lacinya dan mengeluarkan selembar cek. “Atau saya beri kosongan saja supaya kamu bisa menulis sesukamu, hem? Berapa pun tidak masalah karena saya tidak akan melakukan yang lebih, ini!” Selembar cek itu digeser ke depan Elena, tanda tangan Aditya ada di sana, kapanpun Elena mau mengambilnya, tidak akan menjadi masalah. Tetapi, bukan itu maksud Elena mengadukan soal kehamilannya. “Pak, saya mau anda bertanggung jawab,” katanya, ia memberanikan diri membalas tatapan Aditya yang acuh. “Cek itu tanggung jawab saya,” balas lelaki itu. Elena menggelengkan kepalanya. “Tidak, Pak. Bukan tanggung jawab itu dan bukan soal uang. Saya tidak pernah melakukan ini sebelumnya, Pak, hanya bersama anda. Tolong saya!” “Apa maumu?” Aditya mengetukkan jarinya di meja. “Anda menikahi saya, Pak. Saya—” “Tidak mungkin!” Aditya langsung menolaknya, walaupun memang dirinya yang menyebabkan Elena hamil dan berstatus duda, pernikahan mendadak itu dan dengan staf biasa seperti Elena tentu menurunkan nilainya sebagai presdir yang belum mau memikirkan soal pernikahan lagi. Mata Elena mengembun, dadanya sesak mendengar penolakan Aditya. “Pak, tolong! Saya punya orang tua yang sudah renta dan sakit, kalau mereka tau kondisi saya, kondisi mereka pasti menurun, belum lagi tekanan dari orang-orang, Pak. Saya meminta tanggung jawab anda, Pak Ditya, sebagai seorang pria!” kata Elena dengan suara bergetar, ia menahan kuat tangisnya. Aditya menunjuk cek di depan Elena. “Gunakan cek itu, kamu bisa menggugurkannya!” “Apa?” Elena tercengang, hatinya sakit sekali. “Anda mau saya membunuh dia? Darah daging anda?” Aditya sudah lima tahun menduda tanpa anak, mantan istrinya memilih meninggalkannya karena tidak kuat dengan tekanan dari keluarga besarnya dan lebih bahagia bersama lelaki lain. Namun, hal itu tidak membuat hatinya tersentuh, padahal jelas diusianya itu sudah pantas mempunyai anak dan menantikannya sejak dulu. Kejadian di malam puncak acara Employee gathering itu masih akan terus Aditya selidiki, ia pastikan pelakunya akan mendekam di penjara karena sudah menjebak dan merugikannya. “Pak—” “Ya, dengan begitu orang tuamu aman dan kau bisa melanjutkan hidupmu lagi, bukan?” balas Aditya acuh, tak ada empati sama sekali. Air mata Elena jatuh tak tertahan, ia tak meminta untuk dicintai lelaki itu, hanya sebatas tanggung jawab yang tak membuat mereka berdosa untuk kedua kalinya juga statusnya sebagai gadis yang nanti akan dipertanyakan. “Pergi dan gugurkan!” kata Aditya sembari mengibaskan tangannya, menunjuk ke pintu supaya Elena segera menyingkir dari hadapannya. Elena tak membalas, bibirnya terkatup rapat, tetapi air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Dengan berat hati ia melangkah keluar sembari membawa selembar cek yang Aditya berikan, meninggalkan seluruh harapan pada lelaki itu. *** Ia tersenyum getir menatap selembar cek yang mulai kusut di tangannya, Elena tidak kembali ke meja kerjanya, langkah kakinya membawa wanita itu pergi menjauh sejenak untuk menenangkan diri. Namun, siapa sangka tempat yang katanya tenang tadi, nyatanya berbahaya. Elena duduk di dekat palang pintu kereta api, tak ada yang mencurigakan dari gerak-geriknya, tetapi sebenarnya di pikiran Elena hanya satu, yakni saat kereta melintas akan lebih baik jika dirinya berada di tengah rel. “Maafin Ele, Buk, Yah!” katanya lirih, hanya dirinya saja yang mendengar itu. Ia tidak akan pernah sanggup melihat orang tuanya jatuh sakit dan dipermalukan juga tidak mungkin baginya membiarkan janin itu pergi, sedangkan dirinya masih bebas hidup dengan membawa beban besar. “Aku terpaksa, maafin aku!” Elena menyimpan cek itu ke saku celananya, lalu berdiri. “Aku benci dan jijik pada diriku sendiri, maaf!” Suara palang pintu kereta api mulai terdengar, sebentar lagi kereta akan melintas. Kejadian malam itu kembali berputar, bagaimana sentuhan kasar dan dirinya yang tak berdaya terperangkap di sana, menjerit tanpa ada ampunan. Elena mengepalkan tangannya, disaat lampu sorot sudah semakin jelas dan dekat. Elena melangkahkan kakinya tanpa peduli seruan-seruan yang terus berusaha menyadarkannya. Semuanya gelap, Elena berharap saat matanya terbuka, ia sudah mati. Akan tetapi, aroma obat-obatan dan suara monitor yang merekam irama jantung menepis harapnya. “Nona, anda sudah sadar?” tanya salah seorang perawat sambil melambaikan tangan tepat di depan mata Elena. Elena membuka mulutnya pelan-pelan, rasanya kering dan kaku. “Ha-us,” katanya, ia seperti sudah lama sekali. Perawat itu mengangguk. “Tunggu sebentar ya!” katanya, lalu memanggil temannya. “Nona Elena sudah sadar, tolong kabari dokter ya!” Perawat itu kembali dengan segelas air mineral yang diberi sedotan putih panjang. “Pelan-pelan ya!” katanya membantu. Elena menyedot dan meneguknya beberapa kali sampai dahaganya hilang. “Saya akan segera memberi tau wali anda, Nona. Beliau pasti senang sekali karena sudah seharian anda tidak sadarkan diri, saya tinggal sebentar ya!” jelasnya. Seharian? Mata Elena mengerjap, jadi dirinya tidak sadarkan diri cukup lama, bukan berhasil mati dan meninggalkan semua. “Suster!” panggilnya sebisa mungkin, rasanya sakit semua. Perawat lain datang menggantikan. “Ada yang bisa saya bantu?” “Em, saya tidak tau kenapa bisa ada di sini. Tapi, siapa yang membawa saya ke sini?” tanya Elena. Perawat itu tersenyum. “Beberapa orang yang membawa anda ke sini karena hampir saja tertabrak kereta api, Nona. Tapi, kalau anda bertanya yang bertanggung jawab … namanya, tuan Aditya Yudistira,” jawabnya. “Tuan Aditya?” ulang Elena dengan rasa tak percaya. “Benar, nanti dijam kunjungan, beliau bisa masuk. Tetapi, sepertinya masih ada urusan, tadi sudah menitipkan kabar anda. Ada yang lain?” Perawat itu tersenyum. Elena menggelengkan kepalanya, ia masih tidak percaya kalau Aditya yang menjadi penanggung jawabnya, padahal lelaki itu tidak mungkin mencari atau sampai repot-repot mengurusnya. “Apa maksudnya menolongku?” batin Elena bingung. Ia melirik ke jam dinding yang ada di seberang biliknya, di sana tertulis jelas jam kunjungan khusus ruangan ICU. Sebentar lagi lelaki itu akan datang, Elena mulai ketakutan, ia panik sampai tak sadar tangan dan kakinya memberontak. “Nona Elena!” “Nona!” Elena menolak saat selang oksigennya dipasangkan lagi, ia ingin pergi sejauh mungkin daripada diminta menggugurkan calon bayinya. “Saya tidak mau, tolong bantu saya pergi!” pintanya memberontak. “Nona, saya mohon tenang demi janin anda!” bisik salah seorang perawat yang berada di dekat kepala Elena. Elena menoleh padanya, perawat itu mengangguk memberikan kepastian kalau kondisinya baik-baik saja. “Tolong tinggalkan kami!” kata seorang pria yang tiba-tiba sudah ada di tengah-tengah mereka. Elena terbelalak. “P-pak Ditya!”"Is-tri?" Dunia Liona seakan berhenti, otaknya tak mampu berpikir lagi. Aditya menipiskan bibirnya. "Aku jelaskan nanti, sekarang aku harus pergi. Hati-hati!" Lelaki itu langsung duduk ke bangku kemudi, memundurkan mobilnya kemudian pergi dari pandangan sang mantan. Rasa bersalah dan semua penyesalan, hadir tanpa sisa, sakitnya kian merasuk lebih dalam. Mereka masih mempunyai harapan yang sama, bahkan cinta itu masih sangat ada, tetapi waktu untuk berjuang harus mundur kembali karena jebakan sialan malam itu. Rahasiakan! Liona menggigit bibir bawahnya, ia harus menjaga rahasia itu, pernikahan yang janggal dan masih membutuhkan penjelasan. "Apa ini permainan ibumu lagi?" gumamnya geram. *** Terlepas dari satu masalah, nyatanya tidak membuat Elena benar-benar tenang. Sesampainya di rumah milik mertuanya, Aditya yang ingin tinggal mandiri lantas ditentang. "Kondisi istrimu begitu, Ditya! Dia nggak bisa ditinggal sendiri, belum lagi hubungan kalian yang nggak ada
Nyatanya, walaupun dirinya seorang duda dan menjabat sebagai presdir, merapikan sprei saja tidak bisa sehingga pelan-pelan Elena membantu, setelah Vera keluar kamarnya. “Apa ada yang sakit?” tanya Aditya waswas, sebab Elena tak kunjung memejamkan mata. Elena menggelengkan kepalanya. “Sudah hampir pagi, mualku mau datang,” jawabnya. Sejak positif hamil, Elena tak perlu melihat jam dinding atau di ponselnya untuk tahu kapan pagi tiba. Rasa mualnya akan datang, bergejolak kemudian merangkak naik dari perut ke kerongkongan, membuat mulutnya terasa pahit juga panas, ditambah lagi kepalanya berdenyut sehingga ia kesulitan untuk tidur meskipun masih sangat mengantuk. Aditya mengatupkan belah bibirnya, ia seakan tak diberi ampun dan jeda sama sekali sejak kejadian itu hingga pengakuan Elena, hidupnya terasa kacau, setiap saat mendebarkan dan menguras pikiran. Dirinya yang dulu bebas memutuskan dan bersikap, sekarang serba terbatas. Bahkan, tidur pun harus terganggu dan tegang seperti
Kram dan nyeri bercampur menjadi satu, Elena pikir dengan berbaring tenang di kasurnya akan membuat rasa sakit itu mereda, nyatanya terus berlanjut, apalagi keberadaan Aditya yang juga ada di kamar bersamanya, membuatnya gugup dan kurang nyaman. “Pak,” panggilnya pada lelaki yang sedang duduk di dekat jendela sambil memejamkan mata itu. “Pak Ditya!” panggilnya lagi. Mendengar itu, Aditya lantas membuka matanya, ia belum tidur dan sepertinya tidak akan bisa tidur, matanya terpejam hanya untuk menenangkan diri saja. Pria itu menoleh. “Ada apa?” tanyanya. “Sa-sakitnya belum hilang,” jawab Elena sambil meletakkan tangan ke atas perutnya. Aditya sontak berdiri, wajahnya berubah lebih serius dengan kedua alis tebal yang menekuk. Sejak tadi itu yang Aditya khawatirkan, ia seakan belum siap jawaban bila terjadi sesuatu pada Elena. “Ck! Buka selimutnya!” titahnya, Aditya berdiri di samping ranjang. Elena patuh membuka selimut yang menutupinya itu, tangannya tampak gemetaran, keja
“Len, mereka siapa?” Dewi melihat satu per satu wajah tamunya yang datang bersama Elena. “Em, mereka—” “Saya kekasihnya Elena, Bu Dewi. Kedatangan saya beserta keluarga ke sini untuk bersilaturahmi sekaligus meminang Elena,” potong Aditya sembari maju ke depan, tepat di samping Elena. Dewi tampak terkejut mendengar pengakuan Aditya, sebab sejak Elena pergi ke ibu kota dengan niat bekerja, ia belum pernah mendengar putrinya itu mempunyai kekasih. Bahkan, terakhir kali Elena mengatakan belum memikirkan soal pernikahan. Tetapi, sekarang semuanya berbalik. “Buk, maaf kalau Lena nggak pernah cerita, aku malu. Tapi, Pa-Mas Ditya punya niat serius ke aku dan nggak mau nunda. Keluarganya juga udah kenal Lena, Buk,” jelas Elena gugup. “Oo, ya sudah! Ayo, masuk dulu!” ajak Dewi kemudian membuka lebar pintu rumahnya. Aditya bersama orang tuanya pun masuk, bangunan rumah Elena masih terbilang lama, tetapi justru itu lebih kuat strukturnya, di dalamnya pun terlihat cukup lega dan
“Pak Ditya!” ucap Elena berangsur tenang, keringat dingin membanjiri keningnya. Lelaki berkemeja putih itu mengangguk, lalu memberikan instruksi pada perawat di sana untuk meninggalkan mereka sejenak. “Pakai ini!” titahnya membenarkan posisi selang oksigen di depan hidung Elena. “Kondisimu baru saja membaik, jangan banyak gerak dulu!” Alih-alih bisa tenang, walaupun ia tak memberontak seperti tadi, kepalanya berisik sekali. Seingatnya, lelaki itu tidak mengetahui ke mana dirinya pergi dan kapan, tetapi sekarang ada di dekatnya sekaligus menjadi penanggung jawab. Elena menatap awas atasan sekaligus ayah dari calon bayinya itu, ia khawatir Aditya kembali memintanya untuk menggugurkan kandungannya, apalagi mereka sedang ada di rumah sakit dan dirinya tengah tidak berdaya. “Saya mohon bunuh saya sekalian!” kata Elena memohon, matanya merah merebak. “Saya tidak bisa membunuh dia, lebih baik kami pergi bersama jika anda menolaknya, Pak!” Sakit, dadanya terasa sesak karena seluruh
“Pak, saya hamil,” ungkap Elena sembari menunduk, menatap perutnya yang masih rata. Aditya spontan mengalihkan perhatiannya dari benda pipih yang sejak tadi menjadi titik fokusnya, dari sekian banyak balasan email yang didapatkannya, pengakuan dari salah satu stafnya itu menjadi satu hal yang paling tidak diharapkan. Sebelah alisnya terangkat, matanya menatap tajam Elena yang tak memiliki kekuatan. “Kamu tau kepada siapa keluhan ini kamu sampaikan?” balasnya alih-alih iba. Elena mengangguk, ia juga tahu jika yang dilakukannya itu sangat berisiko, tetapi janin di perutnya itu membutuhkan tanggung jawab dan perlindungan. Dan tak pernah Elena melakukan hal bodoh itu sebelum menikah, kecuali karena terjebak bersama bosnya itu. “Minta berapa?” tanya Aditya kemudian membuka lacinya dan mengeluarkan selembar cek. “Atau saya beri kosongan saja supaya kamu bisa menulis sesukamu, hem? Berapa pun tidak masalah karena saya tidak akan melakukan yang lebih, ini!” Selembar cek itu digeser







