Share

Tinggal Di Rumah Mertua

Penulis: Rien rini
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-01 17:44:38

"Is-tri?" Dunia Liona seakan berhenti, otaknya tak mampu berpikir lagi.

Aditya menipiskan bibirnya. "Aku jelaskan nanti, sekarang aku harus pergi. Hati-hati!"

Lelaki itu langsung duduk ke bangku kemudi, memundurkan mobilnya kemudian pergi dari pandangan sang mantan. Rasa bersalah dan semua penyesalan, hadir tanpa sisa, sakitnya kian merasuk lebih dalam.

Mereka masih mempunyai harapan yang sama, bahkan cinta itu masih sangat ada, tetapi waktu untuk berjuang harus mundur kembali karena jebakan sialan malam itu.

Rahasiakan!

Liona menggigit bibir bawahnya, ia harus menjaga rahasia itu, pernikahan yang janggal dan masih membutuhkan penjelasan.

"Apa ini permainan ibumu lagi?" gumamnya geram.

***

Terlepas dari satu masalah, nyatanya tidak membuat Elena benar-benar tenang. Sesampainya di rumah milik mertuanya, Aditya yang ingin tinggal mandiri lantas ditentang.

"Kondisi istrimu begitu, Ditya! Dia nggak bisa ditinggal sendiri, belum lagi hubungan kalian yang nggak ada landasan cinta. Lebih baik kalian tinggal di sini, kalau ada apa-apa sama Elena, kami bisa bantu. Lagian, kamu juga sering ke luar kota, kasihan dia!" kata Vera mendominasi.

Elena hanya diam, ia sudah tak mempunyai tenaga untuk ikut berbicara, lagipula rasanya keputusan Vera juga benar. Aditya yang tak mencintainya mana mungkin tanggap jika di rumah itu hanya ada mereka berdua, sedangkan di rumah ini setidaknya Elena ada teman.

"Tapi, aku nggak mau Mama ikut campur ya!" kata Aditya tegas, memberikan batas tak seperti pernikahan pertamanya.

"Ya, Mama nggak akan ikut campur kalau kamu bener. Tugas orang tua itu juga ingetin anaknya," balas wanita itu.

Dengan berat hati Aditya menerima keputusan itu, kalau dipikir-dipikir memang tidak mungkin dirinya selalu bersama Elena atau membiarkan wanita itu sendirian. Akan tetapi, dengan tinggal serumah dengan orang tuanya, ia tidak akan bisa bebas, terlebih untuk bertemu dengan Liona.

Aditya melirik Elena yang sejak tadi diam saja di sampingnya.

"Ikut saya ke atas!" titahnya mengajak.

Elena mengangguk, ia lantas berjalan pelan-pelan menaiki anak tangga menuju kamar suaminya itu. Semua sudah terjadi, suka tidak suka harus ia lalui sambil menunggu waktu mereka habis dan kembali berjalan sendiri-sendiri.

Pintu kamar itu pun terbuka, tampak satu ranjang berukuran king size di tengah, tak terlalu banyak barang selayaknya kelegaan para pria. Mata Elena memeta setiap sudut di sana, rapi dan bersih, benar-benar menggambarkan pemiliknya meskipun jarang Aditya pulang dan menempati kamar itu.

"Kamu bisa tidur di sini," katanya.

Elena menoleh, sejenak ia tertegun pada kamar itu.

"Anda?" balasnya.

Lelaki itu tampak menghela nafasnya. "Kamu pikir saya bisa tinggal di rumah lain, sedangkan kamu di sini?"

"Maaf," ucap Elena menunduk segan.

"Huh! Saya tidak bisa membayangkan selanjutnya bagaimana, tapi jalani saja sesuai rencana. Soal statusmu di kantor, saya yang akan mengurusnya. Kamu hanya perlu tetap seperti biasa dan tidak mengungkap siapa suamimu!" tuturnya.

"Iya, Pak. Terima kasih sudah menikahi saya," balas Elena sembari meremat jemarinya, alih-alih mencapai pernikahan impian, takdir memberikannya pernikahan rahasia.

Aditya hanya mengangguk samar, sejujurnya ia belum begitu menerima pernikahan mereka dan entah bisa atau tidak, sejauh ini ia belum mampu mengganti Liona dengan siapapun, bahkan kehamilan Elena tidak bisa menggesernya.

Sepi menemani Elena seorang diri di kamar itu, setelah perjalanan panjang tadi, kedua mertuanya memutuskan untuk istirahat, sedangkan suaminya entah ke mana, hanya tersisa dirinya seorang diri di kamar.

"Aku pengen bakpao," gumamnya mendadak, matanya memeta kemudian duduk pelan. "Tapi, beli di mana kalau di sini ya? Online bisa nggak?"

Jemarinya pun lincah menggeser ikon di layar pipih itu, mulutnya mencecap beberapa kali, tak sabar rasanya ingin segera menikmati jajan itu. Namun, tiba-tiba telinganya mendengar suara penjual bakpao di luar rumah, Elena pun melongok ke jendela, ternyata benar. Maka, wanita itu segera memanggil seraya berteriak kemudian berjalan cepat untuk turun.

Vera terperanjat, nyaris menyemburkan tehnya melihat sang menantu berlari usai menuruni anak tangga menuju ke luar.

"Mau ke mana dia?" gumamnya kemudian menyusul.

Mata wanita itu melebar begitu menemukan Elena keluar rumah untuk membeli bakpao yang kebetulan juga tetangga depan membelinya.

"Dia ini!" geramnya ikut ke depan. "Elena!" panggilnya.

"Eh, Ma!" sahutnya kaget.

Vera setengah melotot, tetapi terpaksa tersenyum pada tetangga yang jarang sekali ketemu itu.

"Baru pembantunya, Bu Vera?" tanya tetangga itu.

Elena spontan melipat bibirnya, melihat penampilannya sendiri yang langsung dituduh pembantu.

"Bukan, ini keponakan saya," jawab Vera mengejutkan Elena, ia dikenalkan sebagai keponakan.

Hampir saja ia protes, tetapi Elena ingat kalau pernikahannya dengan Aditya itu dirahasiakan, bahkan perangkat yang terlibat dalam kepengurusan dibayar untuk tutup mulut.

"Ayo, kalau udah langsung masuk aja!" kata Vera mengajak Elena kembali masuk usai mendapatkan bakpao kesukaannya.

Elena menatap kantong bakpao di tangannya, seketika tak berselera lagi.

"Kamu masih baru di sini, El. Tidak ada yang tau soal kalian, ini semua demi kebaikan. Jangan asal keluar!" kata Vera mengingatkan.

"Tapi, Ma ... Ele juga kerja yang pastinya sering keluar masuk, kan?" balasnya.

"Iya, tapi nggak mendadak kayak tadi. Mama sampe jantungan kamu keluar gitu aja, untung tadi Mama liat dan bisa bantu jawab. Lain kali, hati-hati!" jelas Vera.

Elena menipiskan bibirnya, walaupun sudah tahu soal pernikahan rahasia itu, entah kenapa ia masih saja sakit hati atas pengekangan itu. Elena membawa bakpaonya ke kamar, ia letakkan di nakas, rasa ingin yang menggebu tadi entah ke mana, hanya tersisa kepedihan yang lagi dan lagi membuat air matanya turun.

Ia menunduk sembari mengusap perutnya.

"Maaf ya, Ibuk nggak bisa kontrol diri, jadinya kamu ikutan sedih dan nggak makan bakpao," katanya.

Sampai larut malam, Elena belum juga melihat suaminya pulang. Ia turun ikut bergabung di meja makan begitu Vera memanggilnya mengajak makan bersama. Alih-alih merasa terhibur, ia semakin kesepian.

"Hei, tidak enak ya?" tanya Hanung, mertua laki-lakinya itu lebih lembut. "Lagi selera makan apa, hm? Biar Papa yang carikan, katakan!"

"Heh, jangan manja!" timpal Vera dari arah dapur, ia datang membawa kuah sop ayam.

"Nggak apa lah, Ma. Lagian, lidah orang hamil itu beda-beda!" sahut Hanung.

"Enggak! Nggak boleh dibiasain gitu, bikin susah! Dari kecil harus dididik tegas, paksa makan yang ada!" kata Vera menggambilkan sop untuk Elena. "Ini bagus buat kalian, makan dan paksa! Nggak ada ngidam repot-repot gitu, nyusahin!"

Elena menatap Hanung yang hanya menggelengkan kepala pelan padanya, meminta sabar. Ia tersenyum tipis, lalu mencoba menikmati sop ayam itu meskipun pada akhirnya mual datang dan muntah.

"Muntah, makan lagi, muntah lagi dan makan! Ayo, jangan manja, El!" kata Vera.

Sungguh, di luar dugaan Elena karena sejak awal bertemu menurutnya Vera itu wajah-wajah ibu peri, nyatanya tegasnya luar biasa. Dan kalau tidak sedang hamil, mungkin Elena mau, tetapi mualnya tidak bisa diprediksi.

"Gini kok mau tinggal pisah dari orang tua, bisa pingsan nggak ada yang tau, terus kelaparan!" omel wanita itu.

Elena menyeka kedua sudut bibirnya, ia tahu maksud Vera itu baik sekali, tetapi ia masih kesulitan mengontrol diri sehingga kata-kata itu cukup menyakitkan. Tak elak air matanya turun lagi, ia sesenggukan di kamar sampai lelaki yang telah menikahinya itu pulang.

Aditya termangu melihat wajah basah Elena, kilasan masa lalu seakan berputar kembali bagaimana ia juga sering disambut air mata saat pulang bekerja oleh Liona.

"Ada apa?" tanyanya merendahkan suaranya, lelaki itu berdiri menyandarkan lengannya pada tembok.

Bibir Elena berkedut. "Tadi, mama marah, Pak," jawabnya.

"Ak-aku cuman keluar beli bakpao, tapi kata mama itu nggak bener, tetangga bisa tau dan belum siap jawaban. Terus, aku jadi nggak selera. Malam ini, aku nggak bisa makan sop ayam, nggak enak di lidah, jadinya aku muntah. Aku pengen sesuatu, papa mau belikan, tapi mama larang biar nggak manja. Dipaksa makan sop, mama marah lagi waktu aku muntah. Aku serba salah, Pak!" ungkapnya seraya terisak.

Aditya mendekat, menatap iba. Lalu, ia duduk di depan lutut Elena, memijat kaki wanita itu pelan-pelan.

"Sabar ya, saya akan bicara dengan mama nanti!" katanya.

Elena mengangguk, ia pun menyerahkan dirinya saat Aditya merengkuh dan memeluknya, pelukan yang begitu menenangkan.

Namun, semua itu hanya khayalan Elena semata. Kedua sudut bibirnya kembali turun dan saat matanya terbuka, alih-alih menemukan kepedulian, ia justru melihat wajah acuh suaminya.

"An-anda sudah makan?" tanyanya gugup.

"Saya bisa mengurus diri saya sendiri, tidak perlu khawatir!" jawab Aditya tampak lelah dan jengah. "Semua data di perusahaan aman, kamu bisa bekerja kembali dan buat alasan yang masuk akal! Ada sopir yang akan mengantarmu, itu lebih aman dan itu saran papa," jelasnya.

Elena mengangguk, matanya hanya mampu meratap tanpa bisa mengungkap segala perasaannya. Kedua tangannya terangkat mendekap kedua lengannya sendiri, tadi hanya lamunannya, ia sendiri tidak tahu kenapa bisa melamun seperti itu, tetapi rasanya sangat nyata dan hangat.

"Humpt!" Elena spontan menutup mulutnya, mual itu datang lagi, ia berdiri dan berlari ke kamar mandi, tetapi Aditya baru saja masuk. "Pak! Pak! Humpt!"

Aditya bergegas membuka pintu dari dalam hanya memakai dalaman saja, wanita itu pun masuk dan langsung membungkuk di depan kloset, mengeluarkan semua isi perutnya.

"Sa-kiiit!" keluh Elena merintih.

Melihat itu, dada Aditya berdesir, apalagi saat suara Elena semakin keras, sekujur badannya ikut sakit.

"Ditya! Ditya! Suara apa itu? Ele kenapa?"

Keduanya sama-sama kaget, tak menyangka sampai terdengar ke kamar orang tua. Aditya lantas menarik kimononya, membuka pintu kamar lebih dulu sebelum didobrak ibunya, kebetulan memang kamar mereka berdekatan.

"Kenapa istrimu?" tanya Vera panik.

"Biasa, muntah—"

"Terus, kamu diam aja, hah?! Bantu!" titahnya, Vera memang se tegas itu, ia juga mendorong Aditya supaya kembali menghampiri Elena. "Gendong dia, jangan dibiarin jalan! Habis itu, kasih minum sama pijetin pelan tengkuknya!"

"Hem?"

"Udah buruan!" titah Vera sembari melototi Aditya. "Yang perhatian sama istri!"

Terpaksa, Aditya pun menggendong Elena yang canggung sesuai perintah ibunya.

"Temenin, Ele, dipijit! Dipeluk juga!" titahnya lagi semakin membuat Aditya sebal, sedangkan Elena kebingungan dengan sikap mertuanya itu. "Peluk, Ditya, biar tenang istrinya!"

"Iy-iya, Iya!" sahut Aditya memeluk kaku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mengandung Benih Rahasia Atasanku   Tinggal Di Rumah Mertua

    "Is-tri?" Dunia Liona seakan berhenti, otaknya tak mampu berpikir lagi. Aditya menipiskan bibirnya. "Aku jelaskan nanti, sekarang aku harus pergi. Hati-hati!" Lelaki itu langsung duduk ke bangku kemudi, memundurkan mobilnya kemudian pergi dari pandangan sang mantan. Rasa bersalah dan semua penyesalan, hadir tanpa sisa, sakitnya kian merasuk lebih dalam. Mereka masih mempunyai harapan yang sama, bahkan cinta itu masih sangat ada, tetapi waktu untuk berjuang harus mundur kembali karena jebakan sialan malam itu. Rahasiakan! Liona menggigit bibir bawahnya, ia harus menjaga rahasia itu, pernikahan yang janggal dan masih membutuhkan penjelasan. "Apa ini permainan ibumu lagi?" gumamnya geram. *** Terlepas dari satu masalah, nyatanya tidak membuat Elena benar-benar tenang. Sesampainya di rumah milik mertuanya, Aditya yang ingin tinggal mandiri lantas ditentang. "Kondisi istrimu begitu, Ditya! Dia nggak bisa ditinggal sendiri, belum lagi hubungan kalian yang nggak ada

  • Mengandung Benih Rahasia Atasanku   Bertemu Mantan

    Nyatanya, walaupun dirinya seorang duda dan menjabat sebagai presdir, merapikan sprei saja tidak bisa sehingga pelan-pelan Elena membantu, setelah Vera keluar kamarnya. “Apa ada yang sakit?” tanya Aditya waswas, sebab Elena tak kunjung memejamkan mata. Elena menggelengkan kepalanya. “Sudah hampir pagi, mualku mau datang,” jawabnya. Sejak positif hamil, Elena tak perlu melihat jam dinding atau di ponselnya untuk tahu kapan pagi tiba. Rasa mualnya akan datang, bergejolak kemudian merangkak naik dari perut ke kerongkongan, membuat mulutnya terasa pahit juga panas, ditambah lagi kepalanya berdenyut sehingga ia kesulitan untuk tidur meskipun masih sangat mengantuk. Aditya mengatupkan belah bibirnya, ia seakan tak diberi ampun dan jeda sama sekali sejak kejadian itu hingga pengakuan Elena, hidupnya terasa kacau, setiap saat mendebarkan dan menguras pikiran. Dirinya yang dulu bebas memutuskan dan bersikap, sekarang serba terbatas. Bahkan, tidur pun harus terganggu dan tegang seperti

  • Mengandung Benih Rahasia Atasanku   Malam Pertama Berdarah

    Kram dan nyeri bercampur menjadi satu, Elena pikir dengan berbaring tenang di kasurnya akan membuat rasa sakit itu mereda, nyatanya terus berlanjut, apalagi keberadaan Aditya yang juga ada di kamar bersamanya, membuatnya gugup dan kurang nyaman. “Pak,” panggilnya pada lelaki yang sedang duduk di dekat jendela sambil memejamkan mata itu. “Pak Ditya!” panggilnya lagi. Mendengar itu, Aditya lantas membuka matanya, ia belum tidur dan sepertinya tidak akan bisa tidur, matanya terpejam hanya untuk menenangkan diri saja. Pria itu menoleh. “Ada apa?” tanyanya. “Sa-sakitnya belum hilang,” jawab Elena sambil meletakkan tangan ke atas perutnya. Aditya sontak berdiri, wajahnya berubah lebih serius dengan kedua alis tebal yang menekuk. Sejak tadi itu yang Aditya khawatirkan, ia seakan belum siap jawaban bila terjadi sesuatu pada Elena. “Ck! Buka selimutnya!” titahnya, Aditya berdiri di samping ranjang. Elena patuh membuka selimut yang menutupinya itu, tangannya tampak gemetaran, keja

  • Mengandung Benih Rahasia Atasanku   Serba Mendadak

    “Len, mereka siapa?” Dewi melihat satu per satu wajah tamunya yang datang bersama Elena. “Em, mereka—” “Saya kekasihnya Elena, Bu Dewi. Kedatangan saya beserta keluarga ke sini untuk bersilaturahmi sekaligus meminang Elena,” potong Aditya sembari maju ke depan, tepat di samping Elena. Dewi tampak terkejut mendengar pengakuan Aditya, sebab sejak Elena pergi ke ibu kota dengan niat bekerja, ia belum pernah mendengar putrinya itu mempunyai kekasih. Bahkan, terakhir kali Elena mengatakan belum memikirkan soal pernikahan. Tetapi, sekarang semuanya berbalik. “Buk, maaf kalau Lena nggak pernah cerita, aku malu. Tapi, Pa-Mas Ditya punya niat serius ke aku dan nggak mau nunda. Keluarganya juga udah kenal Lena, Buk,” jelas Elena gugup. “Oo, ya sudah! Ayo, masuk dulu!” ajak Dewi kemudian membuka lebar pintu rumahnya. Aditya bersama orang tuanya pun masuk, bangunan rumah Elena masih terbilang lama, tetapi justru itu lebih kuat strukturnya, di dalamnya pun terlihat cukup lega dan

  • Mengandung Benih Rahasia Atasanku   Perjanjian Rahasia

    “Pak Ditya!” ucap Elena berangsur tenang, keringat dingin membanjiri keningnya. Lelaki berkemeja putih itu mengangguk, lalu memberikan instruksi pada perawat di sana untuk meninggalkan mereka sejenak. “Pakai ini!” titahnya membenarkan posisi selang oksigen di depan hidung Elena. “Kondisimu baru saja membaik, jangan banyak gerak dulu!” Alih-alih bisa tenang, walaupun ia tak memberontak seperti tadi, kepalanya berisik sekali. Seingatnya, lelaki itu tidak mengetahui ke mana dirinya pergi dan kapan, tetapi sekarang ada di dekatnya sekaligus menjadi penanggung jawab. Elena menatap awas atasan sekaligus ayah dari calon bayinya itu, ia khawatir Aditya kembali memintanya untuk menggugurkan kandungannya, apalagi mereka sedang ada di rumah sakit dan dirinya tengah tidak berdaya. “Saya mohon bunuh saya sekalian!” kata Elena memohon, matanya merah merebak. “Saya tidak bisa membunuh dia, lebih baik kami pergi bersama jika anda menolaknya, Pak!” Sakit, dadanya terasa sesak karena seluruh

  • Mengandung Benih Rahasia Atasanku   Meminta Tanggung Jawab

    “Pak, saya hamil,” ungkap Elena sembari menunduk, menatap perutnya yang masih rata. Aditya spontan mengalihkan perhatiannya dari benda pipih yang sejak tadi menjadi titik fokusnya, dari sekian banyak balasan email yang didapatkannya, pengakuan dari salah satu stafnya itu menjadi satu hal yang paling tidak diharapkan. Sebelah alisnya terangkat, matanya menatap tajam Elena yang tak memiliki kekuatan. “Kamu tau kepada siapa keluhan ini kamu sampaikan?” balasnya alih-alih iba. Elena mengangguk, ia juga tahu jika yang dilakukannya itu sangat berisiko, tetapi janin di perutnya itu membutuhkan tanggung jawab dan perlindungan. Dan tak pernah Elena melakukan hal bodoh itu sebelum menikah, kecuali karena terjebak bersama bosnya itu. “Minta berapa?” tanya Aditya kemudian membuka lacinya dan mengeluarkan selembar cek. “Atau saya beri kosongan saja supaya kamu bisa menulis sesukamu, hem? Berapa pun tidak masalah karena saya tidak akan melakukan yang lebih, ini!” Selembar cek itu digeser

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status