Pagi ini, Olivia beraktivitas seperti biasanya. Berangkat ke kampus untuk menempuh pendidikan yang selama ini selalu menjadi impiannya, agar tidak selalu dipandang sebelah mata oleh siapapun.
Setelah beranjak dewasa dan keluar dari panti asuhan, ia selalu mandiri. Ia mengambil semua jenis pekerjaan kecil seperti menjadi pelayan, petugas kebersihan, kurir, apapun itu akan ia kerjakan demi dapat menabung agar kelak dapat menempuh pendidikan secara layak. Baru memasuki perkuliahan semester 3, ia pun bertemu dengan sosok Renald. Pria dengan paras yang tampan, berhati baik dan sangat mampu membuat hati seorang Olivia jatuh, sejatuh-jatuhnya akan sosok Renald.Seperti sekarang, setelah menyelesaikan jam belajarnya di kelas. Ia melihat sosok Renald telah menunggunya di depan ruangan tempat Olivia belajar.
"Kamu lagi ngapain di sini, Yang?" tanyanya dengan raut senang,, "Ya nunggu kamu lah, masa iya nunggu dosen," jawabnya seraya mengelus rambut halus dikepala Olivia. Bluushh.... Sontak perlakuan manis Renald di tempat umum tersebut, membuat pipi chubby Olivia memerah layaknya udang rebus. "Kamu lucu banget sih, Baby. Pipi lembut merah kaya squishy...." goda Renald seraya mencubit pelan pipi Olivia. "Aku sengaja jemput kamu ke sini, sekarang kita ke rumah yuk. Papa sama Mama mau ngobrol."Ajakan spontan Renald membuat raut wajah Olivia langsung menegang.
"Aa-apa? Ke rumah? Ngobrol apa, Ren?" banyak pertanyaan diajukan olehnya pada kekasihnya itu. "Tentu saja tentang pernikahan kita dong, masa mau bahas jual beli saham, emang kamu ngerti?""Apa kamu bilang? NIKAH?" baru tersadar akan jawaban Renald, Olivia langsung menghentikan langkahnya.
Sambil tertawa melihat tingkah kekasihnya, dia pun berkata, "Memang kamu pikir aku ngelamar kamu buat main-main aja? Ya pasti buat nikahin kamu laah." Jawaban Renald sontak membuat Olivia tercengang."Ta-tapii, kita nikahnya masih lama kan Ren?"
"Yaa makanya aku ajak kamu ke rumah, biar kita cari solusi yang baiknya buat kita berdua gimana." jawaban Renald membuat senyum bahagia terlihat muncul di wajah Olivia, dan langsung memeluk erat tubuh kekasihnya.
Hingga tak berselang lama, mobil mereka pun tiba di tempat tujuan. Mereka berdua turun dari mobil, dengan menggandeng tangan kekasihnya, Olivia menarik ulur nafasnya dengan berat, menahan rasa gugupnya."Tenang, Sayang, mama papaku ga suka gigit kok," ucap Renald mencoba menenangkan hati Olivia.
"Kamu tuh yah, masih bisa-bisanya becanda kaya begitu. Aku tuh gugup!" ucap gemas Olivia padanya.
"Ya udah, ayo masuk," ajak Reynald.Menginjakkan kakinya ke dalam rumah Reynald yang sangat besar menurutnya itu, tidak ada dalam bayangannya selama ini. Sejak awal dia menerima ajakan Reynald untuk menjadi kekasihnya, belum pernah terbesit sedikitpun dalam pikirannya untuk bermimpi dipersunting oleh sosok yang selama ini ia kagumi diam-diam.
"Kalian sudah sampai?"Suara itu datang dari sosok perempuan paruh baya dengan penampilan cantik dan menawan sedang menuruni tangga, membuat seorang Olivia terpesona. Hidup tanpa ibu kandung sejak kecil, membuat hatinya berdesir kala mendengar sapaan ramah dari seorang Farida.
Sesampainya di depan Olivia, spontan lengan Farida langsung memeluk tubuh Olivia, yang tentu saja membuat seorang Olivia refleks membalas pelukannya. Bahkan matanya pun sudah berkaca-kaca menahan tangis. "Selamat datang di rumah kami, Olivia, akhirnya saya bisa liat kamu secara langsung. Selama ini, Mama cuma bisa membayangkan kamu dari cerita-ceritanya Renald aja. Ternyata kamu anaknya cantik, manis, persis yang Renald bilang," ucapnya penuh dengan kelembutan. Sontak saja pipi Olivia langsung merona ketika dipuji seperti itu oleh calon mertuanya. Menyebut kata itu dalam hatinya pun mampu membuat warna merah pada pipi nya semakin pekat. Selang beberapa waktu, ketika mereka sedang bersenda gurau di ruang tamu, muncul sosok Alex yang sempat membuat suasana berubah hening. Sosok yang dilihat Olivia saat ini cukup bisa membuatnya menerka, bahwa Alex adalah sosok yang tegas dan penuh wibawa. "Ada apa nih, sepertinya tadi obrolan kalian cukup seru. Kenapa Papa datang semuanya justru malah diam?" suara berat itu terdengar oleh indera pendengaran Olivia, cukup membuat dirinya merasa tegang saat mendengarnya. "Eh, Papa udah pulang? Katanya pulang jam 3 sore," tanya Farida dengan heran. "Iya. Papa usahain buat pulang cepet. Kan Renald bilang siang ini bakal ada tamu spesial datang ke rumah."Sekejap, Alex sempat terpesona akan kecantikan yang dimiliki Olivia, hingga dia pun berdehem dan lanjut berkata, "Sebenarnya Papa pulang cepat karena tadi di kantor belum sempat makan siang, jadi sekarang perut Papa terasa lapar skali."
Hingga kini, mereka semua sudah berada di ruang makan. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring yang terdengar di ruangan itu.
Mereka pun selesai dari acara makan siangnya. Karena terbiasa melakukan semua pekerjaan rumah, secara tidak sadar, Olivia bangun dari duduknya lalu mengambil semua piring-piring kotor yang ada di atas meja makan. Ia menyimpannya ke dalam wastafel. Hal itu sontak membuat ketiga orang di ruangan itu tercengang melihat apa yang Olivia lakukan.
Hingga suara lembut Olivia terdengar di telinga mereka, "Terima kasih atas jamuan makan siangnya ya, Nyonya," ucapnya sambil tersenyum manis.
Farida yang buru-buru tersadar pun lantas menjawab, "Sama-sama, Sayang."
"Dan, jangan sungkan, Nak, panggil saja kami dengan Mama dan Papa, seperti Renald memanggil kami. Toh kamu juga tidak akan lama lagi akan menjadi bagian dari keluarga kami," ucapan Alex sungguh membuat penglihatan Olivia memburam, akibat genangan air mata yang ada di pelupuk matanya."Jangan nangis sayang ,itu artinya kamu memang sudah diterima dalam keluargaku." ucap Renald menenangkan hati Olivia yang merasa senang akan perlakuan calon mertuanya.
"Terima kasih mm-mah, pp-pah...." ucapan Olivia yang tergagap saat mengatakannya membuat Alex dan Farida tertawa.
Pertemuan mereka hari ini menghasilkan sebuah keputusan besar, yakni ketetapan tanggal dan hari pernikahan mereka yang akan dilangsungkan hanya 1 bulan lagi.Olivia memasuki apartemen miliknya sepulangnua dari supermarket, langsung memasuki area dapurnya, ia membereskan seluruh barang belanjaannya kedalam kitchen set dan lemari es. "Huuft,,akhirnya selesai juga." Ujarnya, kemudian membuat secangkir teh hangat karena dirasa dirinya perlu merilekskan tubuh dan pikirannya. Membawa cangkir tehnya, Olivia duduk di ruang tamu. Membuka ponselnya dan mencari beberapa info lowongan pekerjaan, Hingga akhirnya ia menemukan sebuah pekerjaan di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan, sesuai bekal pendidikannya dulu saat kuliah. Namun, hanya ada lowongan sebagai Office girl disana. ia pun tak banyak berpikir, ia akan memgambil jalan itu. tak mengapa ia menjadi Office girl, toh itu pekerjaan baik juga, tidak ada yang salah. Yang ada dalam pikirannya hanyalah, ia harus mendapat uang sebanyak-banyaknya agar bisa bertemu kembali dengan sang putra, Keenan. menyeruput teh hangatnya hingga cangkir itu kosong, ia pun berniat membersihkan diri
Tak menyangka, kini Olivia sedang terduduk dalam kursi penumpang di sebuah pesawat. mata nanarnya menatap keluar jendela di sebelahnya. "Semoga langkah yang ku pilih ini sudah tepat, dan selalu dalam lindungan Mu ya Allah." Gumam Olivia dalam hatinya. Memilih Los Angeles sebagai kota tujuannya untuk memperbaiki kehidupannya agar lebih baik lagi. dikenal dengan julukan City of Angels, kota tersibuk di Amerika serikat karena dikenal sebagai kota yang tak pernah tidur. Ia sungguh berharap, bekerja di salah satu kota terbesar di Amerika serikat itu mampu membuat dirinya bisa kembali mengambil hak asuh sang putra. Tidak ada dendam dihatinya, karena yang ada dalam pikirannya saat ini adalah sang buah hati yang baru berumur 5 bulan itu. "Semoga jika kau sudah tumbuh besar nanti, kau masih menganggap bahwa ibu masih ada nak". kembali pada realita kehidupannya, begitu tiba di Bandar Udara Internasional Los Angeles, wanita itu sempat kebingungan harus pergi kemana terlebih dahulu.
Hari ini merupakan sidang perceraian pertamanya, masih ada beberapa kali lagi pertemuan. Namun, sulit bagi Olivia dapat memenangkan hak asuh anaknya. Karena, sudah dapat dipastikan keluarga besar mantan suaminya itu sudah mempersiapkan segalanya dengan sangat matang. Terbukti dari tidak adanya keadilan kala hak asuh anaknya sepenuhnya jatuh ke tangan sang mantan suami, padahal tidak ada bukti kesalahan apapun yang dilakukan dirinya sehingga ia harus berpisah dengan anaknya yang baru berusia 5bulan itu. Hingga, tak terasa hari penentuan dirinya resmi menjadi seorang janda terjadi hari ini. Seharusnya ia mendapatkan bantuan Tuan Daniel, pengacara Almarhum Tuan besar Adijaya. namun entah, sosok pria paruh baya itu tidak hadir hingga persidangan terakhirnya ini. "Reyn, kumohon, beri aku keringanan agar selalu dapat bertemu dengan putraku." Pinta Olivia kala mereka telah selesai menjalani sidang perceraian mereka. "Jangan Harap Oliv, kau bilang sangat enggan menerima harta waris
5 Bulan berlalu begitu cepat bagi seorang Olivia, tentu saja hal itu dirasa terlalu singkat untuk kebersamaannya bersama sang buah hati. Selama dalam pengasuhan Oliv, Keenan kecil sangat baik, tidak rewel sama sekali. Mungkin, karena instingnya bersama sang ibunda membuatnya merasa tenang, nyaman dan aman. Begitu pula dengan Olivia, kebersamaannya bersama Keenan membuatnya serasa sangat bahagia, tak ingin semuanya berlalu, tapi apa mau dikata, malang tak dapat ditolak. subuh ini, ia sudah bersiap membereskan semua pakaian dan perlengkapan miliknya. Ia harus menghadiri sidang perceraiannya siang ini di pengadilan agama. Apa yang diucapkan Reynald kala itu benar-benar terjadi, tepat 5 bulan sejak kejadian itu, suaminya benar-benar memberikannya surat perceraian. "kau harus menjadi anak yang kuat nak, ibu akan tetap menyayangi mu tak peduli dimanapun ibu berada." Bisik Olivia pada sang putra yang terlihat sedang tertidur lelap. "ibu harap kau tidak melupakan ibu nak jika suatu
Beberapa menit berlalu, tak terasa putra yang berada dalam dekapan hangatnya itu pun telah tertidur lelap. tersenyum hangat, tangan Olivia membelai lembut pipi halus putra tampannya itu. Tubuh oliv menegang kala mendengar suara teguran dari arah belakang, "Cepat masuk, taruh anak ku di kamarnya." Ucap dingin pria itu, "Reyn, apa, anak kita ini sudah di beri nama?" tanya Olivia pada Reynald, "Jangan, berani, sebut bayi ini anak kita di depan siapapun mulai saat ini. Paham!" Ancam Reynald, "tapi dia juga anak ku Reyn, sampai kapanpun itu, ini adalah darah dagingku, aku yang mengandungnya selama ini dan melahirkannya langsung Reyn!" Geram Olivia, dia merasa ini sudah sangat keterlaluan, putra dalam pelukannya inilah yang ia kandung selama 9 bulan kemarin. "setidaknya biarkan aku yang memberikannya nama pada putra ku Reyn, aku tidak akan meminta lebih." Bujuk Olivia, "Baiklah, ku beri kau waktu 5bulan untuk bisa bersamanya, namun, setelah waktu itu habis, jangan pernah mem
Hari-harinya Olivia kini terasa lebih hampa dari biasanya, perut besarnya kini sudah tidak ada, kegiatannya dalam bekerja memang terasa lebih ringan, tapi langkahnya selalu terasa lebih berat dari biasanya. Sedari subuh ia sudah beraktifitas di paviliun itu, membersihkan segala sesuatunya disana. Saat sedang serius membersihkan area dapur, tiba-tiba suara Lily yang menegurnya membuat kegiatannya terhenti. "Kau disuruh Nyonya untuk membuat sarapan di rumah besar saat ini juga." Ujarnya dengan ketus. "sekarang masih jam 6?" Tanya Olivia, "ya mana aku tau, nyonya besar sendiri yang tadi memintaku memberitahumu." Ucap Lily sambil melangkah keluar meninggalkan Olivia yang masih merasa bingung. Tapi, tanpa berpikir lama, ia pun beranjak dari paviliun itu menuju rumah utama. Baru beberapa langkah kakinya memasuki rumah besar itu dari area dapur, sudah terdengar jelas ditelinganya suara tangisan kencang bayi, langkah kakinya sontak terhenti, ia yakin bahwa itu adalah suara anaknya