Langkah Aiko terasa sangat ringan. Ia berjalan masuk ke dalam mansion milik Gilbert Hugo, sang kekasih. Beberapa pelayan tampak berdiri di depan mansion untuk menyambutnya dan membawakan barang yang dibawa olehnya.
"Silahkan masuk, Nona. Tuan sudah menunggu," ucap salah satu pelayan yang ikut dalam barisan penyambutan Aiko.Aiko tersenyum. "Terimakasih."Baru beberapa langkah Aiko teringat sesuatu dan ia berhenti lalu menoleh pada para pelayan yang mengikutinya. "Bisakah tolong antarkan aku terlebih dahulu ke kamarku? Aku ingin membersihkan diri sebelum bertemu dengan majikan kalian."Para pelayan pun mengangguk secara bersamaan. "Tentu saja, Nona. Silahkan ikuti kami," jawab salah satu pelayan.Salah seorang pelayan yang nampak paling senior, berjalan paling depan karena dia yang akan menunjukkan kamar yang telah disiapkan untuk tamu dari majikannya tersebut. Sementara Aiko dan beberapa pelayan lainnya mengikuti dari belakang."Ini kamar Anda, Nona. Kami akan membantu Anda untuk mempersiapkan diri sebelum makan malam bersama Tuan Gilbert," ujar pelayan yang memimpin jalan tadi.Aiko menggeleng dengan tetap menampilkan wajah ramahnya. "Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri, kalian kembali bekerja saja. Terimakasih banyak untuk semuanya.""Baiklah Nona, kami permisi dulu." Pelayan yang sedari tadi berinteraksi dengan Aiko pun pamit mewakili pelayan yang lain.Aiko memandangi kamar yang sangat luas yang telah dipersiapkan untuknya. Kamar mewah dengan segala perabot yang terlihat mahal dan berkelas. Selama ini dia belum pernah diajak ke mansion milik kekasihnya, dia hanya akan diajak ke apartemen pria tersebut jika akan bertemu. Kali ini dia sangat yakin jika Gilbert sangat mencintainya dan akan melindungi dirinya sebaik mungkin.Koper yang tadi dibawa masuk oleh para pelayan ke dalam kamar pun diangkat oleh Aiko dan diletakkan di atas kasur. Dia membuka koper tersebut untuk mengambil handuk serta pakaian terbaiknya yang dia miliki untuk bertemu dengan Gilbert. Setelah itu ia bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.Setelah selesai mandi dan berpakaian, Aiko pun memoles wajah agar terlihat cantik saat bertemu dengan kekasihnya nanti. Sudah berbulan-bulan mereka tidak bertemu, tentu hatinya sangat merindukan pria tampan bernetra biru itu.Sekali lagi, Aiko mematut dirinya di depan cermin sambil tersenyum puas melihat penampilanya yang mengenakan dress hitam selutut tanpa lengan dan terlihat sangat pas di tubuhnya. "Kurasa aku sudah cantik."Aiko terkikik geli karena merasa dirinya terlalu narsis. Saat akan berjalan keluar dari kamar, seseorang mengetuk pintu kamar. Buru-buru dia membuka pintu tersebut dan nampak salah satu pengawal Gilbert berdiri di depan kamarnya."Ada apa?" tanya Naomi singkat."Tuan menunggu Anda di ruang makan, Nona. Anda di minta untuk ke sana sekarang juga," jawab pengawal tersebut menyampaikan apa yang di perintahkan oleh majikannya."Baiklah. Ayo!" Aiko pun mengikuti pengawal tersebut setelah menutup pintu kamarnya.Mereka berdua berjalan melalui banyak ruangan hingga berakhir di ruang makan, tempat Gilbert telah menunggunya. Saat kekasihnya melihat dia datang, pria itu segera berdiri dan memeluk Aiko dengan erat. Juga tak segan untuk mencium bibirnya sekilas di depan para pelayan dan pengawal yang berdiri tak jauh dari mereka."Aku sangat merindukanmu, Aiko. Maaf aku baru menjemputmu sekarang," sesal Gilbert yang membuat Aiko segera memaafkan pria itu."Tidak apa-apa. Aku mengerti. Justru aku yang seharusnya minta maaf karena telah mengacaukan rencana kita."Tangan Gilbert terangkat untuk merapikan anak rambut Aiko dan menyisipkannya ke belakang telinga sambil tersenyum lembut. "Asal kau baik-baik saja, Sayang. Ayo! Lebih baik kita segera makan."Gilbert menggenggam tangan Aiko dan menuntun gadis itu untuk duduk di kursi tepat di sebelah kursi yang tadi dia duduki. Tatapannya tak pernah lepas memandangi wajah kekasihnya yang terlihat sangat cantik malam ini.Ditatap secara intens oleh Gilbert membuat dada Aiko berdebar dan wajahnya bersemu merah. "Kenapa menatapku seperti itu?""Kau sangat cantik malam ini."Aiko tersenyum bahagia mendapat pujian dari sang kekasih. "Terimakasih atas pujianmu."Mereka berdua melewati makan malam penuh cinta. Gilbert menunjukkan rasa cinta dan perhatiannya yang begitu besar kepada Aiko hingga gadis itu terbuai dan tidak waspada karena sudah terlanjur percaya sepenuhnya kepada pria itu. Tepat setelah mereka menghabiskan dessert yaitu creme brulee, tiba-tiba kepalanya terasa sangat pusing yang tak tertahankan."Ada apa?" tanya Gilbert yang khawatir karena Aiko terlihat tidak sehat.Aiko memegangi kepalanya yang berdenyut, tubuhnya pun terasa sangat lemas. "Sepertinya ada yang salah dengan tubuhku," jawabnya dengan sangat lirih.Gilbert segera menggeser kursi yang ia duduki hingga menempel pada kursi di mana Aiko duduk. Tepat pada saat itu, tubuh gadis itu ambruk tak sadarkan diri yang segera ditangkap olehnya. Dia tersenyum miring melihat sang kekasih yang bersandar di dadanya dalam kondisi pingsan.Tangan Gilbert menyusuri setiap detail wajah kekasihnya. "Kau itu sebenarnya sangat cantik, Aiko. Namun, sayangnya kau sangat bodoh karena kau tidak bisa membedakan mana orang yang sebenarnya mencintaimu dengan yang hanya memanfaatkanmu."Gilbert mencium pucuk kepala Aiko. "Aku membencimu karena kau gagal menyingkirkan Aslan dan itu bisa membuatku terseret dalam masalah besar jika sampai mereka menemukanmu. Ck... Tubuhmu memang sangat indah tapi sayangnya kau gadis yang sok suci, tidak pernah mau tidur denganku. Jadi sekarang, bawalah kesucianmu itu ke neraka bersamamu."Gilbert pun tergelak. Para pelayan dan pengawalnya hanya bisa diam melihat apa yang di lakukan oleh tuannya. Diam-diam ada seorang gadis yang menjadi salah satu pengawal di mansion tersebut bergidik ngeri, dia tidak menyangka dengan apa yang kini majikannya perbuat pada kekasihnya sendiri yang telah banyak berkorban untuknya.Beberapa pengawal membawa tubuh Aiko yang tak sadarkan diri menuju penjara bawah tanah yang ada di bawah mansion tersebut setelah diperintahkan oleh Gilbert. Di sana tubuh gadis itu diikat pada sisi kanan dan kiri dikedua tangan dan kakinya. Dua orang penjaga pun di tempatkan di depan pintu sel ruangan dan salah satunya adalah pengawal yang bernama Ellen Maria.Aiko bangun tergagap karena ada seseorang menyiram tubuhnya menggunakan air es. Belum sepenuhnya pulih dari kesadarannya, dia sangat terkejut saat tidak bisa menggerakan tangannya dengan bebas. Ternyata bukan hanya itu saja, tapi suara seseorang yang kini memanggil namanya yang membuatnya makin terperangah."Aiko... Aiko... Dasar gadis bodoh!"Mendengar suara dari orang yang dia cintai membuat Aiko mengangkat kepala sampai pandangannya bertemu dengan Gilbert. Matanya membulat dengan sempurna melihat kekasih yang duduk di sebuah kursi tepat di hadapannya sedang memangku seorang gadis berpakain minim. Bahkan tak segan pria yang begitu dia cintai mencumbu dan menggerayangi tubuh gadis asing tersebut di depan matanya."Ada apa ini sebenarnya?" Walaupun Aiko belum mengetahui situasi yang terjadi secara pasti tapi melihat kekasihnya tengah bermesraan bersama wanita lain tentu membuat hatinya sangat sakit.Gilbert menghentikan kegiatannya yang tengah bermesraan dengan seorang wanita, kemudian dia menatap Aiko dengan tatapan sinis. "Kau masih belum sadar juga rupanya. Baiklah, akan aku beritahu semuanya sebelum aku membunuhmu secara perlahan."Gadis yang ada di pangkuan Gilbert segera menyingkir sesuai instruksi darinya. Dia berdiri dan berjalan mendekat ke arah Aiko yang duduk di lantai yang dingin dengan kondisi kaki dan tangan yang terikat. Setelah cukup dekat, dia berlutut dengan menekuk satu kakinya di hadapan gadis itu."Kau itu hanya kujadikan sebagai alat untuk menyingkirkan para musuhku, Aiko!" cemooh Gilbert dengan mencengkram kuat rahang Aiko.Aiko menggeleng dengan air mata yang akhirnya tumpah membasahi pipi. "Tidak mungkin! Kau bohong! Kau bilang mencintaiku dan aku telah melakukan semua yang ku bisa untukmu!""Cih! Semua? Apa kau lupa jika kau tidak pernah mau memberikan tubuhmu untuk kunikmati?" sanggah Gilbert yang membuat Aiko diam seribu bahasa.Gilbert menyeringai. "Seandainya kau bisa memuaskanku di atas ranjang pasti aku akan mempertimbangkan untuk mengurungmu saja di kamar dari pada harus menyingkirkanmu.""Aku bukan jalang! Jadi kau ingin menyingkirkanku?" tanya Aiko dengan tatapan tak percaya.Gilbert mendekatkan bibirnya pada telinga Aiko. "Aku ingin sekali menghabisimu secara perlahan, sampai kau menyesal karena pernah bertemu denganku dalam hidupmu."Gilbert memerintahkan dua anak buahnya untuk menyiksa Aiko. Dengan kondisi tangan dan kaki terikat tentu membuat gadis itu tak berdaya. Namun, dia sama sekali tidak mengeluarkan suara jeritan kesakitan karena hatinyalah yang lebih sakit dari pada fisiknya.Dalam keadaan disiksa, air matanya tak kunjung berhenti mengalir mengingat semua kenangan dan janji manis yang diucapkan Gilbert yang sesungguhnya hanyalah sebuah kebohongan. Dia benar-benar bodoh bisa mempercayai pria itu, bahkan dia rela melakukan semua yang di perintahkan kepadanya kecuali memberikan tubuhnya.'Kenapa mencintai seseorang sesakit ini? Mungkinkah ini juga yang dirasakan Aslan saat tahu aku mengkhianati kepercayaannya?' batin Aiko dalam hatiMalam di Paris masih terasa hangat, tapi udara di dalam apartemen Angela seperti berhenti berputar. Hening. Sunyi. Dan menyesakkan.Aslan berdiri di dekat jendela, menatap lampu-lampu kota yang bergemerlapan. Sementara Angela duduk di sofa, memeluk lututnya. Tatapannya kosong, tapi dalam pikirannya ribuan suara berteriak minta dikeluarkan."Aslan..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan.Aslan menoleh. "Hm?"Angela menarik napas dalam. “Selama ini... kamu hanya tahu aku adalah Aiko. Gadis yang memalsukan identitas dan mencuri posisi sebagai sekretarismu. Tapi aku belum pernah bilang... siapa aku sebenarnya.”Aslan diam. Tapi seluruh tubuhnya menegang. Matanya mengunci ke arah Angela yang kini menatapnya, tak lagi bersembunyi.“Aku bukan penipu biasa. Aku dulu pembunuh bayaran.”Keheningan runtuh seketika. Seperti kaca yang dibanting di lantai marmer."Aku… dulu bekerja untuk Organisasi Tangan Hitam. Mereka yang melatihku sejak aku berusia 12 tahun. Membuatku jadi senjata. Aku menghi
Angela menatap jam tangannya. Sudah hampir satu jam ia berada di restoran ini. Meskipun ia duduk diam dan hanya menjawab saat ditanya, tetap saja atmosfer meja itu membuatnya sesak.Aslan dan Klara terlihat membahas sesuatu tentang acara amal. Mentari sesekali menimpali, lalu menatap Angela dengan sorot mata yang tidak bisa dibaca.Angela berdiri dengan sopan. “Maaf, saya ke toilet sebentar.”Aslan pun menoleh pada Angela dan mengangguk tanpa banyak bicara.---Toilet wanita berlapis marmer hitam dan cermin panjang itu sunyi. Angela berdiri di depan wastafel, membasuh wajahnya perlahan. Ia tahu, ada yang tak beres hari ini. Klara, Mentari, dan cara makan siang ini dirancang—semuanya terlalu... sempurna.Angela menarik napas pelan, tapi langkah sepatu hak tinggi menghentikannya.Angela menoleh ke cermin.Mentari berdiri di ambang pintu dengan anggun, menutup pintu perlahan. “Kukira kita butuh bicara berdua,” ucapnya tenang.Angela berdiri tegak, tidak ingin menunjukkan kelemahan sediki
Langit malam Paris terlihat redup, seperti menahan napas. Aslan berdiri membeku di balkon unit kosong sebuah apartemen—berada tepat di seberang unit apartemen Angela. Jaraknya cukup dekat untuk melihat ke dalam, apalagi dengan lampu yang masih menyala terang di ruang tengah.Di dalam sana, Angela dan Leo duduk berdampingan di sofa. Angela tertawa pelan, lalu menerima secangkir coklat hangat yang baru saja dibuat Leo.Aslan mengepalkan tinjunya. Ada nyeri di dadanya. Aneh dan sulit dijelaskan.“Apa dia memang... sebahagia itu bersamanya?” desisnya lirih.Dari balik tirai kaca balkon, ia melihat Angela menyender sebentar ke bahu Leo sambil bicara pelan. Wajah Leo memerah. Tapi yang membuat hati Aslan makin bergetar adalah saat Angela menyentuh lengan Leo, lalu tertawa kecil sambil meledek, “Kamu tuh cocok banget gabung boyband Korea, Leo. Udah tinggi, putih, manis, bisa masak, bisa jagain orang… lengkap.”Leo menatap Angela. “Tapi sayangnya hatiku bukan untuk fans. Aku lebih suka peremp
Suara langkah sepatu Aslan terdengar menghentak di lorong kantor pusat Del Piero pusat. Para staf yang masih lembur sontak menunduk, pura-pura sibuk di depan layar komputer masing-masing. Tapi mereka tak bisa membohongi detak jantung yang berdegup lebih cepat setiap kali langkah dingin dan aura gelap sang CEO melintas. Wajah Aslan tampak gelap. Tatapan matanya tajam, seperti elang yang baru saja disakiti dan siap mencabik siapa pun yang berani menyentuh wilayahnya. Tadi sore, Leo menggendong Angela dengan tubuh dengan luka ringan dan wajah pucat. Katanya, Angela disekap di cabang kantor Del Piero Group di pinggiran kota oleh orang tak dikenal. Leo menyelamatkannya secara tidak sengaja saat hendak mencari Aslan. Aslan tidak peduli bagaimana Leo bisa berada di tempat itu. Yang dia lihat hanya satu hal—lelaki lain yang menggendong wanita yang dia cintai. Tubuh wanita itu adalah yang pernah tidur di pelukannya. Yang pernah membisikkan bahwa cinta itu tidak mudah, tapi dia ingin ber
Langit Paris sore itu diselimuti awan kelabu. Cahaya matahari yang biasanya menyapa lembut melalui kaca tinggi menara Del Piero pusat di Paris kini redup, tertutup mendung yang menggantung. Angela berdiri di dekat jendela kantornya, memandangi lalu lintas yang mengalir perlahan di sepanjang Rue de Rivoli. Ada sesuatu yang membuat hatinya tak tenang sejak pagi. Mungkin firasat. Atau mungkin karena mimpi buruk yang membangunkannya dini hari tadi—bayangan masa lalunya sebagai Aiko yang terus menghantui. Ia menghela napas panjang, lalu kembali ke meja dan melanjutkan pekerjaannya. Baru saja ia selesai mengecek laporan keuangan divisi logistik, ketika suara dari meja resepsionis terdengar di interkom. "Mademoiselle Angela Zhou, ada kiriman surat untuk Anda," ujar suara sopan sang petugas. Angela bangkit, berjalan menuju lobi lantai executive. Di sana, seorang pria kurir bertubuh ramping dengan topi hitam menyodorkan amplop besar berwarna hitam legam, disegel dengan lilin merah. Eleg
Cahaya lampu di ruang tamu maansiom Del Piero temaram. Jam dinding berdetak pelan, sesekali bersaing dengan suara rintik gerimis yang membasahi kaca jendela besar. Aslan duduk di sofa panjang, satu kaki disilangkan di atas yang lain, segelas wine merah yang belum disentuh berada di meja di depannya. Pikirannya jauh. Tiba-tiba, ponselnya yang tergeletak di meja bergetar pelan. 🔔 Notifikasi masuk: 📍“Permintaan akses untuk rekaman keamanan lantai 23: disetujui oleh Klara R.” Kening Aslan langsung berkerut. Matanya menyipit, menatap layar ponsel dengan tatapan curiga. > "Rekaman keamanan... lantai 23...? Bukankah itu lantai kantor Angela?" Dia menggulir layar ke atas, memastikan kalau dia tidak salah baca. Benar. Klara—wanita yang baru saja diperkenalkan sebagai rekan bisnis strategis—meminta akses khusus ke lantai yang seharusnya tidak menjadi urusannya. Ada firasat aneh yang menyelinap dalam dada Aslan. Perasaan tak nyaman yang menjalar perlahan, seperti hawa dingin yang menusuk