Share

6. Menjemput Aiko

Sudah hampir tiga bulan Aiko hidup dalam pelarian. Keputusannya ternyata tepat saat memilih kota Nice di mana ada temannya yang bernama Chloe sebagai tujuan kepergiannya. Buktinya para pengawal Del Piero belum bisa menemukannya sampai sekarang. Meskipun begitu dia tidak boleh lengah karena terkadang wajahnya akan muncul di siaran televisi sebagai buronan.

Keiko hampir putus asa. Dia sangat merindukan kekasihnya yaitu Gilbert. Namun, pria tersebut justru mengabaikannya terus seolah tidak peduli dengan nasib dirinya akibat pembuktian cinta yang dianggap telah gagal. Yah, dia todak bisa menghabisi Aslan, kekasih palsunya yang sangat mencintainya.

Gilbert pernah sekali mengangkat panggilan darinya, tapi saat mengetahui jika Aiko yang menghubunginya pria itu dengan cepat mematikan ponselnya. Selanjutnya kekasihnya itu tidak pernah mau lagi mengangkat panggilannya. Dia tidak bisa seperti ini terus, merubah penampilannya dengan aneh demi bisa bekerja untuk mencari uang di cafe milik Chloe agar tidak ada satu orang pun yang bisa mengenalinya wajahnya yang dianggap sebagai buronan.

"Gilbert?" Naomi segera menoleh pada Chloe. Baru saja dia akan menghubungi pria itu menuruti ucapan dari temannya, tiba-tiba ponselnya berdering nyaring dan tertera nama seseorang yang hendak dia hubungi.

"Angkat!" seru Chloe dengan penuh semangat.

Dengan cepat tangan Aiko meraih ponsel miliknya yang ada di atas meja dan menggeser layar hijau. "Hallo..."

"Sayang bagaimana kabarmu? Kau baik-baik saja kan?" tanya Gilbert di ujung sana yang terdengar sangat mengkhawatirkan Aiko.

Aiko sempat terperanjat dengan apa yang ditanyakan oleh Gilbert, sebab inilah hal yang selama ini dia tunggu bahwa kekasihnya akan mengkhawatirkan dirinya dan mencarinya demi melindungi dia sebagai wanita yang pria itu cintai. "Iya, aku baik-baik saja."

"Maafkan aku yang sudah mengabaikanmu selama ini. Aku hanya sedang mencari waktu yang pas agar aku bisa membawamu pergi tanpa ketahuan oleh siapapun."

"Iya, tidak apa-apa. Aku tahu kau mempertimbangkan banyak hal agar kita semua selamat," sahut Aiko tanpa menaruh curiga sedikitpun pada Gilbert yang tiba-tiba saja menghubunginya.

"Kau sekarang berada di mana? Aku akan menjemputmu."

Aiko kembali menoleh pada Chloe seolah meminta pendapat sebelum dia menjawab pertanyaan dari Gilbert. Ternyata temannya tersebut mengangguk sehingga dia berani memberitahukan keberadaannya kepada Gilbert.

"Aku berada di kota Nice, akan aku kirimkan alamatnya."

"Itu sangat jauh. Baiklah, aku akan mengirimkan salah satu anak buahku untuk menjemputmu di sana," ucap Gilbert yang tidak lama kemudian mengakhiri panggilannya.

Aiko meletakkan kembali ponselnya di atas meja, sementara Chloe sudah menunggu dengan wajah yang tersirat tidak sabar ingin mendengarkan apa saja yang dibicarakan oleh temannya itu dengan sang kekasih. Namun, dia dapat melihat jika wajah temannya terllihat lega seolah beban beberapa ton yang ada di pundaknya selama berbulan-bilan hilang begitu saja. Dia pun bisa merasa ikut lega jika semuanya akan berakhir baik-baik saja.

"Bagaimana?" tanya Chloe pada akhirnya.

Aiko tersenyum lebar. "Gilbert akan menjemputku, Chloe. Aku sangat lega dan bahagia sekali, tidak menyangka jika selama ini aku sudah berpikiran buruk tentang kekasihku. Nyatanya dia tadi mengatakan hanya mencari waktu yang tepat untuk menghubungiku agar tidak ketahuan oleh siapapun."

"Benarkah?" tanya Chloe seolah tak percaya.

Namun, semua itu akhirnya Chloe tepis saat melihat senyum lebar Aiko sambil mengangguk mantap meyakinkan dirinya. "Syukurlah jika demikian."

Beberapa hari kemudian datanglah dua anak buah Gilbert menjemput Aiko. Ada rasa berat di hati Chloe saat melepas kepergian temannya tersebut, dia seperti merasakan firasat buruk. Meski begitu dia tetap tersenyum sambil berdo'a bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Sepanjang perjalanan menuju kota Paris, senyum di wajah Aiko tak pernah luntur. Dia pun begitu ramah kepada dua anak buah Gilbert yang menjemputnya. Hatinya merasa bahagia karena akhirnya dia tidak dicampakkan begitu saja oleh kekasihnya.

* * *

"Selamat datang kembali di rumah, Nak," sambut Mentari yang sejak pagi telah bersiap untuk menyambut kepulangan putra satu-satunya dari rumah sakit bersama keluarga besarnya, kecuali Abrahan Soren. Menantu laki-lakinya tersebut yang menjemput Aslan dari rumah sakit.

Aslan segera memeluk dan mencium kedua pipi ibunya. "Terimakasih, Mom. Aku sungguh merindukan rumah."

"Uncle Tampan!" seru Danes dari gendongan ibunya.

Aslan segera menoleh dan mengambil Danes dari gendongan Maharani. "Kemarilah, Sayang."

"Hore! Uncle sudah pulang!" teriak Danes dengan kegirangan.

Erlan Del Piero menepuk bahu putranya. "Daddy senang akhirnya kau pulang juga ke rumah."

"Banyak yang masih harus aku urus, Dad. Terutama menemukan wanita itu secepatnya," sahut Aslan yang ditanggapi dengan anggukan oleh ayahnya.

"Bicarakan masalah itu nanti saja. Ini sudah saatnya makan siang. Ayo! Sebaiknya kita segera ke ruang makan," potong Maharani menyela pembicaraan antara ayah dan kakak laki-lakinya.

Akhirnya semua orang menuruti apa yang dikatakan oleh Maharani. Mereka semua segera menuju ruang makan di mana banyak hidangan lezat tersedia di atas meja. Jangan diragukan lagi soal rasanya karena keluarga Del Piero mempekerjakan dua orang koki hebat di kediaman mereka.

Setelah selesai makan siang, Aslan segera pamit undur diri. Namun, Mentari yang curiga tidak pergi untuk istirahat pun bertanya, "kau mau pergi ke mana, Aslan?"

"Aku tidak akan keluar rumah, Mom. Aku hanya ingin pergi ke ruang kerja untuk mengecek beberapa laporan perusahaan," jawab Aslan.

"Tidak bisakah kau istirahat saja beberapa hari tidak melakukan pekerjaan kantor? Kau baru saja pulih dan kembali dari rumah sakit!" pinta Mentari yang khawatir terhadap kondisi putranya.

Namun, Aslan yang keras kepala tentu tidak akan menuruti permintaan ibunya begitu saja. "Aku hanya duduk dan membaca, Mom. Aku sama sekali tidak melakukan pekerjaan berat, jadi jangan khawatir."

Aslan bangkit dari duduknya. Mentari hanya bisa berpesan pada putranya agar jangan terlalu lama berada di ruang kerja dan harus segera istirahat.

Abrahan pun ikut pamit dan berjalan mengikuti kakak iparnya. Sebenarnya dia dan Maharani tinggal di luar kota karena mengurus salah satu cabang perusahaan Del Piero di sana. Namun, saat Aslan koma, dia pun akhirnya bersama keluarga kecilnya pindah untuk sementara di kota Paris. Dia tidak tega jika mertuanya yang sudah pensiun harus terjun kembali ke dunia perkantoran.

Alex, asisten pribadi Aslan telah menunggu di ruang kerja atasannya itu. Dia yang awalnya sedang duduk melihat kedatangan atasannya segera berdiri menyambut. "Senang melihat Anda telah sehat kembali, Tuan."

"Terimakasih. Duduklah, Alex." perintah Aslan sebelum dia duduk di kursui kebesarannya.

"Berkas laporan perusahaan selama Anda sakit ada di atas meja, Tuan Aslan." kata Alex memberitahu atasannya.

Aslan menatap berkas yang dimaksud oleh Alex yang ada di depannya. Dia pun segera membuka berkas laporan tersebut dan membacanya.

Sementara Abrahan ikut duduk di kursi yang ada di sebelah Alex yang bersebrangan dengan Aslan. Dia sudah tahu apa yang terjadi di perusahaan selama kakak iparnya belum sadarkan diri, tidak ada hal buruk yang terjadi. Dia sebisa mungkin memberikan yang terbaik untuk keluarga istrinya.

"Tidak ada masalah." Aslan menutup berkas laporan yang baru saja dia baca. Memang ada beberapa proyek yang harus diundur karena menunggu tanda tangan Aslan, tapi itu semua tidak menjadi masalah yang besar bagi perusahaan.

"Apa kau sudah mencarikan sekertaris baru untukku, Alex?" tanya Aslan kepada Asisten pribadinya.

Terlihat wajah lesu Alex yang menandakan dia belum mendapatkan pengganti Aiko. "Maaf, Tuan. Saya belum mendapatkan sekertaris untuk Anda karena belum ada yang cocok. Oleh sebab itu saya menempatkan sekertaris saya terlebih dahulu untuk menjadi sekertaris Anda selama belum mendapatkan yang baru. Sangat sulit untuk mencari yang seperti Nona Aiko, apalagi yang melebihi kemampuannya."

Mendengar nama Aiko di sebut membuat amarah Aslan tiba-tiba bangkit. Rahangnya mengeras dan ia menatap tajam ke arah Alex. "Pergi, Alex. Kerjakan pekerjaanmu!"

Alex yang takut dengan kemarahan atasannya hanya bisa mengangguk dan berdiri untuk segera keluar dari ruangan itu. Tiba-tiba dia merutuki kebodohannya sendiri yang membuat atasannya terlihat sangat marah. Dia mengira jika Aslan marah karena dia belum mendapatkan sekertaris baru pengganti Aiko. Padahal kenyataannya tidak seperti itu.

"Jangan marah lagi, Aslan. Alex tidak tahu apa-apa soal kejadian itu. Keluarga menutup rapat karena takut itu akan menggemparkan dunia bisnis dan menjadi celah bagi para musuh untuk menghancurkan kita," ujar Abrahan kepada Aslan.

"Keluarga hanya mengatakan jika kau baru saja sembuh dari sakit dan pergi keluar negri untuk pemulihan. Biar bagaimanapun ada beberapa orang yang telah melihat insiden di Les Ombres malam itu, sehingga kami akhirnya mengatakan hal seperti itu kepada publik," imbuh Abrahan.

Aslan mengangguk tanda mengerti. "Lalu bagaimana dengan hasil pencarian terhadap gadis jalang itu? Apa ada orang lain yang menjadi dalang dari semua ini?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status