Malam di Paris masih terasa hangat, tapi udara di dalam apartemen Angela seperti berhenti berputar. Hening. Sunyi. Dan menyesakkan.Aslan berdiri di dekat jendela, menatap lampu-lampu kota yang bergemerlapan. Sementara Angela duduk di sofa, memeluk lututnya. Tatapannya kosong, tapi dalam pikirannya ribuan suara berteriak minta dikeluarkan."Aslan..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan.Aslan menoleh. "Hm?"Angela menarik napas dalam. “Selama ini... kamu hanya tahu aku adalah Aiko. Gadis yang memalsukan identitas dan mencuri posisi sebagai sekretarismu. Tapi aku belum pernah bilang... siapa aku sebenarnya.”Aslan diam. Tapi seluruh tubuhnya menegang. Matanya mengunci ke arah Angela yang kini menatapnya, tak lagi bersembunyi.“Aku bukan penipu biasa. Aku dulu pembunuh bayaran.”Keheningan runtuh seketika. Seperti kaca yang dibanting di lantai marmer."Aku… dulu bekerja untuk Organisasi Tangan Hitam. Mereka yang melatihku sejak aku berusia 12 tahun. Membuatku jadi senjata. Aku menghi
Angela menatap jam tangannya. Sudah hampir satu jam ia berada di restoran ini. Meskipun ia duduk diam dan hanya menjawab saat ditanya, tetap saja atmosfer meja itu membuatnya sesak.Aslan dan Klara terlihat membahas sesuatu tentang acara amal. Mentari sesekali menimpali, lalu menatap Angela dengan sorot mata yang tidak bisa dibaca.Angela berdiri dengan sopan. “Maaf, saya ke toilet sebentar.”Aslan pun menoleh pada Angela dan mengangguk tanpa banyak bicara.---Toilet wanita berlapis marmer hitam dan cermin panjang itu sunyi. Angela berdiri di depan wastafel, membasuh wajahnya perlahan. Ia tahu, ada yang tak beres hari ini. Klara, Mentari, dan cara makan siang ini dirancang—semuanya terlalu... sempurna.Angela menarik napas pelan, tapi langkah sepatu hak tinggi menghentikannya.Angela menoleh ke cermin.Mentari berdiri di ambang pintu dengan anggun, menutup pintu perlahan. “Kukira kita butuh bicara berdua,” ucapnya tenang.Angela berdiri tegak, tidak ingin menunjukkan kelemahan sediki
Langit malam Paris terlihat redup, seperti menahan napas. Aslan berdiri membeku di balkon unit kosong sebuah apartemen—berada tepat di seberang unit apartemen Angela. Jaraknya cukup dekat untuk melihat ke dalam, apalagi dengan lampu yang masih menyala terang di ruang tengah.Di dalam sana, Angela dan Leo duduk berdampingan di sofa. Angela tertawa pelan, lalu menerima secangkir coklat hangat yang baru saja dibuat Leo.Aslan mengepalkan tinjunya. Ada nyeri di dadanya. Aneh dan sulit dijelaskan.“Apa dia memang... sebahagia itu bersamanya?” desisnya lirih.Dari balik tirai kaca balkon, ia melihat Angela menyender sebentar ke bahu Leo sambil bicara pelan. Wajah Leo memerah. Tapi yang membuat hati Aslan makin bergetar adalah saat Angela menyentuh lengan Leo, lalu tertawa kecil sambil meledek, “Kamu tuh cocok banget gabung boyband Korea, Leo. Udah tinggi, putih, manis, bisa masak, bisa jagain orang… lengkap.”Leo menatap Angela. “Tapi sayangnya hatiku bukan untuk fans. Aku lebih suka peremp
Suara langkah sepatu Aslan terdengar menghentak di lorong kantor pusat Del Piero pusat. Para staf yang masih lembur sontak menunduk, pura-pura sibuk di depan layar komputer masing-masing. Tapi mereka tak bisa membohongi detak jantung yang berdegup lebih cepat setiap kali langkah dingin dan aura gelap sang CEO melintas. Wajah Aslan tampak gelap. Tatapan matanya tajam, seperti elang yang baru saja disakiti dan siap mencabik siapa pun yang berani menyentuh wilayahnya. Tadi sore, Leo menggendong Angela dengan tubuh dengan luka ringan dan wajah pucat. Katanya, Angela disekap di cabang kantor Del Piero Group di pinggiran kota oleh orang tak dikenal. Leo menyelamatkannya secara tidak sengaja saat hendak mencari Aslan. Aslan tidak peduli bagaimana Leo bisa berada di tempat itu. Yang dia lihat hanya satu hal—lelaki lain yang menggendong wanita yang dia cintai. Tubuh wanita itu adalah yang pernah tidur di pelukannya. Yang pernah membisikkan bahwa cinta itu tidak mudah, tapi dia ingin ber
Langit Paris sore itu diselimuti awan kelabu. Cahaya matahari yang biasanya menyapa lembut melalui kaca tinggi menara Del Piero pusat di Paris kini redup, tertutup mendung yang menggantung. Angela berdiri di dekat jendela kantornya, memandangi lalu lintas yang mengalir perlahan di sepanjang Rue de Rivoli. Ada sesuatu yang membuat hatinya tak tenang sejak pagi. Mungkin firasat. Atau mungkin karena mimpi buruk yang membangunkannya dini hari tadi—bayangan masa lalunya sebagai Aiko yang terus menghantui. Ia menghela napas panjang, lalu kembali ke meja dan melanjutkan pekerjaannya. Baru saja ia selesai mengecek laporan keuangan divisi logistik, ketika suara dari meja resepsionis terdengar di interkom. "Mademoiselle Angela Zhou, ada kiriman surat untuk Anda," ujar suara sopan sang petugas. Angela bangkit, berjalan menuju lobi lantai executive. Di sana, seorang pria kurir bertubuh ramping dengan topi hitam menyodorkan amplop besar berwarna hitam legam, disegel dengan lilin merah. Eleg
Cahaya lampu di ruang tamu maansiom Del Piero temaram. Jam dinding berdetak pelan, sesekali bersaing dengan suara rintik gerimis yang membasahi kaca jendela besar. Aslan duduk di sofa panjang, satu kaki disilangkan di atas yang lain, segelas wine merah yang belum disentuh berada di meja di depannya. Pikirannya jauh. Tiba-tiba, ponselnya yang tergeletak di meja bergetar pelan. 🔔 Notifikasi masuk: 📍“Permintaan akses untuk rekaman keamanan lantai 23: disetujui oleh Klara R.” Kening Aslan langsung berkerut. Matanya menyipit, menatap layar ponsel dengan tatapan curiga. > "Rekaman keamanan... lantai 23...? Bukankah itu lantai kantor Angela?" Dia menggulir layar ke atas, memastikan kalau dia tidak salah baca. Benar. Klara—wanita yang baru saja diperkenalkan sebagai rekan bisnis strategis—meminta akses khusus ke lantai yang seharusnya tidak menjadi urusannya. Ada firasat aneh yang menyelinap dalam dada Aslan. Perasaan tak nyaman yang menjalar perlahan, seperti hawa dingin yang menusuk