Share

Bab 2. Tuan Arogan

Sepulangnya dari pesta pernikahan mantan kekasih dan mantan sahabatnya itu, Valen menatap seluruh ruang rumahnya dari ambang pintu. Matanya kembali menitikkan cairan bening, tetapi dengan segera Valen menyeka air mata itu.

"Aku harus pergi dari sini. Demi kamu, Nak. Kita nggak bisa tinggal di sisi bayang-bayang ayah kamu yang jahat itu," gumam Valen seraya mengusap perutnya yang masih rata.

Awalnya Valen tidak mau menerima kehadiran anak dari benih Gio tersebut, tetapi Valen sadar jika calon anaknya itu tidak bersalah sama sekali. Satu minggu terpuruk dan mengurung diri di kamar membuat Valen sadar jika sebelumnya dia menginginkan anak itu demi mendapatkan restu orang tua Gio, tetapi kali ini bukan itu alasannya.

Beberapa hari kemudian, Valen memutuskan untuk pergi dari kota yang telah memberikan banyak luka di hatinya. Walaupun Vanya melarangnya, tetapi tentu saja Valen kekeh dengan pendiriannya untuk meninggalkan kota itu.

"Tapi … aku … aku nggak rela jauh dari kamu, Val," ujar Vanya masih sesenggukan karena menangis dan berdebat dengan Valen sejak beberapa jam yang lalu.

"Aku menyayangimu,Vanya. Kita nggak akan putus komunikasi," jawab Valen dan keduanya berpelukan.

Sebelum meninggalkan rumah yang sudah dia tempati beberapa tahun itu, Valen pergi ke panti asuhan untuk menemui ibu asuhnya yang bernama Bunda Alive. Vanya yang mengantarkan langsung kepergian sahabatnya itu.

"Bunda nggak bisa melarang ataupun menahan kamu, Valen. Semoga Tuhan selalu memberikan kebahagiaan dimanapun kamu berada, Nak." Tentu saja yang paling mengerti dengan perasaan Valen adalah Bunda yang merawatnya sejak bayi.

Bukan rasa kecewa yang terlihat dari wajah Bunda Alive karena Valen hamil di luar nikah, tetapi tentu rasa khawatir dan kasihan pada anak yang telah susah payah dia besarkan itu.

"Iya, Bunda. Terima kasih doanya."

"Tapi kamu mau pergi kemana? Kamu bener-bener nggak bisa tinggal disini aja, sama Bunda dan anak-anak yang lain. Bunda juga ingin merawat cucu Bunda nanti." Keduanya pun menangis bersama dengan saling memeluk satu sama lain.

"Maafin Valen yang buat Bunda kecewa. Valen malu jika harus tetap tinggal disini. Valen yakin Valen bisa merawat anak ini dengan baik." Bunda Alive melepaskan pelukannya dan mengusap air mata yang membasahi pipi Valen. Begitu juga dengan Valen yang melakukan hal yang sama.

"Bunda ngerti. Pasti sangat sulit untuk pura-pura kuat. Maafin Bunda yang nggak bisa berbuat apa-apa. Maafin Bunda … semoga kamu dan anak kamu bahagia selalu kedepannya, Nak." Bunda Alive kembali memeluk Valen.

"Berangkat sekarang yuk, takut ketinggalan pesawat," ajak Vanya dan Valen hanya menurut. Bunda Alive pun memeluk Valen juga Vanya sebelum keduanya anak asuhnya itu benar-benar pergi ke bandara.

Tiba di bandara, Vanya memberikan tiket pesawat yang telah dipesan oleh Heru, tunangannya. Pesawat dengan penerbangan eksklusif dan kelas nomor satu yang super nyaman dihadiahkan oleh Heru sebagai tanda perpisahan.

"Calon suami kaya emang beda ya? Tapi maaf, aku nggak bisa menunda-nunda lagi dan menunggu kalian menikah. Aku harus segera menata hatiku sebelum anakku lahir." Vanya kembali memeluk sahabatnya.

"Dasar bodoh! Kebahagian kamu jauh lebih penting. Udah sana masuk sebelum air mataku jatuh lagi!" Valen mengangguk.

Langkah kakinya begitu berat, tetapi Valen harus berhenti menatap sahabatnya di depan pintu utama bandara itu. Lambaian tangan juga tetesan air mata menunjukkan bahwa tidak ada yang mau berpisah dari keduanya.

Setelah melakukan cek in, Valen menunggu keberangkatan pesawat ditempat yang telah disediakan. Cuaca siang yang cukup terik membuatnya merasa haus dan pergi mencari minum terlebih dahulu sebelum pesawatnya berangkat.

"Hm, masih ada waktu setengah jam lagi. Aku mau cappucino dingin dulu. Ck, kalau ada Vanya, pasti aku nggak boleh minum minuman kesukaanku lagi karena hamil." Valen mengusap perutnya yang masih rata itu dan pergi mencari apa yang dia mau.

Beberapa tegukkan dari minuman favoritnya itu telah membahasi tenggorokannya setelah mengantri sepuluh menit. Valen pun kembali ke tempat duduk sebelumnya dan tidak disangka ada seorang laki-laki dengan setelan jas berwarna cream juga berkacamata hitam yang fokus menatap layar ponselnya itu menabrak bahu Valen.

Seketika cappucino dingin milik yang digenggam Valen tumpah dan membasahi bajunya. "Oh … no!!! Bajuku … basah." Valen segera mundur dan menatap kesal laki-laki tersebut.

"Sorry!" Laki-laki itu segera minta maaf dan melepaskan kacamata hitamnya lalu memberikan sapu tangan pada Valen. Terpaksa Valen menerima sapu tangan itu dan menekan bajunya agar basah di baju itu pindah ke sapu tangan yang diberikan pria di depannya. Beberapa detik berlalu dan Valen masih tertunduk.

Setelah dirasa cukup, Valen pun mendongak menatap laki-laki yang menabraknya. "Lain kali kalau jalan hati-hati! Jangan fokus liat ponsel aja! Untung ini kopi dingin bukan kopi panas," ketus Valen mengangkat minumannya dan menunjukkan pada laki-laki berwajah arogan di depannya.

"Saya sudah minta maaf, Nona. Anda juga jalannya tidak fokus, bukan?" jawab laki-laki tersebut tak kalah sinis.

Valen semakin kesal dan semakin lekat menatap wajah laki-laki menyebalkan di didepannya. Rahangnya sedikit mengeras dan sebelah tangannya mengepal ingin sekali memberikan bogeman pada laki-laki tersebut.

"Tetap saja anda salah, Tuan!" ujar Valen menahan amarahnya.

Laki-laki itu menatap Valen tajam dan mulai berpikir dengan sosok wanita di depannya. "Sepertinya … wanita ini nggak asing dimataku. Dan … lesung pipi itu … benar-benar mirip," batin laki-laki tersebut yang malah melamun di depan Valen.

Melihat tatapan laki-laki di depannya yang mulai aneh, Valen hanya bisa memijat pelipisnya kemudian beranjak meninggalkan laki-laki tersebut. Namun bahu Valen malah tidak sengaja menyenggol bahu laki-laki itu.

"Hei … apa anda dendam?" seru laki-laki itu berhasil membuat Valen berbalik badan dan kembali menatapnya.

"Sorry!" ujar Valen menirukan gaya bicara laki-laki itu sebelumnya.

Belum mendapatkan respon, Valen tiba-tiba didatangi oleh seorang pelayan tempatnya membeli minuman tadi.

"Nona Valencia Bellina, ini pasport dan tiket ada tertinggal tadi," kata pelayan itu segera menyodorkan apa yang Valen tinggal.

Laki-laki yang sedang berdiri tidak jauh dari Valen itu malah berdecak meremehkan.

"Ck, benar-benar ceroboh," ucapnya membuat Valen kembali kesal.

"Seharusnya disini yang marah itu saya, Tuan, bukan anda! Kenapa nada bicara anda seperti itu, hah!" seru Valen seraya mengangkat jari telunjuknya tepat di depan dada laki-laki tersebut.

"Saya juga berhak marah dengan anda, Nona Valen!" jawab laki-laki yang membungkukan sedikit badannya agar semakin dekat dengan wajah Valen.

Tentu saja Valen sangat heran dan hanya bisa mengangkat satu alisnya menatap raut wajah pria arogan di depannya tersebut seolah bertanya apa maksud dari ucapannya. Namun pria itu malah menyunggingkan senyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status