Share

Bab 4. Mari Menikah!

Perjalanan panjang yang cukup membuatnya lelah dan ketakutan pun berakhir sudah setelah terbang beberapa jam lamanya.

"Thanks dan Sorry untuk yang tadi. Ini … pertama kalinya saya naik pesawat," ucap Valen saat pesawatnya benar-benar telah berhenti.

"Its okay!" jawab Fernan datar.

Setelah itu Valen tak acuh dan segera beranjak terlebih dahulu karena tak mau mendapatkan banyak pertanyaan dari Fernan tentang mau kemana atau tinggal dimana. Sebenarnya kejadian dejavu tadi membuat Valen bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Namun dia segera melupakan hal tersebut.

"Perjalanan masih jauh, semangat, Valen," batinnya memberikan semangat pada diri sendiri.

Dari sekian banyaknya kota indah di Eropa, Cochem, Rhineland-Palatinate, Jerman adalah tempat yang paling dia inginkan.

Bukan hanya itu saja, tetapi secara kebetulan Heru juga punya bisnis di Jerman, jadi Vanya juga bisa ikut bersama Heru saat ada perjalanan bisnis ke Jerman. Berbeda dengan sebelumnya, kini wajah Valen berubah bahagia sebab sudah tiba di negara tujuannya. Walaupun dia masih harus menempuh perjalanan beberapa jam lagi untuk sampai ke tempat tinggal yang disarankan oleh Heru.

Fernan juga sang Jonathan masih terus berada di belakang Valen sejak dia keluar dari bandara. Rasa bahagianya semakin terlihat jelas saat dia tahu tujuan Valen ternyata tidak jauh dari tempat tinggalnya.

"Aku mau rumah di dekat gadis itu," ujar Fernan membuat Jonathan sedikit heran.

"Apa dia gadis yang Tuan Fe cari?" tanya Jonathan, tetapi tidak mendapatkan jawaban. Fernan hanya menyunggingkan senyum kemudian mengibaskan jari telunjuknya tanda meminta supir untuk kembali melajukan mobil.

***

"Bener-bener indah. Disini … Mama akan memulai kehidupan baru denganmu, Baby."

Valen sudah bertemu dengan orang suruhan Heru yang mengantarkan dirinya sampai ke tempat tujuan. Bukan hanya keindahan saja yang dia inginkan disana, melainkan banyak kebun anggur dan ramah lingkungan. Valen sangat ingin bersepeda menjelajahi lembah sungai dan kebun anggur itu sejak dia tahu rekomendasi kota tersebut dari teman kuliahnya. Kota tradisional Jerman yang letaknya di lembah sungai Moselle itu benar-benar memikat mata Valen.

"Nggak apa nggak dapet yang di bukit itu, disini juga udah nyaman banget," gumam Valen seraya menghirup kebebasan dan udara yang begitu segar.

Walaupun Valen tidak bisa mendapatkan tempat tinggal yang berdekatan dengan Cochem Castle, tetapi tempat tinggal yang dia dapatkan juga tidak kalah indah karena masih berada di dekat lembah sungai. Pemandangan dengan lampu cahaya orange akan dia nantikan saat malam sudah tiba nanti.

Rumah yang dia dapatkan cukup sederhana dan masih sangat tradisional karena terbuat dari setengah kayu. Sebenarnya dia sangatlah lelah dan malas untuk merapikan barang-barangnya karena perjalanan jauh, tetapi semangatnya muncul kembali saat Valen menatap seraya mengelus perutnya yang masih rata itu. Beberapa kali dia mengusap lembut calon anaknya yang masih sebesar biji jagung.

"Kita akan bahagia walaupun hanya berdua, Baby," ucap Valen seraya mengusap perut. Valen pun kembali dengan aktivitasnya setelah bicara dengan calon anaknya. Dialah satu-satunya alasan kenapa harus tetap hidup.

Belum selesai mengeluarkan semua barang yang ada di dalam koper, Valen mendapati suara ketukan pintu. Valen cukup terkejut dan takut karena dia tidak mengenal siapapun di sana, tetapi ada orang yang mengetuk pintu. Beruntung lah rumah yang dia tempati itu ada sebuah lingkaran kecil di pintu yang bisa melihat siapa yang ada di luar. Segera Valen pun beranjak.

"Hah? Kok?" Valen bergumam karena heran ada seorang pria dengan seragam seperti pengantar makanan. Dia pun segera membuka pintu rumahnya.

"Mrs. Valencia?" sapa seorang laki-laki tinggi dengan seragam kombinasi merah dan memakai helm. Dia menyodorkan empat paper bag pada Velen setelah Valen menganggukkan kepalanya.

"Thank you!" ucapnya saat pengantar makanan itu memberikan empat kantong paper bag seraya tersenyum manis dan berlalu pergi. "Siapa yang nganter ini?" Tentu saja dia heran, tetapi sesaat kemudian Valen ingat dengan nama Delon. "Apa dia? Tapi dia sebenarnya siapa? Kenapa tahu aku disini? Apa dia menguntit?" Banyak pertanyaan di otak Valen yang tidak langsung mendapatkan jawaban.

Namun Valen tetap bersyukur karena saat ini dia memang sangatlah lapar. Apalagi Valen harus ingat kalau anak yang dia kandung butuh nutrisi. Akhirnya Valen mengemas bahan makanan yang baru saja dia dapatkan untuk mengisi perutnya terlebih dahulu.

***

"Serius?" tanya Vanya dibalik panggilan telepon.

"Hm, udah seminggu ini. Tapi aku bener-bener nggak inget siapa dia, cuma … waktu dia sentuh kepala aku … kayak pernah aja ngerasain," papar Valen menjelaskan beberapa kejadian saat di pesawat.

"Ya udah, nikmatin aja. Kenalan lebih dalam juga boleh. Siapa tau jodoh," kata Valen terdengar cekikikan di balik panggilan itu.

"Van, kamu tau aku bukan wanita yang …."

"Iya … maaf." Keduanya pun mengalihkan pembicaraan dan tidak membahas tentang Fernan lagi.

Satu minggu telah berlalu begitu saja. Valen tidak pernah keluar rumah kecuali saat sore untuk bersepeda. Setiap hari di pagi dan sore hari, Valen selalu mendapatkan kiriman paket berupa makanan juga camilan dan kebutuhan lainnya. Valen mau menolak, tetapi saat Valen tidak menerima paket tersebut, sang pengantar selalu berwajah sedih. Valen sedikit tahu dari bahasanya kalau dia bisa dipecat sampai mendapatkan bintang satu karena tidak melaksanakan tugasnya dengan baik.

Seperti biasanya, saat sore menjelma, Valen menyewa sepeda dan bersepeda menikmati indahnya kota Cochem itu. Namun saat dia sedang menikmati sunset, Valen dikejutkan oleh sosok laki-laki yang bersepeda sejajar dengannya.

"Hallo, Nona Valen," sapa Fernan.

Valen hanya menoleh dan menatap Fernan sesaat. Dia tentu tidak suka momen indahnya diganggu. Hanya saja tiba-tiba dia berpikir seharusnya berterima kasih atas kiriman paket setiap hari yang dia dapat.

"Thanks untuk semuanya. Tapi … anda tidak perlu lagi mengirimkan sesuatu lagi, Tuan Fernan," ujar Valen tanpa menoleh.

"Aku hanya khawatir, Nona. Itu juga bukan sesuatu yang merepotkan," jawab Fernan yang juga ikut menikmati indahnya sunset di hadapannya.

"Hm. Tapi tidak perlu sampai anda kirimkan pembalut juga, Tuan. Benda itu udah nggak berguna dan terlalu intim, ck!"

Mendengar itu Fernan menoleh menatap Valen dengan satu alis yang terangkat. Dia tentu heran kenapa Valen mengatakan hal demikian.

"Ck, saya sedang hamil, Tua . Jadi saya tidak butuh pembalut untuk sembilan bulan kedepan," jelas Valen berhasil membuat Fernan terkejut.

"Hamil?" Fernan mengulang perkataan Valen dan kini raut wajahnya berubah dingin.

"Ck, sebenarnya bukan urusan anda, Tuan Fernan. Apa anda kecewa mendengar saya hamil?" Valen pun kembali menoleh. Keduanya saling menatap untuk beberapa saat. Valen pun menyunggingkan senyum melihat raut wajah Fernan.

"Menikahlah denganku. Aku akan menjaga kalian," ucap Fernan mampu membuat Valen mematung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status