Share

Bab 5. Kunjungan

Kata-kata manis yang baru saja dia dapatkan dari Fernan benar-benar membuat Valen harus mengingat sosok Gio dalam benaknya. Sudut bibir yang menyungging dan sorot mata yang terlihat menyedihkan adalah raut wajah yang dilihat oleh Fernan.

Laki-laki itu memang tidak tahu pasti apa yang telah dilalui Valen sampai gadis cantik di depannya itu mengabaikan apa yang baru saja dia katakan.

"Valen, apa kamu dengar apa yang aku katakan?" tanya Fernan sekali lagi untuk memastikan bahwa kali ini Valen mendengarnya.

"Hm, aku mendengarnya dengan sangat jelas, Tuan. Anda sungguh pria aneh, Tuan! Kita baru bertemu beberapa hari lalu dan anda mau menikahi saya padahal anda tahu saya ini sedang hamil? Anda terlihat berwibawa dan cukup tampan. Tapi anda mau menikahi gadis cacat seperti saya?"

Fernan tidak memberikan reaksi apa pun. Sorot matanya masih sama, tetapi hatinya sedikit terkoyak dengan kata-kata Valen. Fernan tidak berpikir sedikitpun bahwa Valen itu wanita cacat. Mungkin karena dia tidak bisa mempertahankan kehormatannya, maka dia menjudge dirinya sendiri adalah gadis cacat.

"Tuan, saya yakin masih banyak wanita perawan yang mau menikah dengan anda. Bukan gadis hamil seperti saya! Tolong … jangan ganggu hidup saya karena saya kesini untuk menenangkan diri, bukan untuk mencari pengganti!"

Mau tidak mau Valen harus segera pergi dari tempat favoritnya itu. Padahal sunset yang dia lihat masih bisa dia rasakan beberapa menit lagi, tetapi kehadiran Fernan dengan kata-kata manisnya membuat Valen sakit kepala.

"Aku … akan menunggumu, Valencia Belina," gumam Fernan mengikuti Valen dari belakang.

Sebelum dirinya tiba di rumah, Valen menghentikan ayunan sepedanya kemudian menoleh menatap Fernan yang juga berhenti.

"Jangan jadi penguntit!" ujar Valen, tetapi Fernan tidak memberikan reaksi apa-apa. Wajah datar dan arogannya masih terlihat jelas padahal baru saja dia melamar Valen. Seharusnya bukan raut wajah seperti itu yang dia tunjukkan pada Valen.

"Pendengaran anda masih normal, Tuan?" lanjut Valen hanya mendapatkan senyuman tipis dari Fernan. Dia pun kembali mengayun sepedanya mendahului Valen dan masuk ke halaman rumah yang mana rumah itu berada tepat di sisi Valen.

Valen tak bergeming melihat Fernan sedang memarkirkan sepedanya di halaman rumah itu. Tidak lama kemudian Fernan membuka pintu rumah itu dan masuk ke dalamnya.

"Hah? Dia tetanggaku? Astaga! Gimana bisa aku hidup bertetangga sama dia?" Valen memutar malas kedua bola matanya kemudian masuk ke rumah dan mencoba mengabaikan kejadian yang baru saja dia lalui.

***

Hari yang Valen lewati kini berubah menjadi bulan. Kehamilannya tidak membuat repot ataupun banyak keluhan bahkan ngidam aneh-aneh. Valen melewati semuanya seperti wanita biasa. Bahkan dia sering memuji anaknya karena tidak rewel dan tidak merepotkan.

Usia kandungannya saat ini menginjak tujuh bulan dan anehnya selama beberapa bulan ini, Velen tidak pernah melihat Fernan yang dia ketahui tinggal tepat di sisi rumah Valen.

"Apa dia kecewa?" gumam Valen seraya membuka jendela dan menatap rumah yang bentuknya mirip dengan bangunan rumahnya itu. Setiap pagi Valen melakukan hal yang sama, tetapi kali itu juga Valen tidak pernah melihat Fernan.

Kakinya bahkan berjinjit untuk melihat keadaan rumah yang sedang dia pantau itu. Namun Valen tidak mendapati siapapun disana hingga suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Valen. Segera Valen membuka pintu rumahnya karena heran pagi-pagi sekali dia sudah mendapatkan tamu.

"Astaga! Bunda!" Valen cukup terkejut dengan kedatangan ibu asuhnya itu yang tiba-tiba.

"Dasar anak nakal! Udah Bunda bilang harus sering-sering kasih kabar, ini malah nggak ada kabar sama sekali. Untung aja Vanya ngajak Bunda kesini," Bunda Alive memukul lengan Valen.

"Maaf, Bunda. Valen benar-benar harus memulihkan dan menyibukkan diri agar Valen sembuh." Valen cukup terlihat sedih, tetapi juga bahagia karena kedatangan Bunda Alive juga Vanya.

Heru sedang ada perjalanan bisnis di Jerman, jadi Vanya yang sudah resmi menjadi istri Heru ikut bersamanya. Ingin menambah kejutan dan kebahagiaan untuk sahabatnya, Vanya juga mengajak Bunda Alive bersamanya.

"Duh ... bumil, aku nggak dipeluk nih?" ucap Vanya yang kemudian mendapatkan mendapatkan pelukan dari Valen

"Terima kasih udah mau berkunjung. Ah ayo masuk! Kalian pasti capek. Kebetulan kemarin aku bawa anggur yang baru aja dipetik dari kebun," Valen segera pergi ke dapur untuk mengambil anggur yang dia petik di kebun.

Beberapa bulan terakhir, Valen bekerja di kebun anggur. Dia juga belajar siang malam untuk bisa berbahasa Jerman agar semakin akrab dengan orang-orang disekitarnya. Walaupun awalnya pemilik kebun menolak Valen, tetapi dengan sedikit memohon akhirnya Valen diterima kerja di kebun anggur tersebut dan diberikan pekerjaan yang ringan-ringan.

Sebenarnya Valen tidak kekurangan uang. Bahkan Vanya kerap memberikan uang bulanan untuk Valen. Namun Valen tidak menggunakan uang itu sepeserpun karena uang yang dia miliki masih cukup untuk kebutuhan dia sehari-hari. Hidupnya sangatlah sederhana. Kesederhanaan itu membuat Valen bahagia dan melupakan luka lamanya.

"Astaga ... ini seger banget. Manis lagi!" Vanya mencicipi buah anggur yang di hidangkan Valen.

"Iya. Anggurnya beda ya sama di Indonesia," sahut Bunda Alive.

"Iyalah. Ini juga hasil perawatan Valen. Dirawatnya juga penuh cinta dan kasih sayang loh, Bun," kata Valen memuji dirinya sendiri.

"Syukurlah kamu benar-benar terlihat bahagia disini. Pasti lingkungan disini sangat baik dan ramah sama kamu, Nak. " Bunda Alive mengusap sebelah pipi Valen dengan penuh kasih sayang. "Kamu memang harus bahagia," lanjutnya.

"Iya, Bunda, bawel. Tapi kalian bener-bener jahat ya? Nggak kasih kabar sama sekali. Aku bahkan belum buat sarapan pagi," jawab Valen memang terlihat sedikit kesal.

"Udara disini enak banget ya? Cocok banget nih buat bulan bulan madu," ledek Vanya mengalihkan pembicaraan.

"Ish ... kamu mau mengelak kan? Lagian udah lewat beberapa bulan masih mikir bulan madu. Emang perut belum ada isinya?" tanya Valen.

"Kami memutuskan untuk menunda karena Mas Heru masih ada banyak perjalanan bisnis, dan dia nggak mau ninggalin aku sendirian kalau aku hamil," jawab Vanya.

"Duh ... bikin iri deh," ledek Valen.

"Em btw kamu … apa kamu nggak mau tahu kabar Sergio?" wajah Valen tiba-tiba sedih dan sedikit pucat jika ingat nama laki-laki brengsek itu. "Eh, maaf. Aku ng-" Vanya menahan ucapannya karena ada suara ketukan pintu.

"Nggak pa-pa! Aku buka pintu dulu," Valen beranjak dan pergi untuk membuka pintu utama yang tidak jauh dari tempatnya duduk. "Hah?"

Valen melongo melihat Fernan sedang berdiri dengan pesonanya yang padahal beberapa bulan menghilang sejak tahu dia hamil. Tentu saja Valen terheran-heran karena setiap hari mengintip rumah Fernan, Valen tidak pernah melihat laki-laki tersebut dan sekarang tiba-tiba muncul sebagai tamu.

"Aku mau ketemu sama Bunda Alive. Pasti dia kangen banget sama anaknya ini,"

"Kamu tahu Bunda disini?Nggak! Sebaiknya anda cepat pergi, Tuan! Jangan ganggu acara kangen-kangenan kami,"

"Siapa, Nak? Kok Bunda denger dia manggil nama Bunda," mendengar namanya disebut, Bunda Alive menghampiri Valen yang masih berdiri diambang pintu dan melihat siapa tamu yang datang.

"Bunda ... aku Delon, anak Bunda!" Tanpa basa-basi lagi, Delon dan Bunda Alive saling berpelukan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status