Anandita menelisik penampilan gadis yang baru saja di kenalkan oleh sang ayah sebagai asisten pribadinya itu. Dirinya sampai memicingkan matanya menatap gadis yang bernama Rara fitriani itu.
Rara yang di tatap jadi gerogi, dirinya salah tingkah sendiri. Di dalam hatinya sana tetap was-was , takut kalau dirinya sampai tidak di terima. Bibirnya berusaha agar tetap diam dan kalem, walaupun mulutnya sudah gatal ingin berbicara panjang lebar. Rara ini type orang yang tak bisa diam, mulutnya terus nyerocos. Entah apa saja di katakan olehnya, bahkan hal yang tak penting sekalipun. Tapi, jangan anggap enteng kepintaran Rara. Rara gadis yang sangat pintar, banyak yang telah memuji kinerjanya. Dirinya juga sebelumnua menjadi karyawan di perusahaan milik Arthur. Arthur yang sangat menyukai kinerja Rara menempatkan Rara menjadi seorang asisten pribadi sang anak. "Rara ini sangat pintar. Kamu tidak akan rugi memperkejakannya. Dia juga yang akan membantu kamu mengelola perusahaan itu." Ucap Arthur yang masih ada di sana, dirinya belum pergi sampai anak perempuannya itu pergi ke perusahaan yang di maksud olehnya Anandita menghela nafasnya kasar, lalu melengos. "Yaudah deh, aku mau. Tapi sesuai apa yang aku bilang tadi, ya ayah..." Kata Anandita. Arthur tersenyum senang, akhirnya anaknya mau terjun ke cabang perusahaan miliknya yang rahasia itu, dirinya sangat yakin, jika Anandita akan mengembangkan perusahaan itu dengan sebaik mungkin. "Ayah sudah katakan pada Rara sebelumnya." Lalu menoleh ke arah Rara. "Rara, kamu ingatkan apa yang saya katakan dengan kamu sebelumnya?" Tanya Arthur. Rara menganggukkan kepalanya. "Saya ingat, tuan." Sahut Rara yang mengerti arah pembicaraan Arthur. Sebelum sampai di rumah ini saja, Rara sudah mendapatkan pesan singkat dari Arthur agar dirinya tetap hati-hati dan pelan-pelan dalam bersikap pada Anandita. Sampai mereka akrab, dan Anandita suka dengan Rara. Anandita itu tipe orang yang tidak mudah dekat dengan orang asing, wanita itu bahkan tak suka berkomunikasi dengan orang asing. Anandita bahkan selalu memberi jarak, maka oleh itu dirinya tak mau terjun ke perusahaan karena pastinya akan selalu bertemu dengan orang-orang asing. Anandita terkadang tidak percaya dengan orang asing, dengan Nayaka saja sampai beberapa bulan lamanya, itu juga karena Nayaka teman dekat Daniel, dan Nayaka sering datang ke rumah Daniel. Arthur menganggukkan kepalanya. "Bagus. Karen anak saya sudah setuju, jadi mulai sekarang kamu bekerja pada anak saya. Semua yang dia perintahkan kamu ikutin. Dan jangan pernah membangkang sedikitpun. Dan ingat, poin-poin yang sudah saya katakan sebelumnya." Ucap Arthur, dan Arthur juga menambahkan poin dimana Rara harus menjauhkan Nayaka saat tiba-tiba keduanya tak sengaja saling bertemu. Arthur juga sudah mengirim foto Nayaka pada Rara. Rara menganggukkan kepalanya patuh, "baik, tuan." "Oke, kalian berangkat naik mobil yang sudah di sediakan. Boleh pakai supir, ataupun nyetir sendiri juga boleh. Dan Rara juga bisa bawa mobil." Kata Arthur. "Aku naik mobil sendiri aja, ayah. Nanti pulang dari kantor aku mau ke rumah Ziren." Sahut Anandita. Arthur mengangguk tidak mempermasalahkan anaknya bergaul dengan Ziren, toh Ziren juga baik selama ini. Setelah semuanya beres, Arthur segera melesat pergi bersama sang asisten pribadinya, dirinya juga sudah terlambat karena mengurus semua ini. Setelah kepergian sang ayah, Anandita menatap Rara yang masih diam saja. Anandita menarik satu sudut bibirnya ke atas. "Kamu yang bawa mobilnya. Jangan terlalu ngebut dan jangan terlalu santai, saya mau sampai tepat 15 menit." Ucap Anandita membuat Rara ternganga. Anandita tak memperdulikan wajah cengoh asisten pribadinya itu, dirinya langsung berjalan menuju mobil yang telah terpakir apik di depannya sana. Pak supir yang memang menunggu di depan pintu mobil langsung bergegas membuka pintu mobil saat sang nona muda ingin masuk. Dan Rara mendengus. "Ternyata mereka berjodoh, belum apa-apa udah sama-sama nyebelin. Dan Rara, sabar kamu harus sabar. Lumayan gajinya gede loh. Kamu bisa langsung bisa beli helikopter dapat gaji pertama. Hihihi." Ucap Rara sambil terkikik geli, dan yakinlah pekerjaannya yang ini mendapatkan gaji yang besar dari Arthur, lebih besar dari gaji sebelumnya. Apa lagi saat nanti Rara bisa mendapatkan pasangan yang pas untuk Anandita. Arthur akan memberikan bonus pada Rara. "Hei! Kamu cepetan! Kamu mau bengong di situ atau mau kerja!" Sentak Anandita saat Rara tak kunjung masuk juga ke mobil. Rara tergelak, "eh iya, Bu. Sebentar ya.." "Cepetan! Saya tidak suka orang lelet" Rara mencibir, walaupun langsung tersenyum saat melihat wajah kesal atasannya. "Maaf Bu Anandita." Kata Rara sambil menunduk sopan. Anandita tak menjawab dirinya sibuk dengan ponsel miliknya. Rara segera masuk ke dalam mobil itu, dan melajukannya keluar dari perumahan elit itu. Dan sampai di depan gerbang, sebuah mobil SUV hitam menunggu mereka keluar. Mobil yang di kendarai tak lain adalah Nayaka dan Lupus itu mengikuti mobil yang penumpangnya adalah Anandita dan juga Rara. "Pus beneran istri saya yang di bawa sama pacar kamu" seru Nayaka terlihat gembira. Lupus memutar bola matanya jengah. "Bos, mantan istri kalau lupa. Baru aja kemarin sidang" Nayaka mengetuk kepala Lupus dengan iPad yang ada di tangannya itu. "Sebentar lagi saya akan jadi suaminya lagi. Nggak ada itu di dalam kamus saya mantan istri. Dia tetap istri saya." Lupus menghela nafasnya kasar. Tak menjawab, karena dirinya jadi kasihan sendiri dengan bos-nya yang memang kelewat bucin dengan mantan istrinya itu. "Pus, saya punya job buat pacar kamu, nanti saya kasih bonus gede lah" tawar Nayaka. Lupus menoleh, "job apa bos?" Nayaka menipiskan bibirnya. "Saya suruh dia jadi pembawa informasi Dita. Kemanapun Dita pergi saya mau dia kasih tau ke saya. Kalau bisa ada kesempatan saya mau bertemu dengan Dita, ngobrol berdua." Kata Nayaka. Lupus tampak berpikir, sepertinya itu bukan ide yang buruk. Kasihan juga bos-nya yang gagal move on itu. Membantu sang bos juga mendapatkan pahala ya kan? Apa lagi di iming-imingi uang oleh Nayaka. "Boleh, nanti saya ngomong sama Rara." Mata Nayaka berbinar, rasa mood yang tadi berantakan kini menjadi kembali membaik. Nayaka sudah tidak sabar mengajak Anandita mengobrol berdua, kalau perlu Nayaka kurung Anandita ke suatu tempat, dan tidak akan Nayaka lepaskan lagi. Persetan dengan Arthur, dirinya tak peduli dengan pria tua bangka itu. "Yasudah, nanti kamu kasih tau Rara. Sekarang kita ke kantor dulu." "Siap bos." Seru Lupus, dan langsung melajukan mobil mewah itu pergi dari perumahan elit itu. Sedangkan di dalam mobil, mulut Rara sudah gatal ingin mengajak Anandita berbicara, namun Anandita tetap diam saja, tanpa mau mengajaknya berbicara. Rara menghela nafasnya kasar, kalau tak mengingat kata-kata Arthur mungkin dirinya sudah nyerocos. 'Sialan, intorvert banget ini mantan istrinya bos nayaka.' Batin Rara. Ya, Rara sudah tau, karena Nayaka tadi yang mengatakannya padanya... ...Udara di dalam bangunan tua itu mendadak berubah—lebih pekat, lebih berat, seperti mengandung ancaman. Semua terdiam. Suara Bara di luar menggema, mengguncang dinding berlumut.Anandita menggenggam ujung kursi, jantungnya berdebar tak terkendali.“Dia… dia akan membakar tempat ini?” suaranya parau.Lazarus tidak menjawab segera. Ia menatap pintu seolah sedang menghitung waktu, lalu menoleh pada Nayaka.“Bawa gadis itu ke ruang bawah. Sekarang.”“Tapi, Guru—”“Sekarang!”Nada perintah Lazarus tak bisa ditawar. Nayaka meraih tangan Anandita, menyeretnya ke arah pintu kecil di belakang ruangan. Anandita melangkah tergesa meski tubuhnya gemetar.Sementara itu, Lazarus berjalan menuju jendela retak. Ia membuka sedikit tirai lusuh dan melihat sosok Bara di halaman—bersama belasan orang bersenjata. Bara berdiri di depan, masih mengasah pisaunya sambil tertawa kecil.“Lama tak jumpa, Lazarus,” Bara berteriak. “Kau makin tua… tapi masih suka bersembunyi seperti tikus.”Lazarus menarik napas pa
Udara di dalam bangunan itu terasa lebih berat daripada udara hutan di luar. Dindingnya berlumut, namun lantainya bersih—terlalu bersih untuk sebuah tempat yang tampak terbengkalai. Anandita memperhatikan setiap detail dengan gugup: kamera kecil di sudut ruangan, sensor gerak di pintu masuk, bahkan deru samar mesin di bawah lantai. Tempat ini mungkin tua, tapi orang yang mengelolanya… punya uang dan tujuan jelas.Lazarus duduk di kursi tua, menatap mereka. Sorot matanya membuat Anandita merasa telanjang, seolah orang ini bisa membaca semua rahasia yang ia simpan bahkan yang ia sendiri tak tahu.“Kau… Lazarus?” suara Anandita bergetar. “Ayahku… pernah menyebut nama itu. Dulu. Bertahun-tahun lalu. Tapi… kupikir kau sudah mati.”Lazarus tersenyum tipis. “Bagi dunia, iya. Kematian terkadang… pilihan terbaik untuk tetap hidup.”Anandita mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”Nayaka berdiri di samping Lazarus, menunduk hormat. “Dia bukan orang biasa, Dita. Lazarus adalah pendiri Meja Tiga Bela
Suara sirene pemadam kebakaran meraung di kejauhan, tapi api di rumah keluarga Arthur terus melahap kayu dan dinding seolah tak ingin berhenti. Langit yang tadinya kelabu kini dipenuhi asap pekat. Di kejauhan, beberapa warga hanya berani menonton dari balik pagar. Tidak ada yang mendekat. Mereka tahu—rumah keluarga Arthur bukan sekadar rumah. Itu sarang para pemain besar. Tempat di mana kesalahan kecil bisa berarti hilangnya nyawa. Arthur masih tergeletak di lantai. Bau kayu terbakar, kain yang hangus, dan hawa panas mulai menyesakkan paru-parunya. Tapi mata tua itu tetap menatap pada satu titik: brankas yang kini terbuka setengah, terungkap di balik lukisan tua yang jatuh. Brankas itu bukan sembarang brankas. Di dindingnya terukir simbol aneh—lingkaran dengan tiga garis menyilang. Simbol itu hanya dikenal oleh segelintir orang: mereka yang pernah duduk di meja rahasia, membagi kekuasaan di balik bayang-bayang kota. Arthur merangkak perlahan, jarinya berusaha meraih tuas branka
Pagi itu datang tanpa embusan angin, seolah langit pun menahan napas. Hujan tak kunjung turun meski awan kelabu menebal seperti lapisan abu. Rumah keluarga Arthur masih berdiri megah, namun pagi ini terasa berbeda. Dingin. Sepi. Terlalu tenang untuk sebuah tempat yang sedang diawasi.Anandita terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya sembab, namun ada api kecil yang berkobar di balik tatapan letihnya. Semalam, ia mendengar kenyataan yang seharusnya tak pernah terucap. Suara ayahnya... rekaman yang membuktikan keterlibatannya dalam sesuatu yang gelap dan mengerikan.Dia duduk diam di tepi ranjang, tangan meremas selimut, hatinya bergetar hebat.“Ayahku… benar-benar menyembunyikan sesuatu sebesar itu dariku?”Sementara itu, di kamar sebelah, Nayaka sudah berpakaian rapi. Kemeja hitam, jam tangan taktis di pergelangan, dan ekspresi yang sama sekali tidak bisa ditebak. Ia memeriksa kembali senjata kecil yang diselipkan di dalam jaket. Tak seperti biasanya, pagi ini ia tidak menggoda ata
Langit mendung menggantung di atas kota, seolah menjadi pertanda bahwa badai besar akan segera datang. Di dalam rumah keluarga Arthur, ketegangan belum juga surut. Anandita hanya bisa mengaduk-aduk sup di hadapannya tanpa niat untuk memakannya. Sementara Nayaka, dengan gaya santainya, terus menggoda dan mengganggunya, seolah-olah tak terjadi apa pun.Namun di balik senyum jahil Nayaka, ada ketegasan yang tak bisa dilihat oleh mata biasa. Ia tengah mempertahankan posisinya. Ia tidak main-main. Pria itu tahu betul bahwa permainan ini melibatkan risiko besar. Termasuk ancaman terhadap nyawanya sendiri.Sore itu, di ruang kerja Arthur, pria paruh baya itu masih duduk di balik meja besar kayu jatinya. Napasnya berat. Tangannya menggenggam erat sebuah amplop coklat yang sudah kusut karena terlalu sering diremas. Isinya bukan main—hasil rekam medis, laporan investigasi, dan foto-foto lawas yang seharusnya tak pernah muncul kembali ke permukaan.Rahasia itu… seharusnya telah terkubur.Namun N
Arthur menggeram penuh amarah. Dadanya bergemuruh oleh rasa kesal melihat Nayaka dengan berani bermesraan di depan matanya bersama putri kesayangannya. Niat hati ingin menghancurkan hubungan mereka, namun takdir justru berbalik menamparnya. Nayaka ternyata telah mengetahui rahasia kelam yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat. Kini, Arthur tak bisa lagi semena-mena melarang Anandita menjalin hubungan dengan Nayaka. Ia terjebak dalam permainan yang diciptakannya sendiri. "Sayang, suapin dong, aku mau anggurnya." Kata Nayaka manja. Arthur rasanya ingin membanting sendok yang ada di tangannya itu melihat kemesraan keduanya Sedangkan Anandita meringis, ia jadi malu melihat Nayaka seperti itu, "Nay, ada ayah." "Kenapa? Ayah kamu nggak bakalan marah kok. Ayah itu udah baik sama aku," Nayaka lalu menoleh ke arah Arthur. "Benar kan ayah? Ayah udah kasih restu ke aku dan Anandita?" Nayaka menaik turunkan alisnya. Arthur menggeram marah. Ia menghela nafasnya berulangkali untuk mereda