"Dita nggak mau ayah...”
“Ayolah Dita, kamu harus coba. Kalau kamu diam saja di rumah, yang ada kamu galau terus.” Ucap Arthur membujuk anak perempuannya itu. "Ini perusahaan milik ayah yang nggak semua orang tau. Yang pegang juga nggak ada, jadi kamu harus pegang perusahaan ayah yang ini." Kata Arthur lagi. Anandita mengerucutkan ujung bibirnya. "Dita nggak sepandai yang ayah duga. Dita nggak sanggup pegang perusahaan milik ayah. Nanti kalau ayah malah bangkrut gimana?" Arthur terkekeh. "Ya nggak lah. Mana mungkin satu perusahaan cabang yang hancur bisa membuat ayahmu ini bangkrut. Sudah jangan banyak alasan. Ayah tau bagaimana potensi kamu. Kamu itu hebat, kamu punya bakat yang terpendam, cuman kamu saja yang tidak mau menunjukkan bakat kamu itu." Cibir Arthur. Anandita cengengesan. "Aku nggak hebat, ayah. Aku nggak pernah kerja, apa lagi ini harus tiba-tiba banget di suruh pegang kantor." "Sudah, jangan banyak alasan. Ayah tidak mau tau, yang penting kamu masuk dulu, pegang perusahaan, dan nanti kita lihat." Ucap Arthur. Anandita menghela nafasnya kasar. Menurut saja walaupun terpaksa, padahal dirinya terlalu malas untuk bekerja. Rasanya tuh hidupnya cuman pengen tiduran, makan dan main hp. Mau keluar juga malas. Dirinya tak mau kejadian semalam terulang lagi. Dirinya tak mau bertemu dengan Nayaka. Pesan-pesan dari Ziren saja yang mengajaknya keluar jalan-jalan di abaikan oleh Anandita. "Sudah sana mandi. Sudah besar kok hari gini belum mandi. Kamar kamu ini untung di belikan parfum mahal, kalau tidak sudah bau iler ini." Gurau Arthur sambil menutup hidungnya berpura-pura bau. Anandita mencebikkan ujung bibirnya. "Nggak mandi juga Dita masih wangi kok." "Apa iya? Sudahlah, jangan membuang waktu. Sana kamu mandi dan bersiap-siap. Nanti akan datang seseorang yang akan menjadi asisten pribadi kamu." Mata Anandita melotot, seumur-umur dirinya sampai sebesar ini mana pernah dirinya punya asisten pribadi. Dirinya terlalu malas mendapatkan seseorang baru. "Nggak! Aku nggak mau, ayah." "Kenapa nggak mau? Dia yang bakalan bantu pekerjaan kamu. Dia juga yang akan menghendle semuanya." Seru Arthur. "Kalau dia nggak cocok sama aku gimana? Aku itu orangnya ribet banget. Nggak suka di ganggu sama orang asing." Arthur tersenyum. "Kamu tenang saja, dia sudah di tes. Dan ayah sudah pastikan dia baik dan tidak akan pernah mengganggu privasi kamu. Dia juga proporsional." Kalau sudah seperti itu, Dita hanya bisa menurut saja, dirinya tak membantah perkataan ayahnya lagi. "Yaudah, Dita mau siap-siap dulu." Kata Dita. "Iya sayang, ayah tunggu di meja makan." Anandita menganggukkan kepalanya dan langsung bergegas ke kamar mandi. Dan soal kejadian semalam, Anandita tak perlu bertanya lagi, karena bi Ina tadi pagi sudah memberitahukan padanya. Dan beruntung tadi malam yang membawanya abangnya. Jika saja orang lain, Anandita tak tau entah bagaimana nasibnya tadi malam. Dan siapa sangka, minuman yang di minum oleh Anandita berisi obat tidur. Entah milik siapa, Anandita tak tau pun, dirinya juga asal mengambil minum tadi malam. Tak lama, Anandita sudah selesai dengan pakaian rapi, baju kemeja berwarna pink, serta rok span dan penampilannya sungguh cantik dengan make-up tipis. Sedangkan rambutnya di ikat ekor kuda. Sungguh janda itu sangat mempesona bagi siapa saja yang melihatnya. "Wah, anak ayah sudah cantik. Ayo sarapan dulu, sembari menunggu asisten pribadi kamu datang." Ucap Arthur. Anandita menganggukkan kepalanya, lalu menarik kursi dan duduk di sana. Bi Ina langsung menghidangkan menu sarapan untuk Anandita. "Bang Daniel kemana?" Tanya Anandita saat tidak melihat keberadaan sang Abang pagi itu. "Abangmu sudah pergi pagi-pagi sekali. Kamu tau sendiri Abangmu itu super duper sibuk. Dia harus pagi-pagi ke kantor untuk mengecek berkas." Anandita menganggukkan kepalanya, sambil memasukkan roti yang sudah di potong itu ke mulutnya, Anandita tau betul bagaimana sifat abangnya dan bagaimana sibuknya seorang Daniel. "Ayah kenapa belum berangkat? Ini sudah jam delapan lewat juga kan?" Arthur menyesap tehnya terlebih dahulu. Lalu setelahnya meletakkan gelas kecil itu di atas meja kembali. "Sebentar lagi. Ayah mau tunggu Patih dulu. Dia juga baru akan datang." Sahut Arthur sambil menyebut nama asisten pribadinya itu. Anandita menganggukkan, lalu kembali melanjutkan sarapan paginya itu. * * * "Ya ampun, bos muka bos kenapa kayak begitu?" Lupus menatap wajah bos-nya yang tampak kusut, apalagi saat dirinya tiba di apartemen bos-nya itu untuk menjemput sang bos berangkat ke kantor, Lupus sang asisten pribadinya itu malah melihat penampilan bos-nya yang acak-acakan, tidak pernah terlihat sebelumnya, dan itu membuat Lupus kaget bukan main. Nayaka berdecak, ini karena dirinya yang tidak bisa tidur semalaman. Bahkan dirinya harus terjaga sampai pagi. Bayang-bayang Anandita terus memenuhi kepalanya, dan dirinya tidak bisa menghilangkan bayangan istrinya itu. "Sudah jangan cerewet kamu, sekarang saya mau mandi dan ganti baju dulu." Sahut Nayaka. Lupus terkekeh, tak mempermasalahkan nada jutek bos-nya, dirinya menganggukkan kepalanya, memilih menunggu sang bos di sofa ruang tamu apartemen itu. Nayaka melesat menuju ke dalam kamarnya kembali, membiarkan saja asisten pribadinya itu duduk di sana, dirinya akan bersiap-siap ke kantor. Sampai beberapa menit kemudian, Nayaka telah siap, dirinya dan Lupus berjalan menuju mobil yang sudah ada di parkiran apartemen itu. Saat membuka pintu mobil, Nayaka mendekik saat melihat keberadaan seorang wanita yang sudah duduk di bangku depan. Wanita itu tersenyum ke arah Nayaka. "Selamat pagi bos Nayaka." Sapa perempuan itu. Nayaka melengos, lalu kembali menutup pintu mobil itu, dan menoleh ke arah Lupus. "Lupus! Kamu mau kerja apa mau pacaran?!" Sentak Nayaka marah. Pasalnya Lupus malah membawa pacarnya, mana naik mobilnya pula. Lupus meringis, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Saya nggak mau pacaran, bos. Saya cuman mau antar pacar saya ke rumah majikannya." Nayaka melotot. "Ini saya sudah telat loh. Kamu malah sempat-sempatnya mau antar pacar kamu lagi." Perempuan yang bernama Rara pacarnya Lupus itu keluar dari mobil saat mendengar suara Nayaka yang marah-marah. "Bos, jangan marah dong. Saya cuman minta antar Yayang Lupus di jalan perumahan elit sana. Dari sini juga nggak terlalu jauh kok. Hemat ongkos, pak bos." Seru Rara. Nayaka berkacak pinggang, moodnya dari semalam berantakan kini bertambah berantakan lagi. "Nggak! Kamu naik ojol atau apa sana. Saya tidak mau antar kamu. Waktu saya sudah mepet ini." Sentak Nayaka marah. Rara mengerucutkan ujung bibirnya, lalu menoleh ke arah Lupus. Mata Rara berkaca-kaca. Dan Lupus yang melihat itu sungguh tidak tega. Dirinya terpaksa memohon pada Nayaka untuk mengantarkan Rara berangkat kerja sebentar saja. Nayaka berdecak, mau tak mau mengijinkan, daripada beradu argument di sana terlalu lama yang akan membuatnya terlambat nantinya. Nayaka duduk di belakang, karena terlalu malas duduk di depan. Keduanya berbincang di dalam mobil, dan Nayaka hanya memutar bola matanya jengah mendengar obrolan sepasang kekasih itu. Hubungan mereka memang terbilang baru, karena baru beberapa hari ini Lupus bertemu dengan Rara, dan mereka langsung jadian. Dan baru beberapa hari bertemu dengan Nayaka dan Nayaka terlalu malas berurusan dengan Rara yang cerewetny luar biasa. Padahal mereka baru bertemu, tapi wanita itu cerewet sekali. "Kamu kerja apa Yang?" "Eum, aku kerja jadi asisten pribadi" "Oh iya? Majikan kamu cowok apa cewek?" "Yang rekrut aku sih ayahnya ya, tapi katanya aku kerja jadi asisten anaknya yang perempuan." "Wah bagus dong, kita berarti jodoh, sama-sama jadi asisten pribadi." Kata Lupus gombal. Nayaka yang mendengar itu memutar bola matanya malas, bibirnya mencibir kedua pasangan di depannya ini. "Btw, nama majikan kamu siapa?" Tanya Lupus. "Katanya namanya, Bu Anandita." Deg Mendengar nama mantan istri di sebut, Nayaka langsung tergelak. Begitupun dengan Lupus. "Katanya, atasan aku ini baru pisah gitu sama suaminya. Dan ayahnya suruh aku buat jagain dia, nggak boleh ketemu sama mantan suaminya, nanti juga di kasih tau fotonya. Malah aku di suruh cariin dia cowok sih. Tapi, pelan-pelan nggak boleh sampai membuat atasan aku ini risih karena dia nggak suka sama orang yang terlalu mencampuri urusannya." Kata Rara. Mata Nayaka semakin terbelalak. "Eh, kaleng comber, boleh kasih tau nama lengkap atasan kamu nggak?" Tanya Nayaka. Rara mencebikkan ujung bibirnya, kesal pastinya dengan panggilan yang di sematkan oleh Nayaka itu. "Tanya yang bagus kek" "Cepetan! Saya tidak punya banyak waktu" Rara mencibir. "Namanya, Anandita Putri Widuri." Deg Tidak salah lagi, itu mantan istrinya...Udara di dalam bangunan tua itu mendadak berubah—lebih pekat, lebih berat, seperti mengandung ancaman. Semua terdiam. Suara Bara di luar menggema, mengguncang dinding berlumut.Anandita menggenggam ujung kursi, jantungnya berdebar tak terkendali.“Dia… dia akan membakar tempat ini?” suaranya parau.Lazarus tidak menjawab segera. Ia menatap pintu seolah sedang menghitung waktu, lalu menoleh pada Nayaka.“Bawa gadis itu ke ruang bawah. Sekarang.”“Tapi, Guru—”“Sekarang!”Nada perintah Lazarus tak bisa ditawar. Nayaka meraih tangan Anandita, menyeretnya ke arah pintu kecil di belakang ruangan. Anandita melangkah tergesa meski tubuhnya gemetar.Sementara itu, Lazarus berjalan menuju jendela retak. Ia membuka sedikit tirai lusuh dan melihat sosok Bara di halaman—bersama belasan orang bersenjata. Bara berdiri di depan, masih mengasah pisaunya sambil tertawa kecil.“Lama tak jumpa, Lazarus,” Bara berteriak. “Kau makin tua… tapi masih suka bersembunyi seperti tikus.”Lazarus menarik napas pa
Udara di dalam bangunan itu terasa lebih berat daripada udara hutan di luar. Dindingnya berlumut, namun lantainya bersih—terlalu bersih untuk sebuah tempat yang tampak terbengkalai. Anandita memperhatikan setiap detail dengan gugup: kamera kecil di sudut ruangan, sensor gerak di pintu masuk, bahkan deru samar mesin di bawah lantai. Tempat ini mungkin tua, tapi orang yang mengelolanya… punya uang dan tujuan jelas.Lazarus duduk di kursi tua, menatap mereka. Sorot matanya membuat Anandita merasa telanjang, seolah orang ini bisa membaca semua rahasia yang ia simpan bahkan yang ia sendiri tak tahu.“Kau… Lazarus?” suara Anandita bergetar. “Ayahku… pernah menyebut nama itu. Dulu. Bertahun-tahun lalu. Tapi… kupikir kau sudah mati.”Lazarus tersenyum tipis. “Bagi dunia, iya. Kematian terkadang… pilihan terbaik untuk tetap hidup.”Anandita mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”Nayaka berdiri di samping Lazarus, menunduk hormat. “Dia bukan orang biasa, Dita. Lazarus adalah pendiri Meja Tiga Bela
Suara sirene pemadam kebakaran meraung di kejauhan, tapi api di rumah keluarga Arthur terus melahap kayu dan dinding seolah tak ingin berhenti. Langit yang tadinya kelabu kini dipenuhi asap pekat. Di kejauhan, beberapa warga hanya berani menonton dari balik pagar. Tidak ada yang mendekat. Mereka tahu—rumah keluarga Arthur bukan sekadar rumah. Itu sarang para pemain besar. Tempat di mana kesalahan kecil bisa berarti hilangnya nyawa. Arthur masih tergeletak di lantai. Bau kayu terbakar, kain yang hangus, dan hawa panas mulai menyesakkan paru-parunya. Tapi mata tua itu tetap menatap pada satu titik: brankas yang kini terbuka setengah, terungkap di balik lukisan tua yang jatuh. Brankas itu bukan sembarang brankas. Di dindingnya terukir simbol aneh—lingkaran dengan tiga garis menyilang. Simbol itu hanya dikenal oleh segelintir orang: mereka yang pernah duduk di meja rahasia, membagi kekuasaan di balik bayang-bayang kota. Arthur merangkak perlahan, jarinya berusaha meraih tuas branka
Pagi itu datang tanpa embusan angin, seolah langit pun menahan napas. Hujan tak kunjung turun meski awan kelabu menebal seperti lapisan abu. Rumah keluarga Arthur masih berdiri megah, namun pagi ini terasa berbeda. Dingin. Sepi. Terlalu tenang untuk sebuah tempat yang sedang diawasi.Anandita terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya sembab, namun ada api kecil yang berkobar di balik tatapan letihnya. Semalam, ia mendengar kenyataan yang seharusnya tak pernah terucap. Suara ayahnya... rekaman yang membuktikan keterlibatannya dalam sesuatu yang gelap dan mengerikan.Dia duduk diam di tepi ranjang, tangan meremas selimut, hatinya bergetar hebat.“Ayahku… benar-benar menyembunyikan sesuatu sebesar itu dariku?”Sementara itu, di kamar sebelah, Nayaka sudah berpakaian rapi. Kemeja hitam, jam tangan taktis di pergelangan, dan ekspresi yang sama sekali tidak bisa ditebak. Ia memeriksa kembali senjata kecil yang diselipkan di dalam jaket. Tak seperti biasanya, pagi ini ia tidak menggoda ata
Langit mendung menggantung di atas kota, seolah menjadi pertanda bahwa badai besar akan segera datang. Di dalam rumah keluarga Arthur, ketegangan belum juga surut. Anandita hanya bisa mengaduk-aduk sup di hadapannya tanpa niat untuk memakannya. Sementara Nayaka, dengan gaya santainya, terus menggoda dan mengganggunya, seolah-olah tak terjadi apa pun.Namun di balik senyum jahil Nayaka, ada ketegasan yang tak bisa dilihat oleh mata biasa. Ia tengah mempertahankan posisinya. Ia tidak main-main. Pria itu tahu betul bahwa permainan ini melibatkan risiko besar. Termasuk ancaman terhadap nyawanya sendiri.Sore itu, di ruang kerja Arthur, pria paruh baya itu masih duduk di balik meja besar kayu jatinya. Napasnya berat. Tangannya menggenggam erat sebuah amplop coklat yang sudah kusut karena terlalu sering diremas. Isinya bukan main—hasil rekam medis, laporan investigasi, dan foto-foto lawas yang seharusnya tak pernah muncul kembali ke permukaan.Rahasia itu… seharusnya telah terkubur.Namun N
Arthur menggeram penuh amarah. Dadanya bergemuruh oleh rasa kesal melihat Nayaka dengan berani bermesraan di depan matanya bersama putri kesayangannya. Niat hati ingin menghancurkan hubungan mereka, namun takdir justru berbalik menamparnya. Nayaka ternyata telah mengetahui rahasia kelam yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat. Kini, Arthur tak bisa lagi semena-mena melarang Anandita menjalin hubungan dengan Nayaka. Ia terjebak dalam permainan yang diciptakannya sendiri. "Sayang, suapin dong, aku mau anggurnya." Kata Nayaka manja. Arthur rasanya ingin membanting sendok yang ada di tangannya itu melihat kemesraan keduanya Sedangkan Anandita meringis, ia jadi malu melihat Nayaka seperti itu, "Nay, ada ayah." "Kenapa? Ayah kamu nggak bakalan marah kok. Ayah itu udah baik sama aku," Nayaka lalu menoleh ke arah Arthur. "Benar kan ayah? Ayah udah kasih restu ke aku dan Anandita?" Nayaka menaik turunkan alisnya. Arthur menggeram marah. Ia menghela nafasnya berulangkali untuk mereda