Share

Ikhlas untuk Melupakan

“Mey, Tuhan kejam banget sama gue,” ucap Nayli, lirih. Pandangannya kosong saat menatap kaca lemari yang menempel di salah satu pintunya.

Meysa menggeleng. Dia menggenggam erat tangan Nayli, seakan memberikan energi positif agar Nayli masih bisa berpikir jernih.

“Lo salah kalau berpikir begitu. Tuhan baik, kok. Masalah jangan diambil kesimpulan dari satu sudut panjang aja. Menurut Tuhan, Arya bukan yang terbaik buat lo, makanya dikasih lihat siapa si Arya sebenarnya. Meskipun dengan cara mematahkan hati lo dulu, pasti Tuhan ganti lagi dengan seeorang yang kelak memberikan hati yang baru.”

“Kayaknya, bakal lama buat gue sembuh dari luka ini, Mey.”

Lagi-lagi, Meysa menggeleng. “Luka lo pasti kering, kok. Tuhan yang mengatur segala-Nya. Bisa aja, tiba-tiba besok lo jatuh cinta sama seseorang dan lupa sama kejadian hari ini. Kita gak ada yang tahu. Tapi yang jelas, jangan menutup celah bagi siapa pun untuk mencoba masuk ke kehidupan lo.”

“Sebenarnya, Nay, gue pernah lihat Fara sama Arya keluar dari dokter kandungan pas gue lagi di rumah sakit nemenin Mbak Ima lahiran. Tadi di mobil, gue mau ngomong itu ke lo. Tapi, takutnya lo gak percaya,” lanjut Meysa lagi.

Meysa ingat betul hari itu. Saat disuruh sang mama bergantian menjaga Mbak Ima yang habis lahiran di rumah sakit, Meysa malah kebingungan mencari ruangan rawatnya dan berujung melihat Fara dan Arya keluar dari ruangan dokter kandungan. Keduanya sempat terlibat pertengkaran kecil sampai menyita perhatian pasien yang tengah duduk menunggu panggilan.

Senyum sinis Nayli terukir. Luka di hatinya menganga lebar, terasa perih sampai dia tak tahu harus bagaimana.

“Mey, bilangin ke anak-anak. Acara makan-makan nanti malam batalin aja. Lain kali, makan di luar aja, gue yang traktir. Yang jelas bukan sekarang, nanti kalau gue siap ketemu orang banyak.”

Meysa mengangguk paham. Dielusnya punggung Nayli dengan lembut. Sahabatnya itu tidak menangis lagi. Lagi pula, menurut Meysa, hanya buang-buang air mata kalau untuk menangisi laki-laki seperti Arya.

“Lo nginep, ya, di sini. Temenin gue. Di rumah ini, nggak ada yang bisa gue ajak ngobrol sekarang. Bahkan, buat ketemu mereka semua aja rasanya belum siap.”

Selain alasan yang diucapkan Nayli, Meysa pun merasa khawatir kalau membiarkan Nayli sendirian sekarang. Takut kalau ada setan yang menghasut gadis ini untuk melakukan hal di luar kendali. Dan dia akan menjaga Nayli agar hal buruk tidak terjadi.

***

“Mey, liburan, yuk,” ujar Nayli, memecah keheningan kamarnya.

Meysa yang tengah tengkurap sambil menatap layar laptop pun menyahut, “Ke mana?”

“London.”

“Kapan?”

“Habis mereka berdua nikah.”

“Nggak bisa kayaknya, Nay. Gue kayaknya mau ke rumah nenek di Jawa dan lumayan lama di sana.”

Nayli mengangguk paham. Liburan ke London yang telah dia rencakan sejak lama bersama Arya dan menjadi hadiah untuk dirinya setelah merampungkan kuliah, tak mungkin dia batalkan. Tiket penerbangan, hotel, sudah dipesan sejak satu dua minggu lalu.

Masih terekam jelas bagaimana hancurnya hubungan yang Nayli bangun selama bertahun-tahun hanya karena kesalahan fatal. Segala angan-angan akan pernikahan dan rumah tangga yang harmonis bersama Arya sirna sudah.

Tersadar akan banyaknya barang-barang pemberian dari Arya di kamarnya, Nayli lantas bangkit dan menuju lemari baju.

“Lo mau ngapain, Nay?” tanya Meysa, melihat Nayli membuka lemari dan menatap baju-baju yang tergantung, terlipat di dalamnya.

“Gue mau buang sumbangin semua barang yang pernah Arya kasih.”

Satu per satu baju Nayli lempar ke karpet bulu cokelat polos di kaki ranjang. Kaus, gaus, jaket, semua dia keluarkan dari lemari. Lalu, dia melangkah ke meja belajar. Sebuah album foto dia ambil dari salah satu laci.

“Gue benci sama lo,” desis Nayli. Amarahnya kembali memuncak. Lembar demi lembar foto dalam album tersebut dia buka secara cepat sampai halaman terakhir.

Nayli melirik bingkai foto di salah satu sudut meja. Dirinya tersenyum lebar bersama Arya. Nayli ingat, foto itu diambil tepat di hari kelulusan SMA.

“Nay, lo yakin mau sumbangin baju-baju ini?” tanya Meysa, memastikan. Dia berdiri, menatap kamar yang biasanya rapi, kini berantakan. Album dan bingkai yang tadi dalam genggaman Nayli, sudah terdampar bersama tumpukan baju.

“Nggak ada gunanya lagi gue nyimpen semua sampah ini, Mey. Yang ada malah makin nyakitin hati gue. Daripada nggak gue pake, mending dikasih ke orang yang membutuhkan. Semua baju masih bagus-bagus, kok.”

Meysa mencekal pergelangan tangan Nayli, membuat Nayli menoleh.

“Apa?” Meysa tak menjawab pertanyaan Nayli, sebatas menatap Nayli yang tampak terluka. Sorot kebahagian yang tadi dia lihat sewaktu selesai sidang, tak dia temukan lagi di sana.

Nayli menghela napas panjang. Dia menepis tangan Nayli, lalu berujar, “Mey, gue mau lepasin Arya. Dia bukan lagi pacar gue, tapi adik ipar gue.”

“Move-on nggak segampang itu. Perlu proses panjang.”

“Dengan gue sibuk, gue bakal lupa tentang Arya, kok. Lama kelamaan, otak gue bakal lepas dari segala hal tentang Arya.”

“Kalau gitu, lo terlalu memaksakan.”

“Terus, gue harus bagaimana?” Nayli menatap Meysa lelah. Otaknya saat ini benar-benar buntu. Dia hanya ingin lupa pada kejadian yang terjadi hari ini. Ingin melupakan bagaimana rasa sakitnya dikhianati lebih parah daripada perselingkuhan Arya dua tahun lalu.

Kenapa? Kenapa harus Fara yang menjadi penghancur segala kisah indah, dongeng yang dia bangun dengan susah payah?

Nayli terduduk lemas di lantai, di sisi tumpukan baju-bajunya. Air matanya luruh kembali, meskipun tak deras. Perih menyayat hati, takdir memaksa dirinya harus tetap kuat.

 “Oke, besok gue bantuin lo bawa barang-barang ini buat dikasih ke orang. Tapi mohon, jangan paksain diri lo buat lupa. Karena, semakin berusaha lo lupa, justru semakin diingat. Kadang, melupakan suatu hal pun harus dengan ketidak sengajaan. Biarkan takdir yang bekerja. Lo cuma perlu upgrade diri, lebih baik dari sekarang. Biar nanti, saat orang yang Tuhan takdirkan datang, diri lo benar-benar siap.”

***

Bulan telah habis tugasnya, bergantikan matahari yang kini menjadi penerang di bumi. Sinarnya yang belum terlalu terik pagi ini, terasa hangat bagi tubuh saat hanya berjalan-jalan santai. Namun, Nayli enggan melakukannya. Dia masih terbaring di balik selimut, memunggungi Meysa yang duduk di sisi ranjang, mengajaknya untuk turun dan sarapan.

Berkali-kali Meysa menggoyangkan tubuh Nayli, tetapi sahabatnya itu hanya melenguh pelan.

“Gue gak laper, Mey. Berapa kali lagi gue harus ngomong,” ujar Nayli. Selimutnya sengaja dia naikkan ke kepala. Sekujurnya tubuhnya tertutup sempurna.

Meysa langsung menarik paksa selimut yang menutupi Nayli, lalu dia buang ke lantai.

“Lo kalau kayak gini, malah ngerugiin diri sendiri. Seenggaknya, hati lo aja yang sakit, jangan fisik juga. Jangan lupakan mag lo, ya.”

“Iya-iya, gue ikut sarapan di bawah,” kata Nayli saat menurunkan kakinya hendak memakai sandal rumahannya.

Rupanya, orang-orang pun baru hadir di ruang makan. Nayli menjadi orang terakhir yang duduk, tepat di sebelah Meysa.

Sungguh. Nayli ingin berlari ke kamar sekarang setelah tahu orang di depannya itu Fara. Sang adik terus menatapnya, memelas berharap Nayli menyapa seperti pagi-pagi biasanya. Entah hanya sebatas kata-kata penyemangat atau sebatas lelucon saja.

Pagi ini, terasa sunyi. Seolah, masing-masing dari mereka ingin kesunyian.

Di hadapan mereka, sudah tersaji satu porsi nasi goreng. Barulah suara dentuman sendok beradu dengan piring menjadi pengiring acara sarapan kali ini.

“Ma, Nayli mau liburan ke London seudah acara pernikahan Fara,” celetuk Nayli. Hanya tiga suap nasi yang masuk ke mulutnya. Selanjutnya, piring yang masih terisi banyak nasi goreng dia geser sedikit ke tengah. Dia menoleh pada kedua orang tuanya bergantian, yang duduk di masing-masing ujung meja, keduanya saling berhadapan.

Awalnya Adam, sang papa hendak menolak. Namun, saat istrinya melotot sambil mengangguk, seolah isyarat untuk menyetujui.

“Meysa ikut juga?” tanya Adam, tak langsung mengiakan.

Nayli menggeleng. “Aku mau sendirian aja, Yah. Sekalian buat hadiah ke diri sendiri udah wisuda.”

“Wisudanya kapan emang?”

Sambil menatap Fara, Nayli menjawab, “Dua hari sebelum pernikahan Fara.”

“Kalau begitu, Mama yang anterin kamu cari baju buat wisuda, ya? Udah lama juga kita nggak jalan berdua, Nay,” imbuh sang Mama, tersenyum hangat menatap Nayli. Namun, saat wajah Fara terekam matanya, senyum itu langsung luncur. Mau bagaimana pun, dia tetap sakit melihat putri kesayangan disakiti Fara yang notabene anak dari madunya.

Kecewa. Sungguh, Mia seperti ditusuk dari belakang oleh gadis yang selama ini dia perlakukan seperti anak sendiri. Meskipun awalnya dulu sempat menolak untuk mengurus Fara, tetapi dia tak tega hati menyakiti seorang anak kecil berusia lima tahu yang menjadi korban orang dewasa. Namun, dia merasa kebaikannya seperti dibalas dengan sangat kejam. Kebahagiaan Nayli telah direnggut Fara. Itu menurutnya.

Nayli mengangguk. “Kita obrolin nanti aja, Ma. Yang penting, Mama sama Ayah fokus sama pernikahan Fara saja sekarang.”

Merasa suasana di ruang makan semakin tidak enak, Nayli berinisiatif untuk menyudahi sesi sarapan sekarang ini.

“Kalau begitu, Nay sama Mey pamit ke kamar dulu. Masih ada janji hari ini.” Nayli melirik Meysa, berharap sahabatnya itu bisa membantunya untuk kabur dari sana.

Berlama-lama di sana hanya akan memperburuk hatinya.

Meysa tersenyum kaku. “I—iya, Om, Tante. Makasih sarapannya, enak.”

Nayli beranjak lebih dulu, disusul Meysa menaiki anak tangga ke lantai dua dan masuk ke kamar. Sengaja pintu kamar Nayli banting, sebagai unjuk rasa kesalnya yang tiba-tiba berkumpul di ubun-ubun hingga kepala nyaris meledak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status