Share

Luka

Nayli pikir, kecemasan yang sepanjang jalan tadi dia rasakan, tak berdasar sama sekali. Buktinya, sekarang Arya pasti di rumahnya. Mobil Arya sudah terparkir di carport, tepat di samping mobil sang ayah.

Langkah kaki Nayli terasa ringan, bibir tersenyum ceria, setelah yakin kalau Arya sengaja datang kemari untuk menemui dirinya dan meminta maaf atas insiden tempo hari. Ah, bahagia rasanya datang bertubi-tubi. Lama tak jumpa, hilang kabar bak ditelan bumi, akhirnya rasa rindu bisa tercurahkan hari ini.

“Tadi merengut terus, sekarang senyum-senyum sendiri kayak lagi iklan pasta gigi,” seru Meysa sambil menyenggol bahu Nayli dengan bahunya.

“Firasat gue kali ini salah, Mey,” sahut Nayli sambil memeluk erat berbagai buket.

Meysa merotasikan patanya. “Ya udah, kita masuk. Sayang lo itu, si Arya, pasti udah nunggu di dalam.”

Nayli mengangguk. Lantas dia berlari kecil menaiki tiga undakan tangga sampai ke teras rumah. Sedangkan Meysa mengekor di belakang.

“Assalamualaikum,” sapanya begitu mendorong pintu, lalu Meysa yang menutupnya.

Bibirnya masih menampilkan senyum sampai di ruang tamu. Di sana, kedua orang tuanya sudah berkumpul. Termasuk juga Faradila-adik Nayli-dan Arya.

Yang ditangkap oleh Nayli melalui matanya, masing-masing dari mereka memasang raut wajah bingung, kecewa juga marah. Terutama pada Adam, ayahnya yang duduk di sofa tunggal membelakangi lemari kaca berisikan piring, gelas hias kesukaan sang mama.

“Nay, gue langsung ngacir ke kamar mandi, ya,” bisik Meysa yang diangguki Nayli.

Hawa di ruang tamu membuat Meysa semakin tak kuasa menahan sakit perut. “Om, Tante, Mey numpang ke kamar mandi.” Meysa langsung berlari tunggang langgang ke belakang rumah tanpa melihat Mia atau Adam sebagai tuan rumah mempersilakan.

Lain dengan Meysa. Langkah Nayli langsung menuju pada sofa ganda yang diduduki Mia-sang mama-juga Fara. Cukup satu orang lagi duduk di sana dan Nayli dengan senang hati mendaratkan bokongnya usai menyimpan semua buket di bawah, dekat sofa. Dia menatap heran pada mereka, terutama Arya yang duduk di hadapannya.

“Ada apa, sih? Kenapa atmosfer di sini kayak gini?” Tas selempang warna cokelat sudah ada di pangkuan Nayli. Dia menatap mamanya yang duduknya diapit Nayli juga Fara. “Ma, kok nangis, sih?”

Hanya sebuah genggaman tangan diberikan Mia pada Nayli. Karena setelah itu, perempuan usia empat puluh empat tahun itu malah menangis.

“Lho, Ma?” Badan Nayli agak condong untuk melihat sang adik yang menunduk. “Dek, ini pada kenapa, sih?”

“Ma—maafin, Fara, Mbak. Fara yang salah,” lirih Fara. Kemudian, isakan kecil terdengar dari bibir perempuan itu.

Nayli semakin dibuat kebingungan. Apalagi, saat matanya mengarah pada Arya, pria itu gelagapan, tak berani menatap Nayli.

Nayli mendesah frustrasi. Sejak tadi, tak ada satu orang pun yang menjawab pertanyaannya. Dia pun mencondongkan badan menghadap sang ayah.

Adam bergumam saat Nayli memanggilnya, sedangkan tatapan mata di balik kacamata itu tertuju pada gelas kopi yang sudah dingin.

“Coba jelasin sama Nayli, ada apa, Yah? Kenapa Mama nangis? Kenapa Fara minta maaf? Dan ... kenapa Arya ada di sini?”

Pertanyaan itu Nayli layangkan. Rasa penasarannya sudah menumpuk. Saat Adam hendak membuka mulutnya, berniat menjawab setiap pertanyaan putrinya itu, tetapi batal karena Fara lebih dulu bersimpuh di depan Nayli, menggenggam kedua tangan kakaknya seraya menundukkan kepala, tak berani menatap Nayli.

“Mbak, maafin Fara, Mbak. Aku tahu, Fara yang salah,” ujar Fara di sela isakan tangis.

“Lho, emangnya Fara bikin salah apa sama Mbak? Perasaan nggak ada, deh.”

Nayli semakin kebingungan.

“Fara ... Fara ... Fara hamil, Mbak.”

“Kamu kan perempuan, ya, wa—tunggu dulu. Kamu hamil, Dek? Udah berapa lama? Siapa bapaknya? Kok, bisa? Coba bilang sama Mbak orangnya yang mana, biar Mbak hajar sampai babak belur. Beraninya nyentuh kamu tanpa pernikahan,” sungut Nayli berapi-api.

Isakan tangis Fara semakin kencang. Genggaman tangannya pada Nayli pun tambah erat.

“Kamu jangan nangis dulu, dong. Jelasin ke Mbak, siapa yang hamilin kamu.”

“Nay,” panggil Arya pelan.

Dan begitu Nayli menoleh ke arahnya, dia bisa melihat raut wajah penyesalan pada Arya. Mulut Nayli tak bisa untuk tidak menganga. Dia baru sadar kenapa Arya duduk agak bungkuk seperti itu, dipenuhi ketakutan.

“Mas, kamu ....” Wajah Nayli berubah pias. Dia langsung menarik tangan dari genggaman Fara dan mengangkat dagu adiknya agar mata mereka bertemu.

“Arya yang hamilin kamu, Fara?” tanya Nayli tegas. Sorot matanya terlihat kecewa, marah.

Dan saat itu juga, kepala Fara mengangguk lemas.

Nayli mengempaskan tubuh Fara sampai punggun sang adik membentur meja dan mengaduh pelan.

“Nayli,” lirih Mia di sampingnya.

Nayli pun bangkit dan berjalan mendekat pada Arya. Dua tamparan mendarat di masing-masing pipa pria itu. Emosi Nayli memuncak, deru napas tak beraturan. Hatinya benar-benar sakit mendengar kenyataan pahit ini.

“Bisa-bisanya kamu, hah!” bentak Nayli. Dia meremas dadanya saat rasa sakit di dalam sana semakin menjadi-jadi, seakan ada bongkahan batu besar menghantam dalam hitungan detik.

Ah, firasatnya ternyata benar. Hal besar yang berkaitan dengan Arya benar terjadi.

Nayli menengadah, menatap langit-langit ruang tamu sambil tersenyum sinis.

Sejahat itu takdir Tuhan padanya. Bahagia dan luka diberikan secara beruntung di satu hari yang sama. Tak bisakah diberi jeda terlebih dahulu?

“Mbak, maafin Fara, Mbak,” cicit Fara.

“Diam kamu!” bentak Nayli lagi. “Kurang baik apa aku sama kamu, Dek? Selama ini, Mbak nggak pernah sekali pun benci karena kita ... beda ibu. Tapi, sekarang? Ini balasan kamu sama Mbak, Mama, Ayah, hah? Gila!”

Seolah rasa kecewa pada Arya belum hilang, mungkin tak akan pernah hilang, Nayli kembali memaki. “Tega, ya, kamu, Mas. Kamu pacarin aku, terus berani nodai Fara, hah? Cowok macam apa kamu, brengsek seperti ini!”

Rinai air mata menghiasi wajah lelah Nayli. Nayli sendiri pun tak berusaha menahannya, biarkan mengalir begitu saja agar sesak di dada berkurang meski sedikit.

“Semua terjadi begitu aja, Nay. Waktu itu, nggak sengaja ketemu Fara di jalan. Niat mau anterin pulang, di jalan mobil malah mogok. Kita hujan-hujanan benerin mobil, tapi nihil. Saat basah itulah, Nay, kita berdua ... di luar kendali,” terang Arya dengan wajah menunduk. Dia juga kecewa kenapa sore itu bisa terjadi. Yang Arya cintai, hanya Nayli Syifa Dyah, bukan Faradila Lestari. Namun sayang, nafsu setan kala itu benar-benar mengambil alih.

“Itu ... itu sekitar dua bulan yang lalu, Nay,” lirih Arya lagi.

Tubuh Nayli merosot ke bawah. Kedua tangannya berpegangan pada sisi meja, isakan tangis mulai terdengar dari bibir Nayli. Mia yang melihat kedua putrinya hancur, entah harus siapa yang dia peluk.

“Nggak mungkin. Nggak mungkin,” gumam Nayli seraya menggeleng lemah.

“Mbak,” panggil Fara pelan. Dia berjalan mendekat Nayli. Namun, saat dua langkah lagi sampai, harus terhenti dan berdiri mematung dengan berjuta perasaan bersalah.

“Jangan mendekat!” teriak Nayli. Dia pun menoleh pada sang ayah. “Mungkin, ini balasan atas apa yang Ayah lakukan dulu sama Mama. Kini, aku yang rasain, Yah. Aku merasakan apa yang Mama rasakan waktu tahu kalau Ayah diam-diam menikahi perempuan lain secara siri.”

Adam menunduk dalam. Bibirnya terkunci rapat. Dia sependapat dengan Nayli. Andai dulu dia saat bertugas ke daerah seberang tidak terpincut perempuan di sana, mungkin dia tak akan menyakiti hati istrinya. Berujung, sang anak merasakan hal sama. Dan kini, bahkan rasa sakitnya berkali-kali lipat melihat kedua putrinya tampak hancur.

“Yah,” panggil Mia. Dia tak bisa terus menerus melihat putrinya seperti ini. Meski kecewa dengan yang dilakukan Fara, apa boleh buat. Semua sudah terjadi. Dan lagi, dia tak ingin membuka masa lalu lagi.

“Kita laksanakan pernikahan Fara dengan Arya.” Kepala Adam terangkat dan mengarah pada Arya. “Tadi kamu bilang, siap bertanggung jawab, bukan?”

Arya mengangguk perlahan. Pasrah.

Seperti tersambar petir di siang bolong, isakan tangis Nayli terhenti dan menatap Adam, Arya dan Fara bergantian.

“Kita adakan pernikahan, sebelum kehamilan Fara semakin besar,” lanjut Adam. Keputusannya sudah final. Lagi pula, Nayli pun pasti terlanjur membenci Arya dan tidak mungkin menerima lelaki itu kembali. Biarkan sang adik yang menjadi istri Arya.

Di balik dinding yang menjadi pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga, Mesya berdiri di sana sejak mendengar penjelasan dari Arya tadi. Dugaanya tidak salah. Namun, dia tidak menyangka semua akan terjadi hari ini. Mendengar suara tangian Nayli, membuat Meysa tak kuasa menahan diri lagi. Langkahnya pelan mendekati Nayli saat semua orang tak ada yang mengutarakan pendapat atau berbicara.

“Om, Tante. Biar Mey ajak Nayli ke kamar, ya,” usulnya sambil membantu Nayli berdiri.

Adam mengangguk.

“Nay, ke kamar, yuk,” ajak Mey, berbisik pada Nayli.

Nayli mengangguk. Beruntung Meysa memapah dirinya sampai ke kamar saat rasanya untuk sebatas berpijak pun, kakinya terasa lemah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status