Dua hari kemudian, aku sudah kembali ke Jakarta. Kembali ke rutinitas. Pagi diisi dengan membalas email klien, siang sibuk dengan meeting online, malam? Nah, itu waktunya aku bersih-bersih rumah plus jadi bendahara dadakan buat bocah satu ini.
"Mbak! Pulsa gue abis. Sekalian dong, ShopeePay-nya top up juga. Ada diskon makanan, lumayan banget. Lo mau juga kan, makan hemat?" Aku menoleh tajam ke arah sumber suara. "Pras, lo tuh kuliah apa seminar nyari promo, sih?" Prasetyo—si adik laki-lakiku, mahasiswa semester enam jurusan komunikasi yang lebih sering jadi ahli strategi pengiritan, daripada ngerjain tugas—nyengir santai sambil duduk di sofa, kaus bolongnya makin memperjelas niat hidup santainya. Aku 3 bersaudara, adikku satunya lagi bernama Anggun, dia kerja di BUMN, bagian keuangan. Setidaknya, dia yang menemani ibu Ramisha dan Pak Handoyo di rumah. Pras sebenarnya juga tinggal di rumah, tetapi karena bocah itu kurang ajar, jadi dia sering nginap di apartemenku. "Kan hidup udah susah, Mbak. Kalau bisa diskon, kenapa enggak? Sharing is caring, you know?" Aku nyaris melempar bantal ke mukanya. "Gue kerja mati-matian, lo enak-enakan jadi komentator diskon!" Dia hanya ketawa-ketiwi sambil rebahan. Kadang gue mikir, ini anak dikirim Tuhan buat nguji kesabaran gue kayaknya. Setelah berhasil mengusir bocah itu keluar apartemen--dengan ancaman potong jatah N*****x--, aku akhirnya bisa menghela napas lega. Namun, aku butuh keluar. Butuh kopi dan butuh ketenangan. Jadi, di sinilah aku berada sekarang, kafe mungil di ujung Blok M. Aku masuk dengan celana jeans belel, kaos putih longgar yang udah agak kusut, rambut diikat seadanya. Tanpa makeup, tanpa alis, hanya lip balm aja yang kupake. Tapi, aku baru mau duduk ketika satu suara familiar bikin jantungku berhenti sepersekian detik. “Woi, Mbak Galak!” Suara itu—dalam, agak berat, dan sayangnya terlalu kuhapal— membelah udara kafe yang tenang. Aku menoleh pelan, penuh harap bahwa mungkin aku salah dengar. Tapi, tidak. Di pojok ruangan, duduk empat pria, dan salah satunya melambaikan tangan padaku sambil senyum kayak orang baru menang lotre. Gasan Ishaaq. Sial! Aku langsung nutupin wajah pakai tote bag, berharap bumi menelanku. “Kenapa semesta hobi banget nyuruh gue ketemu dia terus, sih?” gerutuku. Tapi, Gasan nggak berhenti di situ. “Ke sini, dong! Gabung!” Kepalaku udah mendidih. Tapi, aku masih punya sisa sopan santun, jadi aku melangkah juga ke arah meja mereka. Dengan perasaan kayak mau sidang skripsi, tapi dosen pembimbingnya mantan pacar. “Kenalin, ini Irene,” kata Gasan pada tiga temannya yang semuanya baru pertama kali aku lihat. "Dia pemilik wedding Organizer. Dan, eh, calon istri gue juga, kalau dia berubah pikiran.” Refleks, tanganku mendarat di lengannya. “Lo cari penyakit, ya?” “Lah, gue cuma jujur, kok,” sahutnya sambil meringis, tapi matanya jelas-jelas menikmati setiap detik kekacauan ini. Salah satu temannya—yang rambutnya paling rapi—nyenggol lengan Gasan. “Bro, serius? Lo ngincer dia?” “Nggak ngincer lagi, udah gue tag,” kata Gasan bangga. “Tag kepala lo!” potongku cepat, dan aku tidak tahu letak lucunya di mana. Mereka berempat tertawa. Huh! Dikira aku ini lagi stand up comedy kali, yah? makanya mereka ketawa. Tapi, serius, aku males banget ngadepin cowok modelan kayak Gasan. Capek. Akhirnya, karena udah kadung dilihatin semua orang dan nggak mungkin juga kabur lagi, aku duduk. “Cuma lima belas menit. Gue duduk karena butuh kopi, bukan karena butuh drama.” “Tenang, kami cuma pengin kenalan,” kata yang satu berkacamata. “Gue Gavin. Yang ini Lingga, dan yang barusan nyeletuk tadi Fadli.” Mereka semua cukup sopan. Tapi, jelas matanya penasaran setengah mati. Mungkin mikir, kok ada, ya, cewek kayak aku bisa bikin Gasan-- bapak-bapak idealis itu-- sampai begini? “Kakak seorang Wedding Organizer, ya?” tanya Gavin sopan. “Hmm, lebih tepatnya spesialis klien ribet dan calon pengantin nggak tahu diri,” jawabku sambil ngelirik Gasan tajam. Dia cuma ketawa pelan. “Tapi, tetep sabar waktu ngadepin gue. Itu spesial, lho.” Aku ambil menu, berharap bisa lempar ke mukanya. Tapi, sialnya, aku juga senyum sedikit. Entah kenapa, duduk bareng dia gini, rasanya nggak seburuk yang kubayangkan. Bahkan, cukup hangat. Walaupun, iya, masih pengin kubanting juga kalau dia makin songong. Aku baru setengah teguk kopi saat Fadli tiba-tiba nyeletuk, “Lo tau nggak, Ren, eh, boleh gue panggil Ren?" Aku mengangguk. "Silakan." Fadli lalu mengacungkan ibu jarinya, kemudian lanjut berbicara, "Si Gasan ini biasanya susah banget dideketin cewek, apalagi dia yang ngejar duluan. Bukankah ini adalah sebuah kejadian langka dan fenomenal?" Aku mendongak pelan. “Gue bukan cewek biasa. Gue spesies langka. Kalau dikejar, gue ngebut.” Gasan langsung ngakak. “Makanya gue belajar jadi pembalap sekarang.” “Gagal,” timpalku cepat. “Lo nyeruduk pake gigi doang.” Lingga menyahut sambil nyeruput kopi, “Kalian tuh ya, kayak karakter utama di drama Korea, tapi versi lokal, sarkas, dan tanpa soundtrack sedih.” “Gue bisa bikin soundtrack sendiri kalau perlu,” sahut Gasan. Lalu, dia mendekat sedikit ke arahku, matanya nyilang nyari cari perhatian. “Irene, sejak pertama ketemu lo, hidup gue berubah. Gue jadi lebih sering nyari Wi-Fi, stalking akun WO, dan nonton video prewed biar paham dunia lo.” Aku menatapnya datar. “Lo tau kan, itu nggak romantis, itu creepy.” “Romantis buat gue, creepy buat lo. Kita kompromi aja. Namanya juga hubungan.” Aku nggak tahan. Aku ketawa juga akhirnya. “Lo tuh, yah. Kenapa nggak kerja aja jadi pelawak, sih?" “Udah, tapi kurang lucu. Akhirnya gue balik ke passion, mengejar cinta yang tak mungkin.” Dia menatapku lama. Serius, kali ini. “Tapi, siapa tahu jadi mungkin, kalau gue terus usaha.” Ada hening sebentar. Yang anehnya, bikin dadaku sedikit hangat. Gavin tiba-tiba nyeletuk, “Lo beneran suka dia, Gas?” “Beneran,” jawab Gasan tanpa ragu. Sontak semua mata tertuju ke padaku. Aku mendesah panjang. “Sial! Gue salah pilih tempat, harusnya mampir ke minimarket aja tadi.” Semua orang tertawa, tapi aku hanya senyum, tipis. Aku nggak berdiri. Aku tetap duduk dan entah kenapa, kopi ini rasanya jadi lebih enak. Udara Jakarta sore ini pun mendadak nggak terlalu pengap. Gasan masih senyum-senyum kayak orang bego. “Mau ketemu lagi minggu depan?” Aku menaikkan alis. “Ngapain?” “Ngopi. Atau, bisa juga sambil nonton vendor dekorasi. Gue siap bantuin, asal bisa bareng lo.” “Dan gue siapin invoice-nya, kalau lo beneran ikut kerja,” balasku. “Deal.” Dia mengulurkan tangan. Aku hanya menatap tangan itu sejenak. Nggak kuambil. Tapi, aku juga nggak bilang "nggak". Kadang, semesta emang terlalu iseng. Tapi, entah kenapa, kali ini aku nggak keberatan dia iseng lagi.Hari itu sudah terasa berat sejak pagi.Mulai dari laptop yang tiba-tiba error saat presentasi, klien yang terus mengganti konsep padahal sudah H-7 acara, sampai rekan kerja yang mendadak cuti padahal hari itu seharusnya jadi hari survei lokasi. Aku bolak-balik mengatur ulang jadwal, telponan sambil makan siang seadanya—sepotong roti dan kopi dingin yang rasanya sudah seperti air cucian gelas.“Nggak bisa hari ini, Mbak. Vendor lighting-nya bilang mereka full sampai Kamis!” teriak Dita dari meja belakang.Aku menghela napas sambil berdiri, “Ya udah, hubungin Mas Haryo. Dia pernah bantu kita waktu acara di PIK. Minta dia pasang backup plan!”Dita mengangguk cepat, lalu kembali mengetik sambil nyemil keripik.“Mbak Ren, klien yang akadnya minggu depan minta tambahan photobooth lagi. Bisa dimasukin ke budget nggak?” tanya Cindy, buru-buru menghampiri dengan iPad di tangan.Aku menjawab sambil berjalan ke printer, “Masukin dulu aja, bilangin mereka itu add-on. Kita kirim revisi invoice ma
Lima tahun kemudian.Pagi itu terasa berbeda, tapi juga akrab. Rumah kami tak lagi dipenuhi suara tangis bayi atau drama begadang tengah malam. Aluna dan Aksa—yang sekarang sudah lima tahun—sedang bersiap ke sekolah PAUD, dibantu oleh dua nenek yang, meskipun sering cekcok kecil soal siapa yang lebih jago dandanin cucu, selalu kompak saat berangkat bareng.Gasan sudah rapi dengan setelan kerjanya, sambil memeluk anak-anak sebelum mereka pergi. “Good luck main dan belajar, ya! Jangan berantem rebutan pensil lagi!”Aksa mengangguk polos, sementara Aluna malah balas, “Tapi, kalo pensilnya warna ungu, boleh rebutan dikit, kan?”Aku hanya bisa geleng-geleng kepala sambil mengecup pipi mereka sebelum berangkat. Lalu kulirik jam di dinding—waktunya bersiap handle meeting klien.Ya, hidup kami sudah mulai kembali ke “normal” versi kami. Aku kembali aktif di dunia wedding organizer, sesekali mengisi seminar kecil, dan tetap jadi ibu rumah tangga penuh kejutan. Gasan kembali jadi CEO startup-ny
Hari itu, aku lagi Zoom meeting dengan klien. Gasan ada di sebelahku, menggendong Aksa yang sudah berusia 2 bulan, sementara Aluna tidur tenang di bouncer. Pakaian formal di atas, celana training di bawah—kehidupanku sekarang memang selalu multitasking.“Jadi, Mbak Irene, untuk dekorasinya, kami ingin nuansa bohemian garden, tapi--”Preeeetttt!Aku kaget, momen meeting jadi hening sejenak. Klien bahkan berhenti ngomong.Aku langsung matiin mic, melirik Gasan dengan ekspresi setengah panik. “Itu siapa, Gas?”Gasan buru-buru angkat Aksa yang udah mulai rewel. “Bukan aku! Aku, sumpah, nggak!” Tapi dengan wajah serius, dia tambah melanjutkan, “Cuman, mungkin... mungkin Aksa? Dia kan mulai coba ngomong…”Aku cuma bisa ketawa kecil dan minta maaf ke klien. “Maaf, Bapak/Ibu, ini ada backing sound dari anak saya.”Dan, dari dapur, suara Pras yang udah nyaman dengan situasi teriak, “Jangan-jangan sound-nya surround, ya? Itu bisa buat iklan popok, tuh!”Klienku di layar Zoom tertawa kecil, sepe
Hari ketiga, aku pulang, ditemani oleh dua keluarga yang heboh menyambut kedatangan cucu-cucu mereka.Tapi, rasanya bukan aku yang baru melahirkan—melainkan semua orang di dalam rumah sakit itu ikut overwhelmed. Mama Gasan menangis sambil cium pipi bayiku berkali-kali, sementara Mama dan Papa sibuk bertanya soal pantangan makanan dan cara memandikan bayi yang benar menurut buku dan menurut warisan nenek moyang.Aku duduk di mobil bersama Pras, yang anehnya cukup tenang sambil memandangi dua keponakannya yang tertidur dalam dekapan para nenek. Tapi keningku mengernyit saat sadar kalau arah mobil yang dikendarai Gasan, bukan ke apartemenku.Aku menoleh ke samping. “Gas, ini kita mau mampir ke mana?”Dia hanya tersenyum kecil, mengelus rambutku, lalu mengecup keningku lembut. “Istirahat saja, Ren. Nanti, kalau udah sampai, aku bangunin.”Aku masih ingin tanya, tapi tubuhku terlalu lelah. Jadi aku nurut. Aku pejamkan mata, membiarkan detak pelan Gasan di sampingku jadi pengantar tidur.*
Semua tertawa. Bahkan Mama sampai lap kaca mata karena kena confetti.Gasan menoleh ke aku, mengusap air mataku lembut.“Makasih ya, udah jagain mereka sampai sekarang. Dan makasih karena udah jadi ibu dari anak-anak kita.”Aku mengangguk, menggenggam tangannya.“Gas, kamu yakin siap jadi ayah?”Dia menghela napas, lalu senyum.“Kalau ngidam aja aku kuat, berarti ganti popok pun bisa!” Gasan memelukku dan menjadikanku menjadi satu-satunya wanita yang beruntung memiliki suami yang royal perhatiannya padaku.***Memasuki bulan kedelapan, perutku sudah benar-benar buncit. Aku udah gak bisa handle klien, jadi kuserahkan semua ke Nia dan tim. Beruntung aku memiliki mereka yang bisa diandalkan. Pras, juga beberapa kali datang untuk membantu juga merusuh. Heran aku, kok bisa dia seenergic itu tanpa lelah.Ok, lupakan Nia, tim, dan Pras. Kini, aku tengah merasakan jalan dari kamar ke dapur saja rasanya kayak ekspedisi, capek, dn berat. Baru duduk lima menit, punggung pegal. Berdiri lima men
Aku melempar bantal ke arahnya. “Bukan buat dihirup! Maksudku... ya ampun, kenapa baunya enak banget, sih?! Aku lewat SPBU aja rasanya kayak... kayak liat pemandangan pantai.”Gasan menatapku seperti baru tahu istrinya punya bakat jadi tokoh utama film misteri.“Ren, itu aneh.”“Aku tahu! Makanya aku nggak ngomong dari kemarin! Tapi, rasa pengennya makin kuat. Aku nggak minta kamu nyedotin selang bensin, tenang aja. Aku cuma pengen ngelewatin pom bensin lebih sering aja. Mungkin dua-tiga kali sehari, atau sepuluh.”Gasan berdiri. Mengangguk dramatis. “Baik. Kalau ini cara kamu bahagia, kita akan keliling Jakarta. Setiap SPBU akan kita lewati. Kita bikin tur ‘Aromaterapi Kilang Minyak’. Bahkan, kalau perlu aku bikinin playlist, Smells Like Bensin Spirit.”Aku ketawa sambil ketuk jidat. “Ya Allah, suami aku bener-bener serius.”Tapi, malam itu dia beneran ajak aku naik mobil keliling komplek, sambil muter-muter lewat SPBU. Tiap kali aku ngendus pelan sambil senyum malu-malu, dia cuma ne