Share

Bab 4

Author: Lavinka
last update Last Updated: 2025-06-11 17:04:18

Dua hari kemudian, aku sudah kembali ke Jakarta. Kembali ke rutinitas. Pagi diisi dengan membalas email klien, siang sibuk dengan meeting online, malam? Nah, itu waktunya aku bersih-bersih rumah plus jadi bendahara dadakan buat bocah satu ini.

"Mbak! Pulsa gue abis. Sekalian dong, ShopeePay-nya top up juga. Ada diskon makanan, lumayan banget. Lo mau juga kan, makan hemat?"

Aku menoleh tajam ke arah sumber suara. "Pras, lo tuh kuliah apa seminar nyari promo, sih?"

Prasetyo—si adik laki-lakiku, mahasiswa semester enam jurusan komunikasi yang lebih sering jadi ahli strategi pengiritan, daripada ngerjain tugas—nyengir santai sambil duduk di sofa, kaus bolongnya makin memperjelas niat hidup santainya.

Aku 3 bersaudara, adikku satunya lagi bernama Anggun, dia kerja di BUMN, bagian keuangan. Setidaknya, dia yang menemani ibu Ramisha dan Pak Handoyo di rumah. Pras sebenarnya juga tinggal di rumah, tetapi karena bocah itu kurang ajar, jadi dia sering nginap di apartemenku.

"Kan hidup udah susah, Mbak. Kalau bisa diskon, kenapa enggak? Sharing is caring, you know?"

Aku nyaris melempar bantal ke mukanya. "Gue kerja mati-matian, lo enak-enakan jadi komentator diskon!"

Dia hanya ketawa-ketiwi sambil rebahan. Kadang gue mikir, ini anak dikirim Tuhan buat nguji kesabaran gue kayaknya.

Setelah berhasil mengusir bocah itu keluar apartemen--dengan ancaman potong jatah N*****x--, aku akhirnya bisa menghela napas lega. Namun, aku butuh keluar. Butuh kopi dan butuh ketenangan.

Jadi, di sinilah aku berada sekarang, kafe mungil di ujung Blok M. Aku masuk dengan celana jeans belel, kaos putih longgar yang udah agak kusut, rambut diikat seadanya. Tanpa makeup, tanpa alis, hanya lip balm aja yang kupake.

Tapi, aku baru mau duduk ketika satu suara familiar bikin jantungku berhenti sepersekian detik.

“Woi, Mbak Galak!”

Suara itu—dalam, agak berat, dan sayangnya terlalu kuhapal— membelah udara kafe yang tenang. Aku menoleh pelan, penuh harap bahwa mungkin aku salah dengar. Tapi, tidak. Di pojok ruangan, duduk empat pria, dan salah satunya melambaikan tangan padaku sambil senyum kayak orang baru menang lotre.

Gasan Ishaaq. Sial!

Aku langsung nutupin wajah pakai tote bag, berharap bumi menelanku. “Kenapa semesta hobi banget nyuruh gue ketemu dia terus, sih?” gerutuku.

Tapi, Gasan nggak berhenti di situ. “Ke sini, dong! Gabung!”

Kepalaku udah mendidih. Tapi, aku masih punya sisa sopan santun, jadi aku melangkah juga ke arah meja mereka. Dengan perasaan kayak mau sidang skripsi, tapi dosen pembimbingnya mantan pacar.

“Kenalin, ini Irene,” kata Gasan pada tiga temannya yang semuanya baru pertama kali aku lihat. "Dia pemilik wedding Organizer. Dan, eh, calon istri gue juga, kalau dia berubah pikiran.”

Refleks, tanganku mendarat di lengannya. “Lo cari penyakit, ya?”

“Lah, gue cuma jujur, kok,” sahutnya sambil meringis, tapi matanya jelas-jelas menikmati setiap detik kekacauan ini.

Salah satu temannya—yang rambutnya paling rapi—nyenggol lengan Gasan. “Bro, serius? Lo ngincer dia?”

“Nggak ngincer lagi, udah gue tag,” kata Gasan bangga.

“Tag kepala lo!” potongku cepat, dan aku tidak tahu letak lucunya di mana. Mereka berempat tertawa.

Huh! Dikira aku ini lagi stand up comedy kali, yah? makanya mereka ketawa. Tapi, serius, aku males banget ngadepin cowok modelan kayak Gasan. Capek.

Akhirnya, karena udah kadung dilihatin semua orang dan nggak mungkin juga kabur lagi, aku duduk. “Cuma lima belas menit. Gue duduk karena butuh kopi, bukan karena butuh drama.”

“Tenang, kami cuma pengin kenalan,” kata yang satu berkacamata. “Gue Gavin. Yang ini Lingga, dan yang barusan nyeletuk tadi Fadli.”

Mereka semua cukup sopan. Tapi, jelas matanya penasaran setengah mati. Mungkin mikir, kok ada, ya, cewek kayak aku bisa bikin Gasan-- bapak-bapak idealis itu-- sampai begini?

“Kakak seorang Wedding Organizer, ya?” tanya Gavin sopan.

“Hmm, lebih tepatnya spesialis klien ribet dan calon pengantin nggak tahu diri,” jawabku sambil ngelirik Gasan tajam.

Dia cuma ketawa pelan. “Tapi, tetep sabar waktu ngadepin gue. Itu spesial, lho.”

Aku ambil menu, berharap bisa lempar ke mukanya. Tapi, sialnya, aku juga senyum sedikit.

Entah kenapa, duduk bareng dia gini, rasanya nggak seburuk yang kubayangkan. Bahkan, cukup hangat. Walaupun, iya, masih pengin kubanting juga kalau dia makin songong.

Aku baru setengah teguk kopi saat Fadli tiba-tiba nyeletuk, “Lo tau nggak, Ren, eh, boleh gue panggil Ren?"

Aku mengangguk. "Silakan."

Fadli lalu mengacungkan ibu jarinya, kemudian lanjut berbicara, "Si Gasan ini biasanya susah banget dideketin cewek, apalagi dia yang ngejar duluan. Bukankah ini adalah sebuah kejadian langka dan fenomenal?"

Aku mendongak pelan. “Gue bukan cewek biasa. Gue spesies langka. Kalau dikejar, gue ngebut.”

Gasan langsung ngakak. “Makanya gue belajar jadi pembalap sekarang.”

“Gagal,” timpalku cepat. “Lo nyeruduk pake gigi doang.”

Lingga menyahut sambil nyeruput kopi, “Kalian tuh ya, kayak karakter utama di drama Korea, tapi versi lokal, sarkas, dan tanpa soundtrack sedih.”

“Gue bisa bikin soundtrack sendiri kalau perlu,” sahut Gasan. Lalu, dia mendekat sedikit ke arahku, matanya nyilang nyari cari perhatian. “Irene, sejak pertama ketemu lo, hidup gue berubah. Gue jadi lebih sering nyari Wi-Fi, stalking akun WO, dan nonton video prewed biar paham dunia lo.”

Aku menatapnya datar. “Lo tau kan, itu nggak romantis, itu creepy.”

“Romantis buat gue, creepy buat lo. Kita kompromi aja. Namanya juga hubungan.”

Aku nggak tahan. Aku ketawa juga akhirnya. “Lo tuh, yah. Kenapa nggak kerja aja jadi pelawak, sih?"

“Udah, tapi kurang lucu. Akhirnya gue balik ke passion, mengejar cinta yang tak mungkin.” Dia menatapku lama. Serius, kali ini. “Tapi, siapa tahu jadi mungkin, kalau gue terus usaha.”

Ada hening sebentar. Yang anehnya, bikin dadaku sedikit hangat.

Gavin tiba-tiba nyeletuk, “Lo beneran suka dia, Gas?”

“Beneran,” jawab Gasan tanpa ragu.

Sontak semua mata tertuju ke padaku.

Aku mendesah panjang. “Sial! Gue salah pilih tempat, harusnya mampir ke minimarket aja tadi.”

Semua orang tertawa, tapi aku hanya senyum, tipis. Aku nggak berdiri. Aku tetap duduk dan entah kenapa, kopi ini rasanya jadi lebih enak. Udara Jakarta sore ini pun mendadak nggak terlalu pengap.

Gasan masih senyum-senyum kayak orang bego. “Mau ketemu lagi minggu depan?”

Aku menaikkan alis. “Ngapain?”

“Ngopi. Atau, bisa juga sambil nonton vendor dekorasi. Gue siap bantuin, asal bisa bareng lo.”

“Dan gue siapin invoice-nya, kalau lo beneran ikut kerja,” balasku.

“Deal.” Dia mengulurkan tangan.

Aku hanya menatap tangan itu sejenak. Nggak kuambil. Tapi, aku juga nggak bilang "nggak".

Kadang, semesta emang terlalu iseng. Tapi, entah kenapa, kali ini aku nggak keberatan dia iseng lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 5

    Aku pulang dari kafe dengan langkah yang nggak bisa kutentukan, antara ringan karena bisa ngobrol tanpa drama, atau berat karena aku masih senyum-senyum sendiri kayak orang gila. Sialan, Gasan! Kenapa dia bisa muncul lagi? Dan kenapa... kenapa dia bisa bikin jantungku jungkir balik kayak ini?Begitu sampai di parkiran apartemen, aku turun dari mobil sambil mendesah panjang. Angin malam Jakarta menyambutku, lengkap dengan klakson dan suara motor lewat kayak backsound sinetron.Naik lift, masuk lorong, dan begitu pintu apartemen terbuka, aroma mie instan menyambutku lebih dulu daripada suara manusia. Oke, berarti Pras di rumah. Dan kayaknya baru aja makan. Lagi.Aku lepas sepatu di depan pintu, naruh tas di meja, dan menjatuhkan tubuh ke sofa ruang tengah.Dari arah dapur, muncullah makhluk yang kusebut adik kandung. Dengan kaos oblong gambar dinosaurus dan sendok di tangan.“Oh, Kak Irene pulang!” serunya sok antusias. “Gue kira bakal nginep lagi kayak kemarin. Ternyata, jodoh nggak j

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 4

    Dua hari kemudian, aku sudah kembali ke Jakarta. Kembali ke rutinitas. Pagi diisi dengan membalas email klien, siang sibuk dengan meeting online, malam? Nah, itu waktunya aku bersih-bersih rumah plus jadi bendahara dadakan buat bocah satu ini."Mbak! Pulsa gue abis. Sekalian dong, ShopeePay-nya top up juga. Ada diskon makanan, lumayan banget. Lo mau juga kan, makan hemat?"Aku menoleh tajam ke arah sumber suara. "Pras, lo tuh kuliah apa seminar nyari promo, sih?"Prasetyo—si adik laki-lakiku, mahasiswa semester enam jurusan komunikasi yang lebih sering jadi ahli strategi pengiritan, daripada ngerjain tugas—nyengir santai sambil duduk di sofa, kaus bolongnya makin memperjelas niat hidup santainya.Aku 3 bersaudara, adikku satunya lagi bernama Anggun, dia kerja di BUMN, bagian keuangan. Setidaknya, dia yang menemani ibu Ramisha dan Pak Handoyo di rumah. Pras sebenarnya juga tinggal di rumah, tetapi karena bocah itu kurang ajar, jadi dia sering nginap di apartemenku."Kan hidup udah susa

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 3

    “Gue mau,” kataku cepat.“Apa lo bilang?” Gasan mengerjap, matanya melebar, lalu tangannya otomatis menggaruk kuping, seolah butuh konfirmasi ulang atas apa yang baru saja ia dengar.Aku tersenyum—manis sekali. Tanganku dengan lembut meraih tengkuknya, membelai rambutnya yang tersisir rapi seperti kebiasaan pria-perfeksionis-yang-nggak-tau-diri. Gerakanku pelan, seolah menyusun jebakan yang nyaris romantis.“Iya,” kataku pelan, tapi jelas. “Gue mau nikah sama lo.”Gasan terdiam, tubuhnya nyaris tak bergerak. Matanya memindai wajahku, mencari-cari tanda bahwa ini hanya lelucon sarkastis khas Irene Handoyo. Tapi, aku tak memberinya waktu lebih lama.Plak! Tamparan keras mendarat di pipinya.Seketika, senyumku lenyap. Aku berdiri, menggenggam clutch satin hitam dengan penuh gaya, dan melangkah menjauh darinya. “Sayangnya,” kataku tajam, “gue lebih cinta diri gue sendiri daripada harus nikah sama lelaki sinting kayak lo!"Gasan masih terpaku, satu tangannya menyentuh pipi yang kini memera

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 2

    Telah berlalu beberapa minggu sejak pertemuanku dengan pria menyebalkan itu. Kini, aku sudah berada di Bandung, di sebuah hotel ternama, untuk menangani acara pernikahan--Bimo dan Kiki-- dengan tema "Garden Party". Biasanya, aku akan sangat antusias dengan tema seperti ini. Bunga-bunga segar, lampu-lampu gantung kecil yang menyala redup saat malam tiba, dan dekorasi alami yang menyatu dengan alam—itu seperti panggung sempurna bagiku untuk berkarya.Sayangnya, cuaca Bandung yang tak bisa diajak kompromi memaksa kami memindahkan seluruh konsep ke area indoor. Tentu saja, ini bukan hal yang mudah karena pengerjaan waktu itu sudah hampir 60% disesuaikan untuk taman terbuka.“Kadang, yang kita rencanakan dengan sempurna bisa diacak-acak oleh hujan,” gumamku saat itu sambil menatap langit mendung dari balik jendela ballroom.Beruntung, klien kali ini adalah anak Bupati. Semua biaya ditanggung penuh oleh keluarga mereka. Jadi, penyesuaian ini meskipun rumit, tidak terlalu membebani. Lagipul

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 1

    “Siapa tahu Mbak Irene mau ditikung sebelum ijab kabul.”***Aku berdiri di tengah-tengah ballroom yang luas, dikelilingi bunga-bunga segar yang dipilih dengan cermat untuk menghiasi setiap sudut. Warna-warna cerah mewarnai meja-meja bundar, sementara langit-langit dihiasi kerlap-kerlip lampu gantung kecil yang memberikan kesan romantis dan memikat."Mbak Irene, bunga ini taruh di mana?" tanya salah satu pegawai.“Oh, bunga itu taruh di meja penerima tamu. Dan… tolong, pastikan nggak menutupi daftar tamu ya,” jawabku sambil menunjuk tempatnya.“Siap, Mbak Irene!”Aku Irene Handoyo, putri dari Pak Handoyo dan Bu Ramisha. Aku seorang wedding organizer sekaligus pemilik "Ever After Events", bisnis yang kutumbuhkan dari kecintaanku pada estetika dan perasaan bahagia di momen-momen besar kehidupan orang lain. Setiap bunga, setiap simpul pita, hingga pencahayaan—aku pilih dan atur dengan penuh perhatian.Bagiku, dekorasi bukan sekadar mempercantik ruangan. Mawar bukan cuma mawar—dia melamba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status