Aku pulang dari kafe dengan langkah yang nggak bisa kutentukan, antara ringan karena bisa ngobrol tanpa drama, atau berat karena aku masih senyum-senyum sendiri kayak orang gila.
Sialan, Gasan! Kenapa dia bisa muncul lagi? Dan kenapa... kenapa dia bisa bikin jantungku jungkir balik kayak ini? Begitu sampai di parkiran apartemen, aku turun dari mobil sambil mendesah panjang. Angin malam Jakarta menyambutku, lengkap dengan klakson dan suara motor lewat kayak backsound sinetron. Naik lift, masuk lorong, dan begitu pintu apartemen terbuka, aroma mie instan menyambutku lebih dulu daripada suara manusia. Oke, berarti Pras di rumah. Dan kayaknya baru aja makan. Lagi. Aku lepas sepatu di depan pintu, naruh tas di meja, dan menjatuhkan tubuh ke sofa ruang tengah. Dari arah dapur, muncullah makhluk yang kusebut adik kandung. Dengan kaos oblong gambar dinosaurus dan sendok di tangan. “Oh, Kak Irene pulang!” serunya sok antusias. “Gue kira bakal nginep lagi kayak kemarin. Ternyata, jodoh nggak jadi dijemput, ya?” Aku menoleh dengan pelan. “Lo ngomong apa, Pras?” Dia nyengir. “Feeling gue aja. Soalnya lo pulang malem, rambut dikuncir asal, dan pake baju rumahan. Tapi, wajah lo kayak abis nonton drama Korea episode paling nyesek. Campur bahagia, gitu.” Aku memutar bola mata. “Jangan sok jadi cenayang! Gue cuma ngopi sore doang.” “Ngopi sampe jam sembilan malem?” “Ngobrol juga.” Pras mengangguk-angguk sambil duduk di sandaran sofa. “Ngobrol sama siapa nih, ya? Temen lama? Temen baru? Atau, cowok yang pernah lo tampar di acara nikahan?” Aku langsung menatap tajam. “Lo ngintilin gue?” “Enggak lah. Tapi, gue follow I*-nya Gavin. Dia ngepost story bareng cowok yang lo gampar itu di kafe. Lo ada di background. Duduk bareng. Nyengir.” Sial. “Prasetyo!” “APA MBAK, GUE BAKAT STALKING!” Aku melempar bantal ke mukanya. Kena. Dia ngakak keras, melorot dari sofa. “Sumpah, Mbak! Mukanya tuh lucu banget! Lo biasanya kayak kepala suku—dingin, ketus, anti laki. Tapi, tadi kayak... ya ampun, kayak mbak-mbak baru lulus kuliah abis dikasih cokelat sama gebetan.” “Awas lo kalo nyebar gosip ini ke siapa-siapa!” “Tenang aja. Gue orangnya bisa dipercaya.” Dia mengangkat tiga jari, kayak bersumpah. “Asal dibayar.” “Pras!” Dia kabur ke kamarnya. “Santai, Mbak! Gue sayang kok sama lo. Tapi, jaga-jaga aja, siapa tahu nanti dapet undangan pernikahan, kan gue harus siap-siap outfit!” Aku menghela napas keras, lalu tenggelam dalam sofa, memeluk bantal. Mataku memejam, tapi pikiranku tetap sibuk sama satu nama, Gasan. "Tapi, tunggu dulu! Gavin? Terus, kok si kutukupret itu follow i*-nya dia. Lah, emang dia siapa?" Tak mau mati penasaran, aku segera scrol I* milikku dan mencari nama Gavin. Njir! "Ternyata itu orang berduit!" Mulutku menganggap, tak percaya jika dunia begitu sempit hingga aku harus berurusan dengan mereka, Gasan dan kawan-kawan. Ah, sial! Aku masih duduk di sofa, memeluk bantal seakan itu bisa menenangkan otakku yang rasanya kayak habis ikut maraton pikiran. Pras sudah lenyap ke kamarnya, mungkin sambil ngetik-ngetik tweet random atau ngedit meme. Sementara aku, masih mencoba mencerna. Aku narik napas panjang. Lama dan berat. “Kok hidup gue gini amat, ya,” gumamku pelan. Dulu kupikir, kerja keras, bangun bisnis sendiri, bisa bebas, nggak ngerepotin orang tua, itu udah cukup bikin hidup terasa berdaya. Tapi, sekarang. Kenapa rasanya kayak jalan di tempat? Aku punya bisnis yang jalan, punya klien-klien besar, punya jaringan luas. Tapi, tetap malam-malam kayak gini… tetap ada lubang kosong yang nggak bisa kujelasin. Dan, Gasan. Astaga, kenapa dia muncul lagi? Kenapa dia kayak magnet yang narik balik pikiranku, bahkan setelah semua kejadian absurd itu? Lamaran dadakan, tamparan, kejutan di kafe, dan sekarang, kehadirannya bahkan muncul lewat adikku sendiri. "Gue beneran capek," bisikku pelan, menatap langit-langit apartemen yang polos. Lalu, seperti refleks otomatis yang sudah terlatih bertahun-tahun, aku bangkit. Kepala boleh kusut, hati boleh ruwet, tapi kerja nggak bisa nunggu. Aku membuka laptop. Folder "Project Inaya" langsung terbuka. Kemudian, satu demi satu slide presentasi kuperiksa ulang, catatan vendor, rundown acara, detail teknis lighting dan dekorasi kubenahi. Tanganku bergerak cepat, tapi pikiranku masih... ya, di antara rundown pernikahan dan senyum ngeselin seorang Gasan Ishaaq. Suara notifikasi masuk. WA dari Nia. “Mbak, aku dapet info klien baru dari rekomendasi Mbak Rani. Dia minta WO yang ‘penuh keajaiban’ katanya. Aku udah share contactnya ke email Mbak. Tapi, orangnya agak unik, jadi siap-siap ya, hehe.” Aku mendengkus, lalu mengetik balasan. “Bagus. Ajak meeting minggu ini. Gue butuh keajaiban juga, kayaknya.” Tutup laptop. Berdiri. Tarik napas. "Oke, Irene. Kalau semesta suka main takdir, lo juga bisa main balik. Tapi sekarang, lo tetap Wedding Organizer paling dicari se-Jakarta. Lo tetap Irene Handoyo. Yang bisa ngatur pernikahan mewah, meski hatinya sendiri berantakan." "Dan mungkin, dengan sibuk, gue bisa sedikit lupa. Atau minimal, nggak terlalu mikirin cowok absurd yang tiba-tiba masuk ke hidup gue kayak karakter FTV. Tapi, entah kenapa makin lama makin nyangkut di kepala." *** Pagi itu, kantor 'Ever After Events' sudah mulai sibuk sejak matahari belum naik tinggi. Nia sudah sibuk mondar-mandir bawa berkas, Feli sibuk merangkai moodboard di laptopnya, dan aku… aku duduk dengan secangkir kopi dingin yang belum sempat kuminum sejak dua jam lalu. Agenda hari ini, meeting dengan calon klien baru—Bu Nirmala—yang katanya dapat rekomendasi dari "tetangganya yang pernah jadi klien kita juga." Dan kalau kata Nia, klien satu ini levelnya, demanding, perfeksionis, dan bisa nyari kesalahan dari garis meja yang agak miring sekalipun. Great. Ini akan menyenangkan sekali, tentu saja. Pintu kantor terbuka. Seorang perempuan paruh baya masuk dengan langkah cepat. Rambutnya disasak tinggi, mengenakan blus brokat merah menyala dan tas branded yang digantung setengah pamer di bahunya. Di belakangnya, ada seorang gadis muda yang jalannya malu-malu—calon pengantin, sepertinya. "Selamat pagi, Ibu Nirmala?" sapaku dengan senyum profesional yang sudah kulatih bertahun-tahun. "Saya Irene Handoyo." "Ah iya, Mbak Irene!" Bu Nirmala menjabat tanganku dengan antusias yang agak berlebihan. "Wah, saya tuh udah denger dari Bu Citra, katanya WO-nya ini jago banget. Makanya saya buru-buru booking. Tapi ya, saya tuh orangnya detail, ya Mbak. Saya nggak bisa kalau acaranya asal-asalan." Senyumku tetap terpasang. "Tentu, Bu. Kami di sini memang terbiasa menangani klien yang tahu betul apa yang diinginkan. Bisa saya tahu, konsep yang Ibu bayangkan seperti apa?" "Oh, saya maunya klasik-modern. Tapi, jangan terlalu modern, nanti tamu saya nggak ngerti. Tapi, juga jangan terlalu klasik, nanti kayak acara jaman Majapahit. Terus, saya suka warna peach. Tapi, jangan peach yang terlalu peach, ya. Peach-nya harus yang kalem, tapi nggak pudar. Paham, kan, Mbak?" Di belakang Bu Nirmala, si calon pengantin—anaknya, mungkin—hanya menunduk lesu, sesekali menatapku dengan ekspresi "tolong selamatkan aku." Aku menahan napas. "Baik, Bu. Warna peach yang... kalem, tapi tetap hidup. Kami bisa bantu cari tone yang paling pas." "Dan bunga-bunganya ya, saya nggak mau pakai bunga palsu. Tapi, juga jangan bunga yang gampang layu. Saya pernah datang ke resepsi, bunganya layu sebelum pengantin masuk! Malu banget!" "Lalu, kalau boleh tahu, kapan tepatnya acara diselenggarakan? Untuk gedung, apa punya rekomendasi?" "3 bulan lagi, tanggal 8 bulan September, tolong dicatat itu ya, Mbak! Terus untuk gedung--" Aku mengangguk, sambil mencatat cepat di notes, walau dalam hati aku lebih ingin menulis, "Kado pernikahan terbaik buat anak Ibu adalah sabar dan doa yang panjang." Meeting berjalan selama satu jam tiga puluh dua menit. Ya, aku hitung. Karena setiap lima menit ada revisi, koreksi, dan cerita tidak penting tentang keponakan yang gagal menikah karena dekorasi tidak sesuai feng shui. Setelah mereka pergi, aku merebahkan kepala di meja. Nia mendekat sambil menahan tawa. "Nggak nyangka Ibu Nirmala se-ribet itu, ya, Mbak," katanya sambil menyerahkan botol minum. "Gue udah kayak ikut gladi resik acara tujuh hari tujuh malam," gumamku lemas. "Kalau semua klien kayak gini, gue pensiun dini aja, terus jadi tukang jual bunga kering di Bali." Nia tertawa, lalu duduk di sebelahku. "Ya, itung-itung belajar, Mbak, buat acara nikahan si artis besar kita, Mbak Inaya dan calon suaminya." Aku mengangguk lemas. Permintaan Inaya memang cukup wow dengan konsep pernikahan 7 hari 7 malam, hebatnya, tempatnya tidak hanya satu, melainkan 2, Jakarta dan Puncak. Membayangkan saja, aku sudah migran. Suara Nia kembali menyadarkanku, "Tapi, lo keren sih, Mbak. Muka lo tetap adem banget pas tadi Ibu itu bilang peach-nya harus berjiwa, tapi tidak terlalu mencolok." "Gue udah lulus S3 Senyum Palsu, Nia." Kami tertawa, dan untuk sesaat, aku lupa tentang segala kekusutan dalam hidup. Yah, kerjaan memang menyita energi, tapi paling nggak... ini dunia yang aku pilih. Dunia yang aku tahu cara mengatur kekacauannya. Berbeda dengan… dunia yang melibatkan perasaan. Dan, Gasan. Yang entah kenapa, walau nggak hadir hari ini… masih nyelip sedikit di pikiranku.Aku membuka mata perlahan, cahaya pagi yang lembut menyelinap lewat celah tirai--lupa kututup rapat semalam. Badanku terasa ringan, aneh. Padahal, begadang. Tapi, pagi ini damai, menenangkan.Kupalingkan kepala. Kosong. Sepi, sunyi, hampa. Gasan? Harusnya memang tidak ada. Rasa kecewa yang sayup mulai muncul.Aku mendengkus pelan, menatap langit-langit dengan perasaan sedikit kesal. "Irene Handoyo, sadar! Kalian itu cuma ngobrol manis semalam, bukan honeymoon!" Kata-kata itu terasa sinis, menyindir diriku sendiri.Baru kuselimutin diri, siap kembali tidur—tok tok tok!— suara ketukan pintu yang keras, diikuti suara yang jauh dari kata romantis, suara yang menggelegar dan mengganggu kedamaian pagiku."Mbak, telor abis! Lo lupa belanja, ya? Gue udah ngubek kulkas, tapi cuma ada tomat kering satu, whipped cream, sama kecap sachet!" Suara Pras terdengar cemberut, juga menuntut.Keningku berkerut. "Pras, whipped cream itu punya gue! Jangan dimakan!" teriakku, duduk dengan rambut acak-acaka
Aku baru saja menyelesaikan sesi presentasi untuk klien dan sedang duduk di sofa ruang tengah sambil memijat pelipis, ketika pintu kantor diketuk pelan.“Ada tamu, Mbak?” tanya Rini, salah satu stafku dari balik meja resepsionis.Aku belum sempat menjawab ketika pintu terbuka, lalu di sanalah dia, Gasan.Hari ini adalah satu Minggu setelah kami pulang dari acara kemarin. Dengan kemeja abu-abu lengan digulung dan tangan menenteng kantong kertas berlogo salah satu resto favoritku di Jakarta. Senyumnya kecil, tapi cukup bikin degup jantungku melonjak tak karuan.“Permisi,” katanya, matanya langsung mengarah ke aku. “Ada yang belum sempat makan siang, nggak?”Rini langsung nyengir sambil nyikut bahu Juni. “Wah, Mas Gasan bawa bekal, nih.”Aku berdiri, kikuk, tapi senang. “Lho, ngapain ke sini?”“Ngantar makanan,” jawabnya ringan, lalu menghampiri dan menyodorkan kantong itu. “Gue inget lo suka ayam bakar kremes dari tempat ini. Dan, gue juga inget lo sering lupa makan kalau udah kerja."A
Pagi datang seperti biasanya—tenang dan sejuk. Tapi bagiku, pagi ini terasa berbeda.Aku bangun lebih dulu. Gasan masih terlelap di ranjang sebelah, wajahnya tenang, napasnya teratur. Ada senyum kecil di bibirku saat melihatnya. Apalagi, kalau mengingat kejadian kemarin sore."Bagaimana bisa gue senyum-senyum sendiri begini?" gumamku pelan, menahan tawa kecil sambil menarik selimut sampai menutupi wajah.Dari arah ranjang, terdengar dengkuran halus. Syukurlah dia belum bangun. Kalau tahu aku kayak orang jatuh cinta lagi, bisa-bisa dibully seharian.Kukibaskan rasa malu yang nggak jelas arah itu. Udara pagi di vila menyapa kulitku dengan dingin lembut. Wangi tanah basah masih tertinggal dari hujan semalam. Dengan langkah ringan, aku keluar kamar secara mengendap-endap sambil mengikat rambut yang awut-awutan. Mataku melirik jam dinding di ruang tengah. Baru jam tujuh lewat sedikit. Vila masih sepi.Dari balik jendela, kulihat burung-burung kecil hinggap di dahan pohon mangga yang menjul
Gasan berdiri tiba-tiba, lalu berjalan ke arahku. Aku sempat bingung, tapi belum sempat bertanya, dia sudah jongkok di depanku dan meraih kakiku.“Eh, ngapain, lo?” tanyaku reflek, panik karena belum siap dengan gesture mendadak semesra itu.Dia tidak menjawab. Hanya meletakkan kakiku perlahan ke pangkuannya, lalu mulai memijat pergelangan kakiku yang entah kenapa terasa pegal sejak kemarin.“Gue lihat lo jalannya agak miring pas dari lift tadi. Pasti masih pegal gara-gara kelamaan berdiri di acara tadi, ya?”Aku menatapnya, terdiam.Tangannya hangat. Gerakannya pelan, seperti takut menyakitiku, tapi cukup mantap untuk membuat otot-otot kakiku rileks.“Lo ngamatin gue sedetail itu?” gumamku, sedikit mencairkan suasana.“Gue bukan detektif, tapi gue apal cara jalan lo, Ren. Bahkan, dari jauh.”Aku ingin menjawab sesuatu yang sarkas atau lucu. Tapi, tenggorokanku seolah tertelan kata-kata sendiri.Dia mendongak sebentar, menatapku. “Kalau gue bisa bantu lo ngelewatin hari tanpa pegal, t
Gasan menoleh, menunggu. Tapi, aku ragu melanjutkan. Bukan karena tak tahu harus bilang apa, justru karena terlalu banyak.“Lo nyebelin,” kataku akhirnya, pelan.Alisnya terangkat. “Maksudnya?”“Lo bikin gue mikir ribuan kali, nanya ke diri sendiri terus-menerus, ‘Apa gue segitu nggak pentingnya buat lo?’ Padahal, lo juga yang dulu bilang pengen gue ada terus.”Dia mendesah. “Ren…”“Dan sekarang, lo bilang mau bareng-bareng lagi, tapi tetap dengan gaya lo yang sok misterius, nyebelin, dan terlalu hemat kata-kata!”“Gue gak hemat kata-kata,” balasnya, mulai terdengar defensif. “Gue cuma gak tahu harus ngomong apa, kalau lo selalu pasang tameng tiap gue coba deketin!”Aku berdiri, menatapnya dengan campuran marah dan bingung. “Karena gue gak ngerti posisi gue, Gas! Lo pernah bilang kangen, tapi hilang dua minggu. Lo muncul sekarang, seperti jelangkung."Dia ikut berdiri. “Ya karena gue takut! Lo pikir gue nggak mikirin lo? Gue tiap hari nahan buat nggak balas chat lo karena gue kira, lo
Tadinya aku hampir batal ikut proyek di Lombok. Tapi, Pras dengan mulut julidnya, malah jadi penyemangat paling nggak romantis.“Kalau lo sampe gak berangkat ke Lombok gara-gara cowok, mending gue potong kartu ATM lo sekarang,” katanya dengan nada sarkas penuh dedikasi.Jadi, aku berangkat.Proyek WO kali ini memang cukup besar—klien kami adalah pasangan influencer yang ingin konsep intimate wedding di private villa dekat pantai. Timku terbagi dua. Bagian vendor dan bagian dekor, sementara aku bertugas sebagai liaison antara klien, venue, dan semuanya yang bisa bikin acara ini berjalan smooth.Aku baru tiba di villa tempat acara akan digelar ketika melihat mobil hitam berhenti di area parkir. Pintu depan terbuka dan dari dalam, keluar seseorang yang selama ini cuma muncul di kepala.Gasan Ishaaq.Dia mengenakan kemeja putih dan celana khaki, kacamata hitam bertengger di kepala. Aku refleks melangkah mundur sedikit, seolah butuh jeda napas.Gasan menoleh ke arahku, dan mata kami bertem