Share

Bab 5

Auteur: Lavinka
last update Dernière mise à jour: 2025-06-11 17:14:31

Aku pulang dari kafe dengan langkah yang nggak bisa kutentukan, antara ringan karena bisa ngobrol tanpa drama, atau berat karena aku masih senyum-senyum sendiri kayak orang gila.

Sialan, Gasan! Kenapa dia bisa muncul lagi? Dan kenapa... kenapa dia bisa bikin jantungku jungkir balik kayak ini?

Begitu sampai di parkiran apartemen, aku turun dari mobil sambil mendesah panjang. Angin malam Jakarta menyambutku, lengkap dengan klakson dan suara motor lewat kayak backsound sinetron.

Naik lift, masuk lorong, dan begitu pintu apartemen terbuka, aroma mie instan menyambutku lebih dulu daripada suara manusia. Oke, berarti Pras di rumah. Dan kayaknya baru aja makan. Lagi.

Aku lepas sepatu di depan pintu, naruh tas di meja, dan menjatuhkan tubuh ke sofa ruang tengah.

Dari arah dapur, muncullah makhluk yang kusebut adik kandung. Dengan kaos oblong gambar dinosaurus dan sendok di tangan.

“Oh, Kak Irene pulang!” serunya sok antusias. “Gue kira bakal nginep lagi kayak kemarin. Ternyata, jodoh nggak jadi dijemput, ya?”

Aku menoleh dengan pelan. “Lo ngomong apa, Pras?”

Dia nyengir. “Feeling gue aja. Soalnya lo pulang malem, rambut dikuncir asal, dan pake baju rumahan. Tapi, wajah lo kayak abis nonton drama Korea episode paling nyesek. Campur bahagia, gitu.”

Aku memutar bola mata. “Jangan sok jadi cenayang! Gue cuma ngopi sore doang.”

“Ngopi sampe jam sembilan malem?”

“Ngobrol juga.”

Pras mengangguk-angguk sambil duduk di sandaran sofa. “Ngobrol sama siapa nih, ya? Temen lama? Temen baru? Atau, cowok yang pernah lo tampar di acara nikahan?”

Aku langsung menatap tajam. “Lo ngintilin gue?”

“Enggak lah. Tapi, gue follow I*-nya Gavin. Dia ngepost story bareng cowok yang lo gampar itu di kafe. Lo ada di background. Duduk bareng. Nyengir.”

Sial.

“Prasetyo!”

“APA MBAK, GUE BAKAT STALKING!”

Aku melempar bantal ke mukanya. Kena.

Dia ngakak keras, melorot dari sofa. “Sumpah, Mbak! Mukanya tuh lucu banget! Lo biasanya kayak kepala suku—dingin, ketus, anti laki. Tapi, tadi kayak... ya ampun, kayak mbak-mbak baru lulus kuliah abis dikasih cokelat sama gebetan.”

“Awas lo kalo nyebar gosip ini ke siapa-siapa!”

“Tenang aja. Gue orangnya bisa dipercaya.” Dia mengangkat tiga jari, kayak bersumpah. “Asal dibayar.”

“Pras!”

Dia kabur ke kamarnya. “Santai, Mbak! Gue sayang kok sama lo. Tapi, jaga-jaga aja, siapa tahu nanti dapet undangan pernikahan, kan gue harus siap-siap outfit!”

Aku menghela napas keras, lalu tenggelam dalam sofa, memeluk bantal. Mataku memejam, tapi pikiranku tetap sibuk sama satu nama, Gasan.

"Tapi, tunggu dulu! Gavin? Terus, kok si kutukupret itu follow i*-nya dia. Lah, emang dia siapa?" Tak mau mati penasaran, aku segera scrol I* milikku dan mencari nama Gavin.

Njir! "Ternyata itu orang berduit!" Mulutku menganggap, tak percaya jika dunia begitu sempit hingga aku harus berurusan dengan mereka, Gasan dan kawan-kawan.

Ah, sial!

Aku masih duduk di sofa, memeluk bantal seakan itu bisa menenangkan otakku yang rasanya kayak habis ikut maraton pikiran. Pras sudah lenyap ke kamarnya, mungkin sambil ngetik-ngetik tweet random atau ngedit meme. Sementara aku, masih mencoba mencerna.

Aku narik napas panjang. Lama dan berat.

“Kok hidup gue gini amat, ya,” gumamku pelan.

Dulu kupikir, kerja keras, bangun bisnis sendiri, bisa bebas, nggak ngerepotin orang tua, itu udah cukup bikin hidup terasa berdaya. Tapi, sekarang. Kenapa rasanya kayak jalan di tempat? Aku punya bisnis yang jalan, punya klien-klien besar, punya jaringan luas. Tapi, tetap malam-malam kayak gini… tetap ada lubang kosong yang nggak bisa kujelasin.

Dan, Gasan.

Astaga, kenapa dia muncul lagi? Kenapa dia kayak magnet yang narik balik pikiranku, bahkan setelah semua kejadian absurd itu? Lamaran dadakan, tamparan, kejutan di kafe, dan sekarang, kehadirannya bahkan muncul lewat adikku sendiri.

"Gue beneran capek," bisikku pelan, menatap langit-langit apartemen yang polos.

Lalu, seperti refleks otomatis yang sudah terlatih bertahun-tahun, aku bangkit. Kepala boleh kusut, hati boleh ruwet, tapi kerja nggak bisa nunggu.

Aku membuka laptop. Folder "Project Inaya" langsung terbuka. Kemudian, satu demi satu slide presentasi kuperiksa ulang, catatan vendor, rundown acara, detail teknis lighting dan dekorasi kubenahi. Tanganku bergerak cepat, tapi pikiranku masih... ya, di antara rundown pernikahan dan senyum ngeselin seorang Gasan Ishaaq.

Suara notifikasi masuk. WA dari Nia. “Mbak, aku dapet info klien baru dari rekomendasi Mbak Rani. Dia minta WO yang ‘penuh keajaiban’ katanya. Aku udah share contactnya ke email Mbak. Tapi, orangnya agak unik, jadi siap-siap ya, hehe.”

Aku mendengkus, lalu mengetik balasan. “Bagus. Ajak meeting minggu ini. Gue butuh keajaiban juga, kayaknya.”

Tutup laptop. Berdiri. Tarik napas.

"Oke, Irene. Kalau semesta suka main takdir, lo juga bisa main balik. Tapi sekarang, lo tetap Wedding Organizer paling dicari se-Jakarta. Lo tetap Irene Handoyo. Yang bisa ngatur pernikahan mewah, meski hatinya sendiri berantakan."

"Dan mungkin, dengan sibuk, gue bisa sedikit lupa. Atau minimal, nggak terlalu mikirin cowok absurd yang tiba-tiba masuk ke hidup gue kayak karakter FTV. Tapi, entah kenapa makin lama makin nyangkut di kepala."

***

Pagi itu, kantor 'Ever After Events' sudah mulai sibuk sejak matahari belum naik tinggi. Nia sudah sibuk mondar-mandir bawa berkas, Feli sibuk merangkai moodboard di laptopnya, dan aku… aku duduk dengan secangkir kopi dingin yang belum sempat kuminum sejak dua jam lalu.

Agenda hari ini, meeting dengan calon klien baru—Bu Nirmala—yang katanya dapat rekomendasi dari "tetangganya yang pernah jadi klien kita juga." Dan kalau kata Nia, klien satu ini levelnya, demanding, perfeksionis, dan bisa nyari kesalahan dari garis meja yang agak miring sekalipun.

Great. Ini akan menyenangkan sekali, tentu saja.

Pintu kantor terbuka. Seorang perempuan paruh baya masuk dengan langkah cepat. Rambutnya disasak tinggi, mengenakan blus brokat merah menyala dan tas branded yang digantung setengah pamer di bahunya. Di belakangnya, ada seorang gadis muda yang jalannya malu-malu—calon pengantin, sepertinya.

"Selamat pagi, Ibu Nirmala?" sapaku dengan senyum profesional yang sudah kulatih bertahun-tahun. "Saya Irene Handoyo."

"Ah iya, Mbak Irene!" Bu Nirmala menjabat tanganku dengan antusias yang agak berlebihan. "Wah, saya tuh udah denger dari Bu Citra, katanya WO-nya ini jago banget. Makanya saya buru-buru booking. Tapi ya, saya tuh orangnya detail, ya Mbak. Saya nggak bisa kalau acaranya asal-asalan."

Senyumku tetap terpasang. "Tentu, Bu. Kami di sini memang terbiasa menangani klien yang tahu betul apa yang diinginkan. Bisa saya tahu, konsep yang Ibu bayangkan seperti apa?"

"Oh, saya maunya klasik-modern. Tapi, jangan terlalu modern, nanti tamu saya nggak ngerti. Tapi, juga jangan terlalu klasik, nanti kayak acara jaman Majapahit. Terus, saya suka warna peach. Tapi, jangan peach yang terlalu peach, ya. Peach-nya harus yang kalem, tapi nggak pudar. Paham, kan, Mbak?"

Di belakang Bu Nirmala, si calon pengantin—anaknya, mungkin—hanya menunduk lesu, sesekali menatapku dengan ekspresi "tolong selamatkan aku."

Aku menahan napas. "Baik, Bu. Warna peach yang... kalem, tapi tetap hidup. Kami bisa bantu cari tone yang paling pas."

"Dan bunga-bunganya ya, saya nggak mau pakai bunga palsu. Tapi, juga jangan bunga yang gampang layu. Saya pernah datang ke resepsi, bunganya layu sebelum pengantin masuk! Malu banget!"

"Lalu, kalau boleh tahu, kapan tepatnya acara diselenggarakan? Untuk gedung, apa punya rekomendasi?"

"3 bulan lagi, tanggal 8 bulan September, tolong dicatat itu ya, Mbak! Terus untuk gedung--"

Aku mengangguk, sambil mencatat cepat di notes, walau dalam hati aku lebih ingin menulis, "Kado pernikahan terbaik buat anak Ibu adalah sabar dan doa yang panjang."

Meeting berjalan selama satu jam tiga puluh dua menit. Ya, aku hitung. Karena setiap lima menit ada revisi, koreksi, dan cerita tidak penting tentang keponakan yang gagal menikah karena dekorasi tidak sesuai feng shui.

Setelah mereka pergi, aku merebahkan kepala di meja. Nia mendekat sambil menahan tawa.

"Nggak nyangka Ibu Nirmala se-ribet itu, ya, Mbak," katanya sambil menyerahkan botol minum.

"Gue udah kayak ikut gladi resik acara tujuh hari tujuh malam," gumamku lemas. "Kalau semua klien kayak gini, gue pensiun dini aja, terus jadi tukang jual bunga kering di Bali."

Nia tertawa, lalu duduk di sebelahku. "Ya, itung-itung belajar, Mbak, buat acara nikahan si artis besar kita, Mbak Inaya dan calon suaminya."

Aku mengangguk lemas. Permintaan Inaya memang cukup wow dengan konsep pernikahan 7 hari 7 malam, hebatnya, tempatnya tidak hanya satu, melainkan 2, Jakarta dan Puncak. Membayangkan saja, aku sudah migran.

Suara Nia kembali menyadarkanku, "Tapi, lo keren sih, Mbak. Muka lo tetap adem banget pas tadi Ibu itu bilang peach-nya harus berjiwa, tapi tidak terlalu mencolok."

"Gue udah lulus S3 Senyum Palsu, Nia."

Kami tertawa, dan untuk sesaat, aku lupa tentang segala kekusutan dalam hidup. Yah, kerjaan memang menyita energi, tapi paling nggak... ini dunia yang aku pilih. Dunia yang aku tahu cara mengatur kekacauannya. Berbeda dengan… dunia yang melibatkan perasaan.

Dan, Gasan. Yang entah kenapa, walau nggak hadir hari ini… masih nyelip sedikit di pikiranku.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 5

    Aku pulang dari kafe dengan langkah yang nggak bisa kutentukan, antara ringan karena bisa ngobrol tanpa drama, atau berat karena aku masih senyum-senyum sendiri kayak orang gila. Sialan, Gasan! Kenapa dia bisa muncul lagi? Dan kenapa... kenapa dia bisa bikin jantungku jungkir balik kayak ini?Begitu sampai di parkiran apartemen, aku turun dari mobil sambil mendesah panjang. Angin malam Jakarta menyambutku, lengkap dengan klakson dan suara motor lewat kayak backsound sinetron.Naik lift, masuk lorong, dan begitu pintu apartemen terbuka, aroma mie instan menyambutku lebih dulu daripada suara manusia. Oke, berarti Pras di rumah. Dan kayaknya baru aja makan. Lagi.Aku lepas sepatu di depan pintu, naruh tas di meja, dan menjatuhkan tubuh ke sofa ruang tengah.Dari arah dapur, muncullah makhluk yang kusebut adik kandung. Dengan kaos oblong gambar dinosaurus dan sendok di tangan.“Oh, Kak Irene pulang!” serunya sok antusias. “Gue kira bakal nginep lagi kayak kemarin. Ternyata, jodoh nggak j

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 4

    Dua hari kemudian, aku sudah kembali ke Jakarta. Kembali ke rutinitas. Pagi diisi dengan membalas email klien, siang sibuk dengan meeting online, malam? Nah, itu waktunya aku bersih-bersih rumah plus jadi bendahara dadakan buat bocah satu ini."Mbak! Pulsa gue abis. Sekalian dong, ShopeePay-nya top up juga. Ada diskon makanan, lumayan banget. Lo mau juga kan, makan hemat?"Aku menoleh tajam ke arah sumber suara. "Pras, lo tuh kuliah apa seminar nyari promo, sih?"Prasetyo—si adik laki-lakiku, mahasiswa semester enam jurusan komunikasi yang lebih sering jadi ahli strategi pengiritan, daripada ngerjain tugas—nyengir santai sambil duduk di sofa, kaus bolongnya makin memperjelas niat hidup santainya.Aku 3 bersaudara, adikku satunya lagi bernama Anggun, dia kerja di BUMN, bagian keuangan. Setidaknya, dia yang menemani ibu Ramisha dan Pak Handoyo di rumah. Pras sebenarnya juga tinggal di rumah, tetapi karena bocah itu kurang ajar, jadi dia sering nginap di apartemenku."Kan hidup udah susa

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 3

    “Gue mau,” kataku cepat.“Apa lo bilang?” Gasan mengerjap, matanya melebar, lalu tangannya otomatis menggaruk kuping, seolah butuh konfirmasi ulang atas apa yang baru saja ia dengar.Aku tersenyum—manis sekali. Tanganku dengan lembut meraih tengkuknya, membelai rambutnya yang tersisir rapi seperti kebiasaan pria-perfeksionis-yang-nggak-tau-diri. Gerakanku pelan, seolah menyusun jebakan yang nyaris romantis.“Iya,” kataku pelan, tapi jelas. “Gue mau nikah sama lo.”Gasan terdiam, tubuhnya nyaris tak bergerak. Matanya memindai wajahku, mencari-cari tanda bahwa ini hanya lelucon sarkastis khas Irene Handoyo. Tapi, aku tak memberinya waktu lebih lama.Plak! Tamparan keras mendarat di pipinya.Seketika, senyumku lenyap. Aku berdiri, menggenggam clutch satin hitam dengan penuh gaya, dan melangkah menjauh darinya. “Sayangnya,” kataku tajam, “gue lebih cinta diri gue sendiri daripada harus nikah sama lelaki sinting kayak lo!"Gasan masih terpaku, satu tangannya menyentuh pipi yang kini memera

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 2

    Telah berlalu beberapa minggu sejak pertemuanku dengan pria menyebalkan itu. Kini, aku sudah berada di Bandung, di sebuah hotel ternama, untuk menangani acara pernikahan--Bimo dan Kiki-- dengan tema "Garden Party". Biasanya, aku akan sangat antusias dengan tema seperti ini. Bunga-bunga segar, lampu-lampu gantung kecil yang menyala redup saat malam tiba, dan dekorasi alami yang menyatu dengan alam—itu seperti panggung sempurna bagiku untuk berkarya.Sayangnya, cuaca Bandung yang tak bisa diajak kompromi memaksa kami memindahkan seluruh konsep ke area indoor. Tentu saja, ini bukan hal yang mudah karena pengerjaan waktu itu sudah hampir 60% disesuaikan untuk taman terbuka.“Kadang, yang kita rencanakan dengan sempurna bisa diacak-acak oleh hujan,” gumamku saat itu sambil menatap langit mendung dari balik jendela ballroom.Beruntung, klien kali ini adalah anak Bupati. Semua biaya ditanggung penuh oleh keluarga mereka. Jadi, penyesuaian ini meskipun rumit, tidak terlalu membebani. Lagipul

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 1

    “Siapa tahu Mbak Irene mau ditikung sebelum ijab kabul.”***Aku berdiri di tengah-tengah ballroom yang luas, dikelilingi bunga-bunga segar yang dipilih dengan cermat untuk menghiasi setiap sudut. Warna-warna cerah mewarnai meja-meja bundar, sementara langit-langit dihiasi kerlap-kerlip lampu gantung kecil yang memberikan kesan romantis dan memikat."Mbak Irene, bunga ini taruh di mana?" tanya salah satu pegawai.“Oh, bunga itu taruh di meja penerima tamu. Dan… tolong, pastikan nggak menutupi daftar tamu ya,” jawabku sambil menunjuk tempatnya.“Siap, Mbak Irene!”Aku Irene Handoyo, putri dari Pak Handoyo dan Bu Ramisha. Aku seorang wedding organizer sekaligus pemilik "Ever After Events", bisnis yang kutumbuhkan dari kecintaanku pada estetika dan perasaan bahagia di momen-momen besar kehidupan orang lain. Setiap bunga, setiap simpul pita, hingga pencahayaan—aku pilih dan atur dengan penuh perhatian.Bagiku, dekorasi bukan sekadar mempercantik ruangan. Mawar bukan cuma mawar—dia melamba

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status