Share

Bab 3

Author: Lavinka
last update Last Updated: 2025-06-11 16:49:45

“Gue mau,” kataku cepat.

“Apa lo bilang?” Gasan mengerjap, matanya melebar, lalu tangannya otomatis menggaruk kuping, seolah butuh konfirmasi ulang atas apa yang baru saja ia dengar.

Aku tersenyum—manis sekali. Tanganku dengan lembut meraih tengkuknya, membelai rambutnya yang tersisir rapi seperti kebiasaan pria-perfeksionis-yang-nggak-tau-diri. Gerakanku pelan, seolah menyusun jebakan yang nyaris romantis.

“Iya,” kataku pelan, tapi jelas. “Gue mau nikah sama lo.”

Gasan terdiam, tubuhnya nyaris tak bergerak. Matanya memindai wajahku, mencari-cari tanda bahwa ini hanya lelucon sarkastis khas Irene Handoyo. Tapi, aku tak memberinya waktu lebih lama.

Plak! Tamparan keras mendarat di pipinya.

Seketika, senyumku lenyap. Aku berdiri, menggenggam clutch satin hitam dengan penuh gaya, dan melangkah menjauh darinya. “Sayangnya,” kataku tajam, “gue lebih cinta diri gue sendiri daripada harus nikah sama lelaki sinting kayak lo!"

Gasan masih terpaku, satu tangannya menyentuh pipi yang kini memerah. Aku tidak peduli. Aku melenggang pergi dengan kepala tegak, seolah baru saja memenangkan kontes Miss Universe, bagian menyadarkan cowok ngeselin dari delusinya.

***

Kamar hotel gelap saat aku masuk. Rumi belum balik, dan dengan sangat mudah bisa kutebak dia sedang, yah, menjalani hobinya dengan brondong baru.

“Pasti anak itu lagi ngusel-ngusel di ketek pacar magangnya,” gumamku sambil melemparkan sepatu ke sudut kamar.

Aku berjalan mondar-mandir seperti setrika rusak, masih kesal dengan kejadian barusan. “Ngelamar orang baru kenal, tuh sinting. Udah kayak beli gorengan di pinggir jalan, ‘Mbak, tahu isi satu!’ gitu kali maunya.”

Kepalaku makin panas, jadi aku memutuskan untuk melakukan hal paling logis, mandi air hangat.

Aku menyalakan kran, menaburkan kelopak mawar dan aromaterapi favoritku. Perlahan, air memenuhi bathtub dan kamar mandi dipenuhi uap wangi yang menenangkan. Ponsel kusetel di pinggir bathtub, siap menonton drama Korea sebagai pengalihan emosi.

“Oke, waktunya me time, Sayang,” bisikku pada diri sendiri, masuk ke air dengan desahan lega.

Tak butuh liburan ke luar negeri atau tas branded jutaan. Cukup air hangat dan kesunyian, itu sudah seperti surga buatku.

Setelah puas berendam dan pikiranku sedikit lebih ringan, aku keluar dan mengganti pakaian dengan piyama nyaman. Aku belum sempat merebahkan diri di kasur saat ponselku berdering di atas nakas. Nama Nia muncul di layar. Aku menghela napas panjang.

“Nia! Ini tuh udah tengah malam, ada apa lagi?”

Suara Nia terdengar panik saya menjawab, “Mbak Irene, maaf banget ganggu. Tapi, ada klien minta reschedule acara dan," jedanya, lalu lanjut dengan suara semakin lirih, "dia minta langsung bicara sama Mbak.”

“Ya Tuhan, emang nggak bisa lo handle duluan?”

“Kliennya ngotot, Mbak. Katanya urgent. Namanya Inaya, si artis itu, lho.”

Aku mengerang pelan, nyaris menyerah. “Ya udah, kirim nomornya sekarang!”

Beberapa menit kemudian, aku melakukan video call dengan klien baru itu. Inaya tampil glamor walau dari layar, dengan riasan flawless dan senyum manis khas selebriti.

“Mbak Irene, maaf banget, ya. Aku tahu ini dadakan, tapi aku bener-bener butuh diskusi malam ini. Ada hal penting soal konsep pernikahan.”

“Nggak apa-apa, Mbak Inaya. Ayo langsung aja, saya siap!"

Pembicaraan berlangsung hampir satu jam. Inaya ingin pernikahan mewah, tapi tetap terasa intim dan modern. Aku menyimak dengan saksama, memberi masukan yang konkret—pencahayaan dramatis, warna netral dengan sentuhan glamor, dan konsep terbuka yang tetap privat.

“Oke, jadi acaranya dimajukan dua minggu, ya?” tanyaku, memastikan.

“Betul dan terima kasih, Mbak Irene. Aku seneng banget bisa kerja bareng orang se-visi denganku.”

"Sama-sama, Mbak."

Panggilan ditutup. Aku merebahkan tubuh di kasur, lelah, tapi puas. Tantangan baru selalu berhasil membuat semangatku hidup kembali.

Akan tetapi, di balik kelegaan itu, pikiranku kembali melayang ke Gasan. Tatapannya, senyumnya yang ngeselin, dan lamaran konyol itu. Tamparanku dan ekspresi wajahnya saat itu.

Aku duduk, memeluk lutut. “Apa gue keterlaluan?” bisikku.

Tapi kemudian kucegat pikiranku sendiri. “Enggak, dia yang mulai! Dia yang sinting! Tapi, kenapa gue malah ngerasa bersalah?”

Kepalaku jatuh ke atas lutut. “Ini bukan rasa suka, kan? Cuma, karena tadi gue agak kelewat galak. Iya, itu aja.”

Tapi, entah kenapa wajah menyebalkan Gasan kembali muncul di kepala, “Gue gak mungkin suka sama orang gila kayak dia... kan?”

Aku menggeleng pelan, berusaha mengusir bayangan wajah Gasan yang terus menghantui. Kenapa aku malah kepikiran dia sih? Padahal harusnya aku bisa dengan mudah mengabaikannya—dia cuma cowok nyebelin yang doyan cari ribut, bukan?

Aku meraih remote TV, menyalakan saluran hiburan acak, berharap suara dan cahaya dari layar bisa menutupi kegaduhan yang terjadi di kepalaku. Namun, bahkan ketika aktor-aktor Korea tampan muncul di layar, pikiranku masih tersangkut di satu titik, lamaran mendadak itu.

"Gue mau."

Kenapa aku jawab gitu?

Tanganku mencubit pelan pipiku sendiri. "Aww, sakit! Aku mengelus pipiku sendiri. "Sepertinya, mungkin gue yang sinting di sini."

Ponselku kembali berbunyi. Kali ini dari Rumi. Video call. Aku sempat ragu untuk menjawab, tapi akhirnya kutekan juga tombol hijau di layar.

"Woy! Lagi ngapain lo, Princess Sibuk?" sapa Rumi, wajahnya muncul dengan latar belakang tembok hotel yang familiar, tapi jelas bukan kamar kami.

"Gue di kamar, baru selesai meeting sama calon klien. Lo di mana, sih?"

Rumi mengedipkan mata genit. "Lagi numpang ngadem di kamar temen."

"Brondong?" tanyaku datar.

"Enggak, kali ini seumuran. Anak arsitek. Ganteng, punya prinsip, dan nggak nanya, ‘Mbak, BCA atau Mandiri?’ setelah dinner," katanya sambil tertawa kecil.

Aku menggeleng. “Lo tuh, ya.”

"Eh, tapi bentar, bentar!" Rumi mencondongkan wajahnya ke layar. “Gue denger-denger lo ditampar cowok ganteng di pesta?”

Aku menatapnya tak percaya. “Kebalik, Rum. Gue yang nampar dia!”

"HAH?!" Rumi tertawa ngakak. "Gila, lo emang legend, Ren! Siapa tuh korban keganasan Irene Handoyo?”

Aku diam. Lalu pelan-pelan menjawab, “Gasan.”

Rumi langsung mematung. “Wait! Gasan? Siapa dia?"

"Cowok yang lo bilang ganteng," jawabku malas.

"Huh? Kok, bisa lo gampar dia, sih? Emang, dia salah apa ke elo?" Rumi memberondongku dengan sengit.

"Emang salah dia, Rum. Dia tuh datang-datang ngelamar gue, ya gue gampar, lah! Gila kali!" jawabku tak kalah sengit.

Rumi mematung lagi selama beberapa detik, lalu akhirnya berseru, “Ini tuh kayak drama Korea yang ceweknya bossy, tapi disukai chaebol misterius! Gue suka banget!”

Aku menatap Rumi dengan malas. “Please, deh, Rum! Gue tuh udah stres sama kerjaan gue, dan jangan lo tambahin lagi!”

“Enggak, Ren. Lo tuh lagi hidup di dramanya sendiri. Dan kayaknya, cowok itu," jedanya, "suka sama lo.”

Aku diam. Tak bisa langsung menjawab. Akan tetapi, di dalam hati, ada sesuatu yang bergerak pelan. Sesuatu yang belum bisa kupahami.

“Udahlah, jangan overthinking! Istirahat. Besok kita check out pagi, kan?” kata Rumi menutup panggilan.

Aku mengangguk, meskipun layar sudah gelap. Besok adalah hari baru. Tapi, satu hal yang pasti, hidupku nggak akan sama lagi setelah pertemuan gila dengan Gasan Ishaaq.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 100

    Hari itu sudah terasa berat sejak pagi.Mulai dari laptop yang tiba-tiba error saat presentasi, klien yang terus mengganti konsep padahal sudah H-7 acara, sampai rekan kerja yang mendadak cuti padahal hari itu seharusnya jadi hari survei lokasi. Aku bolak-balik mengatur ulang jadwal, telponan sambil makan siang seadanya—sepotong roti dan kopi dingin yang rasanya sudah seperti air cucian gelas.“Nggak bisa hari ini, Mbak. Vendor lighting-nya bilang mereka full sampai Kamis!” teriak Dita dari meja belakang.Aku menghela napas sambil berdiri, “Ya udah, hubungin Mas Haryo. Dia pernah bantu kita waktu acara di PIK. Minta dia pasang backup plan!”Dita mengangguk cepat, lalu kembali mengetik sambil nyemil keripik.“Mbak Ren, klien yang akadnya minggu depan minta tambahan photobooth lagi. Bisa dimasukin ke budget nggak?” tanya Cindy, buru-buru menghampiri dengan iPad di tangan.Aku menjawab sambil berjalan ke printer, “Masukin dulu aja, bilangin mereka itu add-on. Kita kirim revisi invoice ma

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 99

    Lima tahun kemudian.Pagi itu terasa berbeda, tapi juga akrab. Rumah kami tak lagi dipenuhi suara tangis bayi atau drama begadang tengah malam. Aluna dan Aksa—yang sekarang sudah lima tahun—sedang bersiap ke sekolah PAUD, dibantu oleh dua nenek yang, meskipun sering cekcok kecil soal siapa yang lebih jago dandanin cucu, selalu kompak saat berangkat bareng.Gasan sudah rapi dengan setelan kerjanya, sambil memeluk anak-anak sebelum mereka pergi. “Good luck main dan belajar, ya! Jangan berantem rebutan pensil lagi!”Aksa mengangguk polos, sementara Aluna malah balas, “Tapi, kalo pensilnya warna ungu, boleh rebutan dikit, kan?”Aku hanya bisa geleng-geleng kepala sambil mengecup pipi mereka sebelum berangkat. Lalu kulirik jam di dinding—waktunya bersiap handle meeting klien.Ya, hidup kami sudah mulai kembali ke “normal” versi kami. Aku kembali aktif di dunia wedding organizer, sesekali mengisi seminar kecil, dan tetap jadi ibu rumah tangga penuh kejutan. Gasan kembali jadi CEO startup-ny

  • Mengejar Cinta Nona WO    98

    Hari itu, aku lagi Zoom meeting dengan klien. Gasan ada di sebelahku, menggendong Aksa yang sudah berusia 2 bulan, sementara Aluna tidur tenang di bouncer. Pakaian formal di atas, celana training di bawah—kehidupanku sekarang memang selalu multitasking.“Jadi, Mbak Irene, untuk dekorasinya, kami ingin nuansa bohemian garden, tapi--”Preeeetttt!Aku kaget, momen meeting jadi hening sejenak. Klien bahkan berhenti ngomong.Aku langsung matiin mic, melirik Gasan dengan ekspresi setengah panik. “Itu siapa, Gas?”Gasan buru-buru angkat Aksa yang udah mulai rewel. “Bukan aku! Aku, sumpah, nggak!” Tapi dengan wajah serius, dia tambah melanjutkan, “Cuman, mungkin... mungkin Aksa? Dia kan mulai coba ngomong…”Aku cuma bisa ketawa kecil dan minta maaf ke klien. “Maaf, Bapak/Ibu, ini ada backing sound dari anak saya.”Dan, dari dapur, suara Pras yang udah nyaman dengan situasi teriak, “Jangan-jangan sound-nya surround, ya? Itu bisa buat iklan popok, tuh!”Klienku di layar Zoom tertawa kecil, sepe

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 97

    Hari ketiga, aku pulang, ditemani oleh dua keluarga yang heboh menyambut kedatangan cucu-cucu mereka.Tapi, rasanya bukan aku yang baru melahirkan—melainkan semua orang di dalam rumah sakit itu ikut overwhelmed. Mama Gasan menangis sambil cium pipi bayiku berkali-kali, sementara Mama dan Papa sibuk bertanya soal pantangan makanan dan cara memandikan bayi yang benar menurut buku dan menurut warisan nenek moyang.Aku duduk di mobil bersama Pras, yang anehnya cukup tenang sambil memandangi dua keponakannya yang tertidur dalam dekapan para nenek. Tapi keningku mengernyit saat sadar kalau arah mobil yang dikendarai Gasan, bukan ke apartemenku.Aku menoleh ke samping. “Gas, ini kita mau mampir ke mana?”Dia hanya tersenyum kecil, mengelus rambutku, lalu mengecup keningku lembut. “Istirahat saja, Ren. Nanti, kalau udah sampai, aku bangunin.”Aku masih ingin tanya, tapi tubuhku terlalu lelah. Jadi aku nurut. Aku pejamkan mata, membiarkan detak pelan Gasan di sampingku jadi pengantar tidur.*

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 96

    Semua tertawa. Bahkan Mama sampai lap kaca mata karena kena confetti.Gasan menoleh ke aku, mengusap air mataku lembut.“Makasih ya, udah jagain mereka sampai sekarang. Dan makasih karena udah jadi ibu dari anak-anak kita.”Aku mengangguk, menggenggam tangannya.“Gas, kamu yakin siap jadi ayah?”Dia menghela napas, lalu senyum.“Kalau ngidam aja aku kuat, berarti ganti popok pun bisa!” Gasan memelukku dan menjadikanku menjadi satu-satunya wanita yang beruntung memiliki suami yang royal perhatiannya padaku.***Memasuki bulan kedelapan, perutku sudah benar-benar buncit. Aku udah gak bisa handle klien, jadi kuserahkan semua ke Nia dan tim. Beruntung aku memiliki mereka yang bisa diandalkan. Pras, juga beberapa kali datang untuk membantu juga merusuh. Heran aku, kok bisa dia seenergic itu tanpa lelah.Ok, lupakan Nia, tim, dan Pras. Kini, aku tengah merasakan jalan dari kamar ke dapur saja rasanya kayak ekspedisi, capek, dn berat. Baru duduk lima menit, punggung pegal. Berdiri lima men

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 95

    Aku melempar bantal ke arahnya. “Bukan buat dihirup! Maksudku... ya ampun, kenapa baunya enak banget, sih?! Aku lewat SPBU aja rasanya kayak... kayak liat pemandangan pantai.”Gasan menatapku seperti baru tahu istrinya punya bakat jadi tokoh utama film misteri.“Ren, itu aneh.”“Aku tahu! Makanya aku nggak ngomong dari kemarin! Tapi, rasa pengennya makin kuat. Aku nggak minta kamu nyedotin selang bensin, tenang aja. Aku cuma pengen ngelewatin pom bensin lebih sering aja. Mungkin dua-tiga kali sehari, atau sepuluh.”Gasan berdiri. Mengangguk dramatis. “Baik. Kalau ini cara kamu bahagia, kita akan keliling Jakarta. Setiap SPBU akan kita lewati. Kita bikin tur ‘Aromaterapi Kilang Minyak’. Bahkan, kalau perlu aku bikinin playlist, Smells Like Bensin Spirit.”Aku ketawa sambil ketuk jidat. “Ya Allah, suami aku bener-bener serius.”Tapi, malam itu dia beneran ajak aku naik mobil keliling komplek, sambil muter-muter lewat SPBU. Tiap kali aku ngendus pelan sambil senyum malu-malu, dia cuma ne

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status