Share

BAB 2. Kecemburuan Berdarah

Diam, mengikuti arus. Itulah yang Rusmini lakukan selama tiga tahun terakhir ini. Keinginan menggebunya untuk mendapatkan Nias Lavi harus teredam, saat sang pujaan hati benar-benar menepati ucapannya; melupakan semuanya dan menjalani kehidupan layaknya majikan dan pelayan. Seakan tidak ada kata 'kita' yang pernah terbangun di antara mereka.

Berulang kali, Rusmini mencoba meluluhkan hati Nias Lavi dan mengembalikan sikap manis lelaki itu padanya seperti sedia kala. Namun, yang didapatkannya hanya kekosongan belaka. Nias Lavi justru semakin membentangkan jarak, dan enggan bersinggungan dengannya.

Mungkin itu karena Cali Mina. Rusmini akui, istri Nias Lavi itu adalah wanita yang sempurna, memiliki paras cantik dan berkulit putih, wangi tubuhnya menyegarkan. Berbeda dengan dirinya, kusam, dekil, berkulit jelaga dan berbau kecut matahari.

Marah, kecewa dan terluka adalah tiga rasa yang selalu menemani kesehariannya di puri kediaman Nias Lavi. Rusmini rela meninggalkan Ibu dan tugas pengabdiannya di istana Tuan Agung Nias VI, demi tetap berdekatan dengan Nias Lavi.

"Aku merindukanmu, Cali," desahnya disusul sebuah lumatan beringas pada bibir ranum lawannya, yang membuat wanita lain terbakar cemburu.

Dia, Rusmini, yang kini sedang mencengkram kuat pergelangan tangan kirinya hingga cairan merah merembes keluar melewati ujung kukunya.

Pedih dan perihnya luka di tangan tak sepadan dengan rasa sakit hati yang ia rasakan kala menyaksikan dua manusia yang saling memagut bibir di dalam perpustakaan pribadi Tuannya---Nias Lavi.

"Duh-duh! Rusmini! Apa yang kamu lakukan?"

Seketika Rusmini tersentak, ia tarik pandangannya dari bingkai kaca jendela perpustakaan. Kemudian berbalik. Ada Gandi---salah seorang abdi berkulit gelap yang menjadi sahabatnya itu, kini sedang mengangkat tangan Rusmini.

"Tidak apa. Hanya tidak sengaja. Jangan terlalu khawatir," kata Rusmini sembari tersenyum menunjukkan rentetan giginya.

Gandi menggeleng pelan lalu menilik apa yang sempat Rusmini pandang. Di sana, di sofa sudut perpustakaan, terdapat dua manusia yang sedang asik melepas rindu dengan bercumbu mesra, sampai lupa menutup gorden jendela. Sehingga pemandangan kurang pantas itu terpampang jelas dari luar. Helaan napas Gandi pun terdengar setelahnya.

"Kamu memang batu, Rus. Sudah kubilang, bunuh rasa cintamu, agar beban dan dosamu berkurang. Ingat, Rus! Kaum Bulvian tidak akan pernah bersanding dengan kaum Bangsawan. Sadar diri, kamu!" ujar Gandi dengan alis bertaut merepresentasikan keseriusannya.

Rusmini mendengkus. "Kamu ini laki-laki, tapi cerewet sekali! Pergi sana! Ngapain kamu di sini?"

"Aku ke sini juga karena kamu, perawan dungu! Tuan Nias Sagala sudah tidak sabar ingin bertemu saudaranya. Jangan buat dia marah!" sembur Gandi.

"Hah, orang itu! Ya sudah, sana! Aku mau memanggil Lavi," katanya malas-malasan.

"Mulutmu! Tuan Muda Lavi! Kau ini pelayan, jangan asal memanggil Tuan tanpa gelarnya, Rus! Kalau ada yang dengar, kamu bisa digantung hidup-hidup!" Gandi berdecak kesal.

"Aku ti-dak pe-du-li!"

Rusmini berbalik badan dan hendak melangkah pergi, namun lengannya tiba-tiba dicekal Gandi.

"Biar aku saja. Kamu obati tangan kamu. Nanti bisa infeksi terus dipotong jadi pakan anjing. Kan, kasihan kamu. Makin jadi pelayan nelangsa karena hanya punya satu tangan!" ujar Gandi setengah mencibir.

"Haish!" Rusmini mengibaskan tangannya. "Pergi saja, kamu! Tugas merusak kemesraan Tuan Muda dengan istrinya itu milikku. Hus!! Sana!" Rusmini mendorong kecil lengan Gandi, lalu berbalik pergi.

"Dasar pelayan tidak tahu diri!" cibir Gandi kesal. Sesudahnya sesungging senyuman tipis Gandi terbitkan untuk mengantar Rusmini masuk ke ruang perpustakaan.

"Kamu adalah wanita tergigih yang pernah kutemui, Rusmini. Aku berharap suatu saat nanti apa yang kamu impikan bisa terwujud. Jangan menyerah, jangan jadi pengecut sepertiku."

Gandi berbalik, ia menuruni anak tangga untuk kembali melakukan tugasnya.

"Permisi, Tuan Muda."

Rusmini menyembulkan kepalanya dari balik pintu perpustakaan. Tentunya hal itu membuat dua manusia yang saling menindih di atas sofa segera beranjak, berganti duduk dan berdiri.

"Iya, ada apa?" Suara berat itu menggetarkan dinding pertahanan Rusmini.

Hatinya menjerit pilu, ingin rasanya Rusmini berlari dan memeluk punggung gagah lelaki itu untuk menuntaskan kerinduan yang ia pendam selama lelaki itu pergi meninggalkan puri.

Satu bulan lamanya, Nias Lavi mendapat mandat dari Tuan Nias Agung VI untuk menilik sarana-prasarana di kota perbatasan.

"Lavi, sampai kapan aku harus bersabar, hanya bisa menatap punggungmu dari jauh?" batin Rusmini.

Nias Lavi masih enggan berbalik badan, sepertinya ia kesusahan membenarkan kancing kemejanya.

"Biarkan aku yang memasangkannya untukmu, Lavi. Kau bilang aku ahlinya, 'kan?" katanya dalam hati.

Rusmini tersenyum menikmati kelebat angan lalu yang membawanya mengingat kenangan yang dulu.

"Pelayan, lain kali kalau mau masuk, ketuk dulu pintunya!"

Si cantik bergaun merah dengan pernik mutiara dan emas yang menghias leher, kuping, dan sisi hidungnya itu terlihat jengkel.

"Mohon maaf, Nyonya Niasih. Saya sudah mengetuk berulang kali."

Dalam anganku, lanjut Rusmini dalam hati.

"Namun Tuan dan Nyonya tidak menyahut. Jadi saya masuk, saja."

"Halah, alasan. Sudah sering kamu lakukan hal ini di saat aku sedang berdua dengan suamiku," ketus Cali Mina.

Sejak awal, keberadaan Rusmini sudah seperti gulma yang ingin segera Cali Mina singkirkan secepatnya. Namun, entah kenapa wanita itu selalu punya segudang cara untuk lepas dari perangkapnya.

"Cali, Sudah. Jangan memperbesar masalah kecil," tegur Nias Lavi dengan suara pelan, tetapi penuh penekanan

Niasih Cali Mina tampak semakin kesal. Sedangkan Rusmini mengembangkan senyum di bibirnya secara sembunyi-sembunyi. Dia senang, karena Nias Lavi membela dirinya.

"Ada apa?"

Nias Lavi bertatap pandang dengan Rusmini. Wajah lelaki itu tampak penuh kelelahan, namun ketampanannya masih terpancar sempurna. Bahkan semakin memperosokkan hati Rusmini ke dalam jurang cinta memabukkan.

"Ada Tuan Nias Sagala dan istrinya di Whiteroom, Tuan Muda."

"Kak Sagala? Ada apa dia jauh-jauh kemari?" Nias Lavi bertanya dengan rekahan senyum bahagia.

"Mungkin dia sedang merindukanmu, sayang," sahut Cali Mina.

Ia berdiri mensejajarkan diri dengan Nias Lavi.

"Bisa jadi. Caliku, bersihkan dirimu, berdandanlah secantik mungkin agar pesonamu tidak kalah dengan Yunda Niasih Lovanti."

Cali Mina mengembangkan senyumnya, menikmati setiap usapan tangan Nias Lavi di permukaan wajahnya. Sebuah kecupan mendarat di kening Cali Mina. Lama sekali, barulah Nias Lavi menarik bibirnya.

Kedua tangan Rusmini terkepal. Dia benci melihat pemandangan di depannya. "Sial, rasanya sakit sekali. Tahan Rusmini, tahan. Kamu sudah terbiasa. Jangan menangis! Jangan!" jerit hati Rusmini.

Harusnya Rusmini sudah terbiasa dengan adegan mesra yang dipamerkan pasangan itu. Tapi, ternyata hatinya masih terlalu lemah.

"Aku berbenah diri dulu."

Pamit Cali lalu pergi meninggalkan Nias Lavi. Rusmini menunduk hormat saat Cali melewati dirinya dan menghilang di balik pintu perpustakaan.

"Masih ada yang ingin kau sampaikan?"

Rusmini terkejut, ia mengangkat dagunya, melihat pada Nias Lavi yang sedang memungut buku-bukunya di lantai.

"Tuan, biar saya yang membereskan ruangan ini."

Tanpa diperintah, Rusmini ikut memunguti buku-buku yang berserak di lantai.

"Kenapa dengan tanganmu?"

Rusmini tersenyum tipis, lantas berpura-pura terkejut dan cepat-cepat menyembunyikan tangannya. "Tidak apa-apa, hanya tergores," jawabnya.

"Itu bukan luka goresan. Jangan membohongiku. Cepat obati lukamu! Aku tidak mau kau sakit karena infeksi. Pergilah!"

"Tapi, Tuan ... saya--"

"Kau berani membantah perintah Tuanmu?"

Tatapan tajam dari mata Nias Lavi, sejak dulu tidak pernah gagal menyebabkan Rusmini bungkam dan menurut pada akhirnya. Itulah, yang Rusmini sukai dari Nias Lavi, di mana tidak ada seorang pun yang memiliki hal serupa---menurut Rusmini tentunya.

"Mohon maaf, Tuan Muda Lavi. Saya izin undur diri. Permisi."

Nias Lavi mengangguk kecil, lalu kembali fokus merapikan ruang perpustakaannya, mengabaikan raut sedih dari Rusmini.

"Tunggu!"

Rusmini berhenti. Ia berbalik kembali menghadap Nias Lavi, berharap jika lelaki itu berjalan menghampiri dirinya dan mau mengobati lukanya atau paling tidak memberikan selembar sapu tangan untuk menghapus darah di tangannya.

"Sampaikan kepada juru masak untuk menyiapkan hidangan spesial malam ini, dan bilang kepada Kak Sagala bahwa aku akan menemuinya dalam lima belas menit ke depan."

Rusmini mengangguk, menelan kekecewaannya bulat-bulat. Nyatanya Nias Lavi benar-benar telah berubah. Dia seperti orang asing bagi Rusmini.

"Baik Tuan, akan saya sampaikan."

Rusmini pergi meninggalkan ruangan yang dipenuhi rak berisi jejeran buku-buku tebal koleksi Nias Lavi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status