Share

BAB 5. Puri Api Kematian

Malam semakin terbenam dalam kelam. Indurasmi timbul tenggelam akibat bulan yang berkelana menjelajahi awan. Geraknya semakin mendekat ke horizon barat. Keadaan puri sangat begitu sunyi, sampai suara nyanyian burung hantu dari hutan belakang puri terdengar begitu jelas.

Rusmini tidak bisa terlelap seperti halnya para pelayan perempuan sekamarnya. Sejak selesai pesta perjamuan, mereka tidur dengan sangat begitu nyenyak. Sama sekali tidak terusik, meski gerombolan burung gagak sempat berkoak-koak di atas atap Puri.

Nias Sagala dan Niasih Lovanti telah berpamitan sebelum pesta perjamuan usai. Mereka membawa Niasih Liviani---putri Nias Lavi dan Cali Mina, untuk menginap di penginapan mereka guna melepas rindu, katanya.

"Kenapa mereka tidur seperti orang mati? Tak bergerak sama sekali!" cibir Rusmini lalu mendengkus kesal.

Rusmini berganti posisi, miring menghadap dinding, saat mendengar suara pintu terbuka dan cahaya lampu dari luar ruangan mengenainya. Rusmini memejamkan mata, berpura-pura tidur sampai pintu kembali ditutup.

"Apa yang akan terjadi setelah ini?" gumamnya sendiri dalam kegelisahan yang semakin mencekik kewarasannya.

Lain halnya di kamar utama puri---kamar Nias Lavi dan Niasih Cali Mina. Di ruangan bercahaya remang penuh hawa kehangatan ini, Niasih Cali Mina duduk di tepian ranjang, memperhatikan suaminya yang terlelap.

"Kamu tahu Lavi, demi menikahimu banyak hal yang harus aku tinggalkan. Kesetiaanku pada keluargaku, cintaku dan harga diriku sebagai putri dari raja Halma yang sebenarnya, Nias Lugiwa. Semua itu aku korbankan demi membalaskan dendamku pada ayahmu."

Niasih Cali Mina mencengkeram erat pinggiran ranjang untuk meluapkan amarahnya. Mata cantiknya memerah, otot wajahnya menegang dengan bibir bergetar mengikuti gemeretak gigi di dalam.

"Si brengsek itu harus merasakan kesengsaraan yang aku rasakan selama dua dekade ini! Dia harus menderita, Lavi," ujarnya dengan geraman yang menyangarkan lembut kecantikannya.

Cali Mina memukul kuat pinggiran ranjang, merepresentasikan kemarahannya terhadap pamannya, yang juga telah menjadi mertuanya sendiri. Sepersekian detik kemudian Cali Mina tertawa sumbang. Tawa yang menyeramkan di antara kesenyapan, dan melenyapkan kehangatan ruangan. Tidak lama tawa itu berubah menjadi lirih tangisan yang menyayat hati.

"Lavi."

Cali Mina beringsut mendekati Nias Lavi yang tertidur layaknya orang mati. Dia tidak bergerak sama sekali, bahkan tidak terusik dengan suara-suara yang dibuat Cali Mina.

"Kamu adalah putra kesayangan dari seorang pembunuh Handa dan Bundaku. Dalam darahmu mengalir darah yang sama dengan Nias Lagenta. Menjijikkan! Aku benci setengah mati." Cali Mina meremat kerah baju Nias Lavi.

"Tapi, Lavi." Raut murka di wajah Cali Mina berganti sendu dengan cepat. Dia merebahkan kepalanya di atas dada Nias Lavi, sembari memainkan jemarinya menjelajahi perpotongan leher sang suami.

"Kau begitu sempurna. Tampan, bijak dan selalu memperlakukanku dengan istimewa. Kau berhasil membuatku terperosok dalam jurang cintamu, Lavi. Kau berhasil memporak-porandakan hidupku. Kau tahu Lavi, seharusnya Niasih Liviani tidak pernah ada di kehidupanku. Seharusnya aku sudah membunuhmu sebelum malam itu. Tapi---"

Cali Mina semakin membenamkan wajahnya dalam bidang dada Nias Lavi. Dia menghirup dalam-dalam aroma maskulin yang menguar dari tubuh suaminya.

"Tapi aku terlalu mencintaimu, Lavi. Aku benci perasaan ini!!" lanjutnya diikuti tangis lalu memukul kecil pundak Nias Lavi.

Cali Mina menerima perjodohannya dengan Nias Lavi bukan atas dasar cinta melainkan karena dendam semata yang berhasil membuatnya buta. Namun, kebaikan dan ketulusan Nias Lavi dalam mencintainya membuat Cali Mina luluh seketika. Cali Mina tahu jika suaminya pernah menaruh hati pada Rusmini. Cali Mina kira dengan menerima perjodohan itu akan membuat Nias Lavi menderita lalu dengan mudah ia bisa membinasakannya.

Sayang, Nias Lavi bukanlah lelaki rapuh yang seperti Cali Mina pikirkan. Justru, ia adalah lelaki gigih yang berjuang untuk mencintai dan membahagiakan Cali Mina. Itulah penyebab utama Cali Mina rela memberikan semua kepunyaan untuk Nias Lavi hingga ia lupa akan tujuan pembalasan dendamnya.

"Lavi, malam ini, beri aku pelukan hangat dan ciuman terakhirmu," katanya lalu melingkarkan tangan pada tubuh Nias Lavi dan memeluknya dengan erat. Lelaki itu sama sekali tidak terusik.

Setelahnya, Cali Mina menegakkan punggung dan beringsut mengikis jaraknya dengan Nias Lavi. Cukup lama, bibir semerah darah Cali Mina menggilas tanpa belas bilah kenyal kemerahan Nias Lavi.

"Maafkan aku yang terlalu mencintaimu, Lavi. Semoga kau bahagia di nirwana nanti. Kukirim para pelayan di puri ini untuk menemanimu agar tidak kesepian menungguku. Terima kasih telah menjadikanku wanitamu. Aku mencintaimu."

Sekali lagi, Cali Mina mendaratkan kecupannya. Kali ini di kening Nias Lavi. Setelahnya dia beringsut pergi dengan separuh hati yang tertinggal bersama Nias Lavi. Sebuah buku catatan tak lupa sengaja Cali Mina letakkan di atas dada Nias Lavi, berharap ikut lenyap bersama sang suami.

***

Sedikit lagi, Rusmini berhasil meraih uluran tangan Nias Lavi dalam rangka menjemput alam mimpi. Namun, semua itu lenyap karena suara ketukan brutal dan teriakan Gandi.

"Rusmini! Kau di dalam! Rusmini!!" teriakan abdi berkulit gelap itu teredam akibat pintu yang tertutup rapat.

"Ada apa, sih? Kenapa dia selalu saja menggangguku, tidak di mimpi tidak kenyataan, sama-sama menyebalkan!"

Rusmini menyibak selimutnya. Dengan malas, ia menuju pintu dan ingin membukanya. Namun, tak pernah Rusmini sangka jika pintu itu dikunci dari luar.

"Sialan. Ternyata orang tadi mengunci pintunya," geram Rusmini.

"Rusmini? Kau di dalam? Buka pintunya!" Gandi terus menggedor pintu kamar pelayan wanita.

"Iya, sebentar!" teriak Rusmini tergopoh-gopoh mencari kunci cadangan dan membuka pintu kamar pelayan wanita.

Hawa panas disertai cahaya kemerahan menjilat-jilat dari kobaran api menyambut Rusmini saat pintu terbuka. Hampir seluruh bagian puri diselimuti api ganas yang melahap segala yang ditemui.

"Gandi! Ap-apa yang terjadi?" Rusmini tergagap saking terkejutnya.

"Kebakaran. Ada yang sengaja membakar puri! Ayo, kita harus pergi Rusmini!" Gandi dengan wajah penuh jelaga arang menarik kasar lengan Rusmini.

"Tidak. Kita harus membangunkan mereka semua," ujar Rusmini menatap gusar pada wanita-wanita di dalam ruangannya.

"Mereka tidak akan bangun, Rusmini! Aku sudah mencobanya, para pelayan laki-laki di kamarku tidak ada satupun yang bisa kubangunkan. Mereka seperti mati suri."

Rusmini terhenyak, hatinya mencelus mendengar fakta yang dikatakan sahabatnya.

"Tidak mungkin-tidak mungkin." Tolak Rusmini seraya menggeleng pelan.

Tatapnya mengiba, melihat wanita-wanita tua-muda yang terlelap damai di ranjangnya. Mereka adalah orang-orang baik yang selama ini sudah Rusmini anggap sebagai keluarganya sendiri. Rusmini tidak mungkin membiarkan orang-orang tak berdosa ini menjadi korban atas kebengisan Cali Mina.

Pandangan Rusmini beralih ke ranjang di sisi tempat tidurnya. Ada Benia, gadis cantik yang baru saja mengabdi di puri ini beberapa hari lalu itu terlihat tidur sangat lelap. Wajah polosnya dan sikap lugu gadis itu semakin meneggelamkan Rusmini dalam kekalutan terdalam.

"Rusmini! Ayo!"

Rusmini diam, dia ingin menyelamatkan teman-temannya, namun jalan pikirannya mendadak buntu. Sedangkan si jago merah semakin ganas merangkak mendekati dirinya dan Gandi.

"Rusmini, ayo!" Gandi menarik lengan Rusmini berulang kali, namun wanita itu tak bergeming sama sekali.

Mendadak Rusmini teringat seseorang yang terpenting dalam hidupnya, Nias Lavi.

"Lavi! Lavi di mana?" Rusmini bertanya kepada Gandi. Lelaki itu terdiam. "Apa dia ikut memakan hidangan perjamuan? Jawab Gandi!!" bentak Rusmini.

"Iya, dia juga memakannya. Sudah, tidak ada waktu Rusmini. Kau tidak perlu memikirkan dia. Ayo kita selamatkan diri kita!"

"Aku tidak akan pernah pergi dari sini, sebelum menemukan Lavi."

"RUSMINI JANGAN GILA!" bentak Gandi

"AKU MEMANG SUDAH GILA, GANDI! LAVI PENYEBABNYA! .. dan kau tahu itu dari dulu. Sekarang, jangan cegah aku. Kalau kau tidak mau menyelamatkan Lavi, pergi dari sini! Jangan halangi aku!" 

Rusmini kokoh pada pendiriannya. Ia lepaskan tangan Gandi, lalu berlari menerobos api dan menjejakkan kaki pada anak tangga untuk naik ke lantai dua guna menemukan Nias Lavi.

BERSAMBUNG.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status