Share

BAB 4. Aroma Pengkhianatan

Sudah menjadi tradisi di Halma. Apabila saudara yang lebih tua berkunjung ke kediaman yang lebih muda, maka perjamuan harus diadakan oleh yang lebih muda untuk menyambut kedatangan saudara tua sebagai bentuk rasa hormatnya. Konon, semakin banyak dan mewah hidangan yang disajikan, semakin tinggi pula rasa hormat yang ingin disampaikan.

Dan Nias Lavi selalu menyiapkan hidangan perjamuan yang lebih banyak dan mewah dari pada sebelumnya.

"Merepotkan! Selalu saja, setiap si brengsek itu datang, kesengsaraan pasti menimpa para abdi Lavi. Disuruh ini-itu, harus selesai jam segini, nggak boleh telat dan bla-bla-bla. Hah!"

Rusmini mendesah lelah. Ia seret sekarung sampah dengan kedua tangan sambil berjalan mundur lalu,

Bruk!

Sekarung sampah dapur, Rusmini lemparkan ke pembuangan akhir. Dan suara kegaduhan yang ia buat memicu dua sosok bayangan berlari pergi. Rusmini melihatnya, cahaya bulan purnama menampakkan bayangan sepasang manusia itu secara nyata, berlari cepat melewatinya dan lenyap dibalik bangunan puri.

"Hei! Siapa kalian?"

Rusmini tergopoh-gopoh mengejarnya sampai ke belakang puri. Namun, tidak ada siapa pun di sana. Hanya halaman kosong bermandikan cahaya bulan, yang berbatasan langsung dengan hutan buatan Nias Lavi.

"Tidak ada orang. Tapi, tadi jelas sekali ada bayangan perempuan dan laki-laki berlari. Tidak mungkin aku berhalusinasi 'kan?"

Rusmini celingukan, memastikan sekitarannya sekali lagi.

"Apa jangan-jangan ini ada hubungannya dengan pesan di house garden tadi."

Perlahan hawa dingin menyergap bersama embusan angin yang menggoyangkan pucuk-pucuk pohon jamuju, menciptakan suara-suara aneh di telinga Rusmini. Terlebih ketika matanya dijamu dengan pemandangan kelam hutan pedalam puri itu. Seketika bulu roma Rusmini meremang.

"Haish! Perasaanku jadi tidak enak. Lebih baik aku serahkan pesan itu kepada Cali, mungkin dia tahu sesuatu."

Rusmini kembali masuk ke dalam Puri, melewati pintu belakang yang terhubung dengan lorong di dekat ruang pendingin. Itu adalah pintu rahasia, yang ia gunakan untuk sampai ke kamar pelayan lebih cepat.

Rusmini melepas sandal kulitnya, dan ia letakkan di kolong meja depan ruangan pendingin.

"Heh!"

Rusmini terkejut sampai kepalanya terantuk meja.

"Ish!! Sialan kau!" umpatnya sembari mengelus pucuk ubun-ubunnya.

Lelaki yang mengagetkannya itu tertawa lebar menyaksikan Rusmini yang meringis kesakitan.

"Sedang apa kau di sini?"

Rusmini memicingkan mata, berlagak curiga. "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Sedang apa kau di sini?"

"Mencarimu," jawabnya.

"Mencariku? Untuk apa?" Rusmini balik bertanya dengan tatapan menyelidiknya.

"Tuan Muda Lavi memerintahkan seluruh pelayan memakan semua hidangan di meja perjamuan."

"Tunggu, biar kutebak. Lavi menyadari aku tidak di sana, makanya dia menyuruhmu mencariku? Iya 'kan?" sela Rusmini dengan menggebu-gebu.

"Sadar diri!" Lelaki itu---Gandi---menoyor kepala Rusmini.

"Dia tidak akan peduli denganmu. Sudah, ayo ikut aku. Kita pesta makanan besar malam ini. Hah! cacing-cacing di perutku sudah meronta-ronta!"

Gandi menarik lengan Rusmini, mengajak wanita itu pergi ke ruang perjamuan.

"Tunggu!" Rusmini menahan langkahnya, Gandi pun mengikutinya. "Kenapa Lavi mengizinkan kaum Bulvian makan makanan perjamuan?" tanya Rusmini.

"Kenapa? Seharusnya kamu bersyukur Rusmini. Jarang sekali 'kan, kita bisa makan makanan para bangsawan," jawab Gandi.

Mengizinkan kaum Bulvian ikut menyantap hidangan perjamuan para bangsawan merupakan sebuah pelanggaran peraturan adat Halma. Tetapi, Nias Lavi sering melakukannya tanpa sepengetahuan keluarga kerajaan. Dengan dalih sekadar bermurah hati, katanya.

Itulah salah satu hal yang membuat Rusmini semakin jatuh hati pada sosok Nias Lavi. Lelaki itu tidak pernah menghinakan atau memandang buruk kaum Bulvian seperti kebanyakan orang.

"Bukankah ada Sagala dan Nyonya Niasih di sini? Kenapa Lavi melakukan itu? Apa dia tidak takut ditegur Handanya?" tanya Rusmini.

Gandi menghela napas kasar. "Sudah, jangan banyak bertanya," ujar Gandi sedikit kesal dan kembali menarik lengan Rusmini.

"Tidak!"

Rusmini menyentak tangan Gandi. Dia semakin merasa ada yang aneh malam ini. Terlebih ketika mengingat pesan di house garden petang tadi.

"Beri tahu aku! Apa alasan Lavi menyuruh kita memakan hidangan perjamuan."

Gandi menghela napas panjang. Dia lelah menghadapi sikap Rusmini.

"Tuan Nias Sagala dan Nyonya Niasih Lovanti sedang berpuasa sampai esok hari, agar bisa segera dikarunia putra. Sebab itu, Tuan Muda Lavi ingin kita membantunya untuk menghabiskan hidangan perjamuan." ujar Gandi.

Rusmini memicingkan mata sembari bersedekap dada. "Berpuasa? Puasa tapi hampir melecehkan pelayan wanita di Whiteroom?" Pikir Rusmini mengingat tindakan Nias Sagala siang tadi.

Isi pesan dari house garden, dan bayangan hitam di belakang puri tadi, seketika berseliweran kembali di otak Rusmini, membuatnya semakin gelisah.

"Gandi. Aku sarankan, kamu jangan ikut makan hidangan itu."

"Apa? Kenapa Rusmini?"

Gandi menatap dengan kening berkerut. Dia tidak mengerti maksud dari Rusmini.

"Akan aku beri tahu alasannya setelah aku selesai memastikan satu hal. Tunggu aku di kamarmu," katanya lalu pergi dengan sedikit berlari. Ia tinggalkan Gandi yang kebingungan sendiri.

Sesuai yang direncakannya. Setelah mengambil surat pesan itu, Rusmini bergegas menemui Cali. Dia buru-buru menaiki anak tangga setelah mendapatkan informasi bahwa Cali tidak ada di White Grandeur---ruang perjamuan puri.

"Hei, pelayan! Mau ke mana kau?"

suara lantang dari lantai dasar itu menghentikan langkah Rusmini.

Di sana, di dekat anak tangga pertama, berdiri wanita cantik berbusana merah darah sedada dengan hiasan mutiara mengelilinginya. Dia Niasih Cali Mina.

"Nyonya." Dengan buru-buru, Rusmini menuruni anak tangga kembali untuk menemui Cali Mina.

Langkah Rusmini yang tergesa membuatnya hampir menabrak Cali Mina. Tentunya permaisuri Nias Lavi itu tidak ingin tersentuh kehinaan dari kaum Bulvian, secepat mungkin ia mundur selangkah ke belakang.

"Kenapa kamu tidak ikut makan di White Grandeur?" tanya Cali Mina dengan tatapan menyelidik.

"Maaf Nyonya, saya ingin bertemu Nyonya. Tadi, ada yang bilang, Nyonya tidak ada di ruang perjamuan jadi saya kira Nyonya ada di kamar."

"Ada apa?"

Rusmini hendak menyampaikan maksudnya. Namun jejak lumpur di belakang Cali Mina lebih dulu menyita perhatiannya.

"Maaf, Nyonya. Nyonya habis dari mana? Kenapa banyak lumpur di lantai?"

Cali Mina menoleh ke belakang, dan melihat bekas jejak sepatunya yang mengotori lantai.

"Ah, ini karena aku dari itu ... dari house garden," jawab Cali Mina diiringi tawa renyahnya.

"House garden? Kenapa malam-malam begini Nyonya ke sana sendirian?"

"Bukan urusanmu," ketus Cali Mina. "Ada apa kau mencariku?"

Rusmini tampak berpikir sebelum akhirnya ia menyerahkan pesan dari house garden itu kepada Cali Mina.

"Saya yakin Nyonya sedang mencari ini."

"Apa ini?" Cali Mina membuka sobekan kertas yang sudah lusuh itu dan mulai membacanya.

Jika tidak ingin cintamu mati, jadilah pembangkang malam ini.

"Kurang ajar!" desis Cali Mina seraya meremat pesan itu hingga tidak berbentuk. "Dari mana kau dapat pesan ini, Rusmini?!" tanyanya penuh penekanan sembari meremat kertas itu di depan wajah Rusmini.

"Dari house garden, Nyonya."

"Siapa yang memberikannya padamu?" tanya Cali Mina bersungut.

"Saya tidak tahu. Saya hanya menemukannya di bawah vas bunga mawar merah di sana. Saya kira itu ditujukan untuk Nyonya."

Perlahan otot wajah Cali Mina mulai mengendur kembali. Dia menghela napas panjang dan berdeham sebelum kembali berkata pada Rusmini.

"Iya, ini memang untukku. Lain kali, jangan lancang mengambil barang yang bukan milikmu. Aku bisa saja membuatmu dipenjara seumur hidup karena hal ini."

"Maafkan saya, Nyonya." Rusmini menunduk dalam, hanya sebagai formalitas. Pasalnya, dia tidak pernah takut dengan ancaman Cali Mina.

"Biar ini menjadi urusanku. Kau makan saja hidangan perjamuan dan ajak seluruh pelayan yang tidak mau makan!"

"Baik, Nyonya."

Cali Mina bergegas pergi meninggalkan Rusmini. Setelah punggung wanita itu lenyap, barulah Rusmini berani mengejek dan menyumpahinya.

"Dasar wanita menyebalkan!" umpat Rusmini saat melihat jejak lumpur yang merusak keindahan lantai puri.

Rusmini berjalan menghentak ke ruang penyimpanan alat kebersihan. Dia mengambil pel, dan mengisi ember dengan air keran di sana.

"Dia pikir aku takut dengan ancamannya? Ha-ha-ha, bodoh sekali dia! Kenapa Lavi bisa jatuh cinta dengan wanita menyebalkan seperti Cali? Argh!!" pekik Rusmini kesal.

Namun itu tidak lama, setelah cahaya lampu membuat warna-warna seperti pelangi terpantul dan mengambang di permukaan air dalam embernya.

"Ini."

Rusmini berjongkok, dan mencelupkan tangannya dalam air lalu mengendusnya. "Minyak tanah? Ini dari embernya atau memang airnya bercampur minyak tanah?"

Rusmini menggunakan tangannya yang lain untuk mewadahi air dari kran.

"Ini dari airnya," katanya setelah mengendusnya berulang kali. "Airnya bercampur minyak tanah. Kenapa bisa? Aku harus lapor kepada kepala pelayan."

"Rusmini, mau ke mana?"

Lagi-lagi, Gandi muncul tiba-tiba di belakang Rusmini. Lelaki berkulit gelap itu membawa sepiring roti kering di tangannya.

"Kau!! Ingin sekali aku mencekikmu, Gandi!!" geram Rusmini. Dia kesal dengan kehadiran Gandi yang selalu muncul tiba-tiba, hingga menyebabkan keterkejutan baginya.

"Ckck. Ini aku bawakan camilan yang tersisa dari perjamuan. Kau mau?" Gandi terkekeh seraya menyodorkan makanannya.

"Tidak, terima kasih. Gandi, aku ingin memberitahu kepala pelayan kalau airnya bercampur minyak tanah," adu Rusmini.

"Kamu baru tahu?" Rusmini menaikkan kedua alisnya mendengar penuturan Gandi.

"Sudah seminggu airnya seperti ini, anehnya air di kamar mandi Tuan Muda dan Nyonya tidak begini. Masih tawar dan segar."

"Apa? Mana mungkin?" Kening Rusmini berkerut. "Airnya, kan, berasal dari sumber yang sama? Kecuali---"

"Saluran pipanya diganti, yang seharusnya di atas ditukar menjadi yang di bawah. Lalu memasukkan selang minyak di pipa atas dan holaaa. Begitu 'kan maksudmu?" sahut Gandi sembari menyandarkan punggung di dinding, mencari posisi ternyaman.

Gandi benar. Dan itu semakin membuat pikiran Rusmini berkecamuk, campur aduk tak keruan. Ada yang sengaja mengganti saluran air pipa di puri ini. Sosok bayangan laki-laki dan perempuan di belakang puri, dan isi pesan itu. Lalu jejak kaki penuh lumpur Cali Mina.

"Sial!" Rusmini mendapatkan satu spekulasi.  Gandi, apa titah Tuan Muda Lavi malam ini?" tanya Rusmini dengan gurat khawatir yang menjadi-jadi.

Karena pesan dari house garden itu mengatakan si penerima harus membangkang setiap perintah orang tercintanya jika ingin orang tersebut tetap hidup. Itu artinya, si penerima pesan akan mati jika menuruti perintah sang tercinta, dan jika itu terjadi maka sang tercinta pun akan mati. 

"Gandi, apa titah Tuan Muda Lavi malam ini?" tanya Rusmini dengan gurat khawatir yang menjadi-jadi.

"Memasak hidangan, mengepel lantai perjamuan, membuka pintu gerbang...." Gandi menjeda kalimatnya. Ia tampak berpikir.

"Bukan itu. Yang lainnya!" sela Rusmini tidak sabaran.

"Iya cuma itu. Perintah seperti biasanya. Oh, itu ... meminta para pelayan makan hidangan perjamuan," ujar Gandi sembari mencomot roti kering.

Rusmini baru ingat. Seketika matanya membola dan dengan cekatan Rumini menyahut roti serta piring di tangan Gandi, lalu membuangnya ke ember berisi air.

BERSAMBUNG.

"Rumini!!!" Gandi melotot.

Rusmini tidak peduli. Ia sibuk menelaah apa saja yang mencurigakan hari ini. Dan ingatannya berhenti pada reaksi Cali Mina siang tadi, juga perintah wanita itu untuk ikut memakan hidangan perjamuan.

"Wah Gila! Seharusnya aku tahu maksud pesan itu! Seharusnya aku sadar!! Argh! Bodoh!! Kenapa aku justru memberikannya kepada wanita tengik itu!" Rusmini menendang segala benda yang ada di dekatnya. Dia marah pada kelambatan proses berpikirnya.

Tentunya hal itu membuat Gandi kebingungan. "Kenapa kau yang marah Rusmini?"

"Kau tahu kenapa?" Rusmini mencondongkan wajahnya kepada Gandi dan menatap lelaki itu dengan tatapan mengerikan. "Karena malam ini akan ada pengkhianatan besar, Gandi."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status