Share

BAB 3. Pesan Dibalik Mawar Darah

Dengan malas, Rusmini berjalan melewati selasar puri untuk menuju Whiteroom---ruang keluarga di puri. Dia ingin menjalankan salah satu titah Nias Lavi. Ketika sampai di depan pintu putih, yang tinggi dan besar dengan ukiran dua kepala naga berwarna emas menyembul keluar, Rusmini terdiam sebentar. Ia mendengar suara lirih dari dalam ruangan.

Tidak ingin didera rasa penasaran berkepanjangan, akhirnya Rusmini membuat keputusan. Dia celingukkan, memastikan tidak ada orang di selasar puri. Setelah merasa aman, ia pun mendorong pelan pintu Whiteroom sampai terciptalah celah yang cukup untuk digunakannya mengintip.

"Ayolah, aku jamin hidupmu akan bahagia bila bersamaku. Kamu bisa mengenakan pakaian indah seperti majikanmu, memiliki banyak perhiasan, tinggal di kamar yang mewah, dilayani, dan dihormati, tidak seperti sekarang."

Bisa Rusmini dengar dan lihat dengan jelas, ada seorang pria berperawakan tinggi sedang menyudutkan seorang gadis di pojok ruangan.

"Benia, coba lihat dirimu." Lelaki yang menggulung lengan bajunya sampai ke siku itu sedang menarik dagu Benia---salah seorang pelayan muda di kediaman Nias Lavi.

"Kamu terlalu cantik untuk menjadi pelayan rendahan. Jadilah selirku, kamu hanya perlu memberikanku seorang putra maka hidupmu kujamin akan bahagia." Lelaki itu semakin mendekat, meniadakan jaraknya dengan Benia, membuat gadis polos itu ketakutan.

"T-tuan, saya tidak mau," lirih Benia memelas. "T-tuan akan mendapat kehinaan jika melakukan ini." Benia berusaha melepaskan diri dari kungkungan lelaki itu.

Dalam adat budaya Halma, terdapat kepercayaan bahwa setiap orang dari tiga kasta tertinggi manapun, yang berkawin dengan kaum Bulvian, maka kehinaan dan kesialan akan menimpanya seumur hidup dan hanya dengan satu cara kesialan itu hilang. Sebuah pengorbanan.

"Diamlah! Selama mulutmu terkunci. Semuanya akan aman."

Rusmini merotasikan bola matanya malas, seakan kejadian seperti itu sudah menjadi hal biasa baginya.

"Dasar laki-laki biadab," desis Rusmini sebelum akhirnya memutuskan mendorong pintu Whiteroom dengan segenap tenaganya, hingga decitan terdengar dan lelaki itu terkesiap.

"Oh, mohon maaf Tuan Nias Sagala," ujar Rusmini berpura-pura terkejut dan menunduk cepat, saat lelaki berperawakan tinggi itu berbalik menunjukkan baju atasannya yang setengah terbuka.

Dia adalah Nias Sagala, kakak dari Nias Lavi dan putra sulung dari Tuan Agung Nias VI dengan selirnya bernama Ny. Sandriana. Nias Sagala merupakan seorang Adipati yang memimpin Aldabra Duchy---wilayah terluas kedua setelah Meldives, ibu kota Halma.

Nias Sagala mendengkus kesal lalu melotot pada Benia sebagai isyarat agar gadis pelayan itu tidak membocorkan tindakannya barusan. Benia tidak membalas, dia langsung berlari keluar. Rusmini yang tak sengaja bersitatap dengan gadis itu, pun mengerti jika ada sirat ketakutan di mata sembab Benia.

"Kau, pelayan kesayangan Lavi, bukan? Siapa namamu? Ruhni? Rusini?" Dari gurat wajah Nias Sagala yang menampakkan sedikit senyuman kala mencoba mengeja nama Rusmini itu, jelas sekali ia sedang berpura-pura.

"Rusmini, Tuan." koreksi Rusmini dengan intonasi penuh penekanan. Jujur saja, dia malas berurusan dengan kakak dari Nias Lavi ini.

"Ah, iya. Rusmini." Nias Sagala terkekeh sejenak, sembari melepas satu kancing bajunya, hingga bulu-bulu halus yang tumbuh di bidang dadanya itu terlihat jelas saat ia mendekati Rusmini.

"Selera adikku sangat buruk sekali," katanya sembari memperhatikan Rusmini dari ujung kaki sampai pucuk kepala. "Beruntung wanita sebaik Cali berhasil menyadarkannya. Sehingga Lavi terselamatkan dari penguasaan wanita sepertimu."

Rusmini geram, sudah sejak lama ia ingin menendang wajah lelaki kurang ajar di depannya ini hingga terjengkang. Sebab setiap kali berjumpa, selalu celaan yang Rusmini dapatkan darinya. Menyebalkan sekali.

"Maaf Tuan, saya hanya pelayan biasa di sini. Saya ditugaskan untuk menyampaikan pesan Tuan Muda Nias Lavi bahwa dalam lima belas menit ke depan ia akan segera menemui Tuan."

"Oh begitu. Aku tunggu!" katanya lalu menghempaskan diri di sofa putih Whiteroom.

Sekadar informasi, Whiteroom adalah ruangan yang memiliki warna dinding, dekorasi, sampai perkakas serba putih dengan beberapa corak keemasan yang memanjakan penglihatan. Itulah yang menyebabkan ruang keluarga puri Nias Lavi ini memiliki nama demikian.

"Baik, Tuan. Saya mohon izin undur diri."

Setelah mendapat anggukan dari lelaki menyebalkan itu, akhirnya Rusmini pun keluar.

Di perjalanan melewati selasar puri, Rusmini bertemu dengan Benia. Gadis itu terlihat sedang menahan sesenggukan tangis disela aktivitasnya mengepel lantai puri. Mengingat apa yang baru saja terjadi pada Benia, membuat hati Rusmini tak kuasa membiarkan Benia tetap bekerja.

"Benia. Biar aku gantikan tugasmu. Sekarang, lebih baik kamu istirahat. Sepertinya kamu lelah," kata Rusmini seraya menarik gagang pel dari tangan mulus Benia.

"Bolehkah? Aku takut kepala pelayan marah." Benia melihat ke sekeliling, takut kalau-kalau ada kepala pelayan puri yang lewat di sana.

"Tidak. Tenang saja. Istirahatlah. Aku akan menggantikanmu."

Benia tersenyum tipis. Ia biarkan Rusmini mengambil alih tugasnya. "Terima kasih. Aku istirahat, ya," katanya dan diangguki Rusmini.

Setelah Benia pergi, Rusmini pun melanjutkan kegiatan Benia mengepel, dengan sedikit melamun memikirkan jauhnya sifat Nias Lavi dengan Nias Sagala.

Prak!

Rusmini tersentak dari lamunannya, saat sebuah vas bunga pecah berserakan di bawah kakinya bersama setangkai mawar merah tergeletak di sana.

Yang lebih Rusmini kagetkan adalah keberadaan Niasih Lovanti yang terduduk di dekatnya.

"Apakah Nyonya Niasih Lovanti baru saja terpeleset karena lantai yang aku pel? Jika iya, tamatlah riwayatku!"

batin Rusmini. Ia menggigit bibir bawahnya, takut.

"Nyonya, tidak apa-apa? Mari saya bantu!"

Rusmini mengulurkan tangannya. Namun, Lovanti hanya menatap dengan tatapan yang membuat bulu roma Rusmini berdiri. Tatapan yang tajam dan tak bersahabat.

"Menyingkirlah!" ketus Lovanti menepis tangan Rusmini.

Sejak dulu, Lovanti dikenal sebagai wanita yang dingin. Dia tidak suka berinteraksi dengan orang disekitarnya dan karena itu ia enggan ikut campur urusan orang lain, termasuk kesulitan rakyat Aldabra. Itu adalah kabar yang Rusmini ketahui.

Rusmini beringsut. Dia biarkan istri Sagala itu berdiri dengan sendirinya.

"Nyonya Niasih, saya mohon maaf jika lantainya membuat Nyonya terpeleset dan jatuh."

"Bawakan aku vas dan mawar yang sama." Lovanti menunjuk pada mawar berwarna merah darah di lantai. "Baru, aku akan memaafkanmu!" katanya datar.

"Baik, Nyonya Niasih. Saya akan membawakannya segera."

Rusmini cepat-cepat melangkah pergi menuju house garden---taman Puri, yang terletak cukup jauh di halaman belakang Puri.

Di sana, suasana sangat begitu sepi, terlebih keadaan hari yang sebentar lagi akan berganti malam. Rumah kaca besar, yang dipenuhi tanaman hijau dengan bunga berwarna-warni yang menyembul indah dan wangi itu tampak lumayan menyeramkan jika malam sudah menguasai hari.

"Di mana mawar darah itu? Kemarin masih banyak, kenapa sekarang tidak ada?"

Rusmini kelimpungan. Ia berlari ke sana ke mari, menyibak dan mengangkat pot-pot besar, untuk mencari setangkai mawar yang diminta Niasih Lovanti.

"AA!!" pekik Rusmini saat menemukan bangkai tikus yang organ dalamnya berceceran di tanah. Menjijikkan.

Rusmini hampir muntah karenanya. Namun, saat ia hendak menyingkir pergi. Mata Rusmini menemukan pot kaca berisi tanaman mawar merah darah yang terletak di dekat bangkai tikus itu.

"Ah, kau di sini rupanya." Rusmini sedikit bernapas lega, meskipun wajahnya menyiratkan ekspresi enggan yang masam. "Iwh! Siapa sih, yang meletakkan bangkai tikus di sini? Bikin mual saja!" gerutunya dengan hati-hati mengambil pot bunga itu agar tak bersentuhan dengan bangkai menjijikkan.

"Ah, akhirnya."

Rusmini berhasil mendapatkan bunga mawar permintaan Lovanti. Ketika mengangkat vas untuk diperiksa kebersihannya, tanpa sengaja Rusmini melihat gulungan kertas yang terikat benang di batang mawarnya. Rusmini pun mengambilnya dan membuka kertas putih kekuningan dengan separuh simbol lambang Kerajaan Halma.

Jika tidak ingin cintamu mati, jadilah pembangkang malam ini.

Sebaris kalimat tersebut tertera di dalam gulungan kertas. Rusmini mengernyit bingung, ia tidak mengerti maksud dari kalimat dalam secarik sobekan kertas itu.

"Ini bukan sembarang pesan, ini pasti dari anggota kerajaan yang menuliskannya. Apa ini pesan untuk Cali Mina? Secara dia yang sering berkunjung ke sini, kan?"

Rusmini bingung.

"Ah, terserah. Aku tidak peduli. Jika pesan ini memang untuk Cali, biar saja aku yang menyimpannya. Toh, sama saja. Cintanya Cali adalah orang yang sama dengan cintaku, kan," kata Rusmini dengan santainya melipat kertas itu dan menyimpannya di saku baju.

Wanita lusuh dengan rambut digelung ini sama sekali belum menyadari apa yang ingin disampaikan si pemilik kertas itu kepadanya. Sesuatu hal yang sangat buruk akan segera menimpa orang terkasihnya. Siapa? Hanya Rusmini yang tahu.

BERSAMBUNG.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status