Bab 22A Terik Menyengat "Ning. Apa yang kamu lakukan dengan Mas Zen di kamar?" Deg. Suara Mbok Nem membuat tubuh Ning mematung di tempat. "Apa Mas Zen menyakitimu?" Mbok Nem melihat pipi Ning masih tersisa jejak air mata. Gegas Ning mengusapnya. "Tidak, Mbok. Tolong Mbok jangan cerita pada siapa-siapa kalau Mas Zen barusan dari kamar saya. Dia tidak menyukai saya tinggal di sini. Jadi, saya harus pergi, Mbok. Tolong pamitkan Bu Tya ya, Mbok. Kapan-kapan saya menemui beliau kalau tidak ada Mas Zen." "Ya, Ning. Hati-hati di jalan." Mbok Nem menatap punggung dari tubuh kurus Ning berangsur menghilang di balik pintu. Ia masih penasaran dengan apa yang dilakukan anak majikannya. "Semoga Mas Zen tidak melakukan hal buruk pada gadis itu. Kasian sekali Ning." ***** Tiga hari berlalu, Ning off dari menjaga kasir. Ia harus menjajakan keripiknya hingga habis. Sebab uang yang didapat harus diputar ulang sebagai modal. Sekali uang itu berhenti di tempat, maka usahanya akan rugi. Ning me
Bab 22B Terik Menyengat Terik yang menyengat tidak menyurutkan semangat. Ning tetap melewatinya dengan suka cita. Meskipun harus menahan lapar dan dahaga. Sebab ia mulai rutin menjalankan puasa. Tidak hanya untuk menghemat pengeluaran, ia bisa hidup prihatin layaknya pedagang kecil yang ia jumpai di sepanjang jalan Malioboro. Ia kerap bercengkerama melepas lelah dengan sesama orang kecil. Pernah Ning bertemu perempuan berusia senja kisaran enam puluh. Tubuhnya memang renta, tetapi semangat kerja kerasnya patut ditiru. Saat Ning bertanya kenapa masih bekerja di usia yang seharusnya duduk menikmati hidup. Jawabnya sungguh menohok. "Saya tidak mau menjadi pengemis. Sekalipun saya miskin, saya masih mampu mencari rejeki halal." Ning salut dengan orang itu. Ia selalu bisa melebarkan senyum saat bertemu dengan perempuan seusia neneknya itu. "Man jadda wa jadda." Begitulah pesan orang itu sambil menepuk bahu Ning. Ucapan singkat yang mampu mengobarkan semangat Ning untuk bertahan hidup
Bab 23 Di ujung lelah "Mbak, Mbak Ning. Mbak nggak apa-apa?!" Ning mendengar teriakan dari luar kamar. Ia masih merasakan pusing hebat di kepalanya. Posisinya tergeletak di lantai kamar. Ia berusaha mengumpulkan kesadaran yang sempat hilang sekejap. "Ya, Dik. Ada apa?" tanyanya dengan suara serak menahan isakan. Ia menyandarkan tubuhnya di pinggir ranjang dengan posisi kaki selonjoran. "Aku dengar suara benda jatuh di kamar Mbak. Apa yang terjadi?" "Oh, nggak papa, Dik." "Syukurlah. Mbak sudah makan?" "Mbak habis bangun dari tidur, nanti makannya." "Jangan lupa makan, Mbak! Aku mau keluar belanja, Mbak mau nitip nggak?" "Tidak, Dik. Terima kasih." Memilih naik ke ranjang, Ning meringkuk dengan selimut sebagai penutup tubuhnya. Rasa mual di perutnya kian datang silih berganti, pun pusing kepala tak kunjung reda. Ia mencoba memejamkan mata agar terlelap hingga pikirannya tidak dipenuhi masalah bak benang kusut. Semalaman, Ning mual muntah banyak kali hingga tubuhnya lemas. Mak
Bab 24 PanikZen beranjak dari duduk, berdiri mondar-mandir. "Tolong, beri alamatnya sekarang juga!" Gegas Zen menyambar kunci mobilnya. Ia keluar ruangan dengan tergesa hanya menutup pintu dengan keras. Dari kejauhan ada Vina yang heran melihatnya. Ia ingin mengejar tetapi mobil Zen sudah melaju dengan cepat. "Mau ke mana Zen buru-buru?" guman Vina penasaran. Ia harus mencari tahu. Sebab mereka berada di kampus akhir pekan biasanya untuk menghadiri acara kemahasiswaan. Sementara itu, acara belum berakhir tetapi Zen sudah pergi. Tidak butuh lama, Zen sudah sampai di kontrakan Ayu sekaligus Ning. "Mas cari siapa?" tanya adik kos Ning yang memperkenalkan diri dengan panggilan Mita. "Di mana Hani?" "Hani?" Mita yang mengenakan kaos dan celana santai itu mengerutkan kening. "Haningtyas," ulang Zen. "Oh, Mbak Ning. Ini kamarnya, Mas," tunjuknya ke kamar yang ditempati Ning. "Kenapa panggilannya lain. Jangan-jangan...," gumannya menerka. Zen memasuki kamar tempat Ning meringkuk di
Bab 25 Gunjingan "Han, sabar, ya! Kumohon kamu yang kuat, ya!" Zen membisikkan kalimat penyemangat di telinga kanan Ning. Rintihan demi rintihan lirih keluar dari mulut, Ning. Matanya tetap setia terpejam, tapi racau kesakitan keluar dari mulutnya. Di ujung kesakitan, kilas balik kisahnya bertemu dengan Zen silih berganti melintas di benak.Flashback on (Pov Ning)Mentari mulai merangk4k naik hingga panasnya menerpa ubun-ubun. Aku pulang dari rumah Pak Haji dengan hati riang. Sebab ada acara esok lusa di balai desa yang memberi harapan untuk usaha keripik singkong bapak. Keripik singkong Pak Rahmat. Otakku sudah membayangkan dagangan bapak berlabel nama beliau. Sungguh aku sedari tadi tersenyum sendiri di perjalanan. Sampai-sampai di tengah jalan beberapa tetangga menegurku. "Ning, lihat jalan. Awas nabrak!" teriak tetanggaku. "Ya, Bulik. Makasih!" seruku. "Astaghfirullah." Saking senangnya, aku lupa mampir di warung Yu Barit untuk membeli bumbu dan bahan membuat keripik singkong
Bab 26 Terkesima (Pov Ning)Dua hari berlalu, yang dinanti pun tiba. Acara di balai desa pagi ini akan dilaksanakan. Aku sudah meminta izin pada bapak dan ibu untuk menghadirinya. "Pak, Bu. Pak Haji minta Ning menghadiri acara di balai desa. Barangkali dagangan keripik bapak bisa berkembang jadi cemilan andalan," kataku bersemangat. "Jangan bermimpi terlalu tinggi," cibir Mbak Titin. Seketika semangatku surut melihat pandangan sinisnya. "Orang-orang kampus pasti cuma mau ambil keuntungan. Mereka hanya mencari nilai untuk kenaikan jabatan pastinya. Apa itu namanya, formal formal..." "Formalitas?" "Iya kali. Mereka nggak sungguh-sungguh. Kalau benar ingin mengabdi pasti nggak cuma sekali. Tapi berkelanjutan." Tumben Mbak Titin berpikir maju. Aku hanya mengulum senyum. Sejatinya Mbak Titin kalau mau serius belajar pasti jadi siswa yang pintar waktu itu. Apalagi kalau ada kesempatan melanjutkan kuliah. Ah, andai kesempatan itu datang. Reflek lamunanku buyar setelah Mbak Titin menaru
Bab 27 Dia Pintar dan Kaya (Pov Ning)Sebuah sapaan dari laki-laki bernama Zen menaikkan radar jantungku kembali tak normal. "Silakan Mbak berdua pindah ke kursi depan!" "Hah." Malu rasanya tertangkap basah tengah mengagumi laki-laki itu. Selesai mendengar arahan dan program kerja ke depan, aku dan Ayu bingung mau mengerjakan apa. Sebagian warga telah pulang. Diantara peserta yang hadir, aku dan Ayu termasuk yang paling muda. Jelas saja, kami masih status siswa kelas 3 SMA hampir lulus. "Mbak Ning, kemari!" Aku tersentak, gugup pun melanda saat suara Pak Lurah memanggilku. Mau tak mau aku menarik lengan Ayu untuk berbalik dan melangkah ke arah tim dari kampus. "Nggih, Pak Lurah, wonten menapa?" (Ya, Pak Lurah ada apa?) "Ini Mas Zen dan tim mau meninjau usaha Pak Rahmat. Apa kamu bersedia mengantarnya?" ucap Pak Lurah. Kurasa Pak Lurah sedang bercanda. Jelas saja aku tidak mungkin menolak. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tanpa aku meminta, tim dari kampus bersedia dengan sukarela me
Bab 28 Iri Hati (Pov Ning)Menjelang sore, anak-anak SD teman Amir sudah pulang. Pun Ayu memilih pamit lebih dulu karena mendapat panggilan ibunya. Tim dari kampus datang bersama Pak Lurah. Beruntung bapak sudah selesai mandi, meski belum sempat istirahat. Bapak pulang dari keliling langsung ke kebun mengambil ketela untuk persediaan keripik esoknya lagi. "Selamat sore, Pak Rahmat, Bu Romlah," sapa Pak Lurah diikuti dosen dan mahasiswa. Aku masih mengenakan baju milik Ayu. Sebab bajuku tidak ada yang layak dipakai menyambut tamu menurut Ayu. Hufh, ada-ada saja memang sahabatku satu itu. Mbak Titin sampai mencibirku. Mengira aku sengaja memakai baju bagus untuk menarik perhatian. Menjengkelkan, dia sendiri malah pakai baju baru dan dandan menor. "Silakan masuk Pak Lurah, Pak Dosen, Mas dan Mbak!" Bapak menyilakan tamu masuk dan duduk lesehan. Aku sudah menggelar tikar karena kursi yang tersedia di ruang tamu tidak cukup. Mereka pun duduk lesehan. Bapak menemani tamu mengobrol, seda