"Aaa... Aahhh..." Suara itu terdengar dari balik pintu, lembut namun penuh gairah. Mengusik seorang Qiana yang baru saja tiba di kosan mewah milik kekasihnya, Vero.
"Sayang... lebih dalam... Ughh... Mnnn..." Suara lelaki menyusul, dalam, berat, dan membuat darah Qiana terasa berhenti mengalir. Tubuh Qiana membeku, nafasnya tercekat, matanya terbelalak sementara wajahnya mulai memucat. Dia tidak ingin mempercayai apa yang dia dengar, bahkan ia berharap jika dia salah. Akan tetapi semua harapannya runtuh dalam sekejap saat mengenali suara siapa di dalam. "Vero, ahh, terus Vero..." Suara perempuan itu tak salah lagi. Qiana mengenal suara itu. Suara Maya—sahabatnya. "Iya, sayang. Aku akan buat kamu menjerit puas karena sentuhanku, "suara sang laki- laki kembali terdengar, lebih jelas dan begitu intim. "Aahh... Ini milik kamu buat aku gila... Mnhhhm..." Suara helaan nafas mereka yang berpacu dalam gairah dapat di dengar dengan jelas oleh Qiana. "Liang kamu juga sayang. Aah, rasanya nikmat sekali." Bruuuk. Totebag yang Qiana bawa terjatuh. Undangan cantik dengan nama "Qiana & Vero" berhamburan di lantai, terinjak oleh kenyataan pahit. Napasnya mulai tersengal. Ingin rasanya tak mempercayai apa yang ia dengar. Tapi itu sia-sia. Dia tahu apa yang mereka lakukan di balik pintu itu. Dia tahu... dan dia hancur. "Vero, lebih cepat! Aaah!" "Sayang, sempit sekali... Milik kamu benar-benar sempit..." Aarghh! Tak sanggup lagi menahan, Qiana mengangkat tangannya dan mendorong pintu kosan yang tidak terkunci. "VERO!" Qiana berteriak, ia mencoba untuk tetap kuat berdiri saat melihat kekasih yang amat dia cinta sedang bersenggama dengan perempuan lain. "Apa-apaan ini?!" Vero— pria berkulit tan itu segera beringsut turun dari atas tubuh Maya selingkuhannya. Ia kaget sekaligus tidak menyangka jika Qiana akan datang secara tiba-tiba. Q—Qiana?!" Vero tergagap, panik. "Aku bisa jelasin—" PLAAAK Satu tamparan keras mendarat di pipi pria yang setengah telanjang tersebut. Padahal dia baru saja mendekati Qiana untuk menjelaskan apa yang terjadi, tapi pukulan itulah yang justru ia dapatkan. "Apa yang kamu lakukan, Vero? Selama ini kamu selingkuh?" "Qia, tunggu! Dengar dulu—aku bisa jelasin semuanya!" ujar Vero buru-buru, mencoba menghampiri. "Jelasin APA?!" bentak Qiana, menunjuk ke arah tempat tidur. "Aku gak buta! Aku juga gak tuli, Vero! Aku DENGAR SEMUA! Dan itu cukup jadi bukti!" "Qia... dengar dulu! Tolong jangan marah-marah!" "Jelasin apa, bangsat? Semua sudah jelas!" Qiana melirik Maya yang duduk meringkuk di atas ranjang dengan berbalut selimut tebal menutupi badannya. "Kamu— tega banget kamu selingkuh? Kamu lupa sebulan lagi kita nikah? LUPA?!" Dengan wajah panik, Vero berusaha menyentuh tangan Qiana, namun di tepis secara paksa oleh perempuan itu dengan segera. "Jangan sentuh aku, bangsat! Kamu— aku gak nyangka kamu kayak gini!" "Qia, aku sama sekali gak punya maksud jahat. Aku begini karena ada alasannya!" Qiana menampar pipi Vero keras. "Selingkuh kayak gini kamu bilang gak jahat? GILA KAMU!" bentaknya di sela air mata yang terus mengalir. "Kita mau nikah, bangsat! Semua udah kita siapin, tapi kamu— kamu benar-benar gak ada otak! Brengsek!" Qiana menoleh ke arah Maya, dia terlihat tak bergerak di posisinya walaupun wajahnya tampak panik. "Kamu juga!" Ia menunjuk ke arah perempuan itu, "kita temen, Maya. TEMEN! Kenapa kamu tega khianati pertemanan kita? Apa di dunia ini gak ada cowok selain Vero? Apa semua pria di muka bumi ini udah punah sampai-sampai kamu tega rebut pacar teman kamu sendiri?" Perempuan berkulit putih itu benar-benar sangat murka. Ia menghampiri Maya dan menarik selimut yang dipakai untuk menutupi badan Maya. Aksi tarik menarik tak terhindarkan waktu itu. "Qiana, please! Jangan!" tangis Maya. "PEREMPUAN BRENGSEK! GAK TAU MALU! MURAHAN!" maki Qiana, menarik selimut itu dengan kasar. "Qiana..." Maya menangis, berusaha mempertahankan selimut yang dipakainya. "PEREMPUAN BRENGSEK! GAK TAU MALU! MURAHAN!" maki Qiana. "QIANA! CUKUP!" bentak Vero sambil mendorong tubuh ramping Qiana hingga jatuh. "Maya gak salah! Kamu yang salah, Qia!" Tubuh ramping itu terjatuh ke lantai. Qiana terperangah. Tubuhnya gemetar—bukan karena jatuh, tapi karena dikhianati dan kini... didorong oleh pria yang seharusnya menikahinya dalam sebulan. "Kamu... dorong aku?" bisiknya lirih. Vero terlihat bingung, tapi ekspresinya cepat berubah menjadi dingin. "Aku cuma gak mau kamu nyakitin Maya!" Qiana menatapnya dengan tatapan tak percaya. "Kamu bela dia? Kamu belain selingkuhanmu?!" tanyanya pada pria yang bertahun-tahun ini ia temani dalam segala situasi. Entah itu senang atau sedih. Vero menatap tajam. "Maya gak salah. Yang salah itu kamu." "Aku? Kamu bilang aku yang salah? Kamu gak waras apa?" Qiana menatap Vero tak percaya. "Iya!" Vero menunjuk ke arahnya. "Kamu terlalu jual mahal! Kita udah pacaran bertahun-tahun, tapi kamu gak pernah mau aku sentuh! Bahkan pelukan aja susah. Aku ini pria normal, Qia. Aku butuh keintiman. Ciuman. Sentuhan. Tapi kamu? Kamu sok suci!" Qiana mengerutkan keningnya. "Apa? Jual mahal?" "Aku ini pria normal, aku juga ingin merasakan ciuman, seks sama orang yang aku cinta, dan kamu—" Ia menunjuk ke arah Qiana yang mulai bangun dari posisinya terjatuh tadi. "Kamu gak bisa ngasih aku semua itu. Setiap aku minta cium atau sekedar pelukan kamu selalu menolak. Kamu terlalu sok suci Qiana." Plaaak! Qiana kembali menampar pria itu. Kali ini disusul beberapa pukulan di dada bidang Vero. "Ada perempuan yang ingin jaga kesuciannya kamu sebut sok jual mahal? Kamu itu benar-benar pria aneh!" "Kamu itu yang gak normal karena menolak permintaanku. Kita ini pacaran, sepasang kekasih. Apa salahnya kalau aku minta 'itu'?" Qiana mengangguk pelan. Sekarang dia paham alasan kenapa Vero selingkuh darinya. "Oh, oke. Kalau kamu mau minta seks, minta saja sama perempuan MURAHAN itu. Sana nikmatin aja perempuan itu sampai kamu puas!" Perempuan berkulit putih tersebut semakin emosi. Wajahnya memerah karena amarah yang tak terkendali. "Dan kita, mulai hari ini kita putus. Kita batalkan pernikahan kita!" Vero menatap Qiana tak percaya. "Kamu yakin mau pisah dariku? Apa kamu tidak malu, hah? Semua persiapan sudah hampir 80%. Apa kata orang-orang kalau pernikahan kita batal?" Dengan tatapan tegas dan tanpa rasa goyah, Qiana berkata, "Aku lebih memilih untuk menanggung rasa malu yang mungkin hanya sebentar ini, daripada harus menikah dengan pria brengsek tukang selingkuh seperti kamu!" Qiana mendorong Vero yang berdiri tepat di depannya dengan wajah angkuh. "POKOKNYA MULAI HARI INI KITA PUTUS!"Zayn muncul dari tangga atas, mengenakan kaus gelap dan celana santai.“Ada apa, Pa?”“Kamu ngapain di atas terus? Istri kamu ditinggal ngangkat koper sendirian?” tegur Pak Atmaja tajam.Zayn menuruni tangga tanpa ekspresi. “Tadi dia yang bilang gak apa-apa. Lagipula tadi ART bantu—”“Bukan soal siapa bilang apa-apa atau tidak!” sela Pak Atmaja. “Dia bilang tidak karena pengen bantu kamu sebagai suaminya. Eh— kamu malah nyuruh-nyuruh dia seenaknya."Qiana langsung menunduk. Ia merasa bersalah, seolah-olah kehadirannya malah membuat keributan kecil.Bu Atmaja buru-buru menengahi, “Pa, sabar! Zayn kan baru jadi suami, dia kan masih perlu banyak beradaptasi."Pak Atmaja mendesah panjang, lalu melirik Zayn tajam sebelum beranjak dari hadapan anaknya.Begitu kedua orang tuanya menghilang dari pandangan, suasana menjadi semakin tegang. Qiana masih berdiri di samping Zayn dengan perasaan penuh rasa bersalah."Maaf," cicit Qiana. "gara-gara aku, kamu jadi—"Zayn melesat pergi dari hadapannya.
"Apa menikah denganku termasuk bagian dari rencana itu? Atau justru sebaliknya?""Kerjain aja tugas kamu! Banyak bicara justru membuat tugas kita makin lama selesainya!" titah pria 28 tahun itu dengan nada yang amat bossy.Qiana menghela nafas panjang. Ia langsung mengunci mulutnya rapat-rapat. Meskipun isi kepalanya cukup berisik karena dia gak betah lama-lama diam.Ia kembali melipat baju sambil sesekali mencuri pandang ke arah pria itu. Jarak mereka tidak jauh, tapi rasanya seperti dipisahkan oleh dinding kaca tebal.Dan itu sangat menyebalkan... Satu jam berlalu, Qiana terus menata baju-baju Zayn ke dalam koper. Tangannya sudah pegal, tapi Zayn belum juga selesai dengan dokumennya.Begitu koper pertama hampir penuh, Qiana bangkit berdiri, memutar sedikit badannya sambil memegangi pinggang. Ia melirik Zayn yang masih tenggelam dalam tumpukan map dan folder.“Kak Zayn…” Ia bicara pelan, tapi kali ini suaranya sedikit lebih tegas. “Kamu gak haus?""Kamu mau minum?"Qiana mengangguk
Suasana meja makan yang semula hangat mendadak terasa agak tegang. Pak Atmaja masih memandangi Zayn dengan ekspresi tak puas.“Zayn, kamu itu baru menikah. Papa gak minta kamu libur lama-lama, tapi setidaknya satu-dua hari buat menemani istrimu. Masa kamu gak bisa atur waktu sedikit aja?”Zayn menegakkan duduknya, wajahnya tetap tenang meski sorot matanya terlihat tegas. “Aku sudah atur semuanya, Pa. Dan menurutku, justru karena sudah menikah aku harus lebih fokus ke karier. Aku gak bisa kasih Qiana masa depan kalau aku terlalu santai sekarang.”Pak Atmaja hendak membuka suara lagi, tapi Pak Wijaya segera mengangkat tangan.“Sudah, sudah... jangan terlalu diperdebatkan.” Suaranya terdengar ringan tapi tegas. Ia melirik menantunya lalu beralih ke putrinya. “Atmaja, yang Zayn katakan itu cukup masuk akal. Lagipula, Qiana juga belum selesai kuliah. Bulan depan dia masih harus ujian, ya kan Qia?”Qiana yang dari tadi diam, tersentak pelan. “Iya, Pa...”“Jadi mungkin memang belum waktunya
"Kakak Ipaaaar..."Qiana yang baru saja keluar dari kamar hotelnya sedikit tersentak saat tiba-tiba seseorang merangkul lehernya dari belakang. Dan begitu ia menengok ke samping ternyata sudah ada Rheana adik iparnya."Baru bangun ya? Gimana malam pertamanya? Seru?"Qiana melihat ke arah gadis itu dan menghela nafas. "Yaa, gitu deh."Rheana mengerutkan keningnya. Ia memperhatikan Qiana dengan saksama dari atas sampai bawah. Rambut Qiana masih sedikit kusut, matanya sembap dan terlihat kurang tidur, ditambah langkahnya yang agak lesu.“Dilihat dari kantong mata itu, kalian abis main berapa ronde?” gumam Rheana sambil cekikikan geli. “Gimana? Kakakku hot gak di ranjang?"Qiana terbatuk kecil, nyaris tersedak udara. “Eh, bukan, aku—”Namun belum sempat ia menyelesaikan klarifikasinya, suara pintu di belakangnya terbuka. Zayn muncul dari balik kamar, pria mengenakan kemeja hitam polos dan celana panjang. Rambutnya masih basah, entah habis mandi atau efek cucu muka.Pandangan Zayn langsun
"A- apa?""Parfum ini akan jadi aroma favoritku sekarang."Qiana berbalik. Dan karena ulahnya itu pula gaun yang ia pakai jadi melorot ke bawah dan jatuh ke lantai dengan bebas. Menyisakan dirinya yang hanya dibalut korset putih dan celana pendek yang bahkan hanya menutupi seperempat pahanya.Zayn terpaku. Matanya tertuju pada pemandangan indah di depannya. Wajah memerah Qiana, kulit putih yang kontras di bawah temaram lampu, tubuh seksi sang istri, serta kaki jenjangnya yang indah membuat Zayn tak bisa berkata-kata."K- kamu ngeliatin apa?" tanya Qiana sambil menutupi tubuhnya dengan kedua tangan. Walaupun itu jelas tidak akan berhasil."Melihat kecantikan istriku." Zayn tersenyum miring."Me- menurut kamu aku cantik?"Zayn tertawa kecil. Dan itu membuat Qiana kaget. 'Ternyata Zayn tidak sekaku yang aku bayangkan.'"Kalau kamu tidak cantik, mana mau aku menikahimu." Tangan Zayn kembali terulur, kali ini berhenti di tengkuk Qiana. Seolah menahan perempuan itu agar tidak mundur atau me
Rheana yang memang terkenal usil, langsung menangkap perubahan wajah Qiana. Ia menyeringai seperti anak kecil yang baru saja menemukan mainan baru. "Waaa... Qia! Muka kamu merah banget tuh. Aku tau, kamu pasti lagi mikir yang aneh-aneh kaan," goda Rheana sambil menyikut pelan lengan Qiana.Qiana nyaris tersedak udara. “Eh?! Nggak, nggak! Ini cuma gerah aja kok," balasnya sambil mengipas-ngipasi udara di depannya."Yaelah Qia, ballroom dingin gini? Masa kepanasan? Apalagi kamu kan berdiri di sebelah kak kulkas. Mana mungkin kegerahan, hahaha." Rheana makin jadi. Bahkan Zayn sampai melirik adiknya sambil geleng-geleng.“Rhea, cukup! Jangan godain ipar kamu terus!” pinta sang Papa dengan nada memperingatkan. Rheana memang langsung diam, tapi wajah tengilnya tetap gak bisa hilang.“Sudah-sudah, kalian istirahat dulu ya,” kata Bu Wijaya akhirnya. “Kalian pasti capek. Besok pagi kita sarapan bareng.”"Iya, Qia. Jangan mikirin apa-apa dulu, fokus istirahat," timpal Bu Atmaja dengan senyum me