"POKOKNYA MULAI HARI INI KITA PUTUS!" Qiana dengan suara yang menggema, begitu keras dan penuh emosi. Matanya yang memerah menatap tajam ke arah Vero, seolah ingin menghabisi pemuda itu. "Dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi, SELAMANYA!"
Vero, dengan wajah penuh angkuh menangkap lengan Qiana sebelum dia bisa pergi. Tangannya yang memegang erat pergelangan tangan Qiana, mencoba menahannya dengan sedikit paksaan. "Kamu akan menyesalinya!" suaranya parau, namun ada nada penuh intimidasi di sana. "Aku tahu kamu gak bisa hidup tanpaku! Kamu butuh aku, Qiana!" "CUIH!" Qiana meludah dengan jijik, menepis tangan Vero dengan keras, seolah seluruh tubuhnya bergetar karena amarah dan sakit hati yang mendalam. "Jangan mimpi, brengsek!" Dengan satu dorongan penuh kemarahan, dia melepaskan diri dari Vero dan segera berbalik, berlari keluar dari kosan itu, meninggalkan pria yang dulu dia percayai sepenuh hati. Langkah kaki Qiana tergesa-gesa, seperti ingin menghindar dari kenyataan yang sangat menyakitkan. Namun seiring berjalannya waktu, jantungnya yang berdetak keras tak mampu meredam perasaan hancur yang menguasainya. Semua yang dia harapkan, impiannya, dan bahkan cinta yang dia percayakan pada Vero, kini hancur lebur dalam sekejap. Tak ada lagi kata yang bisa menenangkan dirinya. Cinta yang dia rawat selama ini ternyata hanyalah sebuah kebohongan besar. "Dasar Vero brengsek!" Qiana hampir berteriak sekuat tenaga, suara tangisnya tertahan di tenggorokan. "BRENGSEEEK!" Dia terus berjalan, atau lebih tepatnya berlari, tanpa arah, seakan-akan ingin meninggalkan seluruh dunia yang telah dia kenal. Wajahnya basah, bukan hanya karena hujan yang tiba-tiba turun deras, tapi juga karena air mata yang tak bisa dia tahan lagi. Dia menatap kosong ke depan, namun pikirannya kembali melayang pada Vero, dan segala kenangan manis yang kini terasa seperti racun untuknya. Hatinya berantakan, dan dia merasa seperti orang yang terperangkap dalam kebohongan yang tak pernah dia duga sebelumnya. Dia terjatuh di trotoar, merasakan seluruh tubuhnya lemas, dan akhirnya menangis dengan suara tertahan. "Kenapa... kenapa kamu ngelakuin ini ke aku, Vero?" suara Qiana begitu lirih. "Kenapa kamu tega selingkuh dariku hanya karena alasan konyol itu?" Perempuan itu masih menangis. "Bagaimana aku bilang ke Mama dan Papa? Bagaimana aku harus kasih tau mereka soal pernikahan kita yang batal?" "Gimana caranya, Vero? Gimana?" Tangis Qiana semakin pecah. Lebur bersama air hujan yang semakin deras menerpa tubuhnya. Dalam 23 tahun hidupnya, baru kali ini Qiana merasa hancur sehancur-hancurnya. *** "Pa, Qia kok belum pulang ya? Ini udah lewat jam 10 loh. Gak biasanya dia seperti ini?" Dengan perasaan gelisah, Bu Wijaya berjalan mondar-mandir di area ruang tamu. Sesekali matanya melirik ke arah layar ponselnya, memperhatikan pukul berapa sekarang ini. "Mama khawatir ama Qiana, Pa. Gak tau kenapa perasaan Mama gak enak." "Ma, kan tadi Qia bilang mau ketemu sama Vero buat urus undangan. Jadi mungkin dia masih di sana. Dan mungkin masih ada banyak hal yang harus dia urus?" Bu Wijaya langsung berdecak usai mendengar ucapan suaminya. Belum lagi nada santai yang keluar dari bibir sang suami yang makin membuat wanita paruh baya itu sedikit emosi. "Qia itu mesti selalu kasih kabar biarpun sama Vero, Pa. Lah ini— ngasih kabar enggak, ponselnya mati, dan Vero... dia juga gak bisa dihubungi, Pa. Mana bisa Mama gak khawatir." "Udah tenang aja, Mama. Qia kan juga sudah besar. Dia pasti bisa jaga diri." Bu Wijaya mengerucutkan bibirnya. Jengkel dengan kelakuan suaminya yang terlalu santai. "Papa ini! Kan Mama—" Kleeek! Belum selesai bicara, terdengar suara pintu yang terbuka. Selang beberapa detik, muncul Qiana dengan kondisi yang cukup memprihatinkan. Badannya basah juga mata sembab dan merah. "Astaga, Qia..." Kedua orang tuanya langsung menghampiri sang putri dengan raut khawatir. "Kamu kenapa Nak? Kok hujan-hujanan gini?" tanya Bu Wijaya sambil menyentuh pipi putrinya. "Ada apa Qia? Mana Vero? Dia gak nganterin kamu?" sambung Pak Wijaya yang sesekali menengok ke depan halaman untuk memastikan sesuatu. Tapi Qiana tak menjawab. Dia hanya menatap mamanya sejenak—dan kemudian pecah. Tangisnya tumpah seketika, lalu dia merosot ke pelukan Bu Wijaya. “Mama… Vero selingkuh, Ma…” isaknya dalam-dalam, tubuhnya bergetar. Beberapa menit kemudian, Qiana muncul dari kamar dengan pakaian bersih dan rambut yang masih basah menggantung di bahunya. Ia tampak lelah namun jauh lebih baik daripada sebelumnya. Di meja makan, secangkir teh hangat sudah menunggunya. Bu Wijaya duduk di sampingnya sambil terus menatap wajah putrinya, sementara Pak Wijaya berdiri dengan tangan bertaut di dada, ekspresinya gelap. “Sekarang ceritain semuanya ya, Nak!” kata Bu Wijaya lembut, menyentuh tangan Qiana. Qiana menarik napas panjang. Matanya masih sembab, tapi suaranya mulai stabil. “Tadi… aku ke kosannya Vero, Ma, Pa,” katanya lirih. “Tapi pas aku buka pintu… aku nemuin dia lagi berhubungan badan sama cewek lain. Dan— dan parahnya cewek itu temen Qia sendiri, Ma.” Suasana seketika sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar. "Parahnya, mereka deket udah lama. Dan alasan yang buat Vero selingkuh makin bikin aku patah hati, Ma..." Bu Wijaya ikut berkacs-kaca mendengar cerita anaknya. Ia langsung memberikan pelukan penenang agar putrinya kuat dan sabar. Pak Wijaya menggebrak meja. “Kurang ajar!” bentaknya. “Anak setan! Berani-beraninya dia permainkan anak Papa kayak begini!” “Pa—” Bu Wijaya buru-buru menenangkan. “Udah cukup! Besok Papa datengin dia! Biar dia tahu rasanya dipermalukan di depan orang tuanya sendiri!” Pak Wijaya tampak murka. Emosinya sudah di atas kepala hingga wajahnya memerah. "Kurang ajar sekali sudah membuat anak Papa satu-satunya sedih seperti ini." “PA!! Jangan gegabah!" Istrinya memberi peringatan. “Ma, dia harus dikasih pelajaran! Anak laki-laki macam apa yang tega nyakitin hati anak kita kayak gini?! Papa gak terima!” seru Pak Wijaya, matanya nyala penuh amarah. Qiana menatap ayahnya, suaranya bergetar. “Papa gak perlu buang-buang energi buat ngelabrak dia. Aku udah tampar sama pukul dia kok tadi." Pak Wijaya terdiam. Nafasnya masih tersengal karena emosi, tapi mata tuanya mulai berkaca-kaca saat menatap putrinya. “Aku janji aku kuat kok, Pa. Aku bisa lewatin ini semua. Tapi..." Ia menatap kedua orang tuanya bergantian. Ada perasaan sedih dan bersalah yang terpancar di matanya. "Tapi apa Nak?" tanya Bu Wijaya sambil merapikan rambut putrinya. "Tapi aku sedih karena Mama dan Papa harus menanggung malu gara-gara pernikahan Qia yang batal," ucap Qiana disela isaknya. "Aku sudah buat malu kalian." Suasana di meja makan, mendadak jadi hening. Semua larut dalam pikiran masing-masing hingga beberapa waktu. Namun... "Kamu tidak perlu khawatir, Qia. Papa tau apa yang harus kita lakukan."Diandra langsung berjalan mendekati Danu. Ia mendorong dada pria itu dengan kasar begitu jarak mereka hanya beberapa langkah. “Kamu harus tanggung jawab, Danu! Aku nggak bisa terus-terusan sendirian kayak gini!”“Jangan keras-keras!” Danu mendesis, buru-buru menarik lengan Diandra ke arah sudut yang lebih sepi. “Apa kamu mau semua orang dengar?”“Aku nggak peduli!” suara Diandra bergetar, hampir pecah oleh tangis dan amarah. “Aku gak bisa terus menerus ngejar Zayn untuk tanggungjawab!""Kenapa? Apalagi yang Zayn katakan?"Diandra menatapnya tajam, matanya memerah. “Dia ngancam lagi! Dia mau lapor ke polisi. Dan aku nggak mau masuk penjara gara-gara ini!"Dari kejauhan, Gilang mendengar cukup untuk menyatukan potongan teka-teki. Ia menahan diri agar tidak langsung maju, memilih bersembunyi di balik mobil lain sambil menajamkan telinganya."Ya itu kan karena kamu juga yang ngeyel! Aku udah bilang dari awal buat gugurin bayi itu!" tekan Dokter Danu penuh amarah. "Kenapa kamu nolak?!""Ya
Alis Diandra berkerut. “Maksud kamu?”“Semalam aku sudah ke kantor polisi.” Nada suara Zayn turun satu oktaf, dingin menusuk. “Aku sudah buat laporan resmi tentang pencemaran nama baik yang kamu lakukan. Jadi kalau kamu berani buka suara tanpa bukti, justru kamu sendiri yang akan jatuh duluan.”Wajah Diandra menegang. Matanya melebar, meski bibirnya berusaha tetap melengkungkan senyum sinis. “Kamu pikir polisi akan percaya?”“Kenapa tidak?” Zayn menatapnya lurus. “Aku punya rekam jejak bersih, karier, dan reputasi yang tidak bisa diganggu gugat begitu saja. Sedangkan kamu? Hanya seorang perempuan dengan isu kehamilan misterius yang belum jelas siapa ayahnya. Kamu kira orang akan membela siapa lebih dulu?”Diandra terdiam. Jemarinya mencengkeram rok kerjanya dengan kuat. Napasnya memburu, meski ia berusaha menyamarkan dengan tawa kecil. “Kamu terlalu percaya diri.”“Bukan percaya diri.” Zayn menggeleng pelan. “Tapi itu semua berdasarkan fakta. Jadi, kalau kamu mau main ancaman, pastika
Di ruang praktiknya yang tenang, Zayn duduk bersandar di kursi dokter sambil menatap layar ponsel. Suaranya terdengar lembut tapi penuh kewaspadaan ketika panggilan tersambung.“Rhea?”“Iya, Kak. Ada apa?” suara Rheana terdengar pelan di seberang, berbeda dari biasanya yang penuh semangat. "Kok tumben jam segini telfon? Gak sibuk?"“Lagi break sebentar. Aku pengen tahu, ada kabar terbaru dari tugasmu kemarin?” Zayn langsung to the point, nada suaranya tegas, seakan menahan cemas.Rheana menggigit bibirnya. Ia melirik buku catatan kecil di pangkuannya yang berisi hasil pengamatan dan gosip yang ia kumpulkan. “Ada beberapa hal sih, Kak. Tapi, untuk fix-nya, aku belum bisa cerita sekarang.”Alis Zayn mengerut. “Kenapa? Ada masalah?”“Bukan masalah, cuma takut salah. Aku butuh waktu buat pastiin dulu. Soalnya kalau aku cerita sekarang tapi ternyata salah, nanti malah bikin Kak Zayn tambah bingung”Zayn menghela napas panjang. “Rhea, kamu tahu kan? Situasinya gak memungkinkan buat nunggu t
“Serius, Kak? Kamu beneran mau bantuin?” “Serius banget,” jawab Gilang sambil mengangguk mantap. “Aku bakal coba gali informasi. Kamu jangan khawatir.” Rheana menangkupkan kedua tangannya, hampir bertepuk girang. “Ya Tuhan, akhirnya… makasih banyak ya, Kak. Aku beneran seneng banget!” Melihat Rheana begitu girang, Gilang cuma bisa tersenyum kecil. “Heh, jangan seneng dulu. Perjuangan kita masih panjang. Tapi… liat kamu senyum kayak gitu, aku jadi tambah semangat deh.” Rheana mendengus, tapi kali ini tanpa marah. “Dasar gombal.” *** Siang itu suasana rumah sakit cukup lengang. Gilang berjalan pelan di koridor, matanya fokus pada sosok pria dengan jas dokter putih yang tengah sibuk menulis sesuatu di meja resepsionis. Dokter Danu. Dari luar, pria itu terlihat biasa saja—tenang, rapi, penuh wibawa. Tidak ada sedikit pun tanda-tanda wajah bersalah seperti yang dibayangkan Rheana. Justru, senyum ramahnya sempat ia berikan pada salah satu perawat yang lewat. “Hm, beneran orang yang
"Seseorang?" Alis Gilang berkerut. "Siapa?"Rheana mencondongkan tubuh, menurunkan suaranya. “Aku butuh info soal Dokter Danu.”Mata Gilang membulat. “Hah? Dokter Danu?” Ia spontan menegakkan punggung, jelas terkejut. “Rhe, kamu jangan main-main. Kenapa tiba-tiba bawa-bawa nama dia?”“Karena aku punya alasan kuat,” balas Rheana cepat. “Aku udah denger gosip dari orang-orang sekitar kosan Diandra. Mereka bilang, cowok yang sering keliatan sama Diandra itu Dokter Danu. Terus, aku juga nemuin beberapa postingan dan komentar yang bikin aku curiga kalau mereka dekat.” Rheana menggertakkan giginya.Gilang mengusap wajahnya kasar, ekspresinya berubah serius. “Astaga, Rhe. Kamu sadar gak apa yang kamu omongin barusan?”“Aku sadar banget.” Rheana menatapnya tajam. “Makanya aku butuh info dari kamu. Kamu kan kerja satu tempat ama dia, pasti pernah dengar desas desus tentang mereka kan?"Gilang terdiam, menatap meja sejenak, lalu kembali encar ke arah Rheana. “Kamu gak salah denger? Maksudku, in
Begitu pintu kamarnya tertutup, Rheana menjatuhkan diri ke atas kasur. Plastik belanjaan asal ia taruh di meja belajar. Napasnya masih sedikit terengah, seolah habis lari maraton.“Astaga, hampir aja ketahuan Papa kalau aku lagi nyelidikin Diandra,” gumamnya pelan, menatap langit-langit kamar. “Kalau aku sampai keceplosan soal hubungan Diandra sama Dokter Danu, bisa gawat nih. Heboh pasti serumah."Ia bangkit setengah, meraih laptop dari meja, lalu menyalakannya. Begitu layar menyala, folder berisi screenshot-screenshot postingan Diandra langsung terbuka. Foto-foto Diandra dengan Danu, caption mencurigakan, dan komentar yang menguatkan dugaan.Rheana mengetuk bibirnya dengan jari telunjuk. “Kalau mau buktiin kedekatan mereka, aku gak bisa cuma andelin sosmed atau sekedar omongan orang-orang. Aku harus punya bukti nyata. Sesuatu yang gak bisa dibantah sama sekali.”Ia beranjak, berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Rambutnya diacak-acak frustrasi. “Gimana caranya? Masa aku harus ikuti