Rheana yang memang terkenal usil, langsung menangkap perubahan wajah Qiana. Ia menyeringai seperti anak kecil yang baru saja menemukan mainan baru. "Waaa... Qia! Muka kamu merah banget tuh. Aku tau, kamu pasti lagi mikir yang aneh-aneh kaan," goda Rheana sambil menyikut pelan lengan Qiana.
Qiana nyaris tersedak udara. “Eh?! Nggak, nggak! Ini cuma gerah aja kok," balasnya sambil mengipas-ngipasi udara di depannya. "Yaelah Qia, ballroom dingin gini? Masa kepanasan? Apalagi kamu kan berdiri di sebelah kak kulkas. Mana mungkin kegerahan, hahaha." Rheana makin jadi. Bahkan Zayn sampai melirik adiknya sambil geleng-geleng. “Rhea, cukup! Jangan godain ipar kamu terus!” pinta sang Papa dengan nada memperingatkan. Rheana memang langsung diam, tapi wajah tengilnya tetap gak bisa hilang. “Sudah-sudah, kalian istirahat dulu ya,” kata Bu Wijaya akhirnya. “Kalian pasti capek. Besok pagi kita sarapan bareng.” "Iya, Qia. Jangan mikirin apa-apa dulu, fokus istirahat," timpal Bu Atmaja dengan senyum menenangkan yang justru bikin Qiana makin curiga. Kenapa semua orang ngomongnya ambigu banget? Zayn hanya mengangguk, lalu mempersilakan Qiana berjalan lebih dulu. Qiana berdiri kaku sambil menatap angka-angka yang menyala di atas pintu lift. Lantai 14... 15... 16... 'Ya Tuhan, ini mimpi gak sih?' 'Aku... Aku beneran nikah? Beneran jadi istri orang sekarang? Astagaaa, sulit dipercaya.' Dia melirik suaminya dari ujung mata. Pria itu hanya berdiri tenang dengan ekspresi tenangtenang seperti tidak ada beban. 'Dia beneran suamiku sekarang? Cowok pendiam ini? Demi apa, aku masih gak nyangka?' 'Takdir benar-benar seteka-teki itu. Abis diselingkuhin ama mokondo, eh malah dapat Pak Dokter.' Tapi— ‘Dia tenang banget sih... Apa cuma aku aja yang gugup? Kenapa dia gak keliatan salting sama sekali.' 'Apa jangan-jangan dia udah sering HTS sama cewek-cewek di luar sana? Ehh— enggak! Aku gak boleh su'udzon,' Qiana menggelengkan kepalanya. Pling! Pintu lift terbuka. Kamar mereka ada di ujung lorong— kamar nomor 2025. Jalan menuju kamar terasa panjang sekali untuk Qiana, padahal cuma beberapa meter. Bahkan langkah kakinya mendadak terasa berat. Zayn menempelkan keycard ke pintu, lalu membukanya. “Ayo masuk!" titah suaminya datar. Qiana nyaris terpeleset karena kaget mendengar titah Zayn. "I- iya." Perempuan itu masuk ke dalam. Dan seketika ia dibuat terperangah melihat kondisi di dalam sana. Ruangan itu... terlalu romantis. Lampu remang-remang bernuansa hangat menyinari kamar luas bergaya klasik-modern. Aromaterapi menyebar lembut di udara, membuat suasana terasa... menggoda. Tapi yang paling bikin Qiana ingin kabur ke ujung dunia adalah: ranjang king size besar di tengah ruangan, dihias taburan kelopak bunga mawar merah berbentuk hati. Dan di atasnya, ada dua handuk putih digulung membentuk angsa saling berciuman. 'DEMI APA?! KENAPA ANGSANYA HARUS CIUMAN SIH?!' jerit Qiana dalam hati. 'GAK ADA GAYA LAIN APA?' “Kenapa masih berdiri di sana?" gumam Zayn sambil mencabut dasinya. "Kamu gak mau ganti baju?" “Eh?! G- ganti baju,” jawab Qiana kaku, masih berdiri di depan pintu seperti satpam. "Iya, kamu gak gerah pakai baju pengantin terus?" tanya Zayn sambil berjalan ke arah sofa di dekat jendela besar dan duduk sambil membuka jam tangannya. Ia tampak biasa saja, seperti ini adalah rutinitas harian. Sementara Qiana? Otaknya udah hang, tangannya gemetaran, dan wajahnya makin panas. ‘Tenang Qiana! Tenaaang! Jangan kampungan pleaseee! Bikin malu!' perintahnya pada diri sendiri. Tapi tubuhnya masih ogah gerak. Zayn menoleh lagi ke arah perempuan yang masih tidak bergerak tersebut. Tampaknya dia sudah menyerah. "Aku mandi duluan!" Qiana menatap suaminya dan mengangguk. "Umm..." Begitu suara pintu kamar mandi tertutup, Qiana langsung menjatuhkan diri ke lantai berkarpet empuk. "Astaga..." desahnya pelan sambil menatap ke atas, ke arah langit-langit. Detak jantungnya masih ngebut kayak habis lari sprint. Tangannya mencengkram ujung gaun pengantinnya yang berat. ‘Kenapa aku gugup banget sih? Ini tuh suamiku sendiri. Sudah SAH. Di hadapan keluarga. Tapi kenapa rasanya kayak aku lagi nyiapin mental buat uji nyali? Ahh, nyiapin skripsi aja kayaknya gak bakal kayak gini deh.' Qiana menarik napas panjang, lalu mencoba menenangkan diri. "Oke. Ini normal. Ini hal yang wajar. Namanya aja baru pertama kali kan?" katanya memotivasi diri sendiri. "Mending aku ganti baju dulu." Perlahan ia melepas tiara di kepalanya, lalu anting, dan kalung. Tapi saat mencoba membuka gaunnya, tiba-tiba tangannya berhenti... Resletingnya... nyangkut. Qiana berdiri dan mencoba meraih bagian belakang gaunnya. Tangan kanan gak sampai. Tangan kiri apalagi. Dia muter-muter kayak kipas angin rusak. “Ngg... kok gak bisa ya?” Dia berusaha menariknya pelan. Tapi gagal. Dia dorong ke atas. Tetap nyangkut. “ASTAGA... ini resletingnya kenapa sih?" Qiana duduk lagi sambil mengerang frustasi. "Apes banget sih?" Tak lama, suara pintu kamar mandi terbuka. Qiana reflek menoleh. Zayn keluar hanya dengan kaus hitam dan celana training warna senada. Rambutnya masih basah dan ada handuk di pundaknya. Saat dia melihat Qiana masih dalam gaun lengkap dan duduk di lantai... Alisnya langsung naik satu. “Qiana?” tanyanya. “Kenapa belum ganti baju?” Qiana panik dan langsung berdiri tergopoh. “Eh! Aku... anu... ini... resletingnya— nyangkut," balasnya dengan suara yang cukup lirih. "Aku udah coba buka tapi gak bisa." Zayn terdiam beberapa detik. Matanya menatap ke arah punggung gaun itu. “Boleh aku bantu?” Qiana langsung membeku. Pipinya Qiana langsung merah padam. Tapi mau gimana lagi? Dia sendiri gak bisa ngelepasin. Gak ada siapapun di sini yang bisa dimintai tolong. “B-boleh...” ucapnya lirih. Zayn melangkah mendekat. Tangannya yang besar dan hangat menyentuh pelan punggung Qiana. Ia memegang resletingnya hati-hati. “Rileks aja!" bisiknya pelan, di dekat telinga Qiana membuat gadis itu merinding seketika. Zayn menarik resleting itu perlahan. Jemarinya terasa hangat menyentuh punggung Qiana yang terbuka sedikit demi sedikit seiring turunnya resleting. Qiana menahan napas, matanya terpejam, dan tubuhnya menegang. Tiba-tiba... "Hmm..." gumam Zayn pelan. "Kamu pakai parfum apa?" Qiana langsung membuka mata. "Hah?" Zayn mendekat, wajahnya condong ke arah leher Qiana. "Wanginya enak. Lembut." Qiana meremas bagian depan gaunnya. “I-it–itu... parfum favoritku...” jawabnya gugup setengah mati. Tapi Zayn malah menyeringai kecil, mendekat lebih dekat, dan... Ciuman ringan mendarat di leher Qiana. Tepat di bawah telinganya. Lembut. Hangat. Tapi cukup bikin lutut Qiana lemas. “Z-Zayn!” seru Qiana, terlonjak sedikit, menoleh ke belakang dengan wajah merah merona. "Unghhh..." "Aku suka baunya," ia menepelkan hidungnya ke sepanjang leher jenjang Qiana. Bahkan sesekali bibirnya menyentuh area itu hingga membuat Qiana mengerang lirih. "Sepertinya itu akan jadi aroma favoritku juga sekarang." "A- apa? Umphh!"Pak Atmaja berdiri mematung di depan ruang UGD. Tangannya mengepal, berusaha menahan perasaan yang berkecamuk di dada. Tak lama, seorang pria setengah baya berseragam putih mendekatinya. Namanya Dokter Surya, kolega lamanya—seorang Dokter spesialis yang telah puluhan tahun malang melintang di dunia medis.“Pak Atmaja,” sapa Dokter Surya pelan. “Saya turut berduka cita.”Pak Atmaja mengangguk pelan. “Terima kasih, Dok. Sebenarnya apa yang terjadi, Dok?"Dokter Surya menghela napas panjang, lalu menatap pria di depannya dengan ragu. “Sebenarnya, secara medis… beliau masih memiliki peluang untuk selamat. Tapi ada keterlambatan penanganan.”Pak Atmaja menyipitkan mata. “Terlambat?”“Iya, Pak. Kami kekurangan dokter bedah jantung hari ini. Dan, seharusnya Dokter Zayn yang bertugas. Tapi… beliau tidak datang.”“Zayn?” Suara Pak Atmaja terdengar tercekat. “Jadi Zayn tidak masuk hari ini?”“Benar, Pak. Kami sudah coba hubungi beliau sejak pagi. Tidak ada kabar. HP-nya tidak aktif. Dan karena
"Dokter, saya mohon lakukan apapun untuk menyelamatkan Mama saya. Saya mohon dokter." Qiana memegang tangan Dokter senior di depannya."Saya mengerti. Hanya saja rumah sakit sedang kekurang dokter bedah jantung. Dan dokter Zayn juga tidak bisa diharapkan."Qiana nyaris lupa caranya bernafas ketika mendengar penjelasan Dokter. ‘Zayn… Kenapa harus sekarang?'Air matanya semakin deras. Kepalanya terangkat perlahan, menatap dokter di depannya dengan pandangan penuh luka."Anda tenang saja! Kami akan berusaha sebisanya."Qiana hendak mengatakan sesuatu, namun suara panggilan sang Mama yang baru siuman itu membuat fokusnya langsung tertuju ke arah wanita itu."Mama!" Qiana beringsut ke arah Bu Wijaya. Ia meraih tangan wanita paruh baya tersebut dan menggenggamnya erat. "Mama... Qia di sini Ma..."Dengan napas yang berat dan suara nyaris tak terdengar, Bu Wijaya perlahan membuka matanya. Pandangannya samar, tapi ia tetap bisa mengenali wajah putrinya yang dipenuhi air mata.“Q—Qia…” bisiknya
“Papa… jangan tinggalin aku…”Hampir 10 menit Qiana di sana. Qiana terdiam di pelukan jasad ayahnya. Tubuhnya melemah sepenuhnya. Wajahnya masih terbenam di dada Pak Wijaya yang dingin, air matanya membasahi kain baju sang Papa. Napasnya berat, dadanya sesak, seolah tak ada lagi alasan baginya untuk bertahan di dunia ini.Namun tiba-tiba, kesadarannya terguncang.Satu ingatan menamparnya keras.‘Mama…’Kepalanya perlahan terangkat. Mata sembabnya membelalak.‘Papa tadi semobil sama Mama…’Detik itu juga, tubuh Qiana terpental mundur. “Mama…! Mama di mana?! Suster! MAMA AKU DI MANA?!” jeritnya panik, suaranya pecah.Seorang suster yang masih berjaga di sudut ruangan langsung menghampiri. “Mba, tenang dulu… tenang…”“GAK! MANA MAMA SAYA?! TADI MAMA SAYA JUGA DI MOBIL ITU KAN?!” Qiana mencengkeram keras lengan suster itu, wajahnya hancur oleh tangis dan panik.Suster itu akhirnya menarik napas dalam-dalam, lalu menunjuk sebuah bilik perawatan tak jauh dari tempat Pak Wijaya terbujur kaku
Qiana membeku di ambang pintu UGD. Pandangannya langsung menangkap sosok yang tergeletak di atas ranjang—tubuh seorang pria paruh baya, penuh darah, dengan perban terbuka di kepala dan alat oksigen menutupi sebagian wajahnya. Beberapa dokter dan suster bergerak cepat di sekelilingnya, suara alat medis berdengung keras di udara.'I-itu...'Qiana refleks ingin berlari. “PAPA!!” jeritnya, histeris. Tapi belum sempat ia mendekat, seorang suster langsung menghadangnya. Tubuh mungil Qiana tertahan kuat di pelukan perawat itu, membuatnya semakin panik.“PAPA! Papa!""Mba! Tolong tenang!""Tapi itu Papa saya, Suster. Saya mau ke sana! Aku mau lihat kondisi Papa!" Suaranya pecah, teriakan yang nyaris seperti rintihan kesakitan. Air matanya langsung mengalir deras tanpa bisa ditahan."Mba, tolong tenang dulu! Doktet sedang menangani pasien!” Suster itu mati-matian menahan Qiana, yang terus memberontak seperti orang kehilangan akal.“Saya anaknya, Sus! Saya mau liat kondisi Papa! Saya mohon!” Su
“Kalau emang dia masih cinta sama Diandra— okey... biar aku yang ngalah." Ia mengusap air mata di pipinya dengan gerakan kasar. “Mungkin hubungan kami hanya sampai di sini." Dia ingin kembali ke rumah orangtuanya. Setidaknya, di sana… ia masih bisa jadi Qiana. Anak gadis sederhana yang dicintai orangtuanya tanpa syarat. Bukan perempuan yang terus memohon perhatian dari suami yang tak pernah benar-benar memandangnya. “Gak ada gunanya aku bertahan. Toh dia gak akan pernah ngeliat aku." Bertahan hanya akan membuat luka di hatinya bertambah parah. Setelah entah berapa lama terisak, tubuh Qiana mulai melemah. Air matanya masih jatuh, tapi sudah tak sekeras sebelumnya. Yang tersisa hanya sesak… dan hampa. Ia menatap kosong ke arah langit-langit ruangan, napasnya tak beraturan, matanya sembab dan bengkak. Perlahan, ia meraih ponselnya di meja samping ranjang. Rasanya berat sekali. Tapi... ini adalah jalan terbaik baginya dan mungkin juga untuk Zayn. Qiana membuka kontak dengan nama
Qiana menarik napas dalam-dalam. Tapi paru-parunya terasa berat. Matanya menatap kosong langit-langit ruangan, bibirnya bergetar, air matanya mulai jatuh lagi… tanpa suara.Tangan yang tadi menggenggam erat sisi ranjang kini perlahan melemah, jatuh di atas selimut. Tubuhnya seperti kehilangan tenaga.Teringat kembali kejadian semalam.Bagaimana Zayn berdiri di depan Diandra. Bagaimana tatapannya berubah lembut, bagaimana suaranya terdengar begitu pelan dan sabar saat bersama Diandra.Dan puncaknya… bagaimana ciuman itu terjadi.Ciuman yang tampak dalam dan penuh kasih. Penuh rasa saling memiliki.Tidak seperti cara Zayn memperlakukannya selama ini.“Jadi… memang bisa ya… dia hangat kayak gitu.” Suara Qiana lirih, getir. Air matanya tak tertahan lagi. “Ternyata dia bisa peluk seseorang dengan lembut dan penuh. Cuma… bukan aku orangnya.”Air matanya jatuh satu-satu. Tanpa isakan. Hanya diam… tapi menghancurkan.Qiana teringat semua detik saat Zayn bersikap dingin padanya. Cara Zayn bica