"Aku..."
Semua mata tertuju ke arah Zayn. Terutama Qiana yang tak sabar menunggu jawaban pria tersebut. "Aku tidak masalah dengan perjodohan ini. Bagiku asal Papa dan Mama cocok dengan perempuan itu, bagiku itu sudah cukup." Seketika suasana lega memenuhi ruangan tersebut. Jawaban tenang Zayn seolah jadi angin segar untuk mereka semua. "Bagaimana nak Qia? Kamu setuju kan menikah dengan Zayn?" tanya Bu Atmaja. Tatapan matanya terlihat jika beliau menginginkan Qiana untuk menjadi menantunya. "Oh, mungkin kamu butuh waktu untuk berpikir. Jadi—" "Saya mau tante... Saya setuju menikah dengan kak Zayn." *** Sebulan kemudian, hari yang dinanti tiba. Cuaca sore itu cerah, langit membentang biru muda dengan awan tipis-tipis menggantung di cakrawala. Angin berhembus lembut, menyejukkan suasana meski matahari masih bersinar terang. Acara pernikahan Qiana dan Zayn digelar di sebuah ballroom mewah di salah satu hotel ternama. Gedungnya sendiri dihias dengan nuansa elegan yang didominasi warna putih dan pink. Serta lampu-lampu gantung berdesain klasik yang kian menambah suasana elegan dan berkelas. Di dalam ruangan, suasana begitu hangat dan mewah. Karpet merah membentang dari pintu masuk sampai ke pelaminan yang berdiri megah di ujung ruangan. Para tamu berdatangan dengan mengenakan busana formal. Pria dengan jas hitam, wanita dengan gaun-gaun panjang warna lembut. Musik instrumental mengalun pelan, mengiringi suasana sakral namun penuh kebahagiaan. Di sisi kiri dan kanan, hidangan prasmanan berderet rapi dengan berbagai sajian dari makanan tradisional hingga internasional. Qiana, dalam balutan kebaya modern putih keperakan dengan sentuhan payet halus, tampak memesona. Riasannya natural namun menonjolkan kecantikannya yang lembut. Sementara Zayn tampil gagah dalam setelan jas slim-fit warna abu-abu gelap, dasi kupu-kupu hitam, dan bros kecil emas bertuliskan inisial “Z&Q”. “Selamat menempuh hidup baru, Qia, Dr Zayn,” ucap salah satu tamu sembari menyalami kedua mempelai. Senyum terus mengembang di wajah mereka, meski keduanya masih agak kikuk di hadapan tamu yang begitu ramai. "Langgeng terus ya kalian, semoga berjodoh sampai kakek nenek." "Terimakasih," balas Qiana dengan senyum ramahnya yang khas. Di belakang layar, Bu Wijaya tampak sibuk menyambut tamu dengan anggun, sementara Pak Wijaya dan Pak Atmaja tertawa lepas—mengenang masa muda sambil sesekali memamerkan menantu mereka masing-masing. Tapi di tengah keramaian itu, Qiana sesekali mencuri pandang ke arah Zayn. Dia heran kenapa pria itu terlihat begitu datar. Meskipun sesekali ia mencoba membalas ucapan selamat orang-orang tapi tetap saja kesan dingin dan misterius begitu melekat padanya. 'Sebenarnya Zayn happy gak ya ama pernikahan ini? Kenapa ekspresi wajahnya datar banget kayak jalan tol?' 'Apa dia terpaksa ya? Tapi— waktu itu kan dia berkata kalau setuju dengan keputusan orang tuanya. Berarti dia gak masalah dong ama perjodohan ini?' Qiana terus berdebat dengan pemikirannya sendiri. Otaknya terus memprediksi ini dan itu, seperti berusaha keras membaca isi pikiran pria 28 tahun tersebut. "Ada apa?" Sadar jika Qiana terus memperhatikannya, Zayn pun akhirnya buka suara. "E- enggak! Enggak ada apa-apa kok. Ehehehehe," balas Qiana sambil tertawa canggung. Pipinya sedikit memerah. Zayn tak merespon. Dia kembali menghadap ke depan dan memperhatikan para tamu undangan yang datang. Sekitar tiga jam, keduanya sibuk menyambut para tamu yang semakin ramai datang ke pesta pernikahan mereka. Keduanya memaksa untuk terus tersenyum meskipun kaki mulai pegal dan pipi sedikit kebas. Acara akhirnya selesai menjelang malam. Para tamu terakhir mulai meninggalkan ballroom, dan petugas dekorasi sudah mulai membereskan pelaminan. Qiana menoleh ke arah Zayn yang kini duduk santai sambil melepas dasi kupu-kupunya. “Akhirnya acar ini selesai jjuga ya, Kak,” ucap Qiana sambil mengusap pelan pipinya yang pegal akibat terlalu banyak tersenyum. “Hmm,” sahut Zayn singkat, matanya masih menatap ke depan. Klasik. "Capek juga harus senyum berjam-jam. Ini pertama kalinya buatku," ujarnya lagi. Tapi kali ini Dokter berparas tampan itu memilih untuk tidak menanggapi. Qiana hendak mengatakan sesuatu, namun tiba-tiba Pak Atmaja dan Bu Atmaja datang menghampiri mereka berdua dengan senyum lebar. “Nah, ini dia pengantin baru kita!” seru Pak Atmaja ceria sambil merogoh saku jasnya. "Selamat ya buat pernikahan kalian." Pria paruh baya dengan jas hitam tersebut menepuk pundak putra sulungnya. "Papa lega sekali karena pernikahan ini berjalan dengan lancar." "Terimakasih kasih, Om, tante." Bu Atmaja mengerutkan keningnya ketika mendengar balasan Qiana. "Kok Om dan Tante sih? Harusnya Mama dan Papa dong. Kan kamu menantu kita sekarang," balasnya. Qiana tampak canggung bukan main. Dan hal tersebut justru membuat Rheana— adik perempuan Zayn terpingkal. "Ya ampun, aura canggungnya keliatan banget sih Qia. BTW, santai aja kali!" Qiana nyengir. Dia bukannya sedikit tenang malah merasa lebih canggung lagi. "Gak apa-apa, Mama paham kok. Dulu Mama juga gitu waktu baru nikah ama Papa," sahut Bu Atmaja sambil mengusap pundak Qiana. Sedangkan Papa dan Mama Qia juga ada di sana hanya tersenyum lega karena putrinya di Terima dengan tangan terbuka di keluarga barunya. "Oh ya, Papa ada sesuatu untuk kalian," ujar Pak Atmaja. Ia lalu menyerahkan sebuah keycard berwarna hitam dengan tulisan elegan berlapis emas. “Ini, hadiah dari Papa dan Mama. Yah, walaupun gak begitu besar, tapi Papa dan Mama harap kalian suka." Qiana terperangah. 'Gak gitu besar katanya? Liat dari kuncinya aja udah ketahuan kalau itu salah satu perumahan elite,' jerit hati kecilnya. "Papa gak perlu repot seperti ini. Aku bisa kok beli rumah sendiri," ucap Zayn pada akhirnya. "Apalagi ini terlalu mewah untuk kita." Qiana mengangguk setuju. "Benar Om, eh Pa. Apalagi kita kan cuma tinggal berdua." "Oh, kalian mau apart aja? Boleh lah. Nanti Papa carikan apart dengan view terbaik di kota ini," potong Pak Atmaja santai. Seolah membeli rumah ataupun apart seperti membeli cabe di pasar. Gak pake mikir! "Gak gitu Pa—" "Udahlah, Zayn sayang! Terima aja ya hadiah kami. Ini itu salah satu bentuk kasih sayang kami ke kalian," potong Bu Atmaja, berusaha membujuk putranya yang dia kenal keras kepala. "Ini agak berlebihan," ungkap Zayn lagi. "Kalau buat anak Mama dan Papa, gak ada yang namanya berlebihan. Nanti pas Rhea nikah kita juha bakal kasih hadiah yang sama kok," sambung Pak Atmaja yang langsung dihadiahi pelukan sayang oleh si bungsu. Sementara Qiana masih syok dengan kesenjangan yang ada—Papa dan Mama Qiana yang tak mau kalah. “Kalau dari Papa dan Mama,” kata Bu Wijaya sambil menggoyang-goyangkan keycard lainnya. "Ini dia… kunci kamar hotel untuk kalian berdua." Qiana makin melongo. Kenapa orang tuanya ngasih hadiah kamar hotel coba? Kan— OMG! Qiana lupa, kalau sebentar lagi bakal ada adegan dewasa antara dia dan Zayn suaminya. "Qiana! Kenapa pipi kamu merah?"Diandra langsung berjalan mendekati Danu. Ia mendorong dada pria itu dengan kasar begitu jarak mereka hanya beberapa langkah. “Kamu harus tanggung jawab, Danu! Aku nggak bisa terus-terusan sendirian kayak gini!”“Jangan keras-keras!” Danu mendesis, buru-buru menarik lengan Diandra ke arah sudut yang lebih sepi. “Apa kamu mau semua orang dengar?”“Aku nggak peduli!” suara Diandra bergetar, hampir pecah oleh tangis dan amarah. “Aku gak bisa terus menerus ngejar Zayn untuk tanggungjawab!""Kenapa? Apalagi yang Zayn katakan?"Diandra menatapnya tajam, matanya memerah. “Dia ngancam lagi! Dia mau lapor ke polisi. Dan aku nggak mau masuk penjara gara-gara ini!"Dari kejauhan, Gilang mendengar cukup untuk menyatukan potongan teka-teki. Ia menahan diri agar tidak langsung maju, memilih bersembunyi di balik mobil lain sambil menajamkan telinganya."Ya itu kan karena kamu juga yang ngeyel! Aku udah bilang dari awal buat gugurin bayi itu!" tekan Dokter Danu penuh amarah. "Kenapa kamu nolak?!""Ya
Alis Diandra berkerut. “Maksud kamu?”“Semalam aku sudah ke kantor polisi.” Nada suara Zayn turun satu oktaf, dingin menusuk. “Aku sudah buat laporan resmi tentang pencemaran nama baik yang kamu lakukan. Jadi kalau kamu berani buka suara tanpa bukti, justru kamu sendiri yang akan jatuh duluan.”Wajah Diandra menegang. Matanya melebar, meski bibirnya berusaha tetap melengkungkan senyum sinis. “Kamu pikir polisi akan percaya?”“Kenapa tidak?” Zayn menatapnya lurus. “Aku punya rekam jejak bersih, karier, dan reputasi yang tidak bisa diganggu gugat begitu saja. Sedangkan kamu? Hanya seorang perempuan dengan isu kehamilan misterius yang belum jelas siapa ayahnya. Kamu kira orang akan membela siapa lebih dulu?”Diandra terdiam. Jemarinya mencengkeram rok kerjanya dengan kuat. Napasnya memburu, meski ia berusaha menyamarkan dengan tawa kecil. “Kamu terlalu percaya diri.”“Bukan percaya diri.” Zayn menggeleng pelan. “Tapi itu semua berdasarkan fakta. Jadi, kalau kamu mau main ancaman, pastika
Di ruang praktiknya yang tenang, Zayn duduk bersandar di kursi dokter sambil menatap layar ponsel. Suaranya terdengar lembut tapi penuh kewaspadaan ketika panggilan tersambung.“Rhea?”“Iya, Kak. Ada apa?” suara Rheana terdengar pelan di seberang, berbeda dari biasanya yang penuh semangat. "Kok tumben jam segini telfon? Gak sibuk?"“Lagi break sebentar. Aku pengen tahu, ada kabar terbaru dari tugasmu kemarin?” Zayn langsung to the point, nada suaranya tegas, seakan menahan cemas.Rheana menggigit bibirnya. Ia melirik buku catatan kecil di pangkuannya yang berisi hasil pengamatan dan gosip yang ia kumpulkan. “Ada beberapa hal sih, Kak. Tapi, untuk fix-nya, aku belum bisa cerita sekarang.”Alis Zayn mengerut. “Kenapa? Ada masalah?”“Bukan masalah, cuma takut salah. Aku butuh waktu buat pastiin dulu. Soalnya kalau aku cerita sekarang tapi ternyata salah, nanti malah bikin Kak Zayn tambah bingung”Zayn menghela napas panjang. “Rhea, kamu tahu kan? Situasinya gak memungkinkan buat nunggu t
“Serius, Kak? Kamu beneran mau bantuin?” “Serius banget,” jawab Gilang sambil mengangguk mantap. “Aku bakal coba gali informasi. Kamu jangan khawatir.” Rheana menangkupkan kedua tangannya, hampir bertepuk girang. “Ya Tuhan, akhirnya… makasih banyak ya, Kak. Aku beneran seneng banget!” Melihat Rheana begitu girang, Gilang cuma bisa tersenyum kecil. “Heh, jangan seneng dulu. Perjuangan kita masih panjang. Tapi… liat kamu senyum kayak gitu, aku jadi tambah semangat deh.” Rheana mendengus, tapi kali ini tanpa marah. “Dasar gombal.” *** Siang itu suasana rumah sakit cukup lengang. Gilang berjalan pelan di koridor, matanya fokus pada sosok pria dengan jas dokter putih yang tengah sibuk menulis sesuatu di meja resepsionis. Dokter Danu. Dari luar, pria itu terlihat biasa saja—tenang, rapi, penuh wibawa. Tidak ada sedikit pun tanda-tanda wajah bersalah seperti yang dibayangkan Rheana. Justru, senyum ramahnya sempat ia berikan pada salah satu perawat yang lewat. “Hm, beneran orang yang
"Seseorang?" Alis Gilang berkerut. "Siapa?"Rheana mencondongkan tubuh, menurunkan suaranya. “Aku butuh info soal Dokter Danu.”Mata Gilang membulat. “Hah? Dokter Danu?” Ia spontan menegakkan punggung, jelas terkejut. “Rhe, kamu jangan main-main. Kenapa tiba-tiba bawa-bawa nama dia?”“Karena aku punya alasan kuat,” balas Rheana cepat. “Aku udah denger gosip dari orang-orang sekitar kosan Diandra. Mereka bilang, cowok yang sering keliatan sama Diandra itu Dokter Danu. Terus, aku juga nemuin beberapa postingan dan komentar yang bikin aku curiga kalau mereka dekat.” Rheana menggertakkan giginya.Gilang mengusap wajahnya kasar, ekspresinya berubah serius. “Astaga, Rhe. Kamu sadar gak apa yang kamu omongin barusan?”“Aku sadar banget.” Rheana menatapnya tajam. “Makanya aku butuh info dari kamu. Kamu kan kerja satu tempat ama dia, pasti pernah dengar desas desus tentang mereka kan?"Gilang terdiam, menatap meja sejenak, lalu kembali encar ke arah Rheana. “Kamu gak salah denger? Maksudku, in
Begitu pintu kamarnya tertutup, Rheana menjatuhkan diri ke atas kasur. Plastik belanjaan asal ia taruh di meja belajar. Napasnya masih sedikit terengah, seolah habis lari maraton.“Astaga, hampir aja ketahuan Papa kalau aku lagi nyelidikin Diandra,” gumamnya pelan, menatap langit-langit kamar. “Kalau aku sampai keceplosan soal hubungan Diandra sama Dokter Danu, bisa gawat nih. Heboh pasti serumah."Ia bangkit setengah, meraih laptop dari meja, lalu menyalakannya. Begitu layar menyala, folder berisi screenshot-screenshot postingan Diandra langsung terbuka. Foto-foto Diandra dengan Danu, caption mencurigakan, dan komentar yang menguatkan dugaan.Rheana mengetuk bibirnya dengan jari telunjuk. “Kalau mau buktiin kedekatan mereka, aku gak bisa cuma andelin sosmed atau sekedar omongan orang-orang. Aku harus punya bukti nyata. Sesuatu yang gak bisa dibantah sama sekali.”Ia beranjak, berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Rambutnya diacak-acak frustrasi. “Gimana caranya? Masa aku harus ikuti