Zayn kembali ke ruangannya dengan langkah lemas. Pintu ruangan dokter itu ditutupnya pelan, dan dia langsung menjatuhkan tubuh ke kursi. Napasnya berat, seolah bukan tubuhnya yang capek, tapi pikirannya. Matanya tanpa sadar melirik ke meja. Hape-nya tergelak begitu saja di sana. Diam. Tak ada notifikasi, tak ada getar, tak ada suara khas dari satu nama yang beberapa waktu lalu selalu muncul setiap hari. Zayn meraih hape itu, membukanya dengan satu gesekan malas. Jarinya otomatis membuka aplikasi chat. Mencari satu nama yang entah kenapa selalu muncul di benaknya. "Si Berisik" Ia meringis kecil saat memberikan nama itu di kontak Qiana. Tangkup pesan terbuka. Dan dia langsung disambut oleh keheningan digital yang lebih menyayat dari ruangan sepi ini. Pesan terakhir dari Qiana dikirim beberapa minggu lalu adalah saat gadis itu bertanya dia di mana. Setelahnya, tak ada pesan lain yang masuk ke ponselnya. Hingga detik ini. Zayn menggulir ke atas. Chat lama mereka masih ada. Chat ya
“Qia,” panggilnya pelan.Qiana tidak menjawab. Fokusnya tertuju pada masakan.Zayn melangkah sedikit mendekat. "Kamu liat kaos kakiku yang warna abu-abu?”Qiana diam beberapa detik, lalu menjawab tanpa menoleh, suaranya datar, “Aku udah lama enggak nyentuh barang-barang kamu.”Zayn mengerutkan kening, mencoba menangkap nada di balik kalimat itu. Tapi Qiana hanya terus mengaduk masakan, seolah yang barusan dia katakan hanyalah informasi biasa, bukan sindiran.Zayn menghela napas, lalu menunduk, membuka laci lain di dekat meja makan. Tetap tidak ada.“Kemarin aku taruh di kursi,” gumamnya, lebih ke diri sendiri.“Oh,” balas Qiana dingin, masih tanpa menoleh.Zayn menatap punggungnya, tercengang.Suara gemericik air dari wastafel, lalu suara kompor dimatikan. Qiana meletakkan wajan, melepas apron, dan mulai merapikan piring di meja makan. Wajahnya tetap datar, tanpa senyum, tanpa emosi.“Kalau enggak nemu juga, pakai aja yang lain! Kamu kan punya banyak cadangan,” ujarnya sambil berjalan
“Menurut kamu, apa dia masih menyukaiku?” tanya Zayn, nyaris seperti bisikan. "Makanya dia menolak pisah? Dan berharap aku akan mengejar maaf dan cinta darinya untuk balas dendam?"Gilang diam sejenak, menatap Zayn dengan pandangan tajam. Lalu ia mendesah pelan, menyeruput kopi sebelum meletakkan gelasnya dengan tenang."Aku gak tahu pasti, Zayn," jawabnya akhirnya. "Aku bukan Qiana. Tapi kalau aku yang ada di posisi dia— jujur, aku pasti udah muak banget sama kamu."Zayn menoleh cepat. Matanya sempit menahan rasa tak nyaman.Gilang melanjutkan dengan tenang tapi penuh tekanan, "Serius. Buat apa aku ngejar cinta dari cowok sekejam kamu? Yang di saat aku hancur-hancurnya, malah ninggalin dan ngabisin waktu sama orang lain."Zayn menggertakkan giginya. Ucapan Gilang menyayat lebih dalam daripada yang ia kira."Tapi dia masih ada di rumah," ujar Zayn pelan. "Dia tetap masak, tetap pulang ke rumah, tetap melakukan tugasnya sebagai istri.""Ya," potong Gilang cepat. "Mungkin dia masih bert
"Zayn..." "Aku harus pergi. Bye," potong Zayn sebelum kabur dari hadapan Diandra. Diandra mengerutkan keningnya. Rasa emosi kembali menyeruak di dadanya. "Menyebalkan," umpatnya. "Padahal baru saja aku bisa mendapatkan hati Zayn, tapi si Qiana itu malah berulah. Ck, brengsek." Sementara itu, Zayn kembali ke ruangannya dengan langkah malas. Ia menjatuhkan tubuh ke kursi, menatap langit-langit sejenak sebelum menghela napas panjang. Pikirannya kusut, tapi bukan karena Qiana. Bukan karena perasaannya—yang tak pernah benar-benar tumbuh. Ia lebih terganggu dengan semua orang yang mendadak menjauh, seolah-olah dirinya adalah penyakit menular. "Aku gak seburuk itu," gumamnya pelan. Baginya, sikap Qiana yang mendadak dingin kemarin hanyalah efek sesaat karena emosi. Ia yakin, lambat laun wanita itu akan luluh kembali, seperti sebelum-sebelumnya. Selalu begitu. Dan Zayn terlalu percaya diri untuk menganggap ini hanya drama sementara. "Nanti Qiana juga akan mengejarku lagi seperti sebelum
"Qia..." Bu Atmaja langsung menghampiri Qiana dengan langkah cepat, menahan tubuh langsing itu agar tak limbung berdiri. Wajahnya cemas, matanya menatap Qiana dengan kasih seorang ibu.“Kamu butuh sesuatu, Nak?" tanyanya lembut, mengusap bahu Qiana yang terlihat makin kurus dan rapuh.Qiana menatap kosong ke depan, lalu menjawab lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh tangis yang belum selesai, “Aku haus, Ma. Aku mau ambil minum."Rheana buru-buru menghampiri kakak iparnya dengan cepat. “Aku temenin, ya, Kak?” ucapnya pelan sambil memegang lengan Qiana dengan lembut.Qiana hanya mengangguk tanpa bicara, lalu perlahan mulai melangkah ke arah dapur. Rheana berjalan setengah menuntun, setengah menjaga di sampingnya.Langkah Qiana lambat. Penuh beban. Saat ia melintasi ruang tengah dan melewati Zayn yang berdiri di sana—diam, tegang, menahan napas—waktu terasa melambat.Zayn hendak membuka mulut. “Qia…”Tapi Qiana terus berjalan. Tanpa melirik. Tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Dan tanp
Bu Atmaja belum sempat menanggapi ucapan putrinya, saat suara mesin mobil terdengar dari arah depan rumah. Lampu sorot menyapu pelataran sebelum akhirnya padam perlahan.Rheana dan Bu Atmaja menoleh bersamaan. Detik berikutnya, pintu mobil terbuka, dan Zayn keluar dengan langkah tergesa. Ia mengenakan kemeja hitam, rambutnya sedikit berantakan, dan ekspresi wajahnya mencerminkan kebingungan."Mama, Rhea... Maaf aku baru datang," ucapnya sambil melangkah ke arah mereka. "Aku baru baca chat Rhea sore tadi. Aku tidak tau kalau..."Rheana langsung memalingkan wajahnya dengan kesal. Bu Atmaja hanya menatapnya diam-diam, bibirnya menegang. Entah kenapa ia muak sekali pada putranya ini.Zayn menelan ludah. Ia sadar telah memancing amarah keluarganya. "Qia di mana Ma? Aku benar-benar tidak menyangka kalau orang tua Qiana meninggal tiba-tiba. Aku pikir—"Belum sempat Zayn menyelesaikan kalimatnya, langkah berat terdengar dari balik lorong rumah. Pak Atmaja muncul—matanya merah, rahang mengeras