Share

Chapter 4

Sarah terbangun dari tidur nyenyaknya saat telinganya mendengar suara dua orang pria berbincang di dalam kamar, Sarah mengenali suara yang satunya tapi yang satunya lagi terdengar asing di telinga Sarah. Sarah membuka kelopak matanya yang masih terasa berat, berusaha memulihkan kesadarannya untuk melihat siapa pria yang tengah berbincang dengan Barra.

"Sepertinya putri tidur sudah bangun, kalau gitu saya permisi dulu tuan." Gabriel melangkah keluar dan selintas tersenyum kepada Sarah.

"Tuan Barra, siapa pria tadi?" tanya Sarah.

"Dia Gabriel, asisten pribadiku."

Sarah tersadar akan suatu hal sampai kedua matanya terbuka lebar, lalu dengan cepat menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Aneh, tubuhnya kini sudah terbalut kimono tidur padahal seingatnya tadi malam ia tidur tanpa mengenakan pakaian terlebih dahulu.

"Ada apa? kenapa kamu begitu panik?"

"Siapa yang memakaikan kimono ini di tubuhku, tuan Barra?" Sarah balik bertanya.

"Tentu saja aku, memangnya siapa lagi. Kemarilah, aku sudah menyiapkan makanan untuk kita berdua,"

Sarah bangkit dari tempat tidur dan menghampiri Barra yang sudah lebih dulu duduk di meja makan, dari jendela ini Sarah dapat melihat hiruk pikuk kesibukan ibukota di siang hari. Sarah menyantap hidangan itu secara perlahan, perutnya masih terasa tidak nyaman karena pengaruh alkohol yang ia minum semalam.

"Apa semalam kamu menjawab panggilan telepon dari Luna?" tanya Barra tiba-tiba.

"Ya, tapi aku hanya mengatakan kalau kamu sedang tidur."

"Kenapa kamu tidak mengatakan hal lain yang lebih berguna?"

Sarah mengernyitkan keningnya, ia tidak paham maksud ucapan Barra. "Hal lain yang lebih berguna? maksud tuan Barra apa?"

"Lupakan saja, silahkan lanjutkan makanmu. Aku ingin mandi," Barra meninggalkan Sarah sendirian di meja makan.

Setengah jam kemudian pria itu keluar dari kamar mandi dengan penampilan sempurnanya, nampaknya ia akan segera pergi dari tempat ini.

"Kamu mau kemana?" tanya Sarah.

Barra mengalihkan perhatiannya pada Sarah dan tertawa kecil, "Nada bicaramu seperti seorang istri yang ingin tau kegiatan suaminya di luar rumah, Sarah."

"Maaf, aku hanya belum ingin berpisah darimu tuan."

Barra menghampiri Sarah dan menatap manik hazelnya, "Aku akan datang lagi kesini, setelah semua urusanku selesai."

"Kapan?"

"Entahlah," Barra mengedikkan bahunya.

Sarah menghela nafas kecewa, kalau mereka saja jarang bertemu bagaimana bisa Sarah menaklukkan hati Barra dengan cepat.

"Kamu begitu sedih ya aku tinggal pergi, tenanglah aku akan kembali lagi secepat mungkin untukmu." Barra mengecup bibir Sarah lalu beralih ke keningnya.

*****

Di sebuah rumah mewah, dua wanita beda generasi itu kini tengah menyesap secangkir teh sambil melihat siaran televisi kesukaan sang nyonya besar. Luna sebenarnya sudah sangat jenuh berada di tempat ini, kalau bukan karena menunggu kedatangan Barra ia pasti sudah pergi sejak dua jam yang lalu.

"Maaf tante, kira-kira jam berapa ya Barra akan pulang?" tanya Luna.

Arista tertawa seraya menepuk punggung tangan Luna, "Kelihatannya kamu sudah sangat tidak sabaran untuk melihat wajah calon suamimu, Luna."

"Tentu, berpisah dengannya selama hampir satu minggu membuat hatiku meradang karena rindu tante." sahut Luna dengan wajah memelas.

Pucuk di cinta ulam pun tiba, Barra akhirnya datang setelah Luna hampir mati karena bosan menunggu kedatangannya. Luna segera berlari kecil menghampiri pujaan hatinya, lalu memeluknya erat seakan-akan mereka sudah tidak bertemu selama satu abad.

"Lepas, Luna." Barra mendorong Luna secara paksa untuk melepas pelukannya.

"Aku rindu padamu Barra, apa kamu tidak merindukan aku?" tanyanya membuat Barra jengah.

Barra tertawa sinis dan menggelengkan kepalanya, tanpa menghiraukan Luna lagi ia segera duduk di hadapan Arista dan meminta dibuatkan secangkir kopi kesukaannya pada pelayan rumah. Luna ikut duduk di sebelahnya dan terus menggelayuti lengannya, Barra benar-benar jengkel pada wanita ini. Jika saja ia bisa menendang Luna, sudah pasti saat ini juga ia akan menendang Luna sejauh mungkin dari hadapannya.

"Ibu senang melihat kemesraan kalian,"

Barra mendengus kesal saat mendengar ucapan Arista, "Kemesraan apanya, wanita ini yang selalu menempel padaku seperti benalu. Sulit sekali dilepaskan,"

"Barra, kamu jahat banget." bola mata Luna berkaca-kaca, kalau sudah begini andalannya hanya air mata agar Arista membelanya.

"Barra! bersikaplah lebih sopan pada Luna, dia ini calon istrimu." sentak Arista.

"Calon istri? aku bahkan tidak tertarik untuk menikah jadi bagaimana bisa dia menjadi calon istriku," Barra menatap Luna sinis.

"Barra! kamu benar-benar ingin melihat ibu mati lebih cepat ya!"

"Aku lelah, silahkan kalian lanjutkan mengobrolnya." Barra pergi menuju ke kamar lamanya yang sudah hampir tiga tahun tidak ia tinggali.

Kamar ini masih tetap rapih dan terawat meskipun Barra sudah jarang sekali menempatinya, ia hanya akan tidur disini kalau bukan Arista yang memaksanya pulang ke rumah. Barra melepaskan satu persatu pakaiannya, tanpa ia sadari kini Luna sudah menyelinap masuk ke dalam kamarnya dan memeluknya erat dari belakang.

"Barra,"

"Luna! mau apa kamu masuk ke kamarku?" Barra mencoba melepas pelukan Luna yang begitu erat sampai kuku panjangnya menancap di dada Barra.

"Aku rindu kamu Barra, bukannya aku sudah bilang ya tadi."

"Jangan berbicara omong kosong Luna, cepat keluar dari kamarku!"

"Tidak! aku tidak mau!"

Barra sudah benar-benar kehilangan kesabarannya, ia segera melepas pelukan Luna secara kasar hingga pergelangan Luna terasa sakit dibuatnya. Barra menyeret Luna ke arah pintu dan hendak menghempaskannya keluar, namun ternyata pintu itu sudah terkunci dan kuncinya entah berada di mana.

"Kamu sedang mencari apa Barra?" tanya Luna dengan nada mengejek.

"Luna, berikan kunci kamar ini." ucapnya penuh penekanan, Barra berusaha mati-matian menahan emosinya hingga urat di kepalanya menonjol.

"Ambil sendiri kalau kamu mau, kuncinya aku simpan di dalam sini." ucap Luna seraya menunjuk area intimnya.

"Kamu menantangku Luna?" Barra menunjukkan ekspresi kemarahannya di depan Luna, tapi Luna sama sekali tidak merasa takut padanya.

"Ayo ambil, apa kamu mau aku yang ambilin kuncinya? oke biar aku yang ambil ya," Luna melucuti pakaiannya satu persatu dan hanya menyisakan lingerie yang menutup area intim di bawahnya.

"Maaf Barra, sepertinya aku agak kesulitan membuka yang ini." ucap Luna dengan nada bicara yang dibuat manja.

Meskipun Barra melihat Luna tidak memakai apapun di tubuhnya, namun ia tetap tidak tergoda sama sekali padanya. Luna maju satu langkah mendekati Barra dan mulai menyentuh dada bidangnya, berharap Barra akan tergoda dengan kemolekan tubuhnya.

"Luna, jangan berbuat hal yang memalukan seperti ini." Barra mengalihkan pandangannya, bukan karena ia tergoda dengan tubuh Luna melainkan ia muak menatap wanita tidak tahu malu ini.

"Ayolah Barra, mulai hari ini aku akan menyerahkan diriku sepenuhnya untukmu. Aku tidak akan sok jual mahal lagi,"

Luna benar-benar wanita yang keras kepala, karena bicara saja tidak cukup untuk mengusirnya jadi Barra akan mengambil tindakan ekstrim untuk mengusirnya. Barra mendorong Luna menjauh darinya, lalu mengambil sebilah katana yang tergantung di tembok kamarnya. Sekarang Barra akhirnya tau kegunaan benda ini, wajah Luna langsung berubah pucat pasi saat melihat bara mengeluarkan benda tajam itu dari tempat penyimpanannya.

"O-oke! aku akan keluar Barra! biarkan aku memakai pakaianku dulu!"

Dengan tangan gemetar, Luna memakai pakaiannya lagi dan mengeluarkan kunci itu dari celana dalamnya. Barra tersenyum lebar saat sosok Luna akhirnya lenyap dari pandangan matanya, wanita itu memang tidak bisa jika di peringatkan secara baik-baik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status