Share

Bab 2 Kalian Dimana?

Pandu berjalan mendekati jendela, tangannya terulur membuka jendela hingga mengundang tetesan-tetesan air membasahi wajahnya yang bersatu dengan air mata. Tak dihiraukannya tubuh tegap itu dihempas angin dingin hingga menusuk ke tulang. Jika dengan ini bisa membasuh luka hatinya, ia akan lakukan.

“Kalian di mana?” lirih Pandu menatap pucuk cemara yang terombang ambing angin. Pikirannya kembali menerawang pada keluarga kecilnya yang dulu ia campakkan. “Apakah kalian baik-baik saja di luaran sana?”

Tubuh tegap itu tumbang, jatuh di hamparan lantai granit yang dingin. Setiap kali mengingat ketiganya, ia begitu cemas. Entah bagaimana mereka bertahan, bahkan mereka pergi tanpa membawa apapun yang seharusnya menjadi milik mereka. Pandu takkan bisa memaafkan dirinya jika hal buruk terjadi pada orang-orang terkasihnya.

“Pulanglah, papa rindu kalian.”

***SPW***

Rosa menatap sayu sang suami yang duduk bersandar di dinding dengan kedua tangan memijit kepala. Walaupun tak pernah bertanya tapi ia tau apa yang ada di pikiran laki-laki itu.

“Mas, sudah malam, ayo istirahat,” Sebisa mungkin ia tersenyum seolah-olah semua baik-baik saja.

Pandu bangkit kemudian kembali menatap ke arah jendela yang terbuka. Ia meraup udara kasar agar bisa menentramkan sesak yang menjalar di hati. Tanpa menoleh laki-laki itu menjawab seperti biasa. “Tidurlah, aku belum mengantuk.”

Rosa memandang punggung lebar itu lekat, bukannya ia tak tau apa yang dirasakan suaminya ini. Enam tahun berumah tangga cukup menjelaskan bagaimana posisinya sekarang, dan siapa yang ada di hati laki-laki itu.

Dulu, Pandu begitu menggebu-gebu mencintainya, sampai ia tega mencampakkan istri dan kedua buah hatinya demi dia. Tapi, setelah mereka pergi, cinta Pandu pun ikut pergi. Hingga bertahun tahun berlalu, cinta itu tak pernah kembali meski mereka sudah dikaruniai seorang putri.

Inilah perjalanan hidup mereka setiap hari, bak skenario kehidupan yang berputar tanpa tau bagaimana akhir kisahnya.

Wanita itu kembali ke kamar, merebahkan tubuh ke ranjang yang kian hari kian dingin. Tatapannya kosong dan pikiran melayang entah kemana. Rumah tangga macam apa yang sedang ia jalani? Hampa tak bewarna.

***SPW***

“Tante itu nggak datang lagi kan, Ma?” tanya Zea pada Alina-mamanya.

“Tante siapa?” Zyan bertanya menatap sang adik.

“Rosa, istri papa.”

Ada desir halus di dadanya mendengar sang papa disebut. Pandangan Zyan beralih pada Alina yang sedang mengaduk tepung, memasukkan gula dan pengembang kue.

“Mereka ke sini, Ma? Ngapain?”

Gerakan tangan Alina terhenti, matanya menoleh pada Zyan yang menunggu jawaban. “Ia datang untuk minta maaf.”

Alina menghela napas kasar kemudian beralih menatap Zea yang sedang memasukkan buku pelajaran ke dalam tas. Putrinya itu tak pernah mengeluh atau bertanya tentang papanya.

Kadang Alina berfikir, tidakkah mereka berdua rindu dengan sang papa? Atau sengaja menyembunyikan rasa untuk menjaga hati Alina?

Tiba-tiba dada Alina terasa sesak. Kadang ia merasa menyesal dengan keputusannya. Andai saja Alina bersabar, mungkin mereka masih bersama meski ada Rosa di hati Pandu.

Setidaknya kedua anaknya tak pernah merasakan hidup sesulit ini.

“Maafkan mama telah membawa kalian hidup susah,” isak Alina mengagetkan kedua anaknya.

Tubuh wanita itu melemah. Air matanya jatuh setiap kali mengingat kedua anaknya ikut menderita karena nasib yang tak beruntung. Zea harus hidup serba kekurangan dan kehilangan masa remajanya yang indah. Sedangkan Zyan terpaksa banting tulang mencari uang sebagai pelayan kafe untuk membiayai kuliahnya.

Melihat sang ibu yang meneteskan air mata, Zyan mendekat. Diraihnya tubuh yang bergetar itu dan membawanya ke dalam pelukan. Di usia yang masih muda, Zyan lebih memahami perasaan wanita. Kesedihan dan penderitaan sang mama membuatnya enggan untuk mencari Pandu walaupun ia tau di mana laki-laki itu berada.

Perlahan sesak di dada Alina berkurang. Putranya begitu pintar mengobati jiwanya yang rapuh.

Zea yeng melihat keduanya merasa bersalah karena telah menyebabkan sang ibu menangis.

Perlahan gadis itu mendekati keduanya. “Zea tak pernah menyesal tinggal bersama mama. Zea pun tak malu punya mama yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan pembuat roti goreng. Asal bersama mama, Zea ikhlas, Ma.”

Alina memeluk kedua buah hatinya yang begitu memahami kondisinya. Ia tak menyangka Allah begitu baik. Ia diberi ujian dengan luka yang sangat dalam, sekaligus Allah memberi penawarnya kala ia tak sanggup menghadapi dunia.

***SPW***

Sebelum matahari merangkak naik, Alina keluar dari kontrakan bersama Zea, putrinya. Sebuah kantong besar berisi roti goreng ia bawa untuk dititipkan di warung tetangga sebelum pergi bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

“Zea berangkat, Ma.” Gadis itu mencium punggung tangan Alina yang dibalas dengan sebuah pelukan dan kecupan di kening. Ini adalah rutinitas Alina. Sebisa mungkin ia limpahkan kasih sayang pada kedua anaknya.

Mereka berpisah dipertigaan jalan. Zea dengan senang hati berjalan kaki menuju sekolah untuk menghemat biaya sedangkan Alina berjalan berlawanan arah menuju perumahan mewah yang tak jauh dari tempatnya tinggal.

Di rumah mewah Bagaskara Pamungkas, Alina bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga. Bagas dan Regina-istrinya sangat menghormati Alina. Wanita itu tak mempermasalahkan Alina yang bekerja paruh waktu. Asal pekerjaan beres, Alina sudah bisa pulang ke rumah. Ia paham dengan kondisi Alina sebagai orang tua tunggal untuk kedua anaknya.

Bahkan, perempuan itu sering memberikan bantuan untuk biaya sekolah Zea dan Zyan.

Inilah perjuangan hidup Alina bersama kedua anaknya semenjak sang suami menceraikan dan mengusirnya dari rumah. Bahagiakan mereka sekarang?

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Lha np ndak nikah lg aj?
goodnovel comment avatar
mega silvia
nyesek bacanya
goodnovel comment avatar
Etrisna Susanto
bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status