Share

Mengembalikan Senyum Bidadari
Mengembalikan Senyum Bidadari
Penulis: Shafira Prameswari

Bab 1 Permohonan maaf

“Maafkan saya, Mbak. Maaf atas perbuatan saya yang sengaja menyakiti Mbak dan anak-anak. Saya menyesal ….” Suara isak tangis seorang wanita terdengar dari sebuah kontrakan kecil padat penduduk. Rosa tak sanggup menahan buliran air mata yang jatuh di pipi kala memohon ampunan dari Alina Cahya Kirani, wanita yang sudah ia rebut suaminya.

“Bertahun-tahun saya mencari, sekarang saya bahagia bisa bertemu kembali denganmu, Mbak.”

Wanita berhijab syar’i itu bangkit kemudian duduk bersimpuh di kaki wanita yang dulu berhasil ia singkirkan.

Diraihnya tangan wanita yang duduk di kursi itu lalu menciumnya. “Maafkan saya, maaf … selama ini saya tak bisa hidup dengan tenang. Jujur, walaupun saya berhasil mendapatkan Mas Pandu, tapi saya tak bahagia, Mbak.”

Alina tak mampu berkata-kata, begitu banyak kesedihan, kekecewaan dan luka yang membuat mulutnya terkunci. Masih bisa dirasakannya ketika tangan dingin Rosa dan tetesan air mata jatuh di kulit tangannya yang kini terasa kasar karena perjuangan hidup.

Perlahan Alina melepaskan genggaman tangan wanita yang sangat dibencinya. Wanita yang berhasil menyingkirkannya sebagai istri pertama Pandu Dirgantara dan menjadi satu-satunya ratu yang bertahta di hati Pandu.

Alina menatap datar wanita di hadapannya, mencari kejujuran dan penyesalan dari sorot mata yang berkaca-kaca itu. “Pulanglah! Semua sudah usai,” lirih Alina yang mampu membuat Rosa terhenyak seketika. Rosa merasa tertampar oleh kata-kata yang tak kasat mata hingga perihnya mampu menggetarkan jantung.

Alina bangkit melangkahkan kaki lemahnya menuju kamar yang menjadi saksi air mata dan kepedihan hidup yang ia jalani selama ini.

“Mbak.”

“Pergi!”

Air mata Rosa jatuh tak terbendung mendengar kata-kata yang mengingatkannya pada masa kejayaannya dulu. Ketika Pandu, laki-laki yang sangat ia cintai mengucapkan kata ‘pergi’ pada istri yang telah ia cerai. Kala itu Rosa sangat bahagia menjadi wanita terpilih.

Sekarang, kata itu kembali terucap tapi dari orang yang berbeda, sangat sakit ketika gelombang suara begitu jelas terdengar oleh indra pendengarannya.

Sebelum beranjak pergi, netranya memindai kondisi kontrakan yang sangat sederhana, kecil, sumpek tanpa peralatan elektronik yang mewah. Ia tak bisa membayangkan bagaimana mereka menjalankan roda kehidupan selama bertahun-tahun. Sementara dia dan laki-laki yang ia rebut hidup bergelimang harta.

Rosa melangkah gontai seraya mengusap air mata di pipi. Ia berjalan lemah meninggalkan petakan rumah tanpa halaman. Sesekali wajahnya menengadah ke atas, menatap langit agar mampu membendung air mata penyesalan supaya tak lagi menetes.

Langkah Rosa terhenti ketika matanya bersiborok dengan seorang gadis remaja. Bibirnya tersenyum menatap gadis cantik dengan wajah bak replika sang suami. Ia yakin, dia adalah Zea, putri kandung suaminya dengan Alina.

Sesaat gadis delapan belas tahun itu membalas senyumnya hingga menampakkan deretan giginya yang rapi. Rosa bahagia tapi, hal itu tak berlangsung lama ketika senyum Zea hilang dan berganti dengan tatapan tak bersahabat. Jelas terlihat jika gadis itu telah menyadari kehadirannya.

“Zea, apa kabar?” tanya Rosa memecah kecanggungan di antara mereka.

Perlahan Rosa mendekat. Enam tahun telah membuatnya tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita.

Rosa memindai penampilan gadis delapan belas tahun itu dari atas sampai ke bawah. Perlahan netra Rosa mengabut ketika melihat kenyataan di depan mata. Baju sekolah yang melekat di tubuh itu warnanya mulai memudar, tas lusuh berisikan buku pelajaran bertengger di punggungnya yang rapuh serta sepatu usang dengan sedikit robekan di ujung jempol.

Tangan Rosa terulur ingin membelai wajah cantik Zea tapi, seketika ditepis kasar.

“Aku masih ingat siapa Tante.” Netra gadis itu menyorot tajam hingga mata sayu Rosa yang kian mengabut tak sanggup menantangnya.

“Sampai kapanpun, kami takkan pernah lupa, jadi jangan pura-pura baik di hadapanku!”

Rosa membeku, dulu ia tak peduli bagaimana semua orang mencaci dan memakinya sebagai perebut suami orang, tapi sekarang, hatinya terasa sakit ketika seorang gadis remaja mengeluarkan amarahnya.

“Mau apa ke sini? Ingin memperlihatkan kemenangan Tante atau ingin mencelakakan mamaku?”

Rosa menggeleng, ia tak menyangka, niat baik yang ingin ia tawarkan malah diuji dengan penolakan yang menyakitkan.

Dengan langkah cepat, Zea berlari pulang meninggalkan Rosa. Ia takut wanita itu datang untuk membuat sang ibu menangis. Tapi, langkahnya dipaksa berhenti kemudian membalikkan badan pada wanita yang masih terpaku menatapnya. “Jika terjadi apa-apa dengan mama, jangan harap aku akan memaafkan, Tante. Dulu, aku masih kecil dan belum bisa berbuat apa-apa. Tapi sekarang aku sudah dewasa, Tante!” teriak Zea kemudian berlalu pergi meninggalkan perempuan yang menatapnya pilu.

Tangis Rosa pecah, ternyata kejahatannya dulu masih membekas di ingatan Zea. Walaupun telah enam tahun berlalu tak menghapus jejak kekejamannya. Tidakkah mereka lihat bahwa yang berdiri di hadapannya bukanlah Rosa yang dulu, tapi Rosa yang telah hijrah. Bertahun-tahun ia panjatkan do’a pada sang maha pemaaf agar bisa menebus semua dosa masa lalunya.

Rosa menghapus air mata di pipi. Ia tak ingin warga melihat apa yang telah terjadi. Dengan langkah cepat wanita itu berjalan menuju sebuah mobil sedan yang telah menunggu di ujung gang.

“Kita berangkat, Bu?” tanya Pak Maman, sopir pribadinya.

“Iya, Pak. Langsung pulang.”

Laki-laki paruh baya itu mulai menyalakan mesin lalu membawa kendaraan mewah itu membelah jalanan ibukota. Sesekali matanya menangkap tangis sang majikan yang duduk di jok belakang tapi laki-laki itu hanya diam tanpa berani bertanya apa yang sedang terjadi?

***SPW***

Pandu Dirgantara menarik laci meja kerja kemudian mengeluarkan sebuah foto keluarga. Jarinya mengusap wajah-wajah bahagia yang tergambar di sana. Seorang wanita cantik berdiri di sebelahnya beserta kedua anak mereka, Zea dan Zyan. Mereka tersenyum, tak ada kesedihan atau kisah pilu menggelayuti hati. Ya .., karena itu terjadi beberapa bulan sebelum Pandu menorehkan kisah sedih berakhir duka.

Mata laki-laki itu berkaca-kaca menatap foto yang telah berusia tujuh tahun itu. Lamunannya berkelana pada masa silam. Tentang indahnya hidup berumah tangga tanpa Rosa, si orang ketiga.

“Nanti kalau sudah besar, Zea mau menjadi dokter, agar bisa mengobati orang sakit, menjaga mama dan papa supaya sehat sampai kakek nenek nantinya,” celoteh Zea kecil ketika memperlihatkan deretan nilai yang begitu membanggakan.

“Aamiin, Semoga suatu saat nanti Zea menjadi dokter yang cantik dan baik hati,” doa Alina mengiringi harapan putrinya.

Pandu tersenyum, matanya menoleh pada sang putra yang duduk di salah satu sofa di ruang keluarga. “Kalau Zyan menjadi pengusaha saja, meneruskan usaha papa biar semakin berkembang. Nanti, setelah lulus SMA akan papa ajak bergabung di perusahaan, semakin cepat kamu belajar, semakin pintar kamu berbisnis,” ucap Pandu bangga.

“Lalu papa ngapain?” kembali Zea berciloteh.

Laki-laki itu memeluk pundak sang istri lalu menciumnya. “Menghabiskan masa tua bersama bidadari papa yang cantik ini.”

Alina terkekeh menatap sang suami. Senyum menawannya begitu indah menggetarkan bongkahan hati di dada Pandu. “Kalau sudah tua, nggak cantik lagi, Pa. Rambut akan memutih, kulit keriput dan perlahan gigi akan copot satu persatu,” sela Alina.

Pandu menatap sang istri dengan penuh cinta. Perlahan dibelainya rambut sepunggung itu lembut. “Walaupun fisikmu sudah berubah, tapi satu yang takkan berubah. Cintaku padamu.”

‘Duarr…’

Suara petir menggelegar, memutus lamunan Pandu Dirgantara. Segera ia simpan bingkai kaca yang melindungi foto keluarga kecilnya dulu. Perlahan kaki jenjang itu bangkit kemudian berdiri menatap jendela kaca yang menampakkan hujan turun deras berteman gemuruh dari langit.

Dadanya sesak, air matanya jatuh bersamaan dengan air hujan yang turun ke bumi. Tak terhitung berapa banyak penyesalan karena perbuatannya. Ia pikir melepaskan Alina akan membuatnya tenang dan bahagia. Ternyata ia salah, kehilangan begitu ia rasakan ketika wanita itu pergi membawa separuh hidupnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dian Rahmat
jadi si ayah gak membiayai anaknya ya. bener2 gak bertanggung jwb
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status