Share

Bab 3 Keinginan Rosa

Sebelum ke kelas, Zea menuju kantin sekolah. Pagi hari kondisi kantin masih sepi. Zea mengeluarkan roti goreng kemudian meletakkannya di dalam rak keranjang yang tak jauh dari etalase.

“Semuanya lima puluh bungkus, Bu,” ucap Zea pada wanita yang sedang membersihkan kantin.

“Ya, semoga habis lagi, sepertinya sudah banyak yang menyukai roti gorengmu, Zea.”

“Alhamdulillah, Bu.”

Beberapa siswa mulai berdatangan ke kantin. Kebanyakan dari mereka membeli kue atau roti sebagai pengganjal perut karena belum sarapan. Zea yang melihat Bu Sarmi mulai kerepotan melayani siswa mencoba membantu. Ia meneruskan pekerjaan Bu Sarmi membersihkan kantin.

“Hai, Zee!” sapa Bryan yang tiba-tiba datang lalu duduk di salah satu kursi. Laki-laki itu selalu memplesetkan nama Zea dengan Zee setiap kali memanggil gadis itu. “Rajin banget lo bantuin Bu Sarmi,” celetuknya.

“Ini lebih berguna dari pada ngegibahin orang atau kabur saat pelajaran berlangsung.”

“Lo nyindir gue?”

“Enggak, lo aja yang baperan.”

Bryan bangkit kemudian berjalan ke arah Zea. “Minggir gue mau jajan,” ucapnya seraya menabrak bahu Zea dengan sengaja.

“Ish ….”

Laki-laki itu tersenyum melihat Zea yang kesal dengan ulahnya.

“Apa ya?” mata Bryan memindai beraneka makanan yang telah tersedia. Ia mencari sesuatu untuk mengganjal perut sebelum belajar.

“Lo, mau beli apa?” tanya Adit.

Mata Bryan melirik ke sana ke mari. Tak lama pandangannya tertuju pada roti goreng di rak.

“Ini aja,” dicomotnya sebuah roti goreng kemudian memasukkannya ke dalam mulut. Roti lembut dipadukan parutan kelapa muda bercampur gula membangkitkan seleranya.

“Enak,” puji Bryan kemudian kembali mengambil bungkusan kedua.

“Lo mau-maunya makan makanan yang tak berizin dan belum lulus BPOM?” tanya Adit yang menolak pemberian Bryan ketika pemuda itu menawarkan roti goreng padanya.

“Bosan gue dengan roti yang dioles itu, setidaknya dengan gue beli makanan ini bisa membantu pembuat roti ini untuk maju.”

“Tapi kan nggak ada izinnya,” Adit berkilah.

“Yang penting makanan ini sehat, bersih dan enak. Itu sudah cukup. Benar nggak Zee?” goda Bryan.

Gadis itu tak menanggapi, ia menyelesaikan pekerjaannya kemudian meletakkan sapu dan serokan sampah ke belakang. Tak lama Zea pamit meninggalkan Bryan dan Adit.

“Walaupun belum ada ijin dari BPOM tapi ibu jamin roti ini tak kalah dari buatan pabrik. Lagi pula roti ini titipan salah satu siswi di sekolah ini,” ungkap Bu Sarmi.

Dahi Bryan berkerut. Rasanya tak mungkin di jaman sekarang atau di sekolah sebagus ini ada siswi yang mengumpulkan uang dengan cara menitipkan dagangan ke kantin sekolah. “Siapa, Bu?”

Wanita itu menggeleng, “Rahasia.”

Bryan terdiam sejenak. Hampir tiga tahun menjadi pelanggan tetap kantin ini, tak pernah sekalipun ia melihat siswi menitipkan dagangan ke kantin. Pemuda itu berdiri dari duduknya kemudian merogoh saku celana. “Berapa semuanya, Bu. Saya beli.”

“Semua lima puluh bungkus. Satu bungkus dua ribu lima ratus rupiah jadi totalnya seratus dua puluh lima ribu.”

“Busyet, murah amat?” Adit heran ketika pemuda itu memberikan dua lembar uang seratus ribu kepada Bu Sarmi.

“Murah, tapi lo nggak mau beli, buat apa?” sindir Bryan.

Bu Sarmi memberikan bungkusan yang berisi roti goreng pada Bryan beserta kembaliannya. Sesampainya di kelas, Bryan membagi-bagikan kepada teman-temannya. Zea yang sekelas dengan Bryan juga ikut menerima pemberian pemuda itu.

“Lo beli jajanan pasar di mana?”

“Enggak level.”

“Kalau lihat bungkusannya tak menarik tapi setelah di coba ternyata enak.”

Itulah beberapa tanggapan dari teman-teman Bryan. Ada yang memandang jijik, ada pula yang mengambil karena menghargai si pemberi. Dalam sekejap roti goreng itu ludes dan hanya menyisakan kantong plastik di atas meja.

***SPW***

Rosa mengetuk pintu sebelum memasuki ruang kerja Pandu. Suaminya itu lebih banyak menghabiskan waktunya di sini. Kadang Rosa merasa cemburu, Pandu sangat mencintai kamar ini dari pada kamar mereka. Walaupun tak pernah bicara tapi Rosa yakin, bukan kamar ini yang membuat laki-laki itu betah menghabiskan waktunya tapi, kenangan yang tertinggal bersama perempuan yang memiliki seluruh hati Pandu.

Rosa menyuguhkan secangkir teh. Ia duduk di kursi yang hanya terhalang meja. Jika tak diajak bicara, Pandu akan diam seribu bahasa hingga Rosa sadar diri bahwa itu adalah kode agar dirinya harus menyingkir, membiarkan Pandu menikmati kesendirian di kamar sang mantan istri.

Setiap kali mengingat hal itu, Rosa ingin marah. Tapi, ia tahan karena tak ingin mengulang kembali pertengkaran hebat mereka.

“Mas, kapan kita pindah ke rumah itu?” tanya Rosa untuk kesekian kalinya. Sebelum menikah, Pandu menghadiahinya sebuah rumah mewah. Semenjak rumah itu siap di huni, Pandu tak sekalipun menginap di sana bahkan hanya dihitung dengan jari laki laki itu berkunjung.

“Aku tak bisa,” jawabnya datar.

Rosa menghela napas kasar. Laki-laki itu selalu punya alasan untuk menghindar dari ajakan Rosa untuk pindah. “Aku capek Mas bolak-balik membersihkan rumah itu tiap dua hari sekali.”

“Kalau begitu jual saja.”

“Mas …!” Dada Rosa terasa sesak mendengar perkataan Pandu yang menganggap enteng semuanya. Tidakkah ia punya hati dengan mengabulkan sedikit keinginannya?

Selama ini Rosa sudah banyak mengalah menghadapi sikap dingin Pandu. Ia rindu Pandu yang dulu. Yang setiap saat menyatakan cinta, menghadiahinya barang bermerk dan bercinta dengan hasrat yang menggelora.

Sekarang semua tak pernah terjadi lagi. Beberapa kali Rosa mencoba merayu Pandu tapi selalu gagal. Kadang ia merasa malu pada dirinya sendiri kala Pandu menolaknya.

“Aku ingin kita keluar dari rumah ini, Mas. Memulai hidup baru tanpa bayang-bayang Alina.”

Tangan Pandu yang sedang menandatangi berkas terhenti seketika. Mendengar nama Alina membuat dadanya bergemuruh. Antara rindu, kecewa dan penyesalan menjadi satu.

“Aku akan tetap di sini.”

“Kenapa? Apa kamu masih mencintai Alina? Atau kamu menyesal menikah denganku?” Suara Rosa mulai meninggi.

“Aku sedang tak ingin berdebat, Ros.”

“Lalu apa, Mas? Kamu sudah sekian lama mengabaikanku, selama ini aku sudah cukup bersabar dan mengalah. Tapi kamu terlalu larut memikirkan mereka tanpa memikirkan aku. Hanya mereka yang ada dipikiranmu. Kamu anggap aku apa?” cercar Rosa mengungkapkan semua keluh kesahnya.

“Jangan melarangku untuk mengingat mereka!”

“Aku tak melarangmu untuk mengingat anak-anak tapi berhenti memikirkan Alina, mantan istrimu.” Tunjuk Rosa ke arah dada Pandu.

Laki-laki itu melempar pulpen di antara tumbukan berkas. Rosa sadar jika Pandu sedang menahan amarah. Terlihat dari gerakan dadanya yang naik turun serta napas yang memburu. “Sejak dulu aku sudah memintamu untuk meninggalkanku tapi kamu yang bersikeras untuk tetap di sini”

Perlahan air mata Rosa jatuh, enam tahun bertahan belum juga ia mampu meraih cinta Pandu yang telah beku. Sesak yang telah lama ia simpan akhirnya keluar juga. “Jika kamu peduli padaku dan Shanum-putri kita. Mari kita pindah, Mas. Untuk apa kamu membelikan aku rumah jika tak ditempati?”

“Aku ingin kita bahagia, hidup tanpa bayang-bayang Alina dan saling mencintai seperti dulu.” Tangis Rosa pecah mengingat enam tahun waktu terbuang sia-sia tanpa kebahagiaan.

Pandu mengambil kunci mobilnya lalu melangkah ke luar. Itulah cara sakti yang dikeluarkan Pandu setiap kali mereka bertengkar. Laki-laki itu akan pergi dari rumah dan kembali setelah beberapa hari kemudian. Ia tau, Rosa sakit dengan sikapnya yang dingin tapi, hati Pandu jauh lebih sakit setiap mengingat kesalahannya memenangkan wanita itu dalam hidupnya.

“Argh….” Teriak Rosa menggema memecah keheningan malam.

‘Prang!’

Dilemparnya gelas berisi teh yang belum sempat di minum Pandu. Tubuh wanita itu luruh ke lantai. Tangisnya menggema di ruang kerja Pandu. Ia keluarkan semua sesak dan air mata sendiri tanpa ada yang membujuk atau menenangkannya.

Dari balik pintu, Bi Mirna menatap pilu majikannya yang tampak berantakan. Wanita paruh baya itu adalah saksi kunci bagaimana interaksi keduanya. Tinggal di rumah mewah tapi seperti kuburan. Sepi tanpa ada canda dan tawa. Setiap keduanya berkomunikasi selalu berakhir dengan kesedihan dan duka.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
pelakor biarpun udah hijrah tetap aja jadi mimpi buruk setiap orang. si pandu serius mencari mantan istri dan anak2?? kaya tapi g berguna uang dan harta mu klu mencari mereka g mampu. pantas mata mu bisa dibutakan pelakor.
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Bisanya melarikan diri tanpa menyelesaikan masalah. Maaf nh tp w benci bgt sama si istri pertamanya kok goblok bgt bknnya nerima hak lu malah ditolak skrg tinggal di rmh kumuh kan
goodnovel comment avatar
Asa Benita
Maaf, kalau pelakor emang nggak pantas dikasihani. Apa yg kamu tuai ya itu yg km semai. Berbuat jahat kok minta hidup bahagia...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status