Pandu duduk termenung di sudut masjid. Tetes demi tetes air matanya jatuh. Sejak pertemuan dengan Alina, pria itu merasa patah hati. Ternyata ia tak bisa kehilangan Alina untuk kedua kalinya. Doa yang ia lantunkan setiap malam pada Sang Khalik membuatnya takut. Pandu takut Allah tak meridai, karena wanita itu terlalu baik untuk dirinya yang berlumur dosa. Inikah hukuman yang harus ia bayar? Kehilangan Alina lebih menyakitkan, daripada kehilangan seluruh harta yang telah ia kumpulkan. “Saya mencintainya, Ustaz, tetapi langkah saya terbatas untuk memilikinya,” lirih Pandu. Ustaz Ahmad yang baru saja bergabung menatap pria yang tertunduk itu lekat. “Cinta itu fitrah. bersama cinta, akan ada keindahan, kedamaian, dan pengabdian. Pada saat seseorang mengetuk hatimu, biarkan akal yang membukanya. Jangan biarkan hati yang membuka. Jadikan akal yang menguasai perasaanmu, jangan jadikan perasaan yang menguasai akalmu.”Pandu terdiam. Dulu ketika ia mencintai Rosa, perasaannyalah yang menguas
Pandu bahagia. Setelah beberapa lama, ia kembali menikmati kebersamaan dengan kedua buah hatinya, mesti hal itu tak lengkap. Namun setidaknya ia bersyukur, Allah memberinya kesempatan untuk menjadi ayah yang baik. “Kapan kamu ke kantor, Papa?” tanya Pandu pada Zyan.“Aku enggak berminat, Pa. Aku ingin berdiri di atas kakiku sendiri dan menjadi seorang arsitek.”“Bisnis Papa sangat cocok dengan pendidikanmu. Lagi pula, untuk siapa Papa bekerja keras kalau bukan untuk kalian. Bryan sudah mulai membantu papanya di kantor. Papa juga ingin kamu melakukan hal yang sama.”“Sekarang Papa tinggal di mana?” Zea bertanya.Pandu tersenyum. Ia bahagia, putrinya memanggilnya papa. “Di tempat yang bagus, yang selalu membuat Papa mengingat kalian.”Pandu menghela napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Ia menatap kedua anaknya yang makan dengan lahap. Seulas senyum tercipta. Dulu mereka masih kecil, sekarang sudah besar. Enam tahun telah membuat mereka tumbuh dengan cepat. “Apa mamamu akan
Rosa memijat kepala yang terasa pusing. Deretan angka yang ia baca membuatnya harus berpikir keras, bagaimana untuk menanggulanginya. Meningkatnya jumlah konsumen, membuat penjualan gamis ‘Rose’ makin laku di pasaran. Follower beberapa akun media sosial Rosa juga naik drastis. Ini merupakan peluang bagi Rosa untuk mengepakkan sayap bisnisnya dengan membuat gamis dan hijab syar’i terbaru. Tema yang ia usung adalah pakaian syar’i untuk remaja putri. Para desainer telah merancang sebaik mungkin, dengan perpaduan warna-warna lembut favorit gadis remaja.Model untuk brand gamis ‘Rose’ telah ditentukan. Rosa memilih seorang artis remaja yang sedang naik daun sebagai brand ambassador. Sebuah hotel bintang lima telah ia booking untuk launching produk terbarunya tersebut, serta penambahan beberapa butik di daerah telah siap memasarkan gamis terbaru ‘Rose’. Selain itu, Rosa juga membekali reseller yang terdiri dari ibu-ibu rumah tangga untuk siap bersaing dengan produk serupa. Semua memerlukan
Pandu dan Alina menjawab bersamaan, “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatu.” Hati Pandu yang tadinya tenteram menjadi tak nyaman karena kehadiran Fusena. Senyum pria itu begitu semringah menatap Alina. Bahkan, ia membawa sebuah buket bunga mawar merah untuk Alina.Wanita itu menerima dengan senang hati, kemudian mempersilakan Fusena bergabung bersama mereka. Melihat senyum Alina yang begitu bahagia saat menerima pemberian Fusena, membuat hati Pandu sakit. Semenjak mereka berpisah, tak satu kali pun Alina tersenyum sebahagia ini kepada Pandu. Bahkan pria itu ingat, ia tak pernah menghadiahi Alina bunga, karena Pandu bukanlah seorang suami yang romantis. Perlakuan Fusena saat ini menyadarkannya, bahwa wanita butuh perhatian dan hadiah kecil dari pasangannya.“Sudah lama, Pak Pandu?” tanya Fusena yang duduk di sampingnya.Pandu tersenyum. “Belum lama ini.” Tak ingin membuat Fusena curiga, pria itu kembali angkat bicara, “Saya ingin bertemu dengan anak-anak.”“Ya, saya senang Pak Pan
Setelah memarkirkan mobilnya di depan minimarket, Rosa berjalan menyusuri gang menuju tempat tinggal Pandu. Beberapa hari ini hanya Pandu yang tinggal di tempat itu, sementara Rosa menolak dengan alasan kesehatan Shanum. Di depan pintu, Rosa tertegun. Suara Pandu yang sedang membaca Al-Qur’an terdengar serak. Perlahan, wanita itu mengintip dari jendela. Pandu memakai koko putih sedang duduk bersila, sebuah Al-Qur’an berada di pangkuannya. Rosa tak berani masuk. Bahkan, untuk mengetuk pintu pun ia segan. Pandu begitu khusyuk mengaji. Rosa bisa melihat tetesan air mata Pandu jatuh bersamaan getaran suara yang menyentuh hati. Dalam pertobatan mereka, Rosa akui, Pandu lebih baik dari dirinya. Pandu benar-benar berubah. Bahkan, pria itu seperti menutup diri dari kemilau dunia.Setelah Pandu menghentikan bacaannya, Rosa mengetuk pintu. Tak berapa lama, pria itu keluar. Wajahnya bersinar dan sorot mata Pandu tampak teduh. Walaupun tinggal di tempat sederhana, pesona pria itu begitu menenter
“Kenapa kamu mau menikah denganku, Ros? Padahal kamu tahu kalau aku pria enggak baik, pembohong, tukang selingkuh, dan jahat pada istri sendiri. Enggak ada yang istimewa dariku,” tanya Pandu menatap wanita itu lekat. “Apa karena harta yang aku punya, hingga kamu tertarik? Hartaku enggak banyak, Ros. Belum ada apa-apanya dari kekayaan yang ada di bumi ini.”Rosa diam, tak berani menyela pembicaraan Pandu.“Betapa mahal yang harus kita bayar di akhirat kelak. Aku takut, Ros. Aku takut enggak sanggup menghadap Allah dengan wajah penuh dosa.” Pandu tertunduk, tubuhnya bergetar hebat. Dulu, ketika cinta berlandaskan nafsunya menggelora, ia tak ingat nasib setelah kematian. Dengan mudah berbuat dosa dan menjatuhkan talak pada Alina. Sekarang, ketika cintanya pada Alina bertakhta, Pandu takut dan bingung, apakah ia harus melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya? Matanya basah. Pandu mengusap tetesan air yang jatuh. Pandu seperti kehilangan peluang untuk kembali pada cinta pertamanya. Al
Rosa menatap pria itu lekat. Pandu seperti tak tertarik dengan kecantikan dan kesuksesannya. “Semuanya sudah di depan mata dan aku enggak akan menyerah, Mas.”“Kamu mengorbankan rumah tanggamu demi karier?” tanya Pandu kembali.Rosa menjawab yakin, “Kamu yang memberiku pilihan, Mas. Lagi pula, agama enggak melarang seorang wanita untuk berbisnis.”“Tetapi seorang istri butuh izin dan rida suami. Lagi pula, aku sanggup memenuhi semua kebutuhanmu. Bukankah dari dulu, berapa pun kamu meminta uang, aku selalu kasih?”Rosa menghela napas. Pandu merusak mood-nya yang sedang bahagia karena pencapaian. “Aku tetap pada keputusanku, Mas.”Pandu menatap sendu wanita yang ia perjuangkan mati-matian itu. Keputusan Rosa sepertinya tak bisa diganggu gugat lagi. Ambisi dan dunia menutup hatinya. Rosa bicara agama jika itu menguntungkan untuknya, tetapi jika menentang kodrat, ia lari dari ketentuan yang Allah berikan. “Aku sudah pernah berada di puncak kesuksesan, Ros. Jauh dan melebihi apa yang kamu
Alina hanya tersenyum mendengar kesuksesan Rosa. Ia meletakkan tangan di dada, kemudian memejamkan mata. Sejenak Alina meresapi, adakah kebencian atau iri pada keberhasilan istri suaminya itu? Perlahan Alina membuka mata dan tersenyum. Ia bersyukur, hatinya telah berdamai dan menerima. Sehebat atau sebahagia apa pun Rosa, ia tak peduli. Fokus Alina sekarang adalah kebahagiaan anak-anaknya.“Kita enggak tahu jalan takdir Allah, ya, Bu. Banyak orang yang berbuat dosa, tetapi tetap diberi Allah kesenangan dan kenikmatan dunia. Padahal, itu istidraj. Suatu saat nanti mereka terlena, kemudian dijatuhkan dalam keadaan terhina,” ungkap Regina, ketika bersilaturahmi ke rumah Alina.“Insyaallah, saya sudah mengikhlaskan semua. Dulu, saya terlalu larut pada kesedihan, Bu, hingga saya menyiksa diri sendiri selama enam tahun.”“Saya salut dengan Bu Alina. Walau tersakiti, tetapi enggak mau membalas mantan suami dan istri barunya.” “Enggak perlu mengotori diri kita, Bu. Biarkan Allah yang menilai