"Oh, Zaidan? Dia sudah nggak kerja di sini, Mbak. Seminggu lalu dia mengundurkan diri, mau balik kampung katanya." Jawaban perempuan didepannya itu membuat lutut Hana lemas seketika. Napasnya tercekat, kepalanya tiba-tiba berdenging. Hana seperti orang linglung, apa yang sebenarnya terjadi? "M–maksudnya gimana, Mbak? Zaidan ... Zaidan mengundurkan diri?" Bahu Hana melemas ketika mendapat anggukan dari perempuan didepannya. Perempuan itu menatap Hana bingung, terlebih melihat raut keterkejutan dari wajah Hana. "Kalau saya boleh tau, memangnya Zaidan bekerja sebagai apa di sini?" Hana sudah bisa menguasai diri, dia sudah lebih tenang saat pertanyaan itu ia layangkan. Apa mungkin dia salah alamat? Tapi tidak mungkin, jelas-jelas 2 minggu yang lalu dia mengantar Zaidan ke sini. "Sebagai security, Mbak," jawab perempuan itu lagi. "Eum ... dia punya adik perempuan, kan?" tanya Hana mencoba memastikan. "Duh, kalo itu sayanya kurang tau, Mbak. Mungkin ada di kampungnya, tapi saya
Tiiin ...! Suara klakson panjang serta derit ban mobil beradu memekakkan telinga. Jantung Hakam berdentum hebat, ia berusaha mengatur napasnya yang tersengal. "Bangsat!" umpat Hakam sembari memukul setirnya. Jantungnya seakan melompat dari tempatnya saat sebuah sepeda motor dengan santainya menyalip dari arah kanan menuju depan mobilnya, beruntung Hakam cepat menginjak pedal rem, jika tidak sudah pasti kecelakaan tak bisa terelakkan di pagi yang cerah itu. "Sialan! Kemana perginya Livia?" Hakam kembali mengumpat frustrasi begitu menyadari jika ia kehilangan jejak sang istri. Padahal sebelum sepeda motor itu menyalipnya, Livia tepat berada tak jauh didepannya, tapi kini menghilang entah kemana. Tin ... tin ... tin ... Suara klakson yang sengaja dibunyikan beberapa kali oleh pengendara dibelakangnya membuyarkan lamunannya Hakam tentang Livia. Tak ingin terjadi keributan, Hakam memilih menyerah dan kembali melaju. Namun, matanya tetap awas memperhatikan setiap pengendara mo
"Mbak, gimana dengan usaha yang mbak ceritakan?" tanya Hakam saat mereka sedang sarapan bersama di rumah sang mama.Hana gelagapan mendengar pertanyaan Hakam. Pasalnya, sejak semalam Zaidan mau pun Sirly tak bisa dihubungi. Nomor WhatsApp keduanya tak aktif, saat ditelpon biasa pun tak tersambung. Padahal semalam saat ia keluar dan bertemu dengan Gheza di mall niatnya ingin bertemu dengan Zaidan, tapi sekian lama menunggu laki-laki itu tak kunjung datang dan WhatsAppnya mendadak tak bisa dihubungi."Huh? Tenang aja, temen mbak lagi nyari lokasinya. Kemarin sudah ketemu, sih, tapi kayaknya kurang cocok, deh. Jadi hari ini rencananya mbak sama dia mau keluar dan survey tempat serta lokasinya." Hana berusaha tenang, meski dadanya ribut tak berhenti."Oh, bagus deh! Aku cuma takut kalo temen mbak itu cuma nipu dan bawa lari uang kita." Hana tercekat mendengar ucapan Hakam, tapi dia berusaha menenangkan dirinya. Mana mungkin Zaidan melakukan itu? Dia anak orang kaya, rumahnya malah lebih m
"Untuk kado, Mbak!" Dari arah belakang, Gheza cepat-cepat menjawab pertanyaan yang dilontarkan pada sang mama. Mendengar jawaban Gheza, tentu saja membuat Nia dan Ghaida menoleh dengan kening terlipat. Kenapa Gheza seolah ingin menyembunyikan itu semua dari Hana? "Oh, kirain ... padahal, kan, Tante Nia belum punya cucu." Hana terkekeh mendengar jawaban sepupu suaminya itu. "Jangankan cucu, Han, mantu aja sampe sekarang belum keliatan wujudnya, tuh!" canda Nia menyindir Gheza yang berdiri didekat mereka. Gheza menghela napas, ujung-ujungnya dia yang kena sindir. Kenapa harus nikah cepat kalau ujung-ujungnya pisah seperti .... Hana dan Nia sama-sama tertawa, seolah tengah menertawakan Gheza. Laki-laki itu semakin jenuh dan kesal, hanya Ghaida yang masih fokus memilih mainan bayi di sana, tak sedikit pun gadis itu menghiraukan keberadaan Hana. "Kamu sendiri mau kemana, Han?" Setelah puas menertawakan Gheza, Nia mengalihkan pembicaraan. "Eum, aku ada janji sama temen. Kalau
Sore harinya, Livia dan Masitah berpamitan seperti biasa karena pekerjaan mereka sudah selesai. Keduanya sedang bersiap-siap saat Ghaida datang menghampiri. "Mbak, besok Yazeed ikut lagi, nggak?" tanya gadis itu mendekati Masitah yang tengah menggendong Yazeed dengan kain jarik. "Eum ... kalau diizinkan insyaallah saya akan bawa Yazeed setiap hari, Non. Soalnya di rumah nggak ada yang jaga," ucap Livia lembut. "Nggak apa, Mbak. Bawa aja tiap hari, nanti kalo aku libur biar Yazeed sama aku aja. Biar mbak bisa fokus sama kerjaan," kata Ghaida antusias. Gadis itu sudah hampir menyelesaikan kuliahnya, sebab itu dia lebih sering di rumah. "Ah, terimakasih banyak, Non. Saya takut merepotkan, jadi lebih baik Yazeed main di ruang loundry saja sama saya." Livia mencoba menolak tawaran Ghaida dengan lembut dan senyuman. "Mana ada merepotkan, yang ada aku malah seneng ada temen mainnya. Yaudah, kalo gitu hati-hati, ya? Sampai ketemu lagi besok, gantengku!" Ghaida melambaikan tangan dan
Mendengar teriakan Marni yang melengking membuat Keysha urung membuka pintu kamarnya. Perempuan itu berbalik dan berjalan cepat menuju kamar Marni. Sesampainya di sana, ia melihat Marni sudah meraung sambil memeluk tubuh Sofian yang tergeletak dengan darah mengalir membasahi lantai didekatnya. Keysha tak kalah terkejut, perempuan itu syok hingga lututnya terasa lemas seketika, terlebih saat melihat cairan merah yang cukup banyak itu. "Siapa yang melakukan ini padamu, Pak?!" raung Marni. Ragu-ragu, Keysha mendekati Marni dan mencoba mengelus punggung wanita itu. Ia berusaha mengelakkan pandangannya dari tubuh Sofian. "Dimana Hanum?! Dimana perempuan itu?!" Teriak Marni berdiri. Ia hendak berlari ke kamar menantunya, tapi Keysha lebih dulu menahannya. "Ibu nggak nuduh mbak Hanum, kan?" Marni langsung menoleh mendengar pertanyaan Keysha. "Ibu cuma pengen tau, apa dia tau sesuatu? Yang ada di rumah saat kita pergi hanya Hanum, nggak mungkin dia nggak tau apa yang terjadi pada ba